Anda di halaman 1dari 14

Herpes Zoster dan Neuralgia pasca Herpes

C. Peter N. Watson MD
See related research article by Drolet and colleagues, page 1731

Berbagai cara telah ditempuh untuk mecegah dan mengobati infeksi rekuren dari
chickenpox atau virus varicella-zoster –yang biasa dikenaal sebagai herpes zoster-. Banyak orang
usia di atas 60 tahun mempunyai kemungkinan trkena herpes zoster dank arena penyakit ini
merupakan penyakit umum serta berhubungan dengan usia, maka konsekuensinya adalah
seringnya terjadi komplikasi dan dapat menjadi berat. Drolet dan rekan-rekannya telah
mendokumentasikan penyebaran dari herpes zoster di masyarakat kanada dan melaporkan efek
penyakit ini terhadap kualitas hidup pasiennya. Penulis menilai beratnya rasa sakit yang
dirasakan sehubungan dengan herpes zoster, efek terhadap aktivitas sehari-hari dan kualitas
hidup pada 261 pasien dengan herpes zoster dan 24% diantaranya dengan gejala neuralgia post
herpes. Mereka mengungkapkan bahwa penyakit ini mempunyai efek yang besar terhadap pola
tidur, kesenangan menjalani hidup, aktivitas secara umum, mood dan level cemas serta depresi.
Herpes zoster merupakan penyakit saraf yang sering ditemukan dan neuralgia pasca
herpes merupakan komplikasi yang ditakutkan yang sering terjadi. Di Kanada, setiap tahunnya
ada 130 ribu kasus baru herpes zoster dan 17 ribu diantaranya mengalami neuralgia pasca herpes
dan 20 mengalami kematian.
Neuralgia pasca herpes dapat mengakibatkan rasa sakit yang berat, pasien biasanya
merasa tidak nyaman menggunakan pakaian yang dapat menyebabkan kontak pada lesi atau
bahkan pasien takut keluar rumah karena angin saja dapat menyebabkan sakit sebab kulitnya
menjadi lebih sensitif (terutama pada bagian wajah dan thoraks). Mereka juga dapat kehilangan
penglihatannya bahkan kehilangan mata karea lesi skar pada wajah. Sedikit jarang terjadi adalah
inflamasi yang mengenai susunan saraf spinal, otak dan meningen serta paralisis otot-otot wajah.
Herpes zoster dan neuralgia pasca herpes dapat meningkat kemungkinan kejadiannya pad
orang-orang dengan usia lanjut. Insiden neuralgia pasca herpes yang mencapai 10% dapat
meningkat hingga 40% pada penderita di atas usia lima puluh tahun.
Yang pertama kali harus diperhatikan dalam pengobatan neuralgia pasca herpes adalah
rasa nyeri yang diderita pasien. Berdasarkan alur tatalaksana secara umum pada nyeri neuropatik,
dianjurkan penggunaan antidepresan trisiklik atau gabapentin, diikuti oleh golongan opioid bila
diperlukan. Sayangnya, terapi ini hanya menunjukkan 20-40 persen pengurangan rasa nyeri.
Penggunaan hanya satu jenis obat biasanya tidak adekuat untuk pengobatan neuralgia pasca
herpes, sehingga kombinasi dari berbagai jenis obat sangat diperlukan dengan harapan tidak akan
terjadinya efek adiksi.
Yang kedua, nyeri akut dan ruam yang disebabkan oleh herpes zoster dapat dikurangi
dengan pengobatan anivirus yang adekuat (famciclovir, valacyclovir) dalam 72 jam setelah
adanya ruam. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin atau gabapentin atau kombinasi dari
keduanya dapat dipertimbangkan pemberiannya dan apabila nyeri yang dirasakannya cukup
berat, opioid atau bahkan obat yang dapat memblokade saraf dapat diberikan. Ada penelitian
yang mengatakan penggunaan antivirus yang segera akan mengurangi rasa nyeri akut dan
mempercepat penyembuhan ruam namun penelitian mengenai penggunaan antivirus sebagai
pencegahan terhadap terjadinya neuralgia pasca herpes masih belum ada.
Ketiga, vaksin untuk mencegah terjadinya herpes zoster- dan herpetic neuralgia telah
diterima untuk oaring-orang di atas 60 tahun. Vaksin hidup ini relah mengurangi angka kejadian
herpes zoster sebanyak 50% dan menurunkan kejadian postherpetic neuralgia sebanyak 67%.
Pada tahun 2008 dilaporkan baru 7% saja vaksin ini diterima oleh orang-orang yang
beresiko sebab adanya beberapa kendala seperti fobia ataupun harga vaksin yang mahal. Namun
di masa yang akan datang diharapkan keefektifan vaksinasi pada anak-anak akan mengurangi
angka kejadian herpes zoster serta terapi yang efektif pada kejadian herpes zoster pada orang
dewasa akan menurunkan angka insiden terjadinya neuralgia pasca herpes.
Kesimpulannya, obat-obatan yang lebih baik dibutuhkan dalam terapi neuralgia pasca
herpes. Herpes zoster harus segera diterapi, idelanya, dalam kurun waktu 72 jam setelah
timbulnya ruam atau adanya nyeri akut. Pemberian vaksin untuk prevenif herpes zoster juga
merupakan langkah terbaik untuk menurunkan angka kejadian penyakit ini.

DOI:10.1503/cmaj.101409
All editorial matter in CMAJ represents the opinions of the authors and not necessarily those of
the Can adian Medical Association.
Previously published at www.cmaj.ca
Commentary
DAFTAR PUSTAKA

1. Bowman W. Cases of zoster or unilateral confluent herpes of the ophthalmic region.


Ophth Hosp Rep 1867;6:1-11.
2. Drolet M, Brisson M, Schmader KE, et al. The impact of herpes zoster and post - herpetic
neuralgia on health-related quality of life: a prospective study. CMAJ 2010;182:1731-6.
3. Brisson M, Pellisier JM, Camden S, et al. The potential cost-effectiveness of vaccination
against herpes zoster and post-herpetic neuralgia. Hum Vaccin 2008;4:238-45.
4. Dworkin RH, Schmader KE. The epidemiology and natural history of herpes zoster and
postherpetic neuralgia. In: Watson CPN, editor. Herpes zoster and post - herpetic
neuralgia. Amsterdam (Netherlands): Elsevier; 2001. p. 39-64.
5. Moulin DE, Clark AJ, Gilron I, et al. Pharmacological management of chronic pain.
Consensus statement and guidelines from the Canadian Pain Society. Pain Res Manag
2007;12:13-22.
6. Gilron I, Max B. Combination pharmacotherapy for neuropathic pain: current evidence
and future directions. Expert Rev Neurother 2005;5:823-30.
7. Watson CPN. External validity of randomized trials in neuropathic pain. In: Rothwell
PM, editor. Treating individuals: from randomized trials to personalized medicine.
Philadelphia (PA): Elsevier; 2007. p. 121-30.
8. Li Q, Chen N, Yang Y, et al. Antiviral treatment for preventing postherpetic neuralgia
[review]. Cochrane Database Syst Rev 2009;(2):CD006866.
9. Oxman MN, Levin MD, Johnson JR, et al. A vaccine to prevent postherpetic neuralgia in
older adults. N Engl J Med 2005;352:2271-84.
10. Lu PJ, Euler GL, Jumaan AO, et al. Herpes zoster vaccination among adults aged 60
years or older in the United States, 2007: uptake of the first new vaccine to target seniors.
Vaccine 2009;27:882-7.
11. Bennett GJ, Watson CPN. Herpes zoster and postherpetic neuralgia: past, present and
future. Pain Res Manag 2009;14:275-82.
rice3†
TAKE A FORWARD STEP POWER OF COMBINED CONTROL
(t
Tinjauan Pustaka

Definisi
Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik
yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Burgoon, 1957,
mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri yang menetap setelah fase akut infeksi.
Rogers, 1981, mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap satu bulan setelah onset ruam herpes
zoster. Tahun 1989, Rowbotham mendefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang
setidaknya selama tiga bulan setelah penyembuhan ruam herpes zoster. Dworkin, 1994,
mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset
ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster). Tahun 1999, Browsher mendefinisikan
sebagai nyeri neuropatik yang menetap atau timbul pada daerah herpes zoster lebih atau sama
dengan tiga bulan setelah onset ruam kulit. Dari berbagai definisi yang paling tersering
digunakan adalah definisi menurut Dworkin.

Etiologi
Virus varisella zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi
manusia. Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. St ruktur virus terdiri dari sebuah
icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai
ganda. Virus varisella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.

Patologi dan patogenesis


Infeksi primer virus varisella zoster dikenal sebagai varisella atau cacar air. Pajanan pertama
biasanya terjadi pada usia kanak-kanak. Virus ini masuk ke tubuh melalui system respiratorik.
Pada nasofaring, virus varisella zoster bereplikasi dan menyebar melalui aliran darah sehingga
terjadi viremia dengan manifestasi lesi kulit yang tersebar di seluruh tubuh. Periode inkubasi
sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di
ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.
Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang
hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan
klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas
seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan
dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke
kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-
sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel
sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama ‘Lipschutz inclusion
body’. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan
hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis.
Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.
Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster:
1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf
kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan.
2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya.
3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat
dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan ‘dorsal horn’, akar dan
ganglion.
4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar
saraf yang terlibat.
Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika
ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi
tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.

Epidemiologi
Kebanyakan data insidensi herpes zoster dan neuralgia paska herpertika didapatkan dari
data Eropa dan Amerika Serikat. Insedensi dari herpes zoster pada negara-negara tersebut
bervariasi dari 1.3 sampai 4.8/1000 pasien/tahun, dan data ini meningkat dua sampai empat kali
lebih banyak pada individu dengan usia lebih dari 60 tahun. Data lain menyatakan pada penderita
imunokompeten yang berusia dibawah 20 tahun dilaporkan 0.4-1.6 kasus per 1000; sedangkan
untuk usia di atas 80 tahun dilaporkan 4.5-11 kasus per 1000. Pada penderita imunidefisiensi
(HIV) atau anak-anak dengan leukimia dilaporkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan
kelompok sehat usia sama.
Penelitian Choo 1997 melaporkan prevalensi terjadinya neuralgia paska herpetika setelah
onset ruam herpes zoster sejumlah 8 kasus/100 pasien dan 60 hari setelah onset sekitar 4.5
kasus/100 pasien. Sehingga berdasarkan penelitia Choo, diperkirakan angka terjadi neuralgia
paska herpetika sekitar 80.000 kasus pada 30 hari dan 45.000 kasus pada 60 hari per 1 juta kasus
herpes zoster di Amerika Serikat per tahunnya.
Sedangkan belum didapatkan angka insidensi Asia Australia dan Amerika Selatan, tetapi
presentasi klinis dan epidemiologi herpes zoster di Asia, Australia dan Amerika Selatan
mempunyai pola yang sama dengan data dari Eropa dan Amerika Serikat.
Pada herpes zoster akut hampir 100% pasien mengalami nyeri, dan pada 10-70%nya
mengalamia neuralgia paska herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari
70 tahun dilaporkan mencapai 48%.

Faktor resiko
Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya usia,
nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam
berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami
neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan
neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit
keganasan (leukimia, limfoma), lama terjadinya ruam.

Manifestasi klinis herpes zoster dan neuralgia paska herpetika


Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa
terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang
terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah
tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa
unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.
Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga
sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari
dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari,
tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu.
Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan
pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.
Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat
mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan
pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat
mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat
dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang
paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan
rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus,
atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan
stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus
bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.

Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus herpes zoster adalah timbulnya
neuralgia paska herpetika sehingga neuralgia paska herpetika bukan merupakan kelanjutan dari
herpes zoster akut, tetapi merupakan penyakit yang berdiri sendiri yang merupakan komplikasi
herpes zoster. Neuralgia paska herpetika merupakan suatu kondisi dimana menetapnya nyeri di
tempat lesi walaupun lesi kulit sudah sembuh lama. Dworkin membagi neuralgia paska herpetika
ke dalam tiga fase:
- Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4
minggu
- Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan
- Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau
3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster.
Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa
tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia
dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri
tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien dalam
melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat tidur. Keluhan
sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif terhadap perubahan
temperatur.
Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan
sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia
/ hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik
meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih
berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.
Komplikasi lain yang dapat terjadi pada herpes zoster adalah: lesi herpes zoster yang
meluas ke seluruh tubuh (biasanya terjadi pada penderita dengan imunodefisiensi), ensefalitis,
hepatitis, pneumonitis.

Mekanisme nyeri
Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis:
1. Proses stimulasi singkat
2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi jaringan
3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf
Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan
timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya lesi, maka
rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat. Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena
terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah
terjadinya kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa.
Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan
mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi saraf
menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan
secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi
dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga
aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya
menyebabkan gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya
aktivitas abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu:
1. aktivitas ektopik
2. sensitisasi nosiseptor
3. interaksi abnormal antar serabut saraf
4. hipersensitifitas terhadap katekolamin
Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya
tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut Aß yang biasanya berupa sentuhan
halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia dirasakan sebagai nyeri.
Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya
1. sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai
respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang rangsang sehingga
stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
2. perubahan serabut Aß dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada
nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang
dari perifer berupa ectopic discharge
3. hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin
berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial
istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal
ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi). Sehingga terjadi eksitasi
berlebihan.
Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari
perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal pada sistem saraf
pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga
menunjukkan respon berlebihan terhadap stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan
menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf
perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis
sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua
rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam proses sehingga
dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska herpetika memerlukan beberapa
macam pendekatan pula.
Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika
Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia paska
herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.

Terapi farmakologis:
Analgesik
Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer
maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan
analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam
pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake
norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400
mg/hari dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding placebo dalam
pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia
pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan
pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya.
Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo
dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan
maksimal 60 mg/hari pada NPH.

Anti epilepsi
Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltage-gated sodium
channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi
glutaminergik yang bersifat eksitatorik.
Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya kalsium pada
kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat
menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson
terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan.
Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya
gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari v
oltage-gated calcium channel, sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan
neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin gene-related peptide) pada primary
afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik
pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh
karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas

Anti depressan
Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska
herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali)
norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal
yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik
amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga
sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA
telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine
reuptake inhibitor) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin
dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI
hanya menghambat reuptake serotonin.
Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti
blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan,
menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa
digunakan untuk kasus neuralgia post herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine,
desipramine dan lainnya.

Terapi topikal
Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltage-gated
sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan.
Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor
tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan
memodifikasi aktivitas NMDA.
Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam
mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan
lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik
selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-
tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.
Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin
sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika.
Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini
melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan
dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Pada suatu uji klinik acak terkendali
melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika, dilaporkan setelah pengobatan selama 4
minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6%
nyeri berkurang pada kelompok kontrol (p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek
sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya ( 1/3 pasien pada uji klinik
ini).

Terapi non farmakologis


Akupunktur
Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat
beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun
penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi
tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.

TENS (stimulasi saraf elektris transkutan)


Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit
pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya
sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.

Pencegahan neuralgia paska herpetika


Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada
penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska herpetika.
Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah kerusakan saraf,
sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan eritema,
mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.
Daftar Pustaka

1. Gnann JW Jr, Whitley RJ. Clinical practice. Herpes Zoster. N Engl J Med 2002;347:340-6.
2. Fields HL, Baron R. Postherpetic Neuralgia: irritable nociceptors & deafferentation. Neurobiol
Dis 1998;5:209-27.
3. Brewer RP, Patin DJ. Postherpetic Neuralgia: a model for treating severe pain. Supplement to
managed care 2007;vol16(11):1-16.
4. Lara QA, Claudia V, et al. Epidemiology and burden of Herpes Zoster and Post-herpetic
Neuralgia in Australia, Asia and South America. Herpes 14 Supplement 2007;2:40A-44A.
5. Haanpää M, Laippala P, Nurmikko T. Allodynia and pinprick hypesthesia in acute herpes
zoster, and the development of postherpetic neuralgia. J Pain Symptom Manage 2000;20:50-8.
6. Meliala L. Patofisiologi nyeri. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan. Kelompok
studi nyeri PERDOSSI 2001;1-22.
7. Whitley RJ. Varicella-Zoster Virus Infection. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. New York, NY: McGraw Hill;2008:1102-5.
8. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Clinical neurology. 6th ed. New York, NY: McGraw
Hill;2005:84-85.
9. Noughton B, Williams M, Rosenthal T. Office Care Gerriatrics. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins;2006:499-500.
10. Hauser SL. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. New York, NY: McGraw
Hill;2006:505-6
11. Hopper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York,
NY: McGraw Hill;2005:641-644.
12. Justins DM. Neuropathic Pain. Pain 2005-An updated review. Seattle:ISAP PRESS
;2005:91-119.
13. Meliala A. Nyeri pasca herpes. Nyeri Neuropatik patofisiologi dan penatalaksanaan.
Kelompok studi nyeri PERDOSSI 2001;57-66.
14. Gnann JW Jr, Whitley RJ. Clinical practice. Herpes Zoster. N Engl J Med 2002;347:340-6.
15. Bowsher D. The lifetime occurence of herpes zoster and prevalence of post-herpetic
neuralgia: a retrospective survey in an elderly population. Eur J Pain 1999;3:335-42.
16. Woolf CJ, Mannion RJ. Neuropathic pain: aetiology, symptoms, mechanisms, and
management. Lancet 1999;353:1959-64.
17. Cunningham AL, Dworkin RH. The management of post-herpetic neuralgia. BMJ
2000;321:778-9.
18. Kumar P. Treatment of post-herpetic neuralgia. A textbook of pain. Modern Publishers
2005;54:265-267.
19. Revest P, Shortland P, Michael A. Pain and Analgesia. The Nervous System. Edinburgh:
Churchill Livingstone 2007;5:86-111.
20. Dworkin RH, Portenoy RK. Proposed classification of herpes zoster pain. Lancet
1994;343:1648.

Anda mungkin juga menyukai