Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FARMAKOLOGI 1

“HIPOTENSI”

Disusun oleh:

Andi Aulia Fajerin 1443050007

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

JAKARTA

2014/2015
BAB I

PENDAHULUAN

Kebanyakan orang Indonesia tidak memperdulikan tentang masalah kesehatan


dalam hal kecil. Menurut kebanyakan orang penyakit dalam hal kecil seperti demam, flu,
tekanan darah rendah dan lain-lain sering dianggap ringan, karena penyakit ini bisa sembuh
sendiri dengan cepat. Pengertian Tekanan darah rendah atau Hipotensi adalah keadaan ketika
tekanan darah di dalam arteri lebih rendah dibandingkan normal dan biasa. Hipotensi terjadi
pada saat berdiri, dan pada saat setelah makan. Hipotensi terjadi pada saat tekanan darah
90/60 mmHg. Menurut Stedman’s Medical Dictionary for the Health Professions and
Nursing, tekanan darah adalah tekanan pada darah dalam arteri sistemik, yang dipengaruhi
oleh kontraksi pada vertikel kiri, resistensi pd arteriol dan kapilari, elastisitas dinding arteri,
viskositas serta volume darah.
Tekanan darah adalah ukuran dari tekanan sistolik yang berpengaruh pada darah
karena kontraksi otot jantung dan kekuatan atau tekanan diastolik pada dinding pembuluh
darah yang lebih kecil yang mengalirkan darah dan yang mempercepatkan jalan darah pada
waktu jantung mengendur antar denyut (Tom Smith, 1991).
Tekanan darah adalah kekuatan darah mengalir di dinding pembuluh darah yang
keluar dari jantung (pembuluh dara) dan kembali ke jantung (pembuluh balik) (Lanny
Sustrani, 2004:13).
Tekanan darah dikatakan normal apabila tekanan sistoliknya 120- 140 mmHg
manakala tekanan diastoliknya 80- 90 mmHg (WHO). Menurut National Heart, Lung and
blood Institute (NHLBI) dari National Institute of Health (NH), mendefinisikan tekanan
darah normal adalah tekanan sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan diastolik kurang
dari 80 mmHg. Bayi dan anak- anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih
rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Tekanan darah terjadi pada saat darah mengalir
melalui arteri, darah memberikan tekanan pada dinding arteri, tekanan itulah yang dinilai
sebagai ukuran kekuatan aliran darah. Gejala- gejalan ketika mengalami tekanan darah
rendah atau hipotensi, seperti jantung berderbar dengan kencang atau tidak teratur, pusing,
mual, lemas, pingsan, kehilangan keseimbangan atau merasa buram, dan pandangan buram.
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Hipotensi
Menurut Stedman’s Medical Dictionary for the Health Professions and
Nursing, tekanan darah adalah tekanan pada darah dalam arteri sistemik, yang
dipengaruhi oleh kontraksi pada vertikel kiri, resistensi pd arteriol dan kapilari,
elastisitas dinding arteri, viskositas serta volume darah.
Tekanan darah adalah ukuran dari tekanan sistolik yang berpengaruh
pada darah karena kontraksi otot jantung dan kekuatan atau tekanan diastolik pada
dinding pembuluh darah yang lebih kecil yang mengalirkan darah dan yang
mempercepatkan jalan darah pada waktu jantung mengendur antar denyut (Tom
Smith, 1991).
Tekanan darah adalah kekuatan darah mengalir di dinding pembuluh
darah yang keluar dari jantung (pembuluh dara) dan kembali ke jantung (pembuluh
balik) (Lanny Sustrani, 2004:13).
Jenis- jenis hipotensi ada 2, yaitu:
A. Terapi Hipotensi Akut

Hipotensi akut dapat terjadi pada berbagai keadaan misalnya


perdarahan berat, penurunan volume darah, aritmia jantung, penyakit
neurologik atau kecelakaan, reaksi akibat efek samping obat atau kelebihan
obat misalnya obat antihipertensi, dan infeksi. Jika perfusi otak, ginjal, dan
jantung dipertahankan, hipotensi itu sendiri biasanya tidak memerlukan terapi
langsung yang intensif. Menempatkan pasien dalam posisi terbaring dan
memastikan volume cairan yang adekuat sementara masalah utama
ditentukan dan diatasi biasanya sudah merupakan tindakan yang tepat.
Pemakaian obat simpatomimetik untuk meningkatkan tekanan darah yang
bukan merupakan ancaman segera bagi pasien, dapat meningkatkan
morbiditas. Obat simpatomimetik dapat digunakan pada kedaruratan
hipotensif untuk mempertahankan aliran darah otak dan koronaria. Terapi
biasanya singkat, sementara cairan intravena atau darah sedang diberikan.
Agonis α kerja-langsung misalnya norepinefrin, fenilefrin, dan metoksamin
pernah digunakan dalam situasi ini ketika efek vasokontriksi diinginkan.

B. Hipotensi Ortostatik Kronik

Ketika berdiri, gaya tarik bumi menyebabkan terkumpulnya darah di


vena sehingga aliran balik vena berkurang. Dalam keadaan normal,
penurunan tekanan darah dicegah oleh pengaktifan refleks simpatis disertai
peningkatan denyut jantung serta vasokontriksi arteri dan vena perifer.
Gangguan refleks autonom yang mengatur tekanan darah dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik kronik. Hal ini lebih sering disebabkan oleh
obat yang dapat mengganggu fungsi autonom (misal., imipramin dan obat
antidepresan trisiklik lainnya, penghambat α untuk mengobati retensi urin, dan
diuretika), diabetes, dan penyakit lain yang menyebabkan neuropati autonom
perifer, dan, yang lebih jarang, gangguan degeneratif primer sistem saraf
autonom.
Meningkatkan resistensi perifer adalah salah satu strategi untuk
mengobati hipotensi ortostatistik kronik, dan obat- obat yang mengaktifkan
reseptor α dapat digunakan untuk tujuan ini. Midodrin suatu agonis α 1 yang
aktif jika diberikan per oral, sering digunakan untuk indikasi ini.
Simpatomimetik lain, misalnya efedrin atau fenilefrin oral, dapat dicoba.

Penjelasan tentang Hipotensi


Hipotensi atau Tekanan darah rendah trjadi ketika terdapat
ketidakseimbangan antara kapasitas vascular dan volume darah (pada hakikatnya,
darah terlalu sedikit untuk mengisi pembuluh) atau ketika jantung terlalu lemah untuk
mendorong darah.
Situasi tersering ketika hipotensi terjadi sesaat adalah hipotensi ortostatik.
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi karena insufisiensi respons kompensatorik
terhadap perubahan darah akibat gravitasi saat seseorang berpindah dari posisi
horizontal ke posisi vertikal. Ketika seseorang berubah dari berbaring menjadi
berdiri, penumpukan darah di vena- vena tungkai akibat gravitasi menurunkan aliran
balik vena, mengurangi isi sekuncup dan karenanya menurunkan curah jantung dan
tekanan darah. Penurunan tekanan darah ini normalnya dideteksi oleh baroreseptor,
yang memicu respons kompensatorik segera untuk memulihkan tekanan darah ke
tingkat yang sesuai. Pada beberapa orang reflex adaptasi untuk berdiri ini
mengalami gangguan, seperti pada individu yang meminum obat antihipertensi yang
memengaruhi refleks atau pada pasien yang telah lama berbaring bangkit sehingga
refleksnya berkurang karena tidak digunakan. Ketika individu dengan gangguan
adaptasi refleks berdiri pertama kali, control simpatis atas vena- vena tungkai kurang
memadai sehingga darah mengumpul di ekstremitas bawah tanpa adanya respons
kompensatorik yang mencukupi untuk melawan penurunan tekanan darah yang
diinduksi oleh gravitasi. Hipotensi ortostatik yang terjadi dan berkurangnya aliran
darah ke otak menyebabkan pasien pusing atau bahkan pingsan.

Efek Obat simpatomimeti pada sistem organ


A. Efek pada Pengaktifan Reseptor Alfa1
Reseptor alfa1 tersebar luas di jaringan pembuluh darah, dan
pengaktifan reseptor ini menyebabkan vasokonstriksi arteri dan vena. Efek
langsung reseptor ini pada fungsi jantung relatif kurang penting. Antagonis α
yang relatif murni misalnya fenilefrin meningkatkan resistensi arteri perifer dan
menurunkan kapasitansi vena. Meningkatnya resistensi arteri biasanya
menyebabkan peningkatan tekanan darah bergantung pada dosis obat. Jika
refleks kardiovaskular normal, peningkatan tonus vagus yang diperantai oleh
baroreseptor, sehingga kecepatan jantung melambat, yang dapat cukup
mencolok.

B. Efek Pengaktifan Reseptor Alfa2


Adrenoseptor alfa2 terdapat di pembuluh darah, dan pengaktifan
reseptor ini menyebabkan vasokonstriksi. Namun efek ini diamati hanya
ketika agonis α2 diberikan secara local, dengan penyuntikan intravena cepat
atau dalam dosis oral yang sangat tinggi. Jika diberikan secara sistemik, efek
vascular ini tersamar oleh efek sentral reseptor α2 yang menyebabkan inhibisi
terhadap tonus simpatis dan tekanan darah.

C. Efek Pengaktifan Reseptor Beta


Respons tekanan darah terhadap agonis β-adrenoseptor bergantung
pada efek berlawannya di jantung dan pembuluh darah. Stimulasi reseptor β
di jantung meningkatkan curah jantung dengan meningkatkan kontraktilitas
dan melalui pengaktifan langsung nodus sinus untuk meningkatkan denyut
jantung. Agonis beta juga menurunkan resistensi perifer dengan mengaktifkan
reseptor β2, menyebabkan vasodilatasi di jaringan vascular tertentu.

D. Efek Pengaktifan Reseptor Dopamin


Pemberian dopamine mendorong melalui jalur intravena vasodilatasi
pembuluh ginjal, splanknik, koronaria, otak, dan mungkin pembuluh resistensi
lain, melalui pengaktifan reseptor D1. Pengaktifan reseptor D1 di pembuluh
ginjal juga dapat memicu natriuresis. Efek dopamine pada ginjal telah
digunakan secara klinis untuk memperbaiki perfusi ke ginjal dalam situasi-
situasi oliguria (pengeluaran urin yang rendah abnormal). Pengaktifan
reseptor D2 prasinaps menekan pengeluaran norepinefrin, tetapi masih belum
jelas apakah hal ini berperan dalam efek dopamine. Pada kardiovaskular.
Selain itu, dopamine mengaktifkan reseptor β1 di jantung. Pada dosis rendah,
resistensi perifer mungkin berkurang. Pada kecepatan infuse yang lebih
tinggi, dopamin mengaktifkan reseptor α vascular, menyebabkan
vasokonstriksi, termasuk di jaringan pembuluh darah ginjal. Karena itu, infuse
dopamine kecepatan tinggi dapat meniru efek epinefrin.

Efek Non-jantung Simpatomimetika


- Di mata, otot dilator pupil radialis pada iris mengandung reseptor α;
pengaktifan oleh obat misalnya fenilefrin menyebabkan midriasis. Stimulan
alfa juga memiliki efek penting pada tekanan intaokular. Agonis alfa
menigkatkan aliran keluar aqueous humor dari mata dan dapat dimanfaatkan
secara klinis untuk menurangi tekanan intraokuler. Sebaliknya, agonis β
memiliki efek yang kecil, tetapi antagonis β mengurangi produksi aqueous
humor. Efek- efek ini penting dalam penatalaksanaan glaucoma, penyebab
utama kebutaan.
- Pada organ- organ genitourinaria, dasar kandung kemih, sfingter uretra, dan
prostat mengandung reseptor α yang memperantai kontraksi dan karenanya
mendorong pengendalian pengeluaran urin. Subtipe spesifik reseptor α 1 yang
terlibat dalam mediasi konstriksi dasar kandung kemih dan prostat masih
belum jelas, tetapi reseptor α1A mungkn berperan penting. Efek ini
menjelaskan mengapa retensi urin menjadi efek samping pemberian agonis
α1 midodrin.
- Pengaktifan reseptor alfa di duktus deferens, vesikula seminalis, dan prostat
berperan dalam ejakulasi normal. Melemasnya jaringan erektil yang terjadi
setelah ejakulasi juga ditimbulkan oleh norepinefrin (dan mungkin
neuropeptida Y) yang dikeluarkan oleh saraf- saraf simpatis. Pada jaringan
erektil hewan betina, pengakifan alfa tampaknya memiliki efek melemaskan
yang sama.
- Kelenjar ludah mengandung adrenoseptor yang mengatur sekresi amylase
dan air. Namun, obat simpatomimetik tertentu, mis. Klonidin, menimbulkan
gejala mulut kering. Mekanisme efek ini belum jelas; ada kemungkinan bahwa
efek pada susunan saraf pusat bertanggung jawab, meskipun efek di saraf
perifer juga mungkin berperan.
- Kelenjar keringat apokrin, yang terletak di telapak tangan dan beberapa
bagian tubuh lainnya, berespons terhadap rengsangan adrenoseptor dengna
meningkatkan produksi keringat. Ini adalah kelenjar non-termoregulasi
apokrin yang biasanya terkait dengan stress psikologis. (Kelenjar keringat
ekrin termoregulatorik yang tersebar luas diatur oleh saraf pascaganglion
kolinergik simpatis yang mengaktifkan kolinoseptor muskarinik).

Obat Simpatomimetik Agonis α1


- Midodrin
Mekanisme Kerja:
Mengaktifkan fosfolipase C, menyebabkan peningkatan kalsium intrasel dan
vasokonstriksi.
Efek :
Kontraksi otot polos vascular meningkatkan tekanan darah (TD).
Penggunaan Klinis: Hipotensi ortostatik
Farmakokinetika, toksisitas, interaksi:
Oral. Produg diubah menjadi obat aktif dengan efek puncak 1 jam. Toksisitas:
hipertensi saat terlentang, piloereksi (merinding), dan retensi urin.

Diagnosis
Cara untuk mendiagnosis tekanan darah rendah atau hipotensi:
Mengukur tekanan darah merupakan cara yang tepat dan mudah untuk
mendiagnosis hipotensi. Berikut ini adalah beberapa hal yang harus dilakukan
sebelum mengukur tekanan darah untuk mendapatkan hasil pengukuran
 Mengosongkan kandung kemih atau buang air kecil.
 Istirahat minimal 5 menit.
 Dilakukan sambil duduk dan tidak sambil bicara.
Selain mengukur tekanan darah, ada beberapa cara atau tes lain untuk
mendiagnosis penyebab hipotensi akibat kondisi atau penyakit tertentu, dan
sekaligus menentukan perawatan yang tepat, yaitu:
 Elektrokardiogram (EKG). Tes ini bertujuan mendeteksi keabnormalan
struktur jantung, masalah suplai oksigen dan darah ke otot jantung, serta detak
jantung yang tidak teratur.
 Ekokardiogram. Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan
gambar struktur jantung dan memeriksa fungsinya.
 Tes latihan stres. Tes ini dilakukan dengan cara membuat jantung bekerja
lebih keras agar lebih mudah mendiagnosis tekanan darah. Bisa dilakukan dengan
berjalan ditreadmill.
 Tes darah. Tes darah bisa dilakukan untuk memeriksa kadar hormon dan jika
pasien mengalami anemia atau diabetes.

Interaksi alfa bloker dengan obat lain


Adrenergika dapat dibagi ke dalam dua kelompok menurut titik kerjanya
di sel – sel efektor dari organ ujung yakni reseptor alfa dan beta.
perbedaan antara kedua jenis reseptor ini didasarkan atas kepekaannya
bagi adrenalin, noradrenalin (NA), dan isoprenalin. Reseptor alfa lebih
peka bagi NA, sedangkan reseptor beta lebih sensitive bagi isoprenalin.
Diferensiasi lebih lanjut dapat dilakukan menurut efek fisiologinya, yaitu
dalam alfa-1 dan alfa-2. Pada umumnya, stimulasi dari masing-masing
reseptor itu menghasilkan efek-efek sebagai berikut:
- alfa-1: menimbulkan vasokonstriksi dari otot polos dan menstimulasi
sel-sel kelenjar dengan bertambahnya antara lain sekresi liur dan
keringat,
- alfa-2: menghambat pelepasan NA pada saraf-saraf adrenergic dengan
turunnya tekanan darah. Mungkin pelepasan ACh di saraf kolinergis dalam
usus pun terhambat sehingga antara lain menurunkan peristaltik.
Adrenoresptor α1 terletak di pascasinaps. Aktivasinya pada beberapa
jaringan (misalnya otot polos, kelenjar saliva) memicu vasokonstriksi atau
sekresi kelenjar. Adrenoreseptor α2 terletak pada terminal saraf
noradrenergik.
Alfa – bloker menurunkan tonus arteriol dan vena, menyebabkan
penurunan resistensi perifer dan hipotensi. Alfa – bloker menyebabkan
reflex takikardia, yang lebih hebat dengan obat – obat nonselektif yang
juga memblok reseptor prasinaps α2 pada jantung., karena pelepasan
norepinefrin yang terjadi menstimulasi reseptor β jantung selanjutnya.
Prazosin, suatu antagonis α1 selektif, menyebabkan takikardia yang
relatif ringan.
Obat – obat golongan alfa – bloker terbagi kedalam tiga kelompok yakni
alfa-bloker nonselektif (derivate haloalkilamin antara lain
fenoksibenzamin, derivate imidazolin antara lain fentolamin dan tolazosin,
serta alkaloid ergot), alfa 1-bloker selektif (derivate kuinazolin seperti
prazosin) dan alfa-2 bloker selektif (yohimbin).
Interaksi utama dari alpha blockers adalah yang berkaitan dengan
peningkatan efek hypotensive. Sejak diperkenalkannya alfa bloker selektif
ditemukan bahwa, dalam beberapa individu, mereka dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah yang cepat pada awal pengobatan (juga
disebut 'efek dosis pertama' atau 'hipotensi dosis pertama').
Fenomena dosis pertama yaitu hipotensi postural yang hebat dan sinkop
yang terjadi antara 30-90 menit setelah pemberian dosis pertama. hal ini
disebabkan oleh penurunan tekanan darah yang cepat pada posisi berdiri
akibat mula kerja yang cepat tanpa disertai reflex takikardia sebagai
kompensasi, bahkan diperkuat oleh kerja sentral yang mengurangi
aktivitas simpatis. Fenomena ini juga terjadi pada peningkatan dosis yang
terlalu cepat atau pada penambahan anti hipertensi kedua pada pasien
yang telah mendapat alfa 1-bloker.
Resiko ini mungkin lebih tinggi pada pasien yang telah menggunakan obat
antihipertensi lain. Efek dosis pertama telah dikurangi dengan memulai
pengobatan pada dosis yang sangat rendah dari alfa blocker, dan
kemudian perlahan-lahan dosis ditingkatkan selama beberapa minggu.
Efek hypotensive serupa dapat terjadi ketika dosis alfa bloker
ditingkatkan, atau jika pengobatan terputus untuk beberapa hari dan
kemudian kembali digunakan. Beberapa pabrik menyarankan memberi
dosis pertama ketika istirahat, atau jika tidak, menghindari tugas-tugas
yang berpotensi berbahaya jika sinkop terjadi (seperti mengemudi) untuk
12 jam pertama. Jika gejala seperti pusing, kelelahan atau berkeringat
mulai timbul, pasien harus diperingatkan untuk berbaring, dan tetap
berbaring datar sampai gejala itu benar-benar mereda.
Tidak jelas apakah ada perbedaan nyata antara alfa
blocker dalam kecenderungan nya menyebabkan efek dosis pertama ini.
Kecuali indoramin, postural hipotensi, sinkop, dan pusing merupakan efek
samping dari alpha blockers yang tersedia di Inggris dan bagi kebanyakan
disarankan bahwa mereka harus dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi
sesuai kebutuhan. Tamsulosin dilaporkan memiliki beberapa selektivitas
untuk subtype reseptor alfa 1A , yang kebanyakan ditemukan dalam
prostat, dan karena memiliki lebih sedikit efek pada tekanan darah:
karena itu titrasi awal dari dosis tidak dianggap perlu. Namun demikian,
akan lebih bijaksana jika berhati-hati dengan semua obat dalam kelas ini.
Alpha bloker juga digunakan untuk meningkatkan laju aliran urin dan
memperbaiki gangguan gejala pada hiperplasia prostat jinak.
Dalam makalah ini kami membatasi pembahasan mengenai interaksi obat
golongan alfa-1 bloker dengan diuretic. Khususnya dalam penggunannya
sebagai antihipertensi.
Alfa-1 bloker pertama digunakan sebagai antihipertensi berdasarkan
blockade reseptor α dan vasodilatasi semua pembuluh perifer dengan
akibat menurunnya tekanan darah. Meski bukan merupakan obat pilihan
utama, prazosin dan doxazosin banyak digunakan untuk hipertensi ringan
sampai sedang, bila diuretika dan β – bloker kurang efektif.
Alfa-bloker merupakan satu-satunya golongan antihipertensi yang
memberikan efek positif terhadap lipid darah (menurunkan kolesterol LDL
dan trigliserida, dan meningkatkan kolesterol HDL). Alfa bloker juga
menurunkan resistensi insulin, mengurangi gangguan vascular perifer
memberikan sedikit efek bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma
akibat latihan fisik, merelaksasi otot polos prostat dan leher kandung
kemih sehingga mengurangi gejala-gejala hipertrofi prostat, tidak
mengganggu aktivitas fisik, dan tidak berinteraksi dengan AINS. Karena
itu, alfa-bloker dianjurkan penggunaannya pada penderita hipertensi yang
disertai diabetes, dislipidemia, obesitas, gangguan resistensi perifer,
asma, hipertofi prostat, dan perokok.
Prazosin, dan yang kerjanya lebih panjang seperti doxazosin
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat secara selektif
adrenoreseptor alfa-vaskular. Tidak seperti alfa-bloker nonselektif, obat
ini tidak menyebabkan takikardia tetapi dapat menyebabkan hipotensi
postural. Hipotensi berat bisa terjadi setelah dosis pertama. Prazosin dan
doxazosin meredakan gejala hyperplasia prostat sehingga diindikasikan
pada pasien hipertensi dengan kondisi tersebut.
Semua alfa-1 bloker memberikan efek samping yang sama, yakni
hipotensi ortostatis atau hipotensi postural (reaksi ‘first dose’) yang
terjadi khusus pada permulaan terapi dan setelah peningkatan dosis. Efek
samping ini dapat dihindari bila dimulai dengan dosis rendah dan
berangsur – angsur menaikkannya, juga dengan minum dosis pertama
sebelum tidur.
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik berbeda dengan interaksi farmakokinetik. Pada
interaksi farmakokinetik terjadi perubahan kadar obat obyek oleh karena
perubahan pada proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
obat. Pada interaksi farmakodinamik tidak terjadi perubahan kadar obat
obyek dalam darah. tetapi yang terjadi adalah perubahan efek obat obyek
yang disebabkan oleh obat presipitan karena pengaruhnya pada tempat
kerja obat.
A. Interaksi dengan alfa-blocker
Penggunaan alfa-bloker sebagai obat antihipertensi jika dikombinasikan
dengan diuretic akan meningkatkan efek antihipertensinya, namun dapat
menyebabkan hipotensi postural. Kedua golongan obat ini menunjukkan
kerja yang sinergistik.
Sebagaimana yang diharapkan, pemakaian suatu alfa bloker dengan
diuretic dapat menghasilkan efek hipotensif yang aditif, tetapi terlepas
dari efek hipotensi dosis pertama, hal ini sepertinya merupakan interaksi
yang menguntungkan bagi penderita hipertensi.
a. Alfuzosin
Tidak ada interaksi farmakokinetik yang terjadi antara Alfuzosin 5 mg
dengan Hidroklortiazid 25 mg di dalam suatu studi terhadap 8 subjek
sehat. Pabrikan mencatat bahwa hipotensi postural dapat terjadi pada
pasien yang menerima antihipertensi ketika memulai Alfuzosin.
b. Doxazosin
Pabrikan mencatat bahwa tidak ada interaksi efek sampingterlihat antara
doxazosin dan thiazid atau furosemid. Bagaimanapun, pabrikan
menyatakan bahwa pemakain doxazosin yang lebih besar dari 4 mg per
hari meningkatkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipertensi
postural dan sinkop.
c. Indoramin
Pabrikan menegaskan bahwa penggunaan bersama dengan diuretic dapat
meningkatkan aksi hipotensi, dan titrasi dosis diuretic dapat atau
mungkin dibutuhkan.
d. Prazosin
Efek hipotensi dosis pertama dapat terjadi dengan alfa-bloker seperti
prazosin dapat diperburuk oleh beta-bloker dan penghambat kanal
kalsium tetapi tidak terlihat adanya fakta klinik terhadap diuretic.
Bagaimanapun, pabrikan menyarankan bahwa hal yang paling utama
bahwa pasien dengan gagal jantung kongestif yang mendapat perawatan
diuretic kuat sebaiknya diberi dosis awal prazosin pada saat tidur dan
dimulai pada dosis terendah (500 mikrogram, 2 – 4 x sehari). Alasannya
adalah tekanan pengisian ventrikel kiri dapat berkurang pada pasien ini
dan menghasilkan gagal jantung dan tekanan darah sistemik. Tidak ada
alasan untuk menghindari penggunaan bersama jika hal ini diperhatikan.
b. Alfa – Bloker dengan Calsium channel Blocker ( CCB)
Tekanan darah dapat turun secara drastis jika CCB diberikan pertama
kepada pasien yang akan diberikan alfa bloker ( seperti prazosin dan
terazosin) dan sebaliknya. Dalam sebuah studi kecil, tamsulozin tidak
memilki efek yang cocok dalam pengontrolan tekanan darah sebaik jika
diberikan nifedipin. Verapamil dapat meningkatkan nilai AUC prazosin dan
terazosin. Alfa bloker dan CCB dapat dikombinasikan untuk penambahan
penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi.
Gejala klinik
• Dihydripiridin CCB
1. Doxazosin.
Walaupun ada kecenderungan penurunan tekanan darah untuk dosis
pertama tanpa efek yang buruk atau gejala yang terlihat pada 6 orang
subjek lainnya yang diberikan obat dalam jenis yang berlawanan. Tidak
ada interaksi farmakokinetik yang ditemukan . Industri di US mencatat
terjadi sedikit interaksi farmakokinetik (kurang dari 20%) yang
ditemukan dalam farmakokinetik pada nifedipin dan doxazosin ketika
diberikan bersama-sama. Diharapkan tekanan darah lebih turun ketika
diberikan bersama-sama.
2. Prazosin
Dalam placebo control, dilakukan studi pada 12 orang hipertensi yang
diberikan nifedipin 20mg dan prazosin 2 mg dalam 1 hari. Penggunaan
secara bersama-sama dapat mempengaruhi tekanan darah lebih daripada
jika diberikan sendiri-sendiri, tapi ketika prazosin diberikan setelah
nifedipin efeknya ditunda. 2 pasien ketika diberikan prazosin 4 atau 5 mg
menghasilkan penurunan tekanan darah yang tajam lebih singkat setelah
pemberian nifedipin sublingual. Salah satu dari mereka merasa pusing
dan penurunan tekanan darahnya dari 232/124 mmHg menjadi 88/48
mmHg selama 20 menit setelah penambahan nifedipin sublingual lebih
kecil ( berarti penurunan dari 25/12 mmHg ketika duduk dan 24 / 17
mmHg ketika berdiri). Ini tidak menjelaskan apakah pemberian prazosin
memberikan efek yang terlihat dengan nifedipin secara sublingual , sejak
percobaan tidak diulangi dengan menggunakan placebo prazosin, tapi
tekanan darah pasien ini lebih cepat tinggal dan tidak terganti 1 jam
setelah pemberian prazosin tunggal. Catatan bahwa sublingual nifedipin
tunggal dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang berbahaya.
3. Tamsulosin
Dalam studi dengan placebo pada 8 orang pria hipertensi dengan tekanan
darah yang dikontrol dengan nifedipin, penambahan tamsulosin 400mcg
sehari / hari selama 7 hari setelah itu 800 mcg setiap hari selama 7 hari,
tidak memiliki efek yang relevan pada tekanan darah. Pada penambahan,
tidak ada penurunan tekanan darah pada dosis pertama yang terlihat
pada hari pertama pemberian tamsulosin, atau ketika dosis tamsulosin
ditingkatkan.
4. Terazosin
Analisis terdahulu pada studi besar pada pemberian terazosin 5 atau
10mg setiap hari ditemukan bahwa terazosin hanya efektif pada tekanan
darah pasien yang diberikan CCB ( amlodipin,felodipin, fluronizin,
isodipin, nifedipin) ketika tekanan drastis tidak dikontrol. Tidak ada
perubahan tekanan darah yang terlihat dengan tekanan darah normal
(tanpa hipotensi dan dengan hipertensi yang diberikan CCB). Efek yang
paling tidak baik yang paling umum adalah dalam 10 minggu terazosin
yaitu sakit kepala dan studi menunjukkan penurunan pada pemberian
antihipertensi (13 – 16%) daripada tanpa pemberian antihipertensi ( 21-
25%).
• Diltiazem
Industri US mencatat bahwa ketika diltiazem 240 mg setiap hari diberikan
dengan alfuzosin 2,5 mg setiap hari kadar plasma maksimal dan AUC
alfuzosin ditingkatkan 50% dan 30%, masing-masing , dengan kadar
serum maksimal dan AUC diltiazem ditingkatkan 40%, tidak ada
perubahan tekanan darah yang terlihat.
• Verapamil
1. Prazosin
Pada studi 8 subjek tekanan darah normal diberikan dosis tunggal 1 mg
prazosin ditemukan konsetrasi puncak plasma prazosin meningkat 85% (
dari5,2 menjadi 9,6 nngr/ml) dan AUC prazosin ditingkatkan 62% ketika
diberikan dalam dosis tunggal 160 mg verapamil.Tekanan darah pada
saat berdiri ,yang tidak berubah setelah pemberian verapamil tunggal dan
114/82mmHg – 99/81mmHg dengan prazosin tunggal , dan diturunkan
menjadi 89/68 mmHg ketika 2 obat ini diberikan bersama.Interaksi
farmakokinetik yang sama dicatat dalam studi lain dengan pasien
hipertensi. Dalam studi ini, dosis pertama 1 mg prazosin tunggal
menyebabkan 25 mmHg pada tekanan darah systole, dan setengah
pasien ( 3 atau 6) mangalami gejala hipotensi. Penurunan yang sama
dalam tekanan darah terlihat ketika pemberian prazosin 1 mg diberikan
pada 6 pasien yang telah diberikan verapamil selama 5 hari dan 2 pasien
mengalami gejala hipotensi.
2. Tamsulosin
Studi pada keamanan tamsulosin, dengan perhatian pada penggunaan
obat lain,ditemukan bahwa penggunaan verapamil ditingkatkan resiko
efek samping pada pengobatan dengan tamsulosin 3 x. Penggunaan CCB
lainnya ( tidak spesifik ) tidak menunjukkan peningkatan efek samping,
walaupun mengarah kepada peningkatan hipotensi.
3. Terazosin
Ketika pemberian verapamil 120 mg,2x sehari ditambahkan terazosin 5
mg sehari pada 12 pasien hipertensi, kadar plasma puncak dan AUC
terazosin ditingkatkan 25%. Kontrasnya, 12 pasien lainnya yang
diberikan 120 mg verapamil 2xsehari, pada penambahan terazosin ( 1mg
menjadi 5 mg sehari) tidak ada efek farmakokinteik verapamil. Kedua
golongan obat ini pada pasien memiliki efek penurunan yang nyata pada
tekanan darah ketika mereka diberikan kedua obat ini pertama kali.
Gejala hipotensi (tidak lebih dari 3 minggu) terjadi pada 4 pasien ketika
verapamil diberikan pertama sebelum terazosin, dan pada 2 pasien ketika
terazosin diberikan pertama sebelum verapamil.
Mekanisme
Tidak dimengerti dengan jelas ini memperlihatkan efek vasodilator,pada
alfa bloker dan CCB yang dapat ditambahkan atau sinergisme, setelah
pemberian dosis pertama. Penurunan dalam tekanan darah terlihat
dengan prazosin dan verapamil, yang menghasilkan interaksi
farmakokinetik, interaksi antara alfazosin dan diltiazem. Tamsulosin
mungkin memilki efek kecil pada tekanan darah.
Perhatian dan Pengaturan
Interaksi antara CCB dan alfa bloker dapat memperlihatkan kepastian dan
efek klinik yang penting walaupun dokumentasinya terbatas. Penambahan
efek hipotensi dapat terlihat ketika penggunaan pertama dimulai, masing
–masing alfuzosin, bunazosin, prazosin, dan terazosin). Ini
direkomendasikan pada pasien yang telah diberikan CCB yang dosisnya
diperkecil dan mulai dengan dosis kecil alfa bloker, dengan dosis pertama
setelah tidur. Perhatian juga diberikan ketika CCB ditambahkan untuk
memastikan pengobatan alfa bloker pasien akan diingatkan tentang
kemungkinan hipotensi yang berlebihan, dan diberitahukan apa yang
harus dilakukan jika mereka merasa lemah dan pusing. Ada batas gejala
tanda terazosin dan tamsulosin yang tidak disebabkan pada penambahan
efek hipotensi dalam batas lebih panjang.
c. Alpha blockers + ACE inhibitors
Efek hipotensi dosis pertama yang hebat, dan efek hypotensive sinergis
terjadi pada seorang pasien yang mengkonsumsi enalapril setelah diberi
bunazosin telah direplikasikan pada subyek yang sehat. efek Dosis
pertama dilihat dengan kombinasi alpha blockers lain (terutama alfuzosin,
prazosin dan terazosin) juga kemungkinan akan diperkuat oleh ACE
inhibitor. Dalam satu penelitian kecil tamsulosin tidak punya efek klinis
yang relevan pada tekanan darah yang sudah dikendalikan dengan baik
oleh enalapril.
Bukti klinis
Ketika diberi enalapril 10 mg atau bunazosin 2 mg,
tekanan darah pasien berkurang 9,5/6,7 mmHg setelah 6 jam. ketika
bunazosin diberikan satu jam setelah enalapril tekanan darah turun
27/28 mmHg, dan masih turun 19/22 mmHg, bahkan ketika dosis
enalapril
dikurangi menjadi 2,5 mg.
Mekanisme
Efek Dosis pertama alpha blockers mungkin ditingkatkan oleh ACE
inhibitor. Tamsulosin mungkin tidak berpengaruh pada tekanan darah
karena memiliki selektivitas untuk reseptor alfa dalam prostat.
Pentingnya dan pemakaian
Informasi langsung terbatas. hipotensi akut (pusing, pingsan)
kadang-kadang terjadi tak terduga pada dosis pertama dari beberapa
alpha blockers (khususnya, alfuzosin, prazosin dan terazosin) dan ini
dapat berlebihan jika pasien menggunakan atau sudah menggunakan
beta blocker atau penghambat kanal Ca. Karena itu akan tampak
bijaksana untuk menerapkan kewaspadaan yang sama untuk
ACE inhibitor, yaitu mengurangi dosis ACE untuk pemeliharaan
tingkat jika mungkin, kemudian memulai alfa blocker pada dosis
terendah,
dengan dosis pertama diberikan pada waktu tidur..
d. Alpha blockers + Beta blockers
Risiko hipotensi dosis pertama dengan prazosin lebih tinggi jika
pasien sudah menggunakan beta blocker. Ini juga dapat timbul pada
alpha blockers lain, terutama alfuzosin, bunazosin dan terazosin. Dalam
sebuah penelitian kecil tamsulosin tidak punya efek klinis yang relevan
pada tekanan darah yang sudah baik dikendalikan oleh atenolol. Alfa
blocker dan beta blocker dapat digabungkan untuk menurunkan tekanan
darah pada pasien dengan hipertensi.
Bukti klinis
(a) Alfuzosin
Tidak ada interaksi farmakokinetik terjadi antara alfuzosin 2,5 mg dan
atenolol 100 mg dalam dosis tunggal pada penelitian dengan 8 subjek
sehat. Pabrik mencatat bahwa postural hipotensi dapat terjadi pada
pasien yang menerima antihipertensi ketika mereka mulai menggunakan
alfuzosin, mereka juga mencatat di mana kombinasi dosis tunggal 2,5 mg
dan alfuzosin atenolol 100 mg menyebabkan penurunan yang signifikan
pada denyut jantung dan tekanan darah. AUCs dari kedua obat meningkat
hingga sekitar 20% ,
(b) doxazosin
Produsen doxasozin menyatakan bahwa tidak ada interaksi obat yang
merugikan antara doxazosin dan beta blockers, meskipun mereka
perhatikan bahwa reaksi merugikan yang paling umum berkaitan dengan
doxazosin adalah sebuah hipotensi tipe postural. Mereka secara khusus
mencatat bahwa doxazosin telah diberikan dengan atenolol dan
propranolol tanpa bukti dari interaksi yang merugikan
(c) Indoramin
Produsen Indoramin menyatakan bahwa penggunaan bersamaan dengan
beta blocker dapat meningkatkan aksi hypotensivenya, dan bahwa titrasi
dari dosis beta bloker mungkin diperlukan ketika memulai therapy.
(d) Prazosin
Sebuah reaksi hypotensive ditandai (pusing, pucat, berkeringat) terjadi
dalam 3 dari 6 pasien hipertensi yang memakai alprenolol 400 mg dua
kali sehari ketika mereka diberi 500 mikrogram pertama dosis prazosin.
Seluruh 6 pasien mengalami penurunan lebih besar pada tekanan
darahnya setelah dosis pertama prazosin daripada
setelah 2 minggu pengobatan dengan prazosin 500 mikrogram tiga kali
sehari tanpa beta bloker (22/11 mmHg berarti penurunan dibandingkan
dengan 4 / 4 mmHg). Selanjutnya 3 pasien sudah menggunakan prazosin
500 mikrogram tiga kali sehari tidak biasa tekanan darah jatuh ketika
mereka diberikan dosis pertama alprenolol 200 mg.7 Dua penelitian telah
menunjukkan bahwa farmakokinetik prazosin tidak terpengaruh baik oleh
alprenolol atau propranolol. Keparahan dan durasi pertama-efek dosis
prazosin juga ditemukan meningkat dalam subjek sehat yang diberikan
dosis tunggal propranolol.
(e) Tamsulosin
Dalam studi terkontrol plasebo pada 8 pria hipertensi dengan tekanan
darah baik dikendalikan oleh atenolol, penambahan tamsulosin 400
mikrogram setiap hari selama 7 hari, kemudian 800 mikrogram setiap
hari lagi selama 7 hari, tidak memiliki efek yang relevan secara klinis
pada tekanan darah (dinilai setelah 6 dan 14 hari dari tamsulosin). Tidak
ada hipotensi terlihat dengan dosis pertama tamsulosin atau ketika dosis
tamsulosin ditingkatkan.
(f) Terazosin
Analisis retrospektif multinasional besar studi pada pasien yang diberikan
terazosin 5 atau 10 mg per hari menemukan bahwa hanya terazosin
mempengaruhi tekanan darah pasien yang memakai beta blockers
(atenolol, labetalol, metoprolol, sotalol, dan timolol) jika tekanan darah
tidak terkontrol. Tidak ada perubahan tekanan darah terlihat pada
mereka dengan tekanan darah normal (yaitu orang - tanpa hipertensi dan
mereka yang hipertensi dikendalikan oleh beta blockers). Yang paling
umum efek yang merugikan dalam 10 minggu terazosin
Fase pusing, dan insiden ini tampaknya lebih rendah di
mereka yang memakai antihipertensi (13 dengan 16%) dibandingkan
mereka yang tidak (21 hingga 25%).
Mekanisme
Respon kardiovaskular normal (sebuah kompensasi meningkatkan output
jantung dan rate) yang harus mengikuti dosis pertama reaksi hypotensive
alfa blocker tampaknya terganggu oleh kehadiran beta blocker. Masalah
biasanya hanya berlangsung singkat karena beberapa kompensasi
fisiologis yang terjadi dalam beberapa jam atau hari, dan ini
memungkinkan tekanan darah diturunkan tanpa jatuh drastis. Tamsulosin
mungkin telah kurang efeknya pada tekanan darah karena memiliki
beberapa selektivitas untuk reseptor alfa di prostat.
Pentingnya dan manajemen
Beberapa pasien mengalami hipotensi postural akut,
tachycardia dan palpitasi ketika mereka mulai menggunakan prazosin
atau alpha blockers (terutama alfuzosin, bunazosin dan terazosin).
Beberapa pasien bahkan tiba-tiba pingsan dalam waktu 30 sampai 90
menit, dan ini dapat diperburuk jika mereka sudah menggunakan beta
blocker. Disarankan bahwa mereka yang telah menggunakan
beta blocker harus menurunkan dosis beta bloker nya menjadi
dosis pemeliharaan dan dimulai dengan dosis rendah alpha blockers ini,
dengan dosis pertama diambil sesaat sebelum pergi tidur. Mereka juga
harus diperingatkan tentang kemungkinan hipotensi postural dan
bagaimana untuk menggunakannya (yaitu berbaring, mengangkat kaki
dan bangun perlahan-lahan). Demikian pula, saat menambahkan beta
blocker ke alfa blocker, mungkin bijaksana untuk mengurangi dosis alfa
blocker dan re-titrate diperlukan. Ada bukti terbatas bahwa terazosin dan
tamsulosin mungkin tidak menyebabkan efek hypotensive tambahan
dalam jangka panjang pada pasien dengan BPH yang memiliki hipertensi
yang telah dikontrol dengan baik dengan beta blocker. Namun demikian,
kehati-hatian harus dijalankan dalam situasi ini, dan pengurangan dosis
beta bloker mungkin diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA
http://iniblognyashany.blogspot.co.id/2010/04/interaksi-alfa-bloker-dengan-obat-lain.html

Katzung, Betram G.(2013).Farmakologi Dasar dan Klinik Ed.12 Vol.1, Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai