PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat Filsafat
2. Untuk mengetahui hakikat Agama
3. Untuk mengetahui hakikat Etika
4. Untuk mengetahui hakikat otak Nilai
5. Untuk mengetahui hubungan antara Agama, Etika, dan Nilai
6. Untuk mengetahui hukum Etika dan Etiket
7. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Paradigma Manusia Utuh
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2. Epistemologis Pendekatan yang Pendekatan ilmiah
bersifat reflektif atau menggunakan dua
rasional-deduktif pendekatan; deduktif
dan induktif secara
saling melengkapi
3. Aksiologis Sangat abstrak, Sangat konkret,
bermanfaat tetapi langsung dapat
tidak secara langsung dimanfaatkan bagi
bagi umat manusia kepentingan umat
manusia
Dari beberapa definisi di atas, dapat dirinci rumusan agama berdasarkan unsur-unsur
penting sebagai berikut:
1. Hubungan manusia dengan sesuatu yang tak terbatas, yang transendental, yang
ilahi-Tuhan Yang Maha Esa.
4
2. Berisi pedoman tingkah laku (dalam bentuk larangan dan perintah), nilai-nilai, dan
norma-norma yang diwahyukan langsung oleh ilahi melalui nabi-nabi.
3. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan hidup kekal di akhirat.
5
seharunya dipraktikan. Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas
yaitu apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dsb. Etika
sebagai refleksi adalah pemikiran moral (bertens,2001)
2. Etika secara etimologis dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang diasa dilakukan
atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenan dengan hidup yang baik dan yang
buruk. (kanter,2001)
3. Istilah lain dari etika adalah susila. Su artinya baik, dan sila artinya kebiasaan atau
tingkah laku . jadi susila berarti kebiasaan atau tingksh laku perbuatan manusia yang
baik. Etiks sebagai ilmu disebut tata susila, yang mempelajari tata nilai, tentang baik
dan buruknya suatu perbuatan,apa yang harus dikerjakan atau dihindari sehingga
tercipta hubungan yang baik diantara sesama manusia (suhardana,2006)
4. Menurut KBBI terbitan Departemen Pendidikan dan kebudayaan (1988),etika
dirumuskan dalam pengertian sebagai berikut :
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban
(akhlak);
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
5. Menurut Webster’s Collegiate Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Duska dan Duska
(2003), ada empat arti ethic sebagai berikut:
a. The discipline dealing with wiht what is good and bad and with moral duty and
obligation;
b. A set of moral principles or values;
c. A theory or system of moral values;
d. The principles of conduct governing an individual or group.
6. Menurut Lawrence, Weber, dan Post (2005), etika adalah suatu konsepsi tentang
perilaku benar dan salah. Etika menjelaskan kepada kita apakah perilaku kita bermoral
atau tidak dan berkaitan dengan hubungan kemanusiaan yang fundamental-bagaimana
kita berpikir dan bertindak terhadap orang lain dan bagaimana kita inginkan mereka
berpikir dan bertindak terhadap kita.
7. Menurut David P. Baron (2005), etika adalah suatu pendekatan sistematis atas penilaian
moral yang didasarkan atas penalaran, analisis, sintesis, dan reflektif.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ternyata etika mempunyai banyak arti. Namun
demikian, setidaknya arti etika dapat dilihat dari dua hal berikut:
6
a. Etika sebagai praksis; sama dengan moral atau moralitas yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, niali-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat.
b. Etika sebagai ilmu atau tata susila adalah pemikiran/penilaian moral. Etika sebagai
pemikiran moral bisa saja mencapai taraf ilmiah bila proses penalaran terhadap moralitas
tersebut bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Dalam taraf ini ilmu etika dapat saja
mencoba merumuskan suatu teori, konsep, asas, atau prinsip-prinsip tentang perilaku
manusia yang dapat dianggap baik atau tidak baik, mengapa perilaku tersebut dianggap
baik atau tidak baik, mengapa menjadi baik itu sangat bermanfaat, dang sebagainya.
7
nilai sosiologis yang menunjukkan signifikansi kesuksesan dalam kehidupan praktis dan
nilai-nilai yang lain.
3. Sorokin dalam Capra (2002) mengungkapkan tiga sistem nilai dasar yang melandasi semua
manifestasi suatu kebudayaan, yaitu: nilai indriawi,ideasional, dan idealistis. Sistem nilai
indriawi menekankan bahwa nilai-nilai indriawi (materi) merupakan realitas akhir
(ultima), dan bahwa fenomena spiritual hanyalah suatu manifestasi dari materi. Sistem ini
berpandangan bahwa semua nilai etika bersifat ralatif dan bahwa persepsi indriawi
merupakan satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran. Sistem nilai ideasional
berada pada ekstrem lain dimana realitas sejati berada diluar dunia materi (berada dalam
alam spiritual) dan bahwa pengetahuan sejati dapat diperoleh melalui pengalaman batin.
Sistem nilai ideaasional percaya pada nilai-nilai etika absolut dan standar keadilan,
kebenaran, serta keindahan yang supramanusiawi. Gambar tentang dnia ideasional yang
meyakini realitas sejati adalah alam spiritual, yang di barat meliputi pemikiran Plato dan
Yahudi-Kristen (roh dan citra tuhan). Di timur, misalnya kisah Mahabarata (Hindu) dan
Budha (di India), Tao di Cina dan Islam di Negara-negara Arab. Tarik menarik dan saling
memengaruhi antara kedua paham ini menghasilkan suatu tahap sintesis tingkat
menengah, yatu sistem idealistis yang merupakan perpaduan harmonis dan seimbang
antara kedua nilai ekstrem indriawi dan deasional tersebut. Dengan mempelajari sejarah
peradaban umat manusia, Sorokin menyimpulkan bahwa proses peradaban selalu
mengikuti siklus perputaran dari tiga sistem nilai itu. Saat ini, dengan dipelopori budaya
Barat, telah terjadi proses penurunan dan kehancuran tahapan ideasional dan idealistis
menuju kenaikan dan dominasi tahapan indriawi.
4. sebernarnya pembahasan sekitar persoalan tatanan nilai secara lebih konseptual
diungkapkan oleh silsuf cemerlang asal Jerman, Max Scheller dalam bukunya setebal 590
halaman yang berjudul Der Formalisme in der Ethik and die Materiale Wertethik (dalam
suseno, 2006). Esensi dari pendapat Max scheller sekitar persoalan nilai dapat dirangkum
sebagai berikut:
a. Ia membantah anggapan Immanuel Kant bahwa hakikat moralitas terdiri atas
kehendak untuk memenuhi kewajiban. Kewajiban bukanlah unsur primer,
melainkan mengikuti apa yang bernilai. Jadi, bukan asal memenuhi kewajiban,
melainkan realisasi nilai-nilai merupakn inti tindakan moral.
b. Nilai-nilai itu bersifat material (berisi, lawan dari formal) dan apriori.
c. Harus dibedakan dengan tajam anatar nilai-nilai itu sendiri (werte, values) dan apa
yang bernilai/realitas bernilai (gutter, goods). Seperti warna merah yang muncul
8
pada sebuah realitas berwarna; ada dinding merah, baju merah dan sebagainya.
Begitu pula nilai yang muncul pada suatu benda, perbuatan atau orang misalnya:
hutan indah, perbuatan mulia, orang jujur.
d. Cara menangkap nilai bukan dengan pikiran, melainkan dengan suatu perasaan
intensional (tidak dibatasi dengan perasaan fisik atau emosional, melainkan dengan
keterbukaan hati atau budi).
e. Ada empat gugus nilai yang mandiri dan jelas berbeda antara satu dengan lainnya,
yaitu (1) gugus nilai-nilai sekitar yang enak dan yang tidak enak, (2) gugus nilai-
nilai vital sekitar yang luhur dan yang hina, (3) gugus nilai-nilai rohani, dan (4)
gugus nilai-nilai tertinggi sekitar yang kudus dan yang profance yang dihayati
manusia dalam pengalaman religious. Keempat gugus nilai ini membentuk suatu
tatanan atau hierarki; ada yang lebih rendah dan ada yang lebih tinggi. Gugus nilai
enak dan tidak enak yang paling rendah, diikuti gugus nilai vital, selanjutnya gugus
nilai rohani, dan yang paling tinggi gugus nilai-nilai sekitar yang kudus. Hierarki
sekitar gugus nilai ini bersifat apriori, artinya terlepas dari segala pengalaman.
f. Pada gugus ketiga (nilai-nilai rohani) dan gugus keempat (sekitar nilai-nilai yang
kudus), keduanya mempunyai ciri khas yaitu tidak mempunyai acuan apa pun pada
perasaan fisik di sekitar tubuh kita. Ada tiga macam nilai rohani, yaitu: (1) nilai
estetik (2) nilai-nilai yang benar dan yang tidak benar, dan (3) nilai-nilai pengertian
kebenaran murni, yaitu bernilainya pengetahuan karena pengetahuan itu sendiri dan
bukan karena ada manfaatnya.
g. Corak kepribadian, baik orang per orang maupun sebuah komuniitas, akan
ditentukan oleh nilai-nilai mana yang dominan.
Dari penjelasan tentang nilai tersebut, sebenarnya dapat disimpulkan tiga hal, yaitu:
9
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan
yang tertinggi berkat kelebihan akal/pikiran yang diberikan Tuhan kepada manusia. Berkat
pikirannya, manusia mampu memperoleh ilmu (pengetahuan) tentang hakikat keberadaan
(duniawi) melalui proses penalaran serta mampu menyadari adanya kekuatan tak terbatas di
luar dirinya yang menciptakan dan mengatur eksistensi alam raya. Hanya manusia yang mampu
menyadari perlunya mencapai nilai tertinggi atau nilai akhir (hidup kekal di akhirat) yang harus
dicapai disamping adanya nilai-nilai antara, yaitu nilai-nilai yang lebih rendah (kekayaan,
kekuasaan, kenikmatan duniawi).
Semua agama melalui kitab sucinya masing-masing mengajarkan tentang tiga hal
pokok, yaitu: (1) hakikat Tuhan (God, Allah, Gusti Allah, Budha, Brahman, Kekuatan tak
terbatas, dan lain-lain), (2) etik, tata, susila, dan (3) ritual, tata cara beribadat. Jelas sekali bahwa
antara agama dan etika tidak dapat dipisahkan. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan
etika/moralitas. Kualitas keimanan (spiritualitas) seseorang ditentukan bukan saja oleh kualitas
peribadatan (kualitas hubungan manusia dengan Tuhan), tetapi juga boleh oleh kualitas
moral/etika (kualitas hubungan manusia lain dalam masyarakat dan dengan alam). Dapat
dikatakan bahwa nilai ibadah menjadi sia-sia tanpa dilandasi oleh nilai-nilai moral.
Akhirnya, tingkat keyakinan dan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
tingkat/kualitas peribadatan, dan tingkat/kualitas moral seseorang akan menentukan
gugus/hierarki nilai kehidupan yang telah dicapai. Tujuan semua agama adalah untuk
merealisasikan nilai tertinggi, yaitu hidup kekal di akhirat (agama Hindu menyebut Moksa,
agama Budha menyebut Nirwana). Dari sudut pandang Semua agama, penapaian nilai-nilai
kehidupan duniawi (nilai-nilai yang lebih rendah) bukan merupakan tujuan akhir, tetapi hanya
merupakan tujuan sementara atau tujuan antara, dan dianggap hanya sebagai media atau alat
(means) untuk mendukung penapaian tujuan akhir (nilai tertinggi kehidupan).
10
Negara, pemerintah Masyarakat Golongan
masyarakat
B Sifat pengaturan: Sifat pengaturan: Sifat pengaturan :
Tertulis berupa undang- Ada yang lisan (berupa adat lisan
undang, peraturan kebiasaan ) dan ada yang tertulis
pemerintah, dan (berupa kode etik)
sebagainya
C Objek yang diatur: Objek yang diatur : Objek yang diatur:
Bersifat lahiriah Bersifat rohaniah misalnya : Bersifat rahiliyah,
(misalnya hukum perilaku etis (jujur, tidak menipu, misalnya: tata cara
warisan, hukum agraria, bertanggung jawab) dan perilaku berpakaian (untyk
hukum tata negara ) dan tidak etis (korupsi, mencuri, pesta, sekolah,
rohaniyah (misalnya berzina) pertemuan resmi,
hukum pidana ) erkabung, dan lain-
lain ) tata cara
menerima tamu, tata
cara berbicara
dengan orang tua,
dan sebagainya
11
kepribadian. Sisi yang didapat dari faktor keturunan (seperti: bakat, kecerdasan, dan
tempramen) memang sulit untuk diubah. Namun sisi yang dibentuk berdasarkan pendidikan,
pengalaman, dan lingkungannya (disebut karakter) dapat diubah. Cloud (2007) mendefinisikan
karakter sebagai kemampuan untuk memenuhi tuntutan kenyataan. Di sini cloud menegaskan
bahwa karakter seseorang akan sangat menentukan apakah ia akan berhasil dalam menghadapi
tuntutan kenyataan dalam situasi tertentu, sementara tuntutan kenyataan tersebut sangat banyak
dan beragam. Sejalan dengan Cloud, Ezra (2006) bahkan berani mengatakan bahwa karakter
adalah culture untuk sebuah kesuksesan yang langgeng dan tahan uji. Oleh karena itu, Lilik
Agung (2007) mendefinisikan karakter sebagai kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang
yang berkaitan dengan kinerja terbaik agar ia mampu menghadapi tantangan realita/ kenyataan
yang selalu berubah dan mampu meraih kesuksesan yang bersifat langgeng.
Walaupun beberapa definisi tentang karakter sebagaimana telah diuraikan sebelumnya
terlihat berbeda, namun sebenarnya dapat ditarik benang merahnya sebagai berikut:
a. Karakter adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang. Kompetensi ini
mencangkup pengembangan secara seimbang dan utuh ketiga lapisan, yaitu fisik
(body), pikiran (mind), dan jiwa/roh (spiritual).
b. Karakter menentukan keberhasilan seseorang (Sentanu menyebutnya sebagai “nasib”).
c. Karakter dapat diubah, dibentuk, dipelajari, melalui pendidikan dan pelatihan tiada
henti serta melalui pengalaman hidup.
d. Tingkat keberhasilan seseorang ditentukan oleh tingkat kecocokan karakter yang
dimilikinya dengan tuntutan kenyataan/realita.
Sejatinya setiap manusia harus menyadari bahwa kesempatan hidup di dunia ini
hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mencapai tingkat kesadaran Tuhan (kesadaran
transedental/ kesadaran spiritual). Sungguh menarik apa yang dikatakan oleh Chopra (2005)
bahwa karakter/sifat-sifat yang dimiliki oleh mereka yang telah mencapai tingkat kesadaran
Tuhan sebenarnya sama persis dengan karakter/sifat-sifat yang dimiliki oleh sel tubuh manusia.
Adakah dari kita yang menyadari bagaimana sebarnya sifat-sifat sel (tubu)?
Chopra menyebut ada 10 karakter sel (10C) yang seharusnya dapat dijadikan sebagai
karakter umat manusia.
1. Ada maksud yang lebih tinggi. Setiap sel dalam tubuh menyadari bahwa masing-
masing sel bekerja bukan untuk kepentingan sendiri-sendiri, melainkan demi
kesejahteraan tubuh secara keseluruhan. Sikap mementingkan diri sendiri (untuk
kehidupan/kesejahteraan sel itu sendiri) bukanlah pilihan.
12
2. Kesatuan (keutuhan). Semua sel saling berhubungan dan berkomunikasi dengan
segala jenis sel lainnya. Menarik diri atau tidak mau berkomunikasi bukanlah pilihan.
3. Kesadaran.Sel-sel berdaptasi dari saat ke saat. Mereka cerdas dan fleksibel terhadap
situasi yang ada. Terperangkap dalam kebiasaan kaku bukanlah pilihan.
4. Penerimaan. Sel-sel saling mengenal satu dengan yang lain sebagai bagian yang sama
pentingnya. Setiap sel saling memahami adanya salign ketergantungan antara satu
dengan yang lain. Berfungsi sendiri bukanlkah pilihan.
5. Kreatifitas. Walaupun setiap sel mempunyai fungsi unik, mereka mampu
menggabungkan atau menemukan cara-cara baru yang kreatif. Berpegang kepada
perilaku lama bukanlah piliha.
6. Keberadaan. Sel – sel itu patuh kepada siklus universal berupa adanya saat istirahat
dan saat aktif dalam kegiatannya. Semua makhluk memerluka istirahat/tidur. Dalam
keheningan tidur, tubuh berinkubasi. Begutupun sel memerlukan istirahat dalam
keheningan total. Dengan demikian, terlalu aktif atau agresif bukanlah pilihan.
7. Efisiensi. Dalam menjalankan funggsinya, sel – sel mengeluarkan energi sekecil
mungkin. Mereka sepenuhnya percaya bahwa mereka akan dipelihara. Dengan
demikian, menumpuk/menimbun makanan, udara, atau air berlebihan bukkanlah
pilihan.
8. Pembentukan ikatan. Karena kesamaan genetika, sel – sel itu tahu baha mereka itu
pada dasarnya sama. Mereka menyadari saling tergantung dan saling memerlukan satu
dengan lainnya. Bagi mereka menjadi sel buangan bukanlah pilihan.
9. Memberi. Kegiatan sel yang utama adalah memberi dan memelihara integritas sel – sel
lainnya. Hanya menerima bukanlah pilihan.
10. Keabadian. Sel – sel bereproduksi untuk meneruskan pengetahuan, pengalaman, dan
talenta mereka tanpa menahan apapun untuk generasi sel berikutnya. Jurang antar
generasi bukanlah pilihan.
Berdasarkan hal yang disampaikan oleh Wahyuni Nafis (2006), ia menyebutkan tiga jenis
kecerdasan dengan tiga golongan etika, yaitu : (1) psiko etika, (2) sosio etika, (3) tio etika.
13
Tabel 2.3
Etika dan Karakter
3 golongan etika Karakter utama
1. Teo Etika 9. Takwa (pasrah diri)
Saling ketergantungan 8. Ikhlas (tulus)
Masalah aku dengan Tuhan 7. Tawakal (tahan uji)
2. Sosio Etika 6. Silaturahmi (tali kasih)
Ketergantungan 5. Amanah (integrasi)
Masalah aku dengan orang lain 4. Husnuzan (baik sangka)
3. Psiko Etika 3. Tawaduk (berilmu)
Kemandirian 2. Syukur
Masalah aku dengan aku 1. Sabar
14
tidaklah meniadakan kesamaan
identitas mereka)
SQ Maksud yang lebih tinggi (mengabdi Teo Etika
kepada kepentingan tubuh/sesuatu
yang lebih besar, lebih luas, lebih
tinggi, serta tidak mementingkan diri
sendiri)
Kesatuan (semua sel menyadari
kesatuan/kebersamaan mereka)
Kreatifitas (menemukan cara – cara
baru, tidak berpegang pada perilaku
lama)
Keberadaan (semua sel patuh pada
siklus hidup universal)
Akhir-akhir ini sudah makin banyak pakar yang mengungkapkan hal senada dengan
Covey. Sekedar contoh, Cloud (2007) sendiri mengatakan bahwa kunci pembangunan karakter
adalah integritas. Tentu pemahaman atas integritas ini itu tidak sekedar berarti jujur atau punya
15
prinsi moral, tetapi terkandung juga pengertian: utuh dan tidak terbagi, menyatu, berkonstruksi
kukuh, serta mempunyai konsistensi.
Karakter dan Proses Transformasi Kesadaran Spiritual
Merumuskan karakter memang diperlukan, tetapi berhenti pada tahap perumusan saja
belum mencukupi karena dikhawatirkan rumusan karakter tersebut hanya akan menjadi
semacam doktrin atau slogan yang disakralkan saja.
Sebenarnya yang lebih penting adalah langkah konkret berikutnya, yaitu bagaimana
cara melakukan proses transformasi diri untuk mencapai atau bergerak menujuidealisme
karakter tersebut.
Masalahnya, sampai sekarang belum banyak ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mampu mengkaji ranah spiritual melalui pendekatan rasional/ilmiah. Ilmu psikologi mencoba
memasuki ranah kejiwaan, namundalam perkembangannya ilmu ini cenderung membatasi
kajiannya hanya pada lapisan pikiran (mental/emosional) dan tidak ada upaya untuk masuk
lebih dalam ke ranah roh (kesadaran spiritual/transendental). Sementara itu, ajaran agama yang
seharusnya dapat dijadikan panduan dalam pengembangan/oleh batin, dalam perjalanannya
sering kali perjalanannya lebih bersifat indoktrinasi sekedar menjalankan praktik berbagai
ritual, serta kurang mengedepankan pendekatan melalui proses nalar, pengamalan, dan
pengalaman langsung melalui refleksi diri. Akibatnya, ajaran agama yang mulia itu tidak
mampu memberikan pencerahan kepada umatnya. Hal ini mudah dilihat pada kehidupan
sehari-hari saat ini. Walaupun hampir sebagian besar umat manusia di dunia-teristimewa di
Indonesia-mengaku telah menganut salah satu agama tertentu, namun berbagai bentuk
kejahatan, seperti korupsi, kekerasan, konflik antar pemeluk agama berbeda, dan sejenisnya
justru semakin menjadi-jadi.
Meskipun terlambat, akhir-akhir ini sudah mulai banyak pakar dari berbagai latar
keilmuan-bahkan banayak yang bergelar Ph.D. mulai berani dan tertarik untuk menyalami
ranah spiritual ini dari pendekatan yang lebih rasional. Hal yang menarik adalah bahwa apa
yang mereka tulis sebenarnya bukanlah hal yang baru. Mereka hanya menulis ulang dengan
kemasan baru dalam arti ulasannya dengan pendekatan yang lebih rasional dari berbagai
buku/literatur kuno yang telah ada sejak jaman dahulu yang ditulis oleh para nabi, praktisi
keagamaan, dan praktisi spiritual di negara-negara Timur, seperti India, Cina, dan negara-
negara Arab.dengan cara ini justru masyarakat barat semakin banyak yang mulai berminat
untuk menyelamidan menjalani praktik-praktik spiritual.
Pikiran, Meditasi, dan Gelombang Otak
16
Olah pikir (brainware management) adalah suatu konsep dan ketrampilan untuk
mengatur gelombang otak manusia yang paling sesuai dengan aktifitasnya sehingga bisa
mencapai hasil optimal (Sentanu, 2007). Otak akan memancarkan gelombang sesuai dengan
tingkat keadaan pikiran/kejiwaan seseorang. Saat ini gelombang otak telah dapat diukur dengan
menggunakan Elektroensefalogram (EEG). Dilihat dari frekuensi gelombang otak ini,
setidaknya gelombang otak dapat digolongkan ke dalam empat golongan sebagaimana terlihat
pada Tabel 2.5 berikut ini.
Tabel 2.5
Empat Kategori Gelombang Otak
Nama Ciri – ciri
Beta (14 – 100 Hz) Kognitif, analisis, logika, otak kiri, konsentrasi, prasangka, pikiran sadar,
aktif, cemas, was-was, khawatir, stres, fight or flight, disease, cortisol,
norepinephrine
Alpha (8 – 13,9 Hz) Khusyuk, relaksasi, mediatif, focus-alertness, superlearning, akses nurani
bawah sadar, ikhlas, nyaman, tenang, santai, istirahat, puas, segar,
bahagia, endorphine, serotonim
Theta (4 – 7,9 Hz) Sangat khusyuk, deep-meditation, problem solving, mimpi, intuisi, nurani
bawah sadar, ikhlas, kreatif, integratif, hening, imajinatiif, catecholami,
AVP
Delta (0,1 – 3,9 Hz) Tidur lelap, non physical state, nurani bawah sadar kolektif, tidak ada
pikiran dan perasaan, cellular regeneration, HGH
sumber : Setanu. Quantum Ikhlas: Teknologi Aktivasi Kekuatan Hati. hlm. 71.2007
Ketika pikiran berada dalam keadaan sadar (aktif), berarti pikiran sedangberada dalam
gelomabang beta. Dalam gelombang ini, pikiran sangat aktif sehingga akan memaksa otak
untuk engeluarkan hormon kortisol dan norepinephrin yang menyebabkan timbulnya rasa
cemas, khawatir, gelisah, dan sejenisnya. Oleh karena itu, pikiran harrus selalu dilatih untuk
memasuki gelombang Alpha untuk mrmbangun karakter positif, seperti: tenang, sabar,
nyaman, ikhlas, bahagia, dan sejenisnya.
Kunci untuk membangun karakter adalah melatih pikiran untuk memasuki gelombang
alpha. Latihan meditasi, yoga, zikir, retret, dan sejenisnya sangat efektif untuk memasuki
gelombang alpha ini. Sudah banyak penelitian ilmiah yang telah berhasil membuktikn bahwa
praktik meditasi dan sejenisnya mampu membantu melakukan transformasi dari menuju ke
17
arah pengembangan karakter- karakter positif secara efektif. Meditasi (termasuk zikir dan
sejenisnya) sebenarnya adalah upaya untuk mendiamkan suara percakapan dalam pikiran dan
menemukan ruang yang tenang (Rodenbeck, 2007). Dengan ketenangan, pikiran akan
memasuki gelombang alpha.
Model Pembangunan Manusia Utuh
Berdasarkan berbagai konsep/pikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dibuat
dua model tentang hakikat keberadaan manusia. Gambar 2.1 menjelaskan suatu model hakikat
manusia yang dilandasi paradigma tidak utuh (paradigma materialisme) sehingga
menimbulkan berbagai permasalahan yang memunculkan ketidakbahagiaan. Pada model ini,
tujuan manusia hanya mengejar kekayaan, kesenangan, dan kekuasaan duniawi. Kecerdasan
yang dikembangkan hanya IQ dan kesehatan fisik, sehingga praktis kurang atau bahkan lupa
mengembangkan EQ dan SQ. Gambar 2.2 merupakan model yang dikembangkan untu kembali
pada paradigma tentang hakikat manusia seutuhnya. Karakter positif (karakter bersifat sel)
hanya dapa dikembangkan melalui pengembangan hakikat manusia secara utuh. Dalam
pengembangan manusia utuh, perlu juga dikembangkan seimbang kecerdasan emosional dan
spiritual disamping kecerdasan intelektual dan kesehatan fisik. Meditasi, zikir, retret, dan
sejenisnya sangat efektif untuk melengkapi agama guna mengembangkan kecerdasan
emosional dan spiritual. Bila keseimbangan ini dapat dicapai, maka manusia akan mempunyai
karakter postif. Tujuan hidup untuk mencapai kebahagiaan dapat mewujudkan hanya bila
karakter positif ini dapat dikembangkan.
Gambar 2.1
Model Hakikat Manusia Tidak Utuh
(Paradigma Materialisme)
18 / TIDAK
KAYA
BAHAGIA
KARAKTER
NEGATIF
MAKANAN PQ SEHAT
ENAK (FISIK)
OLAHRAGA
SQ RENDAH TIDAK
PERCAYA
TUHAN
Pola hidup masyarakat modern dewasa ini di landasi oleh paradigma hakikat manusia
yang tidak utuh. Manusia lebih berorientasi mengejar kekayaan materi, kesenangan indrawi,
dan kekuasaan sehingga kurang sekali atau bahkan lupa untuk mengembngkan kecerdasan
emosional dan kecerdasan spritual. Dengan kata lain, manusia dalam kehidupan mereka sehari
– hari telah bertindak secara tidak etis. Sikap dan perilaku tidak etis ini menyebabkan
terbentuknya karakter negatif umat manusia. Sebagai konsekuensinya, walaupun dengan
kemajuan iptek manusia telah berhasil meningkatkan produksi baran dan jasa, namun berbagai
persoalan muncul sebagai akibat dari tindakan tidak etis atau kealpaan pengembangan EQ dan
SQ tersebut, antara lain: meuasnya korupsi dan kejahatan, melebarnya kesenjangan orang kaya
dan orang miskin, meningkatnya berbagai konflik, kegeisahan, ketakutan, kemarahan, depresi,
anarkisme, dan sebagainya.
Gambar 2.2
Model Hakikat Manusia Utuh
(Paradigma Manusia Utuh)
KARAKTER
KEBAHAGIAA
19 POSITIF (SIFAT
N
SEL)
MAKANAN PQ SEHAT
ENAK FISIK
OLAHRAGGA
PSIKO ETIKA,
IPTEK IQ TINGGI Berilmu,
sabar, Syukur
Untuk mengatasi hal ini, perlu dikembangkan paradigma hakikat manusia seutuhnya
dengan mengembangkan sikap dan perilaku hidup etis dalam arti luas, yaitu dengan
memadukan dan menyeimbangkan kualitas kesehatan fisik, pengetahuan intelektual (psiko
etika), kematangan emosional dan spritual. Meditasi/zikir melatih pikiran memasuki glombang
alpha. Transformasi karakter akan terjadi bila pikiran memasuki gelombang yang sama dengan
energi tak terbatas. Pelatihan dan praktik meditasi,zikir,dan retret akan mengembangkan
lapisan emosional dan spiritual serta melengkapi pengembangan intelektual melalui iptek dan
kesehatan fisik yang diperoleh melalui olahraga dan makanan sehat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
20
Filsafat adalah hasil pemikiran manusia yang menempati posisi sebagai induk
pengetahuan. Filsafat juga diartikan mencari sebuah kebenaran, karakteristik utama berfikir
filsafat adalah sifatnya yang menyeluruh, sangat mendasar, dan spekulatif. Sifatnya
menyeluruh artinya mempertanyakan hakikat keberadaan, dan kebenaran tentang keberadaan
itu sendiri sebagai satu kesatuan secara keseluruhan,bukan persektif dari bidang perbidang atau
sepotong-sepotong.
Sifatnya yang mendasar berarti bahwa filsafat tidak begitu saja percaya bahwa ilmu itu
benar. Sifatnya yang spekulatif karena filsafat terlalu ingin mencari jawab bukan saja pada
suatu hal yang diketahui, tetapi segala sesuatu belum diketahui.
Agama adalah suatu bentuk ketetapan ilahi yang mengarahkan mereka yang berakal
dengan pilihan mereka sendiri terhadap ketetapan ilahi itu tersebut, kepada kebaikan hidup
didunia dan kebahagiaan hidup di akhirat.
Etika sama dengan moral. Moral berasal dari kata latin : mos (bentuk tunggal), atau
mores ( bentuk jamak) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, ahlak, cara
hidup. Hukum, etika dan Etiket merupakan istilah yang sangat berdekatan dan mempunyai arti
yang hampir sama walaupun terdapat juga pebedaan.
21