Anda di halaman 1dari 16

lNama : Ikfina Rahmatika

NIM : 18/423903/KG/11243

Fakultas : Kedokteran Gigi

Jurusan : Higiene Gigi


Health Belief Model

Health Belief Model merupakan salah satu teori yang banyak digunakan dalam upaya
promosi dan edukasi kesehatan. Health Believe Model adalah model kepercayaan kesehatan
individu dalam menentukan sikap melakukan atau tidak melakukan perilaku kesehatan
(Conner, 2005). Health Belief Model menggunakan pendekatan kognisi sosial dalam
memahami perilaku sehat. Terdapat faktor demografis yang berpengaruh terhadap perilaku
sehat yang bersifat preventif serta penggunaan layanan kesehatan (Conner & Norman, 2003).
Meski faktor-faktor tersebut telah diminimalisir, ini tidak langsung berdampak pada
munculnya perilaku sehat. Oleh karena itu diperlukan edukasi kesehatan yang tepat sesuai
dengan karakterisitik individu yang dituju.
Konsep dasar dalam Health Belief Model adalah perilaku sehat dipengaruhi oleh
keyakinan masing-masing individu atau persepsi tentang ancaman (threat perception) dan
evaluasi perilaku (behavior evaluation) (Conner & Norman, 2003). Threat
perception menerangkan dua keyakinan utama yaitu perceived susceptibility to
illness atau health problems dan anticipated severity of the consequences of
illnesses. Behavioural evaluation juga terdiri atas dua keyakinan adanya manfaat dan
kepercayaan kemampuan (efficacy) serta adanya pengorbanan dan hambatan (dalam
berperilaku sehat).

Tiga faktor penting dalam Health Belief Model, yaitu :


1. Kesiapan individu untuk merubah perilaku dalam rangka menghindari suatu
penyakit atau memperkecil risiko kesehatan.
2. Adanya dorongan dalam lingkungan individu yang membuatnya merubah perilaku.
3. Perilaku itu sendiri.
Penjelasan perilaku sehat :
 Konstruk perceived susceptibility (risiko yang dirasakan) juga mempengaruhi
munculnya perilaku sehat. Ketika seseorang mengetahui bahwa dirinya berisiko
terkena suatu penyakit, maka terbentuk keyakinan bahwa dirinya memang berisiko.
 Konstruk anticipated severity adalah keyakinan individu tentang keseriusan suatu
penyakit (Conner & Norman, 2003).
 Konstruk perceived benefit, diartikan bahwa individu berperilaku sehat karena ia
meyakini bahwa sesuatu yang dilakukannya akan memberi manfaat terutama dalam
mengurangi potensi terkena suatu penyakit (Hayden, 2014).
 Konstruk perceived barrier, menjelaskan bahwa perubahan perilaku, menjalani
sebuah aktivitas baru dalam upaya menjadi, menjaga atau meningkatkan kesehatan
bukan hal mudah karena terdapat hambatan. Hambatan tersebut sebenarnya adalah
evaluasi pribadi itu sendiri (Hayden, 2014). Contohnya, rasa takut, malu dan ragu
untuk melakukan sebuah tes kesehatan. Keempat konstruk tersebut baik sendiri
maupun bersamaan, dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku sehat.
Macam Teori Health Belief Model dan contohnya :
1. Perceived susceptibility
Masyarakat beranggapan jika mereka tidak disuntik mudah tertular penyakit. Selain itu
mereka juga mengetahui efek samping dari suntik yaitu demam (biasanya pada anak-anak).
2. Perceived severity
Mereka tidak suntik maka mereka tidak akan sembuh.
3. Perceived benefit of action
Masyarakat paham bahwa jika mereka disuntik maka akan sembuh.
4. Perceived barrier to action
Masyarakat percaya bahwa seseorang harus menderita terlebih dahulu untuk sembuh.
5. Cues to action
Pasien sudah mengerti kebiasaan seperti apa yang harus mereka lakukan saat berobat ke
puskesmas, yaitu mempersiapkan diri untuk disuntik.
Suchman’s Stages of Illness

Model teori Suchman membahas tentang menyangkut pola sosial dari perilaku

sakit yang tampak pada cara orang mencari, menemukan, dan melakukan perawatan medis.

Pendekatan yang digunakannya yaitu adanya 4 unsur yang merupakan faktor utama

dalam perilaku sakit, yaitu:

(1) perilaku itu sendiri


(2) sekuensinya
(3) tempat atau ruang lingkup
(4) variasi perilaku selama tahap-tahap perawatan medis.

Arti keempat unsur tersebut dapat dikembangkan 5 konsep dasar yang berguna dalam

menganalisi perilaku sakit, yaitu:

1. Mencari pertolongan medis dari berbagai sumber atau pemberi layanan


2. Fragmentasi perawatan medis di saat orang menerima pelayanan dari berbagai unit, tetapi
pada lokasi yang sama
3. Menangguhkan (procastination) atau menangguhkan upaya mencari pertolongan
meskipun gejala sudah diasakan
4. Melakukan pengobatan sendiri (self medication)
5. Membatalkan atau menghentikan pengobatan (discontuniti).
Menurut paradigma Suchman, sekuensi peristiwa medis dibagi atas 5 tingkat, yaitu:

1. Pengalaman dengan gejala penyakit


2. Penilaian terhadap peran sakit
3. Kontak dengan perawatan medis
4. Jadi pasien
5. Sembuh atau masa rehabilitasi.
Pada setiap tingkat, setiap orang harus mengambil keputusan-keputusan dan
melakukan perilaku-perilaku tertentu yang berkaitan dengan kesehatan. Pada tingkat
permulaan terdapat 3 dimensi gejala yang menjadi pertanda adanya ketidakberesan dalam diri
seseorang. Pertama, adanya rasa sakit, kurang enak badan atau sesuatu yang tidak biasa
dialami. Kedua, pengetahuan seseorang tentang gejala tersebut mendorongnya membuat
penafsiran-penafsiran yang berkaitan dengan akibat penyakit serta gangguan terhadap fungsi
sosialnya. Ketiga, perasaan terhadap gejala tersebut berupa takut atau rasa cemas. Suchman
mengemukakan hipotesis bahwa perilaku medis yang terjadi pada setiap tahap penyakit
mencerminkan orientasi kesehatan serta afiliasi masing-masing kelompok sosial.
Theory of Reasoned Action (TRA)

Theory of Reasoned Action (TRA) menjelaskan tentang perilaku yang berubah


berdasarkan hasil dari niat perilaku, dan niat perilaku dipengaruhi oleh norma sosial dan
sikap individu terhadap perilaku (Eagle, Dahl, Hill, Bird, Spotswood, & Tapp, 2013).

Theory of Reasoned Action adalah model yang bertujuan untuk memprediksi


tujuan/motif/niat/intensi dari sebuah perilaku dan tingkah laku, termasuk dari motif awal
terjadinya perilaku sehingga kenapa seseorang melakukan sebuah tingkah laku tersebut. Teori
ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar
dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA dikatakan bahwa niat
seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak
dilakukannya perilaku tersebut.

Niat melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi oleh dua penentu
dasar, yaitu :

1. Berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior)


2. Berhubungan dengan pengaruh social yaitu norma subjektif (subjective norms).

TRA bekerja dengan baik jika diterapkan pada perilaku dimana individu memiliki pilihan
atau kendali terhadap perilakunya (volitional control). Jika perilaku tidak sepenuhnya berada
dalam kendali individu meskipun individu sangat bermotivasi oleh sikap dan norma subjektif,
individu secara actual tidak dapat dilaksanakan perilakunya.

Kelebihan TRA yaitu memberikan pegangan untuk menganalisis komponen perilaku


dalam item yang operasional. Kelemahan TRA yaitu kehendak dan perilaku hanya
berkolerasi sedang dan tidak mempertimbangkan pengalaman sebelumnya dengan perilaku
dan mengabaikan akibat-akibat jelas dari variable eksternal terhadap pemenuhan kehendak
perilaku.

Theory of Reasoned Action akhirnya direvisi dan diperluas oleh Ajzen menjadi Theory of
Planned Behaviour (TPB). Ia menyatakan bahwa perluasan teori ini meliputi penambahan
satu prediksi besar, yaitu perecieved behavioral control atau kontrol perilaku yang diterima
terhadap model yang lama (Theory of Reasoned Action) tersebut.
Perubahan dibuat untuk menunjukkan pada suatu waktu tertentu ketika orang
memiliki motif tujuan untuk melakukan sebuah perilaku, tetapi perilaku yang ditujukan pada
awalnya menjadi berbeda dan terpengaruhi karena orang yang melakukan perilaku tersebut
kurang memiliki rasa percaya diri atau kontrol terhadap perilakunya sendiri.
Theory of Planned Behavior (TPH)

Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan perluasan dari Theory of Reasoned


Action (TRA). Dalam TRA dijelaskan bahwa niat seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh
dua faktor utama yaitu attitude toward the behavior dan subjective norms (Fishbein dan
Ajzen, 1975), sedangkan dalam TPB ditambahkan satu faktor lagi yaitu perceived behavioral
control (Ajzen, 1991).
TPB sangat sesuai digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku di dalam
kewirausahaan. Sebagaimana dikatakan oleh Ajzen (1991) bahwa TPB is suitable to explain
any behavior which requires planning, such as entrepreneurship (TPB cocok untuk
menjelaskan perilaku apa pun yang memerlukan perencanaan, seperti kewirausahaan). Dalam
TPB, niat ditentukan oleh tiga variabel antecedent, yaitu:
1. Attitude (Sikap)
Sikap merupakan suatu faktor dalam diri seseorang yang dipelajari untuk memberikan
respon positif atau negatif pada penilaian terhadap sesuatu yang diberikan. Sikap
merupakan kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respon kepada obyek
atau kelas obyek secara konsisten baik dalam rasa suka maupun tidak suka. ( Manda
& Iskandarsyah, 2012). Sebagai contoh apabila seseorang menganggap sesuatu
bermanfaat bagi dirinya maka dia akan memberikan respon positif terhadapnya,
sebaliknya jika sesuatu tersebut tidak bermanfaat maka dia akan memberikan respon
negatif.
2. Subjective Norm (Norma Subjektif)
Subjective norm (norma subjektif) merupakan persepsi seseorang tentang pemikiran
orang lain yang akan mendukung atau tidak mendukungnya dalam melakukan
sesuatu. Subjective norm mengacu pada tekanan sosial yang dihadapi oleh individu
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Lo Choi Tung (2011: 79) mengatakan
bahwa “subjective norm refers to the social pressures perceived by individuals to
perform or not to perform the behavior. It relates to the beliefs that other people
encourage or discourage to carry out a behavior” (norma subjektif mengacu pada
tekanan sosial yang dirasakan oleh individu untuk melakukan atau tidak melakukan
perilaku. Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa orang lain mendorong atau
menghambat untuk melaksanakan perilaku). Seorang individu akan cenderung
melakukan perilaku jika termotivasi oleh orang lain yang menyetujuinya untuk
melakukan perilaku tersebut.
3. Perceived Behavioral Control (Kontrol Perilaku)
Kontrol perilaku adalah persepsi kemudahan atau kesulitan dalam melakukan suatu
perilaku. Kontrol perilaku relates to the beliefs about the availability of supports and
resources or barriers to performing an entrepreneurial behavior (control beliefs) (berkaitan
dengan keyakinan tentang ketersediaan dukungan dan sumber daya atau hambatan untuk
melakukan suatu perilaku kewirausahaan). (Tung, 2011)Kontrol perilaku merupakan persepi
terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit. (Toni, 2007)
Trans Theoritical Model

Trans Theoritical Model yang diperkenalkan oleh James Prochaska, John Norcross dan
Carlo DiClemente (1994) dalam W. F, Velicer, dkk (1998), menggambarkan bahwa
seseorang dianggap berhasil dan permanen mengadopsi suatu perilaku bila telah melalui lima
tahap perubahan, meliputi :

a. Pra Perenungan (Precontemplation)


Tahap manakala seseorang tidak perlu untuk melakukan aksi terhadap masa depan
yang dapat diperkirakan, biasanya diukur dalam enam bulan berikutnya. Orang pada
tahap ini disebabkan oleh tidak tahu atau kurang tahu mengenai konsekuensi suatu
perilaku atau mereka telah mencoba berubah beberapa kali dan patah semangat
terhadap kemampuan berubahnya.
b. Perenungan (Contemplation)
Tahap manakala seseorang peduli untuk berubah pada enam bulan berikutnya.
Mereka lebih peduli kemungkinan perubahan tetapi seringkali peduli terhadap
konsekuensi secara akut. Keseimbangan antara biaya dan keuntungan perubahan
dapat menimbulkan amat sangat ambivalen, sehingga dapat menahan seseorang dalam
tahap ini untuk waktu yang lama.
c. Persiapan (Preparation)
Tahap manakala seseorang peduli melakukan aksi dengan segera di masa mendatang,
biasanya diukur bulan berikutnya. Mereka telah secara khusus melakukan beberapa
aksi yang signifikan pada tahun sebelumnya.
d. Aksi (Action)
Tahap manakala seseorang telah membuat modifikasi yang spesifik dan jelas pada
gaya hidupnya selama enam bulan terakhir. Karena aksi ini dapat diamati, perubahan
perilaku sering setarakan sebagai aksi. Dalam Transtheoretical Model, aksi hanya satu
dari lima tahap, tidak semua modifikasi perilaku disebut sebagai aksi.
e. Pemeliharaan (Maintenance)
Tahap manakala seseorang berupaya untuk mencegah kambuh tetapi mereka tidak
menerapkan proses perubahan sesering aksinya. Mereka tidak tergiur untuk kembali
dan meningkatkan dengan lebih percaya diri untuk melanjutkan perubahannya.
Locus of Control

Locus of Control mengandung arti seberapa jauh individu yakin bahwa mereka
menguasai nasib mereka sendiri. (Robbin, 1998). Locus of control sebagai tindakan dimana
individu menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya dengan tindakan atau
kekuatan di luar kendalinya. Locus of control berhubungan dengan sikap kerja dan citra diri
seseorang. (Rotter, 1996). Rotter membedakan orientasi Locus of Control menjadi dua, yaitu:

1. Locus of control internal


Jika seorang auditor cenderung memiliki internal locus of control, dia yakin akan
kemampuan dirinya untuk menyelesaikan suatu permasalahan, maka akan
menimbulkan kepuasan kerja dan diharapkan akan meningkatkan kinerja/prestasi
kerja auditor.
2. Locus of control eksternal
apabila seorang auditor mempunyai kecenderungan mempercayai faktor-faktor di luar
dirinya sebagai penentu keberhasilannya seperti nasib, takdir, keberuntungan, dan
orang lain yang berkuasa, dapat dikatakan dia memiliki Locus of Control Internal,
hal ini justru akan menurunkan kepuasan kerja dan mengakibatkan menurunnya
kinerja dari auditor (Sarita dan Agustia 2009).
Locus of Control secara signifikan berhubungan dengan kepuasan kerja. Hal
ini mengindikasikan bahwa auditor internal dengan Locus of Control internal
melaporkan tingkat kepuasan kerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan auditor
internal yang memiliki Locus of Control eksternal.

Teori Rotter mengenalkan kepada konsep baru tentang ekspektansi yang terfokus ke
dalam 3 kelas variable, yaitu :

1. Perilaku

2. Reinforcement (penguatan)

3. Situasi Psikologis

Inti dari konsep ini adalah kepercayaan/judgement seseorang dalam situasi


psikologis tertentu akan menimbulkan reinforcement (penguatan).

Locus of Control dapat ditingkatkan melalui latihan dan faktor kesadaran individu itu
sendiri. Penting bagi seseorang untuk memahami keadaan stabil dan labil. Seseorang
yang memiliki Locus of Control yang tinggi dikatakan bahwa ia mampu melindungi
bagian rawan dari kondisi mental seseorang, yaitu self-esteem (harga diri) dan
confidence (percaya diri).
Roger A-I-E-T-A

Model teori Roger A-I-E-T-A ini lebih dikenal dengan nama Teori Divusi Inovasi.
Teori difusi inovasi meneliti bagaimana ide-ide, praktik, atau objek baru diadopsi oleh
individu dan organisasi bidang penelitian yang penting bagi praktisi public relations yang
menganjurkan perubahan. Pada tahun 1950-an, Everett M. Rogers, peneliti terkemuka di
lapangan, mengembangkan model paling komprehensif tentang bagaimana inovasi diadopsi.
Ketahanan teori difusi jelas dalam bagaimana fokus awal telah berubah dari memeriksa
penerimaan strain baru benih hibrida di antara petani Amerika dan negara berkembang ke
analisis kontemporer Rogers tentang adopsi teknologi komunikasi baru.

Prinsip utama teori difusi adalah bahwa orang menjalani proses lima langkah yang
dimulai dengan awareness, diikuti dengan interest, evaluation, trial, and adoption atau biasa
disingkat A-I-E-T-A. Langkah-langkah ini adalah pengetahuan alternatif berlabel, persuasi,
keputusan, implementasi, dan konfirmasi (penerimaan atau penolakan). Konsekuensi dari
mengadopsi inovasi baru secara alternatif dikategorikan sebagai diinginkan atau tidak
diinginkan, langsung atau tidak langsung, atau diantisipasi untuk tidak dapat diantisipasi.

Menurut Rogers, tiga set variabel mempengaruhi penerimaan inovasi. Prior


conditions memberikan konteks untuk pertimbangan perubahan oleh pengguna.
Characteristics of the decision-making unit berhubungan dengan karakteristik sistemik atau
inheren dari adopter, menunjukkan bahwa kelompok-kelompok tertentu mungkin lebih
terbuka untuk berubah. Karakteristik termasuk faktor sosial ekonomi (usia, pendidikan,
status, kesejahteraan keuangan, dll), variabel kepribadian (rasa ingin tahu, keterbukaan
pikiran, dll), dan perilaku komunikasi. Characteristics of the innovation juga mempengaruhi
penerimaan. Rogers menyarankan bahwa inovasi lebih mungkin memperoleh penerimaan jika
mereka memberikan keuntungan relatif dibandingkan dengan ide yang mereka gantikan atau
solusi alternatif.

Teori difusi menyatakan bahwa pengadopsi dapat dikategorikan sebagai tingkat atau
kesiapan mereka menerima ide atau objek baru. Rogers secara sederhana mendefinisikan dan
menggambarkan kelompok-kelompok ini sebagai berikut:

Innovators—adventuresome, bersemangat untuk mencoba ide-ide baru, lebih


kosmopolitan dari rekan-rekan mereka
Early adopters—respectable localites (kurang kosmopolitan daripada inovator),
biasanya dengan tingkat kepemimpinan opini yang tinggi dalam sistem sosial.

Early majority—deliberate, sering berinteraksi dengan teman sebayanya tetapi jarang


memegang posisi kepemimpinan.

Late majority—skeptical, sering mengadopsi inovasi karena ketidakpastian ekonomi atau


meningkatkan tekanan jaringan.

Laggards—traditionals who are localites, termasuk dekat-isolat dan orang-orang yang


titik rujukannya adalah masa lalu.

Implikasi untuk hubungan masyarakat. Teori difusi memberikan beberapa ide yang
berguna bagi para praktisi ketika mereka mengembangkan strategi untuk program dan
kampanye hubungan masyarakat. Ini termasuk:

1. Pentingnya menekankan karakteristik inovasi yang meningkatkan kemungkinan


adopsi
2. Pentingnya kondisi dan karakteristik sebelumnya dari adopter; tidak semua
pengadopsi sama
3. Pentingnya menciptakan massa pengadopsi yang kritis, terutama dengan
mensegmentasikan inovator dan pengguna awal
4. Pengakuan praktisi public relations sebagai agen perubahan atas nama klien mereka
DAFTAR PUSTAKA

Fanani, Syaikhul, dan Dewi, Triana Kesuma, 2014, Health Belief Model pada Pasien
Pengobatan Alternatif Supranatural dengan Bantuan Dukun, Jurnal Psikologi Klinis dan
Kesehatan Mental, Vol. 3(1)
Muqarrabin, Alex Maulana, 2017, Faculty Member of International Marketing
Ramadhani, Neila, 2011, Penyusun Alat Pengukur Berbasis Theory of Planned Behvior,
Buletin Psikologi, Yogyakarta, Vol. 19(2) : 55-69
Nefawan, Iwan, 2009, Studi Elevasi Penerapan, FKM UI, Jakarta, Hal. 2

Saputra, K. A. K., 2012, Pengaruh Locus of Control Terhadap Kinerja dan Kepuasan Kerja
Internal Auditor Terhadap dengan Kultur Lokal Tri Hita Karana Sebagai Variabel Moderasi,
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 3(1) : 86-100.

Encyclopedia of Public Relations. Ed.Robert L. Health. Vol. 1. Thousand Oaks, CA: SAGE
Reference, 2005. p253-254.

Mahasiswa Jurusan Sosiologi, 2007, Sosiologi Kesehatan, FISIP UNS

Anda mungkin juga menyukai