2. Rentang Respon
3. Etiologi
Faktor penyebab halusinasi (Yosep, 2009) yaitu:
1) Predisposisi
a) Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentan terhadap stres.
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted
child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada
lingkungannya.
c) Faktor biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusiogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan
acetylcholin dan dopamin.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak tanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien
dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya. Klien lebih
memilih kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orangtua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa
faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada
penyakit ini.
2) Faktor Presipitasi
a) Perilaku
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah, dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan
nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 dalam Iyus Yoseph
(2009) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-
unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima
simensi yaitu :
(1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang
lama.
(2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat
berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi
menentang perintah tersebut hinnga dengan kondisi tersebut klien berbuat
sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
(3)Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan
halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, namu merupakan suatu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang
akan mengontrol semua prilaku klien.
(4)Dimensi Sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata
sangat membahayakan. Klien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi
dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung
untuk itu. Oleh karna itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi
keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi
dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
(5)Dimensi Spiritual
Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,
rutinitas tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya
secara spiritual untuk mengucilkan dirinya. Irama sirkardiannya terganggu,
karena ia sering tidur larut malam dan bangun saat siang. Saat terbangun
terasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memakai takdir
tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, menyalahkan lingkungan dan
orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
c. Halusinasi Penghidungan
Data Objektif : menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup
hidung.
Data Subjektif : membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses, kadang-
kadang bau itu menyenangkan.
d. Halusinasi Pengecapan
Data Objektif : Sering meludah, muntah.
Data Subjektif : merasakan rasa seperti darah, urine atau feses.
e. Halusinasi Perabaan
Data Objektif :Menggaruk- garuk permukaan kulit.
Data Subjektif : menyatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa tersengat
listrik.
5. Jenis-jenis
Menurut Kusumawati & Hartono (2011) membagi halusinasi menjadi 10
jenis, antara lain sebagai berikut :
a. Halusinasi Pendengaran (auditory-hearing voices or sounds)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditunjukkan pada penderita
sehingga tidak jarang penderita bertengkar dan berdebat dengan suara-suara
tersebut. Suara tersebut dapat dirasakan berasal dari jauh atau dekat bahkan
mungkin datang dari tiap bagian tubuhnya sendiri. Suara bisa menyenangkan,
menyuruh berbuat baik, tetapi dapat pula berupa ancaman, mengejek, memaki
atau bahkan yang menakutkan dan kadang-kadang mendesak atau memerintah
untuk berbuat sesuatu seperti membunuh atau merusak.
b. Halusinasi Penglihatan (visual-seeing persons or thinks)
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya
sering muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.
c. Halusinasi Penciuman (olfaktory-smelling odors)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
d. Halusinasi Pengecapan (gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman
penderita merasa mengecap sesuatu. Halusinasi gastorik lebih jarang dari
halusinasi gustatorik.
e. Halusinasi Raba (taktile-feeling bodily sensation)
Merasa diraba , disentuh, ditiup atau seperti ada ulat, yang bergerak di bawah
kulit. Terutama pada keadaan delirium toksis dan skizofrenia.
f. Halusinasi kinestetik
Merasa badannya bergerak dalam sebuah ruangan, atau anggota badannya
bergerak (umpamanya anggota badan bayangan atau “phantomlimb”).
g. Halusinasi visceral
Perasaan tertentu timbul di dalam tubuhnya.
h. Halusinasi hipnagogik :
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum tertidur persepsi
sensorik berkerja salah.
i. Halusinasi hipnopompik
Terdapat ada kalanya pada seorang yang normal, tepat sebelum terbangun sama
sekali dari tidurnya. Disamping itu ada pula pengalaman halusinatorik dalam
impian yang normal.
j. Halusinasi histerik
Timbul pada nerosa histerik karena konflik emosional.
6. Fase-fase halusinasi
Halusinasi berkembang menjadi empat fase, yaitu sebagai berikut (Yoseph, 2011) :
a. Fase pertama : Sleep Disorder
Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi . pada fase ini klien merasa
banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut diketahui orang lain
bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin terasa sulit karena berbagai
stressor terakumulasi, misalnya kekasih hamil, terlibat narkoba, dihianati
kekasih, masalah di kampus, PHK di tempat kerja penyakit, utang, nilai di
kampus, drop out dan sebagainya. Masalah terasa menekan karena terakumulasi
sedangkan support system kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Sulit tidur berlangsung terus menerus sehingga terbiasa menghayal. Klien
menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan masalah.
b. Fase kedua : Comforting
Disebut juga fase comporting yaitu fase yang menyenangkan. Pada tahap ini
masuk dalam golongan nonpsikotik. Pasien mengalami emosi yang berlanjut
seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan
mencoba memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan
bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia control bila kecemasannya
diatur, dalam tahp ini ada kecenderungan klien merasa nyaman dengan
halusinasinya.
c. Fase ketiga : Condemning
Disebut denga fase condemming atau anisietas berat yaitu halusinasi
menjadi menjijikan, termasuk dalam psikotik ringan. Pengalaman sensori klien
menjadi sering datang dan mengalami bias. Klien mulai tidak mampu lagi
mengontrolnya dan mulai berupaya menjaga jarak antara dirinya dengan objek
yang dipersepsikan klien mulai menarik diri dari orang lain dengan intensitas
waktu yang lama.
d. Fase keempat : Controlling
Adalah fase controling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi
berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Klien mencoba melawan suara-
suara atau sensory abnormal yang datang. Klien dapat merasakan kesepian bila
halusinasinya berakhir. Dari sinilah dimulai fase gangguan Psychotic.
e. Fase kelima : Conquering
Adalah fase conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya.
Termasuk dalam psikotik berat. Pengalaman sensorinya terganggu, klien mulai
merasa terancam dengan datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat
menuruti ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi
dapat berlangsung selama minimal 4 jam atau seharian bila klien tidak
mendapatkan komunikasi terapeutik.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada halusinasi di bagi menjadi dua yaitu penatalaksanaan
medis dan penatalaksanaan keperawatan, yaitu :
a. Penatalaksanaan Medis
1) Psikofarmakoterapi
Gejala halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/ skizofrenia biasanya
diatasi dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain :
a) Golongan butirefenon : Haldol, Serenace, Ludomer. Pada kondisi akut
biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3x5 mg, im. Pemberian injeksi
biasanya cukup 3x24 jam. Setelahnya klien bisa diberikan obat per oral
3x1,5 mg atau 3x5 mg.
b) Golongan Fenotiazine :Chlorpramizine/ Largactile/ Promactile. Biasanya
diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3x 100mg. Apabila
kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1x100 mg pada malam hari saja
(Yosep, 2011).
2) Psikoterapi
Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode
yang dipasang pada satu atau dua temples, terapi kejang listrik dapat diberikan
pada skizoprenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
3) Rehabilitasi
Terapi kerja baik untuk mendorong penderita bergaul lagi dengan orang
lain, penderita lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya ia tidak
mengasingkan diri lagi karena bila menarik diri dia dapat membentuk
kebiasaan yang kurang baik. Dianjurkan penderita untuk mengadakan
permainan atau pelatihan bersama (Maramis, 2005).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Terapi Aktivitas Kelompok yang diberikan pada pasien dengan Halusinasi
yaitu ( Keliat, 2010):
1) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/Persepsi
Klien dilatih mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang
pernah dialami. Kemampuan persepsi klien dievaluasi dan ditingkatkan pada
tiap sessi. Dengan proses ini, diharapkan respon klien terhadap berbagai
stimulus dalam kehidupan menjadi adatif. Aktivitas berupa stimulus dan
persepsi. Stimulus yang disediakan : baca artikel/majalah/buku/puisi,
menonton acara TV (ini merupakan stimulus yang disediakan), stimulus dari
pengalaman masa lalu yang menghasilkan proses persepsi klien yang
maladaptive atau distruktif, misalnya kemarahan, kebencian, putus hubungan,
pandangan negative pada orang lain dan halusinasi. Kemudian dilatih persepsi
klien terhadap stimulus.
2) Terapi Aktivitas Kelompok Stimulus Sensori
Aktivitas digunakan sebagai stimulus pada sensori klien. Kemudian
diobservasi reaksi sensori klien terhadap stimulus yang disediakan, berupa
ekspresi perasaan secara nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh). Biasanya
klien yang tidak mau mengungkapkan komunikasi verbal akan testimulasi
emosi dan perasaannya, serta menampilkan respons. Aktivitas yang digunakan
sebagai stimulus adalah : musik, seni menyanyi, menari. Jika hobby klien
diketahui sebelumnya, dapat dipakai sebagai stimulus, misalnya lagu kesukaan
klien, dapat digunakan sebagai stimulus.
2. Pohon Masalah
Pohon masalah adalah tehnik atau diagram untuk mengidentifikasi masalah
(Fitria, 2011).
Risiko tinggi
Akibat perilaku kekerasan
Masalah
Perubahan persepsi Defisit Perawatan
sensori : halusinasi Diri
Utama
Kerusakan interaksi
Penyebab sosial
Keterangan :
3. Diagnosa Keperawatan
Prioritas Diagnosa:
a. Resiko tinggi melakukan kekerasan.
b. Perubahan persepsi sensori : halusinasi.
c. Kerusakan interaksi sosial.
d. Harga diri rendah kronis
e. Defisit perawatan diri
4. Rencana Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Damaiyanti, M. Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama
Direja, A. Herman., 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta : Salemba
Medika.
Kusumawati Farida & Hartono Yudi. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Selemba
Medika
Maramis F. Willy., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Surabaya : Airlangga University
Press. .
Suliswati, dkk. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Tim Pengembangan MPKP RSJ Provinsi Bali. 2009. Pedoman Manajemen Asuhan
Keperawatan (7 Masalah Utama Keperawatan Jiwa). Bangli.
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans Info
Medika.