BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pekerja mempunyai risiko terhadap masalah kesehatan yang disebabkan oleh proses
kerja, lingkungan kerja serta perilaku kesehatan pekerja. Pekerja tidak hanya berisiko
menderita penyakit menular dan tidak menular tetapi pekerja juga dapat menderita
penyakit akibat kerja serta kecelakaan kerja. Masalah-masalah kesehatan pada pekerja,
baik yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan memerlukan
pelayanan kesehatan kerja secara komprehensif meliputi promotif, pencegahan, diagnosis
dan tata laksana serta rehabilitatif. Amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan bahwa seluruh pekerja baik sektor formal dan informal memiliki hak dalam
mengakses pelayanan kesehatan kerja termasuk penyelenggaraan pelayanan penyakit
akibat kerja.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukan bahwa terdapat 128,3 juta
angkatan kerja di Indonesia yang tersebar di berbagai lapangan pekerjaan, dengan
1
komposisi pekerja formal sebanyak 40,19% dan pekerja informal sebanyak 59,81%.
Apabila kita telaah lebih lanjut, pekerja di Indonesia yang mayoritas informal, memiliki
tingkat kerentanan yang lebih tinggi mengalami KK dan PAK dibandingkan dengan pekerja
formal.
Berdasarkan data dari ILO tahun 2017, diperkirakan 2,78 juta orang meninggal terkait
dengan pekerjaan, terdiri dari 2.430.965 kasus meninggal akibat penyakit dan 380.500
kasus kecelakaan. Trend global mengenai kematian terkait kerja konsisten yaitu jauh lebih
banyak yang meninggal akibat sakit dibandingkan dengan yang meninggal akibat
kecelakaan (tercatat pada tahun 1998, 2001, 2003, 2008 dan 2011). Data di Indonesia
menunjukkan perbandingan yang terbalik, yaitu jauh lebih banyak kematian akibat
kecelakaan kerja dibandingkan penyakit akibat kerja. Gambaran penyakit akibat kerja
seperti fenomena “Puncak Gunung Es”, KK dan khususnya PAK yang dilaporkan masih
sangat terbatas dan parsial sehingga belum menggambarkan besarnya masalah
keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Hal ini disebabkan banyak hal, antara lain
disebabkan oleh sumber daya manusia yang mampu melakukan diagnosis PAK masih
kurang sehingga pelayanan untuk PAK belum optimal; kebijakan yang tidak harmonis dan
dikotomi badan penjamin program jaminan sosial, serta diduga adanya keraguan dan
keengganan melaporkan kasus PAK.
Apabila data ILO diatas diproyeksikan ke Indonesia, maka akan terlihat potensi kasus
dan biaya terkait KK dan PAK yang begitu besar. Berdasarkan data internal BPJS
kesehatan (2014 - 2017), utilisasi dari 5 penyakit yang berpotensi kuat sebagai PAK yaitu
asma, carpal tunnel syndrome, dermatitis contact, hearing loss dan low back pain cukup
tinggi. Data ini walaupun belum menggambarkan PAK yang terbanyak, namun apabila data
utilisasi tersebut dikalikan dengan prevalensi PAK masing - masing penyakit maka
didapatkan potensi biaya PAK sekitar Rp. 1.280.203.626.563. Biaya tersebut dapat jauh
lebih besar jika PAK yang bersifat kronik progresif seperti penumokoniosis dan kanker
akibat kerja juga ikut dihitung, sehingga PAK yang tidak terdiagnosis ini, berpotensi
menjadi penyakit ‘katastrofik’ bagi ketahanan dana, padahal penyakit akibat kerja
umumnya dapat dicegah dengan upaya preventif dan promotif di tempat kerja. Dokter di
FKTP dan FKRTL yang menjadi mitra kerja sama dengan BPJS Kesehatan dituntut mampu
melakukan deteksi PAK dalam rangka pemenuhan hak perlindungan pekerja selain
menjaga ketahanan dana BPJS yang merupakan tanggung jawab profesinya.
Sebanyak 1/5 pekerja yang sudah terlindung dalam program Jaminan Kecelakaan
Kerja saat ini pun mengalami kesulitan mendapatkan manfaat program JKK, khususnya
yang mengalami kasus PAK. Pekerja yang mengalami PAK sering memiliki keluhan dan
gejala penyakit yang menyerupai penyakit pada umumnya sehingga tidak datang dengan
2
“label khusus saya pekerja yang terkena PAK”. Untuk itu maka kompetensi tenaga
kesehatan sangat berperan penting dalam mendeteksi PAK. Dalam hal ini, mereka harus
memahami bahwa deteksi kasus PAK pada dasarnya melewati dua tahap proses kerja,
pertama adalah tahap dugaan PAK dan kedua adalah tahap penegakan diagnosis PAK.
Melalui pedoman ini diharapkan para petugas kesehatan akan lebih fokus paling tidak
sampai dengan tahap dugaan PAK, karena dalam penegakan PAK memerlukan sumber
daya yang besar dan sudah ada mekanisme yang sudah berjalan sesuai perundangan.
Upaya penanganan masalah kesehatan bagi pekerja secara komprehensif adalah hal
yang penting, baik dalam hal masalah penyakit umum maupun KK dan PAK. Dalam hal
penatalaksanaan kasus KK dan PAK tidak cukup hanya penatalaksanaan medis bagi
penderitanya, namun juga membutuhkan penatalaksanaan okupasi seperti pengendalian
potensi bahaya yang menyebabkan PAK agar pekerja tersebut tidak mengalami keluhan
yang berulang dan sering kali berobat ke fasilitas kesehatan tanpa mendapatkan solusi
yang sesuai dengan penyebab timbulnya keluhan serta agar pekerja lain yang juga bekerja
di tempat yang sama tidak mengalami PAK yang sama. Oleh karena itu, diperlukan suatu
usaha deteksi yang dapat memutus lingkaran setan (sirkulus Wilisi) yang sangat merugikan
teman sekerja, perusahaan dan badan penyelenggara program. Perlu diperhatikan bahwa
untuk pembuktian kasus dugaan PAK memerlukan sumber daya yang besar dan tidak
mungkin diperoleh melalui pemanfaatan program Jaminan Kesehatan, namun dapat
diperoleh melalui pemanfaatan program Jaminan Kecelakaan Kerja.
Dalam era jaminan sosial, mekanisme pembiayaan KK dan PAK sudah diatur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga pekerja yang terdiagnosis KK
dan PAK memiliki jaminan pembiayaan kesehatan yaitu oleh program Jaminan Kecelakaan
Kerja. Kepesertaan pekerja pada program Jaminan Kecelakaan Kerja adalah suatu
kewajiban. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi hak peserta secara komprehensif, bukan
hanya sekedar pemenuhan pelayananan kesehatan namun juga berbagai macam manfaat
lain seperti promotif - preventif, santunan cacat, tunjangan kematian dan return to work,
yang hanya dimiliki oleh program Jaminan Kecelakaan Kerja. Badan penyelenggara
program Jaminan Kecelakaan Kerja di Indonesia saat ini adalah BPJS Ketenagakerjaan,
PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) sesuai dengan segmen pesertanya masing
- masing yang akan dibahas lebih detail pada Bab II tentang Deteksi Kasus Kecelakaan
Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja.
Terdapat salah satu data yang menarik berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
yaitu penelitian pada 33 dokter yang bekerja di Industri pada tahun 2007 - 2008 tentang
PAK dan didapatkan bahwa 75,75% dokter mengatakan tidak pernah mendiagnosis PAK
dalam 3 tahun terakhir dan 66,6% dokter mengalami kesulitan dalam mendiagnosis PAK.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat awareness dokter terhadap PAK cukup rendah.
Diduga salah satu yang menyebabkan rendahnya tingkat awareness dokter terhadap
PAK adalah mengenai Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tentang PAK.
Sebelum tahun 2012, kurikulum pendidikan dokter yang lama belum memasukkan
kompetensi tentang PAK yaitu “melakukan langkah-langkah diagnosis PAK dan
penanganan pertama di tempat kerja, serta melakukan pelaporan PAK” yang memiliki level
kompetensi 4A. Dokter yang memulai pendidikan sejak tahun 2012, sudah sewajarnya
mampu mendeteksi PAK karena sudah dibekali dengan kompetensi sejak masa
pendidikan dokter.
3
pemenuhan hak - hak peserta yang komprehensif sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku. Dukungan penuh para penyelenggara pelayanan kesehatan akan sangat
berdampak pada pendeteksian KK dan PAK. BPJS Kesehatan menyiapkan pedoman ini
sebagai bentuk akselerasi pemenuhan knowledge gap terkait KK dan PAK pada fasilitas
kesehatan yang telah bekerja sama, selain itu juga diharapkan alur penjaminan menjadi
lebih jelas.
B. TUJUAN
Tujuan Umum
Sebagai acuan bagi dokter dalam deteksi kasus KK dan PAK oleh seluruh fasilitas
kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, baik FKTP maupun FKRTL.
Tujuan Khusus
1. Terdeteksinya KK dan PAK di fasilitas kesehatan yang telah bekerja sama dengan
BPJS Kesehatan sebagai bagian upaya perlindungan kesehatan pekerja.
2. Terwujudnya alur pengalihan penjaminan yang jelas bagi peserta Jaminan Kesehatan
yang mengalami Kecelakaan Kerja dan PAK ke badan penyelenggara program
Jaminan Kecelakaan Kerja.
3. Tercapainya pemanfaatan program jaminan sosial sesuai dengan amanah Undang -
Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pedoman ini menjadi acuan deteksi kasus KK dan PAK oleh seluruh fasilitas
kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, baik FKTP maupun FKRTL.
Adapun yang beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
• Pada kasus KK, FKTP dan FKRTL yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
diharapkan mampu menegakan diagnosis kasus sampai dengan tuntas, sebagaimana
diatur dalam pedoman ini, karena pada dasarnya kasus KK lebih mudah diidentifikasi
dan tidak memerlukan pembuktian khusus.
• Pada kasus PAK, FKTP dan FKRTL yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan
dapat melakukan dugaan PAK serta menyampaikan dugaan tersebut ke badan
penyelenggara program JKK untuk dilakukan pembuktian kasus. Namun tidak
menutup kemungkinan FKTP dan FKRTL yang memiliki kompetensi yang sesuai untuk
dapat membuktikan PAK sampai dengan tuntas dengan tetap memperhatikan
penggunaan sumber daya program yang dapat dipertanggungjawabkan.
4
Gambar 1 - Batasan Pedoman Deteksi : Dugaan PAK dan Diagnosis PAK
Pasien dengan dugaan dan diagnosis PAK tersebut akan dikoordinasikan ke badan
penyelenggara program JKK untuk pembuktian. Proses pembuktian kasus dugaan PAK
diselenggarakan oleh badan penyelenggara program Jaminan Kecelakaan Kerja karena
membutuhkan sumber daya yang besar dan saat ini tidak dapat dilakukan sendiri oleh
BPJS Kesehatan.
D. SASARAN
E. DASAR HUKUM
.
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2918);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4279);
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
5
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5607);
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 42);
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 154);
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan
Kecelakaan Kerja Dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 212);
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2015 tentang Asuransi
Sosial Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Dan Pegawai Aparatur Sipil Negara Di Lingkungan Kementerian
Pertahanan Dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 324);
12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 1750);
13. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2015
tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Kematian dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1510).
6
BAB II
DETEKSI KASUS KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Terdeteksinya kasus KK dan PAK tidak lepas dari tidak lepas dari kompetensi dokter
dalam melakukan diagnosis yang menangani pekerja serta alur penjaminan pelayanan,
terutama untuk kasus dugaan PAK. Para pemberi pelayanan kesehatan yang telah
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan dapat menjadi garda terdepan dalam mengawal
program jaminan sosial baik Jaminan Kesehatan maupun Jaminan Kecelakaan Kerja, agar
memastikan pekerja dapat terpenuhi hak - haknya sesuai dengan manfaat masing - masing
program. Penggunaan manfaat program yang tepat bukan hanya bermanfaat bagi pekerja,
namun juga bagi fasilitas kesehatan terhadap kepastian penjaminan dan pembayaran
biaya pelayanan kesehatan bagi peserta masing - masing program.
A. PENGERTIAN UMUM
7
15. Kecelakaan Kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk
kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau
sebaliknya dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
16. Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan/atau
lingkungan kerja.
17. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
18. Pekerja mandiri adalah Pekerja di luar hubungan kerja.
19. Jaminan Kecelakaan Kerja yang selanjutnya disingkat JKK adalah manfaat berupa
uang tunai dan / atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta
mengalami KK atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
20. Jaminan Kematian yang selanjutnya disingkat JKM adalah manfaat uang tunai yang
diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat KK.
21. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang
memperkerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lainnya.
22. Potensi bahaya (pajanan/hazard) adalah segala sesuatu yang berpotensi
menyebabkan bahaya pada pekerja berupa cidera dan atau gangguan kesehatan.
23. Risiko adalah peluang terjadinya suatu potensi bahaya.
B. KECELAKAAN KERJA
8
Kemungkinan Commuting Accident
Rute yang wajar dan sering digunakan sering menjadi sumber masalah terkait
penetapan KK saat berpergian, baik berangkat dan pulang kerja. Pemberi pelayanan
kesehatan harus jeli dalam melakukan anamnesis. Gali informasi mengenai lokasi dan
waktu kejadian kecelakaan sehingga badan penjamin dapat memberikan kepastian
penjaminan. Tanyakan waktu kejadian kecelakaan termasuk saat berangkat dan pulang
kerja atau tidak. Cantumkan lokasi rumah / tempat tinggal dan kantor / lokasi bekerja,
sehingga tergambarkan dengan jelas apakah masuk ke dalam KK atau tidak. Kecelakaan
kerja juga termasuk kecelakaan yang terjadi pada pekerja saat dalam perjalanan dinas dan
hari lembur, sehingga tidak menutup kemungkinan KK yang terjadi di luar kebiasaan jam
kerja pada umumnya.
Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penentuan kasus
kecelakaan kerja dapat disimpulkan sebagai berikut:
• Status pekerja: sektor formal / informal
• Lokasi kecelakaan:
o Jika terjadi di tempat kerja maka kasus adalah KK.
o Jika terjadi di jalanan:
Dalam rute yang biasa dilalui untuk pergi/pulang ke/dari tempat kerja
maka kasus adalah KK
Dalam rute yang tidak biasa dilalui untuk pergi/pulang ke/dari tempat
kerja:
• Untuk kepentingan pekerjaan (misalnya salesman atau kurir)
atau dalam perjalanan dinas maka kasus adalah KK.
• Untuk kepentingan bukan pekerjaan maka kasus adalah bukan
KK, melainkan kecelakaan lalu-lintas.
• Apa yang sedang dilakukan ketika kecelakaan terjadi: jika sedang melakukan aktivitas
kerja maka kasus adalah KK.
• Waktu terjadinya kecelakaan:
o Jika terjadi pada hari kerja dan jam kerja maka kemungkinan kasus adalah KK
(lihat kriteria lainnya).
o Jika terjadi bukan pada hari kerja dan jam kerja:
Ada surat perintah kerja: maka kasus adalah KK
Tidak ada surat perintah kerja: maka kasus bukan KK
• Siapa yang membawa korban:
o Jika teman sekerja ada kemungkinan kasus adalah KK
o Jika anggota rumah tangga korban: cek apa yang sedang dilakukan ketika
kecelakaan terjadi.
o Jika datang sendiri: kemungkinan kecil kasus adalah KK
Catat semua informasi penting yang ditemukan pada saat anamnesis pada rekam medik.
Fasilitas kesehatan harus lebih berhati - hati dalam menuliskan informasi yang didapat
dari auto-anamnesis karena memiliki dampak hukum yang luas. Lakukan juga
alloanamnesis bagi pasien - pasien yang memiliki ketidaksesuaian antara pemeriksaan
fisik yang ditemukan dengan anamnesis kronologis kejadian. Alloanamnesis dapat
dilakukan lebih dari satu kali apabila memang dibutuhkan. Tulis dengan jelas sumber
informasi dari allo-anamnesis dan nomor kontak sumber informasi sebagai kebutuhan
kelengkapan data dalam audit klaim.
9
Prosedur Kerja Penegakan Kecelakaan Kerja
Definisi PAK
Penyakit akibat kerja menurut International Labour Organization (ILO) tahun 1998
adalah penyakit yang mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi kuat dengan
pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang sudah diakui.
Sedangkan penyakit terkait kerja adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen
penyebab, dimana faktor pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan faktor
risiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks.
Perlu dipahami bersama bahwa adapun penyakit yang dijamin oleh program JKK saat
ini adalah hanya penyakit akibat kerja, bukan penyakit terkait kerja. Namun, untuk
memudahkan alur penjaminan sesuai dengan yang akan diatur pada bab selanjutnya,
maka FKTP dan FKRTL yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tidak perlu
memisahkan antara mana kasus yang termasuk ke dalam penyakit akibat kerja
(occupational disease) dan penyakit terkait kerja (work related disease), karena
cukup sampai dengan dugaan PAK yang sudah mencakup kedua definisi tersebut.
Dugaan PAK adalah suatu kondisi kesehatan pekerja yang diduga dipengaruhi oleh
faktor bahaya dari pekerjaan dan/atau lingkungan kerja, tetapi belum terbukti sebagai PAK
atau bukan PAK.
Identifikasi potensi bahaya merupakan salah satu upaya / proses yang dilakukan untuk
meningkatkan awareness para dokter di fasilitas kesehatan yang telah bekerja sama
terhadap adanya kemungkinan - kemungkinan potensi bahaya pada lingkungan kerja yang
dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Upaya tersebut dilakukan dengan
mengenalkan jenis - jenis potensi bahaya berdasarkan definisi dan klasifikasi potensi
bahaya kepada para dokter sesuai dengan yang ada pada pedoman ini. Kurangnya
pemahaman mengenai potensi bahaya akan menyebabkan halangan yang signifikan
terhadap proses deteksi PAK.
10
4. Golongan ergonomi
Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja statis, gerak repetitif,
penerangan, Visual Display Terminal (VDT) dan lain-lain.
5. Golongan psikososial
Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja (shift kerja panjang dan total jam
kerja >40 jam / minggu), kerja monoton, hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi
kerja jauh (>1 jam perjalanan) dan lain-lain.
FKTP dan FKRTL wajib melakukan anamnesis yang mendalam tentang riwayat
pekerjaan sekarang dan terdahulu bagi semua peserta BPJS Kesehatan yang bekerja
(terutama detail pekerjaan semua segmen, baik formal maupun informal). Lakukan
anamnesis terhadap kemungkinan - kemungkinan potensi bahaya yang ada ditempat kerja
baik pekerjaan sekarang dan terdahulu. Informasi yang dibutuhkan mencakup setidaknya:
• Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis
• Periode waktu melakukan masing - masing pekerjaan
• Apa yang diproduksi dan bahan - bahan yang digunakan
• Kemungkinan potensi bahaya yang terlibat sesuai dengan keluhan saat ini
• Cara dan proses kerja
FKTP dan FKRTL wajib melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap sesuai dengan
kompetensinya. Lakukan pencatatan semua informasi yang didapat dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik dengan baik pada rekam medik. BPJS Kesehatan akan melakukan audit
klaim berkala dengan membandingkan antara klaim yang ditagihkan dengan data yang
tertera pada rekam medik.
Kasus PAK yang didiagnosis setelah berhenti bekerja berhak mendapatkan Jaminan
Kecelakaan Kerja melalui BPJS Ketenagakerjaan sampai dengan paling lama 3 (tiga)
tahun setelah pensiun / hubungan kerja berakhir sesuai peraturan undang - undang yang
berlaku. Kasus PAK yang diketahui melewati 3 (tiga) tahun setelah pensiun / hubungan
kerja berakhir pada dasarnya adalah menjadi tanggung jawab pengusaha / pemberi kerja.
Pastikan rekam medik tidak dimusnahkan dalam waktu cepat karena memilki kepentingan
hukum yang kuat.
11
4. Lakukan identifikasi pekerjaan, jenis pajanan yang mungkin terlibat dan lihat matriks
deteksi dugaan PAK (lampiran 2)
5. Tentukan kasus sebagai dugaan PAK atau tidak
6. Apabila FKTP/FKRTL mampu lakukan pembuktian dengan diagnosis 7 langkah,
sehingga dapat ditentukan PAK atau bukan PAK.
7. Apabila FKTP/FKRTL tidak mampu melakukan pembuktian, tetapi ada dugaan bahwa
pajanan di tempat kerja dapat menjadi penyebab penyakitnya, maka lanjutkan dengan
melaporkan kasus tersebut sebagai dugaan PAK.
8. Laporkan ke BPJS Kesehatan dan badan penyelenggara program JKK yang terlibat
untuk pembuktian (lampiran 3 yang nantinya difasilitasi oleh aplikasi Pcare untuk
FKTP dan aplikasi Vclaim untuk FKRTL).
Pembuktian PAK
Pembuktian PAK membutuhkan suatu proses spesifik yang idealnya dilakukan dengan
pendekatan 7 (tujuh) langkah yang meliputi:
a. penegakan diagnosis klinis;
b. penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja;
c. penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit;
d. penentuan kecukupan pajanan;
e. penentuan faktor individu yang berperan;
f. penentuan faktor lain di luar tempat kerja; dan
g. penentuan diagnosis PAK.
Kendala utama dalam melakukan pendekatan 7 langkah ini biasanya dimulai pada
poin d yaitu penentuan kecukupan pajanan. Tidak semua potensi bahaya akan
menimbulkan gangguan kesehatan. Potensi bahaya yang diatas nilai ambang batas pun
bisa saja tidak menyebabkan PAK apabila pekerja menerapkan “manajemen risiko”
terhadap potensi bahaya yang ada, seperti menggunakan Alat Pelindung Diri, sehingga
diperlukan suatu proses penilaian risiko untuk menilai dosis / besaran pajanan, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif, yang merupakan bagian dari Health Risk Assessment,
dipadukan dengan kerentanan individu dan pajanan di luar tempat kerja. Tidak
ditemukannya potensi bahaya pada saat pemeriksaan lapangan tidak menghilangkan
kemungkinan adanya PAK karena bisa saja potensi bahaya yang ditemukan saat
pemeriksaan lapangan baru saja terkoreksi, sedangkan potensi bahaya bisa saja sudah
ada dalam jangka waktu yang lama sebelumnya. Pembuktian PAK menuju diagnosis PAK
pada kasus dugaan PAK akan dilakukan oleh badan penyelenggara program Jaminan
Kecelakaan Kerja sesuai dengan alur penjaminan (Skema 3) pada bab selanjutnya.
Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi fasilitas kesehatan / perusahaan yang
memiliki sumber daya manusia dengan kompetensi cukup; akses terhadap data
pengukuran potensial bahaya di tempat pekerja dan kemampuan melakukan Health Risk
Assessment untuk dapat menegakan diagnosis PAK sampai tuntas. Hal ini akan diatur
lebih lanjut dalam pedoman lain atau pilot project bersama dengan badan penyelenggara
program Jaminan Kecelakaan Kerja.
12
D. PENCATATAN DAN PELAPORAN
Pencatatan dan pelaporan sangat berguna bagi kepentingan banyak pihak, bagi
badan penjamin sangat penting untuk penentuan penjaminan, bagi pemberi pelayanan
kesehatan sangat penting untuk mendapatkan kepastian penjaminan dan bagi pekerja
sangat penting untuk mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan yang komprehensif
sesuai dengan manfaat masing - masing program.
Pencatatan dan pelaporan yang baik salah satunya bertujuan untuk memutus
lingkaran yang terus berulang dan sebetulnya dapat dicegah. Data yang baik harus dapat
menggambarkan aktivitas pekerjaan yang dilakukan, lengkap dengan seberapa luas dan
keparahan dampak akibat KK dan PAK tersebut, sehingga dapat diolah sedemikian rupa
sebagai dasar suatu kebijakan program pencegahan di kemudian hari. Kunci utama
pencatatan dan pelaporan adalah tertulisnya semua informasi yang didapatkan oleh
dokter, baik melalui anamnesis maupun pemeriksaan fisik, pada rekam medik.
a. informasi mengenai pemberi kerja dan jenis usaha yang dilakukan; aktivitas ekonomik
dan besarnya usaha yang dilakukan
b. informasi mengenai orang yang cedera, jenis kelamin, usia, pekerjaan dan status
pekerja
c. informasi mengenai cedera, fatal atau tidak, jumlah hari sakit yang hilang akibat
cedera, bagian tubuh yang cedera
d. informasi mengenai kecelakaan dan kronologisnya, tempat, waktu, tanggal, aktivitas
yang menyebabkan cedera
13
Adapun pencatatan dan pelaporan dugaan KK PAK mengikuti gambar diatas. Perlu
diperhatikan terdapat peran dokter dan peran petugas admin / case manager baik di FKTP
maupun FKRTL. Peran dokter adalah melayani peserta sesuai dengan kompetensinya dan
menuliskan dugaan KK - PAK pada rekam medik. Sedangkan terdapat peran petugas
admin atau case manager yang melakukan pencatatan dan pelaporan pada aplikasi milik
BPJS Kesehatan.
Diharapkan kedepannya terdapat sebuah database nasional terhadap siapa saja yang
telah terbukti PAK dan jenis PAK yang diderita peserta sehingga bisa digunakan dengan
mudah oleh FKTP dan FKRTL dalam menentukan siapa badan penjamin yang terlibat. Hal
ini akan disusun lebih lanjut antara BPJS Kesehatan dan penyelenggara program Jaminan
Kecelakaan Kerja.
Kepesertaan Pekerja pada Program Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja
Masalah kesehatan pada pekerja sesuai dengan amanah Undang - Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat dilindungi oleh dua program yaitu jaminan sosial
bidang kesehatan (Jaminan Kesehatan) maupun bidang ketenagakerjaan (Jaminan
Kecelakaan Kerja), yang mana setiap program memiliki batasan manfaatnya masing -
masing.
14
Gambar 3 - Sistem Jaminan Sosial Nasional
Sumber : Peta Jalan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan oleh DJSN
Kepesertaan aktif disalah satu program bukan berarti serta merta dapat menerima
manfaat dari program yang lain (tidak bisa saling mengalihkan manfaat) karena sumber
pendapatan dan ruang lingkup masing - masing program jaminan sosial baik kesehatan
maupun ketenagakerjaan adalah berbeda. Sehingga mau tidak mau, pembiayaan bagi
pekerja yang telah terbukti mengalami KK PAK dan belum menjadi peserta program
jaminan sosial adalah out of pocket. Biaya pelayanan kesehatan out of pocket dapat
ditanggung sendiri oleh pemberi kerja atau pekerja itu sendiri. Hal ini sejalan dengan
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
15
Jalur penjaminan yang berlaku sesuai dengan program Jaminan Kecelakaan Kerja
masing - masing badan penyelenggara program yaitu:
Catatan khusus:
• Penyakit umum adalah penyakit - penyakit yang tidak terkait pekerjaan, bisa termasuk
penyakit menular ataupun tidak menular.
• Kecelakaan umum adalah kecelakaan yang tidak termasuk kecelakaan kerja dan
kecelakaan lalu lintas.
• Kecelakaan kerja saat berangkat dan pulang kerja bisa termasuk kriteria kecelakaan
lalu lintas sehingga dapat melibatkan dua badan penjamin yaitu penyelenggara
program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kecelakaan Lalu Lintas.
• Apabila suatu kasus terbukti KK dan PAK yang tidak dijamin oleh badan penjamin lain
karena satu dan lain hal maka bukan menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan untuk
menanggung hal tersebut karena bertentangan dengan manfaat program Jaminan
Kesehatan. Kasus tersebut merupakan tanggung jawab dari pemberi kerja.
• Untuk aturan penjaminan kasus KK dan PAK akan mengikuti aturan masing - masing
badan penyelenggara program Jaminan Kecelakaan Kerja.
16
Gambar 4 - Alur Penjaminan Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja
Kasus KK dan PAK yang sudah terbukti, bahkan sejak di FKTP, tidak diperkenankan
menggunakan manfaat program Jaminan Kesehatan (tidak boleh dirujuk menggunakan
jalur Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan BPJS Kesehatan).
Kasus dengan dugaan PAK, akan dilakukan pembuktian oleh badan penyelenggara
program Jaminan Kecelakaan Kerja (BPJS Ketenagakerjaan, PT Taspen dan PT Asabri).
Apabila setelah dilakukan pembuktian didapatkan keputusan akhir diagnosis tersebut
adalah PAK, maka penjaminan akan dialihkan ke program Jaminan Kecelakaan Kerja.
Namun, apabila setelah dilakukan pembuktian didapatkan keputusan akhir diagnosis
tersebut bukan PAK, maka kasus tersebut akan dikembalikan kepada BPJS Kesehatan.
Adapun biaya pembuktian merupakan tanggung jawab masing - masing badan
penyelenggara program Jaminan Kecelakaan Kerja, bukan oleh BPJS Kesehatan.
FKTP dan FKRTL harus memastikan penerbitan penjaminan secara berhati - hati
sesuai dengan ruang lingkup masing - masing program. Apabila dikemudian hari pada saat
audit klaim ditemukan kesalahan penggunaan manfaat program Jaminan Kesehatan, maka
akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
17
BAB III
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pembinaan
Pengawasan
Pembinaan dan pengawasan terhadap pemenuhan hak - hak pekerja dan penegakan
hukum terhadap pelanggarannya dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan yang
diangkat oleh Menteri Ketenagakerjaan. Kasus - kasus yang memerlukan penyelesaian
dengan melibatkan pengawas ketenagakerjaan dapat dikoordinasikan oleh Kedeputian
Wilayah BPJS Kesehatan dengan sepengetahuan Kantor Pusat BPJS Kesehatan.
18
BAB IV
PENUTUP
Deteksi KK dan PAK harus melalui sistematika tertentu, berbasis bukti (evidence
based) dan sangat dipengaruhi oleh kompetensi fasilitas kesehatan. Deteksi tersebut juga
merupakan suatu langkah awal dalam memastikan terpenuhinya hak - hak pekerja, dan
menjamin perlindungan kesehatannya yang menyeluruh dan terpadu, bukan sekedar
terpenuhinya pelayanan kesehatan semata, namun juga terpenuhinya hak seorang pekerja
yang lebih komprehensif sesuai dengan manfaat masing - masing program jaminan sosial,
baik kesehatan maupun ketenagakerjaan. Manfaat yang komprehensif tersebut
merupakan salah satu bukti kehadiran negara dalam melindungi pekerja.
Apabila penjaminan penyakit akibat kerja juga menganut filosofi yang mengutamakan
perlindungan pada pekerjanya, seperti kecelakaan lalu lintas dalam kondisi tertentu seperti
berangkat dan pulang kerja yang termasuk dalam program JKK, maka prosedur pada
pedoman deteksi dugaan PAK ini ditambahkan dengan pembuktian ada potensi bahaya di
tempat kerjanya, sudah dapat diberikan manfaat dalam program JKK, karena akuntabel.
Sedangkan pembuktian PAK 7 langkah sejatinya lebih diperlukan untuk tindakan/program
pencegahan yaitu pengendalian risiko agar kasus tidak terulangi.
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal Januari 2018
MAYA A. RUSADY
19
LAMPIRAN 2
Pada lampiran ini berisi matriks - matriks yang akan membantu dokter di Fasilitas Kesehatan yang telah bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan dalam melakukan deteksi kasus khususnya penyakit akibat kerja. Terdapat beberapa variasi skema yang merupakan approach
cara berfikir dan akan bersifat saling melengkapi. Proses koordinasi kasus dugaan yang dilaporkan ke badan penyelenggara program
JKK tidak terbatas pada jenis - jenis kasus yang ada pada matriks ini karena jenis - jenis penyakit yang ada pada matriks ini hanya
merupakan sebagian kecil atau merupakan contoh - contoh dari sekian banyak penyakit akibat kerja
Berikut terlampir matriks deteksi kecurigaan PAK berdasarkan jenis pekerjaan yang memiiliki potensi tinggi dan sering ditemui yaitu:
Catatan: Jenis diagnosis pada matriks ini tidak dimonopoli oleh suatu pekerjaan spesifik, perlu diperhatikan bahwa diagnosis - diagnosis yang
ada pada matriks ini dapat berhubungan dengan banyak macam pekerjaan lain.
Matriks Deteksi Kecurigaan PAK - Skema 2
Berikut terlampir matriks deteksi kecurigaan PAK berdasarkan jenis diagnosis yang paling sering ditemui yaitu:
Pekerja Berisiko Bahan Iritan Potensial Pekerja Berisiko Bahan Iritan Potensial
Pekerja sektor Pupuk buatan, pembasmi kuman, Pekerja rumah sakit Detergen, pembasmi kuman, makanan,
pertanian pestisida, bensin, solar, tumbuh- wet work
tumbuhan
Seniman Bahan pelarut, tanah liat Pekerja rumah tangga Detergen, bahan pembersih, makanan,
wet work
Pekerja otomotif Bahan pelarut, cutting oils, cat, Tukang perhiasan Detergen, bahan pelarut
pembersih tangan
Tukang roti Tepung, detergen Mekanik Oli, gemuk, bensin, solar, bahan
pembersih, bahan pelarut
Pelayan Bar Detergen, wet work Pekerja logam Bahan pelarut, bahan pembersih tangan
(Bartender)
Penjilid buku Bahan pelarut, perekat Perawat Pembasmi kuman, detergen, wet work
Tukang daging Detergen, daging, limbah Pekerja kantor Bahan pelarut
Tukang kayu Perekat, detergen, tiner, bahan pelarut, Tukang cat Bahan pelarut, tiner, bahan pembersih
pengawet kayu tangan
Pembersih Detergen, bahan pelarut, wet work Pekerja industri fotografi Bahan pelarut, wet work
Pekerja tambang Debu, lingkungan basah Pekerja plastik Bahan pelarut, bahan asam, stiren
Pekerja konstruksi Semen Pekerja percetakan Bahan pelarut
Juru masak Detergen, sayur-sayuran, wet work Perajin sepatu Bahan pelarut
Dokter gigi dan Detergen, bahan pembersih tangan, wet Penyamak kulit Bahan asam, bahan basa, agen
perawat gigi work pengoksidasi dan pereduksi, wet work
Pekerja binatu Bahan pelarut Pekerja tekstil Serat, bahan pemutih, bahan pelarut
Pekerja listrik Soldering fluxes Pekerja pemotongan ternak Pembasmi kuman, wet work, jeroan dan
kotoran ternak
7 Dermatitis Kontak Alergi Akibat Dermatitis Kontak Alergi (DKA) adalah peradangan kulit yang terjadi setelah kulit terpajan dengan
Kerja bahan alergen melalui proses hipersensitivitas tipe lambat.
Anamnesis Ruam kemerahan yang muncul di area tubuh yang terkena kontak langsung dengan agen
penyebab. Ruam terasa gatal dengan tanda-tanda radang yang dapat disertai vesikel, kulit kering,
lecet, pecah-pecah, mengelupas dan nyeri
Pemeriksaan Fisik Lesi muncul pada area tubuh yang kontak langsung dengan agen penyebab. Didapatkan
predominan tanda akut dan subakut. Lesi eritematous, edema dengan vesikel, papul, atau bula,
basah.
Pekerja Berisiko Bahan Alergen Potensial Pekerja Berisiko Bahan Alergen Potensial
Pekerja sektor Karet, oat, jelai, makanan ternak, semen, Pekerja rumah sakit Bahan pewarna, persulfat, nikel, parfum,
pertanian pestisida, tumbuhan, pengawet kayu sarung tangan karet, formaldehid
Seniman Terpentin, pigmen, bahan pewarna, resin Pekerja rumah tangga Sarung tangan karet, makanan, rempah-
epoksi rempah, perisa, nikal, kromat
Pekerja otomotif Kromat, nikel, kobalt, resin epoksi Tukang perhiasan Resin epoksi, logam, soldering fluxes
Tukang roti Perisa, jeruk, lemon, bahan pewarna, Mekanik sarung tangan karet, kromat, resin epoksi
amonia persulfat, benzoyl peroksida
Pelayan Bar Jeruk, lemon, limau, perisa Personel medis Sarung tangan karet, obat anestesi,
(Bartender) antibiotik, antiseptik, glutaraldehid
Penjilid buku Perekat, resin, kulit Pekerja logam Nikel, kromat
Tukang kayu Lem, kayu, terpentin, pernis, pewarna Pekerja kantor Karet, nikel, perekat
Pembersih Sarung tangan karet Tukang cat Terpentin, tiner, kobalt, kromat, resin
poliester, formaldehid, cat
Pekerja tambang Sepatu karet dan masker Pekerja industri fotografi Sarung tangan karet, bahan warna,
hidroquinon, formaldehyde, chromates
Pekerja konstruksi Kromat, kobalt, sarung tangan karet dan Pekerja plastik Resin fenolik, poliuretan, akrilik
kulit, resin, kayu
Juru masak Makanan, bawang putih, bawang Pekerja percetakan Nikel, kromat, kobalt, terpentin,
bombay, perisa, sarung tangan karet formaldehid
Dokter gigi dan Anestesi lokal, merkuri, eugenol, Perajin sepatu Perekat, kulit, karet, terpentin
perawat gigi desinfektan, karet
Pekerja binatu Sarung tangan karet Penyamak kulit Kromat, formaldehid, fungisida, pewarna,
bahan penyamak
Pekerja listrik Fluxes, resin, karet Pekerja tekstil Formaldehid,
Tukang las Nikel, kromium, kobalt Pekerja pemotongan ternak sarung tangan karet, obat-obatan
8 Bronkhitis Akibat Kerja Bronkitis akibat kerja (industri) adalah bronkitis kronik pada pekerja yang terpajan inhalasi debu,
dust, fume dan lainnya.
Anamnesis Batuk produktif sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan, sesak, sakit dada.
Pemeriksaan Fisik Wheezing dan ronkhi
Jenis Pajanan / Potensi • chlorine, fluorine, sulphur dioxide, phosgene, dan oksida-oksida nitrogen.
Bahaya • asam atau basa.
• cadmium
• zinc chloride dan vanadium pentoxide.
• kapas, kayu, Debu bijian (grain dust, seperti gandum, padi, dll)
• asam tembakau, asap kebakaran, gas buang kendaraan.
Pekerja Berisiko • Pekerja di pabrik/industri yang menghasilkan atau menggunakan bahan kimia tersebut di atas.
• Pekerja sektor pertanian
• Polisi lalu lintas di kota yang tingkat polusinya tinggi.
• Pemadam kebakaran
• Kurir yang menggunakan sepeda/sepeda motor di kota yang tingkat polusinya tinggi.
9 Carpal Tunnel Syndrome Sindrom terowongan karpal (Carpal Tunnel Syndrome) merupakan kumpulan gejala akibat
penekanan pada nervus medianus oleh ligamentum karpal transversal di dalam terowongan karpal
pada pergelangan tangan.
Anamnesis Nyeri, mati rasa, kesemutan, rasa terbakar, ataupun kombinasi dari keluhan tersebut pada
pergelangan tangan dan palmar sesuai jalur nervus Medianus dari ibu jari, jari telunjuk, jari tengah
dan aspek radial dari jari manis, dan nocturnal acroparesthesia
Pemeriksaan Fisik Didapatkan nyeri dan kesemutan, tingling di sepanjang persyarafan nervus medianus, diantaranya
dengan pemeriksaan berikut
• Tes Phalen / Reverse Phalen
• Tes Tinnel
Berikut terlampir matriks deteksi dugaan PAK berdasarkan jenis pajanan / potensi bahaya yang paling sering sering ditemui yaitu:
No PAJANAN / POTENSI Dampak Gangguan Kesehatan/ Keluhan Kode Penyakit yang Dijamin Keppres
BAHAYA 22/1993
1 Bising Penurunan pendengaran akibat pajanan bising (hasil test 22. Kelainan pendengaran yang disebabkan
berbisik/ audiometri). oleh kebisingan
2 Postur kerja tidak Gangguan otot rangka & alat gerak (GOTRAK/WMSDs): LBP,
ergonomi, gerakan HNP, De Quervein, Carpal Tunnel Syndrome (CTS), neck
berulang, angkat pain, shoulder pain
angkut, berat,tekanan,
pinch grip
3 Debu (iritan, fibrogenik) Asma akibat kerja (tidak ada riwayat asma sebelum kerja) 4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh
penyebab sensitisasi dan zat perangsang
yang dikenal yang berada dalam proses
pekerjaan.
Gangguan saluran nafas atas: batuk, bersin, beringus
Batuk berulang, berdahak, sesak napas dan (Bronkitis kronik)
Pneumokoniosis: tanpa gerjala, dengan gejala keluhan 1. Pneumokonisis yang disebabkan debu
respirasi, kelainan radiologi dan/atau faal paru, cor pulmonal mineral pembentuk jaringan parut (silikosis,
bila sudah advanced. antrakosilikosis, asbestosis) dan
silikotuberkolosis yang silikosisnya
merupakan faktor utama penyebab cacat
atau kematian.
Anamnesis Klinis :
Anamnesis Pekerjaan :
Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan Penunjang :
Potensi Bahaya :
Diagnosis Klinis :
Merupakan peserta BPJS Kesehatan yang termasuk kedalam dugaan KK - PAK. Kami mohon
kesediaan Bapak / Ibu penyelenggara program Jaminan Kecelakaan Kerja untuk melakukan investigasi
dan pemeriksaan lebih lanjut mengenai kasus tersebut. Atas perhatian dan kerjasamanya kami
ucapkan terimakasih.
Tempat, Hari Bulan Tahun
Nama Dokter FKTP dan FKRTL
TTD
Penjelasan:
1. Informasi dalam formulir ini bersifat rahasia sebagaimana kerahasiaan data rekam
medis sesuai peraturan perundangan.
2. Data akan dikirim kepada badan penyelenggara program Jaminan Kecelakaan Kerja
3. Kecurigaan KK PAK adalah suatu kondisi penyakit, tetapi belum terbukti sebagai KK
PAK atau bukan KK PAK.
4. Pengisian formulir ini dilakukan oleh masing-masing dokter di FKTP dan FKRTL yang
telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, sesuai fungsi dan kewenangannya.
5. Pendataan ini bersifat wajib, setidaknya bagi kasus - kasus yang telah tercantum pada
pedoman ini, sesuai dengan karakteristik setiap kasusnya.