NIM : 1808611049
Kelas : B
1. Pendahuluan
Keadaan emergensi adalah kondisi yang dapat mengancam kelangsungan
hidup, sehingga respon yang cepat dan tepat termasuk tersedianya alat dan obat
yang dibutuhkan dalam tindakan emergensi memerlukan perhatian khusus (Sari,
2012). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72
Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit disebutkan
bahwa setiap Rumah Sakit harus dapat meneyediakan lokasi penyimpanan obat
emergensi untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah
diakses dan terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian. Dalam pengelolaan obat
emergensi harus diperhatikan jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat
emergensi yang telah ditetapkan, tidak boleh bercampur dengan persediaan obat
untuk kebutuhan lain, bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti,
dilakukan pengecekan secara berkala terkait waktu kadaluwarsa obat, dan dilarang
dipinjam untuk kebutuhan lain (Menkes RI, 2016).
Idealnya troli emergensi di Rumah Sakit tidak hanya ditempatkan di unit
gawat darurat (UGD) saja tetapi juga di ruang rawat inap. Kondisi pasien di ruang
rawat dapat berubah tidak menentu, missal pasien tiba-tiba mengalami henti nafas
atau henti jantung yang merupakan kondisi emergensi. Hal tersebut akan
memudahkan dokter dan perawat dalam melakukan tindakan medis secara tepat
dengan adanya obat dan alat kesehatan pada troli emergensi (Bussieres et al., 2009).
Pengelolaan perbekalan farmasi di troli emergensi menjadi tanggung jawab dan
peran Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk menjamin ketersediaan perbekalan
farmasi yang dibutuhkan untuk tindakan emergensi (Sari, 2012).
Perbekalan farmasi yang berada di troli emergensi adalah barang-barang yang
siap pakai. Jenis obat, jumlah, dan kekuatan/konsentrasi obat di troli emergensi
harus distandarisasi di Rumah Sakit berdasarkan persetujuan komite medis. Kontrol
penyediaan dan pengawasan perbekalan farmasi emergensi harus dilakukan oleh
farmasi. Untuk menjamin keselamatan pasien maka obat harus diberi label nama,
kekuatan, dan jumlah (Kienle, 2006). Selain memperhatikan label identifikasi,
penataan obat juga harus memperhatikan penataan obat high alert untuk
mengurangi kesalahan pengobatan (medication error) (Hartman, 2009). Obat yang
dikategorikan sebagai high alert adalah obat-obat yang memiliki resiko besar untuk
membahayakan keselamatan pasien dalam penggunaannya terutama jika digunakan
dengan tidak tepat. Obat-obat yang umumnya termasuk high alert sebagai berikut
(American Hospital Association, 2002):
a. Agen adrenergik j. Garam fosfat
b. Kalsium rute intravena k. Agen inhibitor neuromuskular
c. Digoksin intravena l. Benzodiazepin
d. Insulin m. Saline hipertonis
e. Lidokain intravena n. KCl
f. Agen kemoterapi o. Narkotik dan opiat
g. Heparin, trombolitik, p. Obat-obat yang
inhibitor trombin intravena digunakan untuk sedasi
h. Warfarin pediatri
i. Magnesium intravena
Troli emergensi dicek secara rutin oleh dokter atau perawat dan farmasis
(Apoteker). Farmasis mempunyai tanggung jawab melakukan pengecekan terhadap
kesesuaian isi troli, ketepatan penyimpanan, tanggal kadaluarsa dan pengisian
kembali atau penggantian barang. Pengecekan tersebut didokumentasikan pada
lembar checklist troli emergensi. Sistem pengawasan yang efektif dan efisien dapat
dilakukan dengan pengawasan rutin tiap pergantian shift kerja (Sari, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
Hartman, C. 2009. Medication Safety and Quality. Pharmacy Practice News. 10-
11.
Kienle, C.P. 2006. JCAHO Med Management, Meeting The Standards for
Emergency Medications and Labeling. Hospital Pharmacy. 41 (9):888-892.
Sari, K.C.D.P. 2012. Laporan Kerja Praktek Profesi Apoteker Di Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo. Depok: Program
Profesi Apoteker FMIPA Universitas Indonesia.
LAMPIRAN