Panduan Proses
Modul 2.
PERENCANAAN PERLINDUNGAN
DAERAH TANGKAPAN AIR
(P-DTA)
PERENCANAAN
PERLINDUNGAN DTA
PANDUAN PARTISIPATIF
PROSES
Tujuan :
Waktu
Tahap Langkah Fasilitasi Target Fasilitasi
(menit)
1. Pembukaan:
• Menjelaskan tujuan dan urutan materi • Peserta dan pelatih saling 5’
yang akan didiskusikan mengenal sehingga kedepan
dapat melakukan konsultasi
hal-hal terkait perencanaan
P-DTA jika masih
memerlukan penjelasan
lebih lanjut
• Peserta memahami alur
materi pelatihan
2. Alur Perencanaan P-DTA:
• Menjelaskan alur perencanaan P-DTA • Peserta memahami alur 2’
dalam Pamsimas perencanaan P-DTA
13. Penutup:
Pelatih menggaris bawahi pemahaman • Peserta memahami tahapan 5’
penting yang perlu dicamkan dalam penting dalam
modul ini: (a) membuat sketsa DTA; (b) perencanaan P-DTA
memetaan lahan kritis dan (c) perencanaan
pembibitan, penanaman dan pemeliharaan.
Bahan Bacaan
Modul 2.
PERENCANAAN PERLINDUNGAN
DAERAH TANGKAPAN AIR
(P-DTA)
BAHAN BACAAN
Terminologi (istilah) Daerah Aliran Sungai (DAS) mulai populer di Indonesia sejak tahun 70-an,
khususnya setelah Lokakarya Nasional Pengelolaan DAS pertama yang berlangsung di Bogor
pada tahun 1978. Walaupun istilah ini telah begitu populer dan banyak dipakai oleh media, namun
hingga kini, pengertian DAS secara tepat masih belum banyak difahami oleh masyarakat,
khususnya mereka yang tidak bekerja atau pernah bersinggungan dalam kegiatan Perlindungan
DAS. Dalam keseharian, awam menggunakan istilah DAS sebagai pengganti kata sungai atau
sempadan sungai (kiri kanan sungai). Kesalah-fahaman ini telah menjadi salah-kaprah (common
mistake) yang mengaburkan prinsip penting dari konsep DAS.
Dilihat dari udara, permukaan bumi terdiri atas cekungan-cekungan (basin) yang mengatur
(mengontrol) arah aliran curah hujan yang jatuh ke tanah sesuai dengan gaya gravitasi bumi.
Aliran curah hujan yang jatuh di permukaan bumi yang tidak sempat meresap ke dalam tanah dan
mengalir menuju saluran drainase (baik alami maupun buatan) disebut sebagai aliran permukaan
(surface run-off/overland flow). Aliran permukaan mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah
mengikuti bentuk cekungan permukaan bumi. Sebagian aliran permukaan, dalam perjalanannya,
akan meresap ke dalam tanah pada saat sifat fisik tanah, kelerengan dan kondisi penutupannya
kondusif untuk terjadinya peresapan air (infiltration). Sebagian akan terus mengalir menuju
kaki-kaki bukit, lembah-lembah cekungan, mengumpul membentuk alur-alur pengaliran yang
kemudian berkembang menjadi sungai-sungai kecil.
Kumpulan aliran air yang berasal dari alur dan sungai-sungai kecil berkembang menjadi sungai
yang lebih besar dan seterusnya, hingga akhirnya bermuara ke laut, danau atau penampungan
alami/buatan lainnya.
MODUL PERENCANAAN P-DTA PARTISIPATIF
Page |9
DAS dapat diibaratkan seperti mangkuk/piring yang dimiringkan. Kecepatan aliran air di
permukaan piring ditentukan oleh kondisi permukaan piring. Kalau permukaan piring diberi
sepon/busa (sponge), maka aliran air akan banyak meresap ke busa, sehingga tidak cepat mengalir
ke luar piring, sebaliknya apabila permukaan piring halus, air akan cepat mengalir dan tidak
sempat meresap.
Sifat cekungan adalah menangkap, meresapkan dan mengalirkan curah hujan (catchment area).
Kondisi dan karakteristik cekungan mempengaruhi besarnya proporsi curah hujan yang mampu
meresap maupun yang mengalir sebagai aliran permukaan menuju ke laut. Cekungan yang
memiliki penutupan vegetasi yang baik dan memiliki kondisi tanah dan batuan yang kondusif
terjadinya peresapan air akan mampu berperan sebagai gudang air (watershed area) yang mampu
menangkap curah hujan dalam jumlah besar. Sebaliknya cekungan yang telah rusak, penutupan
lahannya didominasi oleh pemukiman dan perkotaan (built-up area) atau didominasi oleh
kelerengan terjal dan batuan kedap air lebih berperan sebagai wilayah pengaliran (drainage area)
daripada peresapan air (recharge area).
Konsep cekungan sebagaimana diuraikan di atas, sebagaimana telah disampaikan, disebut sebagai
Daerah Aliran Sungai (DAS), yang sering didefinisikan:
‘Daerah yang dibatasi oleh batas topografi (punggung-punggung bukit) dimana air hujan yang
jatuh di permukaan bumi mengalir ke sungai-sungai kecil, kemudian ke sungai utama menuju ke
laut’
Gambar 2.3. Perbandingan luas DAS (ribu km2) beberapa sungai besar di Sumatera,
Kalimantan dan Jawa.
Luas DAS bervariasi, sesuai dengan panjang sungai utama, semakin panjang sungai semakin luas
DAS. Semakin besar ukuran pulau, semakin luas ukuran DAS. Gambar 2.3. menunjukkan bahwa
DAS di Pulau Jawa, karena luas daratan, memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan
Sumatera dan Kalimantan. Semakin panjang dan luas DAS, semakin besar peluang pemanfaatan
sumberdaya airnya. Jarak yang relatif pendek antara hulu dan hilir pada sungai-sungai di Pulau
Jawa dan pulau kecil lainnya, membuat kesempatan pemanfaatannya lebih kecil, di lain pihak
semakin sulit upaya pengendalian banjir yang ditimbulkan.
DAS biasa dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.
Karakteristik biogeofisik, daerah DAS hulu: (a) topografi terjal, berbukit dan bergunung; (b)
memiliki kerapatan drainase tinggi; (c) bukan merupakan daerah banjir; (d) sungai lurus dan
kecepatan alirannya tinggi; (e) biasanya didominasi oleh penutupan vegetasi alami (hutan).
Karakteristik biogeofisik DAS Hilir: (a) topografi landai; (b) kerapatan drainase rendah; (c)
merupakan daerah banjir; (d) sungai berkelok-kelok (meandering); (e) pengaturan air diatur oleh
saluran irigasi; (f) biasanya didominasi oleh sawah dan perkotaan.
Gambar 2.4. DAS membatasi aliran permukaan, aliran bawah permukaan dikontrol oleh struktur
dan formasi geologi.
Karakteristik DAS bagian tengah merupakan wilayah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik
tersebut. Duantara ketiga pewilayahan DAS, DAS hulu merupakan bagian terpenting dari sisi
konservasi sumberdaya alam, karena mempunyai fungsi perlindungan, baik dari segi tata air
maupun tata tanah terhadap keseluruhan bagian DAS. DAS hulu seringkali menjadi fokus peren-
canaan konservasi dan Perlindungan DAS.
DAS hanya mengontrol aliran permukaan (surface run-off), DAS tidak mengontrol aliran di
bawah permukaan (sub-surfasce flow/inter-flow), maupun aliran air tanah (groundwater flow).
Kedua aliran tersebut dikontrol oleh struktur dan formasi geologi (Gambar 2.4).
Undang-Undang Sumberdaya Air menyebutkan dua komponen utama sumberdaya air, pertama
adalah air permukaan (surface water) dan kedua adalah air tanah (groundwater). Pengelolaan air
permukaan dilakukan berdasarkan konsep Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang didefinisikan
sebagai: Kesatuan sumberdaya air yang dapat merupakan satu atau lebih daerah aliran sungai
(DAS) dan atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2000 km2.
Air permukaan adalah semua air yang terdapat di atas permukaan tanah, yaitu air yang berada pada
sistem irigasi, dalam sistem drainase, air waduk, danau, kolam, rawa termasuk air hujan dan air
laut yang berada di darat.
Pengelolaan air tanah dilakukan berdasarkan Cekungan Air Tanah (CAT) yang didefinisikan
sebagai:
’Wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti
proses pengimbuhan (recharge), pengaliran dan pelepasan (discharge) air tanah berlangsung’.
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah (UU
No. 7/2004), merupakan sumberdaya yang terbatas dan kerusakannya dapat mengakibatkan
dampak yang luas serta sulit dipulihkan.
Curah hujan di Indonesia didominasi oleh tipe curah hujan konvektif yang memiliki dua sifat
utama, yaitu: memiliki intensitas tinggi dan terjadi dalam waktu yang pendek. Curah hujan
diukur dengan satuan mm, yaitu akumulasi ketebalan air yang tertampung pada alat penakar hujan.
Intensitas hujan didefiniskan sebagai akumulasi ketebalan hujan (mm) per satuan waktu (menit,
jam, hari, bulan).
Rata-rata curah hujan di Indonesia berkisar antara 2,500 – 3,000 mm per tahun. Hujan bulanan di
musim hujan berkisar antara 300 – 400 mm. Sedangkan hujan harian bisa mencapai 100 mm,
artinya sepertiga atau seperempat hujan bulanan bisa turun hanya dalam tempo satu hari, bahkan
mungkin hanya terjadi selama beberapa jam. Hal ini menunjukan betapa tingginya intensitas hujan
di Indonesia.
Tingginya intensitas hujan memberikan implikasi penting terhadap rendahnya kapasitas cekungan
(DAS) dalam meresapkan air, karena hujan yang terjadi dengan intensitas tinggi secara cepat
(sekitar 30 menit) menurunkan kapasitas peresapan tanah. Struktur dan pori-pori tanah yang siap
untuk meresapkan air, setelah lama tidak turun hujan, segera tertutup oleh tingginya energi kinetik
tetesan hujan (rain-drop) dan tertutup (cloging) oleh butiran-butiran tanah yang mengalir cepat
begitu hujan turun. Lapisan keras di permukaan tanah yang terbentuk oleh tetesan dan aliran
permukaan (sealing) mengurangi kapasitas peresapan tanah, sehingga aliran permukaan segera
akan timbul setelah turunnya hujan yang terjadi dengan intensitas tinggi.
Rendahnya kapasitas peresapan cekungan, membuat hanya sekitar 10-15% dari curah hujan yang
jatuh dapat diresapkan. Artinya, walau negeri ini dikarunia oleh curah hujan yang besar tetapi
hanya sekikit yang mampu diresapkan oleh DAS-DAS di Indonesia. Jumlah efektif air yang bisa
diresapkan, dalam kondisi DAS yang masih baik, adalah bersesuaian dengan wilayah temperate
(beriklim sedang) yang memiliki curah hujan tahunan seperempat (sekitar 700 – 800 mm per
tahun) dari curah hujan Indonesia.
Tetesan hujan dan aliran permukaan bersifat merusak (erosive), menghancurkan (mendispersi)
butir-butir tanah dan mengalirkannya menuju kaki bukit dan lembah dan saluran-saluran air.
Pengikisan tanah yang terjadi secara merata setealah turunnya hujan disebut sebagai erosi
permukaan (surface erosion), hal ini yang membuat aliran sungai di Indonesia, walau berada di
hulu sungai menjadi cepat keruh segera setelah hujan turun. Kondisi ini berbeda dengan kondisi
sungai-sungai di wilayah temperate yang tetap jernih pada saat hujan. Rendahnya intensitas
hujan, membuat proses erosi terkendali.
Gambar 2.6. DAS sebagai unit ekosistem, kualitas pengelolaan SDA dalam sebuah DAS
menentukan kelestarian SDA baik didarat maupun dilaut (from ridge to reef).
Erosi permukaan terdiri atas erosi lembar (sheet erosion) dan alur (riil-erosion). Alur-alur yang
terbentuk memotong garis kontur, pada tanah yang peka terhadap erosi seperti tanah alluvial,
lithosol, regosol, andosol, podsol, hidromorphik kelabu, bisa berkembang menjadi erosi jurang
(gully-erosion). Sebagian tanah yang tidak stabil, khususnya pada lereng terjal, guyuran curah
hujan yang terjadi secara terus menerus sering menimbulkan tanah longsor (land-slide) dan
berbagai bentuk aliran masa tanah lainnya (mass-wasting). Erosi jurang dan erosi masa sering
diklasifikasikan sebagai erosi bentuk (morpho-erosion). Kontribusi erosi bentuk terbesar adalah
berasal dari erupsi gunung api. Di wilayah volkanik aktif, sebagaimana di Pulau Jawa, kontribusi
erosi bentuk terhadap total hasil sedimen sungai bisa lebih dominan daripada erosi permukaan.
Proses erosi mengikis lapisan tanah permukaan (top-soil) yang merupakan lapisan penentu
kesuburan tanah. Sehingga aliran permukaan yang tidak terkontrol akan menurunkan produktifitas
tanah-tanah pertanian di bagian hulu DAS, hasil erosi menjadi sedimen terlarut (sediment load)
yang dialirkan oleh sungai dan menjadi endapan (sediment) yang mendangkalkan sungai dan
saluran irigasi, kondisi ini membuat wilayah hilir menjadi begitu rentan terhadap bencana banjir.
Proses erosi tidak bisa dihentikan, hanya dapat dikendalikan, proses erosi merupakan proses
pembentukan bentang lahan (landscape building), dalam kondisi normal, besarnya erosi
sebanding dengan proses pembentukan tanah. Dengan adanya erosi, terbentuk dataran aluvial di
sekitar sungai yang memiliki kesuburan tinggi dan menjadi lumbung pangan selama ribuan tahun.
Sayangnya, lahan-lahan produktif yang memiliki kesuburan tinggi oleh ‘berkah’ erosi dari hulu ini
di Pulau Jawa telah banyak dikonversi menjadi lahan pemukiman. Di lain fihak wilayah hulu yang
dulunya berselimut kehijauan (hutan) kini banyak dibuka untuk dikonversi menjadi daerah
pertanian intensif dan perkotaan. Kondisi ini memacu timbulnya erosi dipercepat (accelerated
erosion)i, dampaknya terjadi percepatan peoses pendangkalan saluran-saluran irigasi dan sungai
di wilayah hilir yang membuat wilayah hilir menjadi begitu rentan terhadap bahaya banjir.
Dalam konteks ini peranan DAS, sebagai batas alam, merupakan unit terbaik untuk melihat
keterkaitan antara hulu dan hilir. Dengan menggunakan batas DAS maka dengan mudah dapat
dianalisa keterkaitan (interrelationship) dan ketergantungan (interdependencies) antara wilayah
hulu dan hilir, dampak yang terjadi di tempat (on-site) dan di wilayah hilir (off-site).. Karena itu
DAS merupakan unit terbaik dalam pengelolaan sumberdaya alam.
DAS juga dapat dipandang sebagai ekosistem, dimana didalamnya terdiri atas berbagai komponen
ekosistem, yang memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain. Komponen utama
ekosistem DAS adalah vegetasi, tanah dan air dan seluruh makluk hidup yang ada di dalamnya,
termasuk satwa dan manusia. Manusia bisa menjadi perusak maupun pelestari sumberdaya alam di
dalam ekosistem DAS yang sangat berpengaruh terhadap karakteristik sebuah DAS. Karena
DAS merupakan suatu ekosistem, maka setiap masukan ke dalam ekosistem dapat dievaluasi
proses yang telah dan sedang terjadi dengan melihat keluaran dari ekosistem tersebut. Dalam
ekosistem DAS, komponen tanah, air (input curah hujan) hampir tidak bisa dirubah oleh
manusia, namun vegetasi (penutupan lahan) sepenuhnya dapat dikontrol oleh manusia, karena itu
vegetasi memiliki arti penting dalam pengelolaan DAS.
Gambar 2.7. DAS Hulu sebagai daerah resapan dan DAS Hilir sebagai daerah pengaliran
Keberadaan air tanah ditentukan oleh proses peresapan air yang terjadi di daerah resapan
(recharge area). Daerah resapan adalah wilayah yang mampu menambah air tanah secara
alamiah. Tidak semua permukaan bumi berfungsi efektif sebagai resapan air. Sebagai
contoh, di DAS hilir dan tengah yang memiliki air tanah dangkal, peresapan air hujan tidak
menimbulkan tekanan hidrolik yang kuat kebawah. Dalam kondisi ini air hujan yang jatuh di
permukaan bumi tidak mampu meresap., melainkan menjadi genangan atau banjir. Daerah
resapan memiliki muka air tanah (water-table) yang dalam. Peresapan air hujan membentuk
kolom air cukup tebal dan menimbulkan tekanan hidrolik yang kuat ke bawah, sehingga air hujan
yang meresap mampu menambah (mengimbuh) cadangan air tanah. Letak daerah resapan
biasanya berada di DAS hulu yang merupakan daerah perbukitan dan pegunungan (Gambar
2.6).
Air yang meresap di daerah resapan tersimpan dan mengalir di lapisan akifer (aquifer), yang
MODUL PERENCANAAN P-DTA PARTISIPATIF
P a g e | 15
dapat berupa formasi batuan tersepih (fractured rock), batuan porus (permeable) dan batuan yang
tidak terkonsolidasi (unconsolidated rocks), sehingga selain bisa menyimpan akuifer juga dapat
mengalirkan air. Formasi batuan terserpih terdiri dari batuan metamorfik, vulkanik, serta batuan
sedimen (terutama batuan kapur/limestone). Batuan porus terdiri dari batuan berstruktur pasir
(sandstone) serta beberapa jenis granit, sedangkan batuan tidak terkonsolidasi adalah kerikil
(gravel), pasir dan debu.
Disamping menambah jumlah air yang masuk kedalam tanah, daerah resapan juga berperan
sebagai penyaring air tanah. Ketika aliran permukaan yang berasal dari hujan masuk ke daerah
resapan terjadi proses pemisahan partikel-partikel (sedimen, bakteri dan organisme lainnya) yang
terlarut didalamnya. Lapisan akifer berfungsi sebagai saringan air tanah, perjalanan air tanah yang
begitu lambat memungkinkan terjadinya proses biokimia, penyerapan dan penyaringan air yang
membuat air tanah selain mengandung mineral juga jernih dan (di beberapa tempat) bisa
langsung diminum.
Permasalahannya, sebagian besar bentang lahan (landscape) daerah resapan kini telah mengalami
kerusakan. Wilayah yang dulu berpenutupan hutan alam kini telah banyak yang berubah menjadi
perkotaan, pertanian lahan kering, perladangan berpindah maupun pertambangan.
Memperhatikan kondisi tersebut kegiatan Perlindungan DAS hulu menjadi kunci pemulihan
sumberdaya air di wilayah hulu dan hilir.
DAS biasa diberi nama sesuai dengan nama sungai utamanya, satu sungai utama biasanya
memiliki puluhan anak sungai, satu anak sungai memiliki puluhan anak-anak sungai. Setiap
anak-anak sungai memiliki anak-anak sungai lagi di wilayah hulunya.
Mengacu kepada orde (urutan) sungai yang ditetapkan oleh Strahler, sungai pertama yang muncul
di wilayah hulu, disebut sebagai sungai orde pertama, apabila sungai ini nanti bertemu dengan
sungai orde pertama juga dan mengalir menjadi satu sungai yang lebih besar, maka sungai yang
lebih besar yang dihasilkan dari pertemuan kedua sungai ordo pertama tersebut disebut sungai
ordo kedua. Apabila dua sungai ordo kedua bertemu dan membentuk satu sungai yang lebih besar
disebut sungai orde ketiga, demikian seterusnya, semakin bsesar angka orde sungai, menunjukkan
bahwa sungai tersebut semakin besar dan posisinya semakin ke hilir. Sungai dengan ordo tertentu
(misal ordo 4) apabila dialiri oleh ordo yang lebih kecil (misal ordo 3), maka tidak merubah angka
ordo sungainya (tetap ordo 4).
F. Pengelolaan DAS/DTA
Manusia tidak mampu mengontrol besarnya curah hujan, namun manusia memiliki kemampuan
untuk memelihara dan memperbaiki karakteristik cekungan agar mampu berfungsi sebagai daerah
tangkapan air (catchment area) dan penyimpan air (watershed area), bukan semata-mata daerah
pengaliran air (drainage area). Pengelolaan DAS didefinisikan sebagai berikut:
Suatu proses perumusan dan implementasi kegiatan yang bersifat manipulasi sumberdaya alam
dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa
dengan meminimasi dampak kerusakan sumberdaya air dan tanah. Termasuk di dalamya adalah
alokasi sumberdaya alam secara bijaksana di daerah aliran sungai termasuk pengendalian erosi
dan banjir serta mempertahankan keindahan sumberdaya alam.
Cakupan pengeloaan DAS adalah dari hulu sungai hingga ke lautan yang masih dipengaruhi oleh
dampak pengelolaan eksostimtem daratan (from ridge to reef). Memperhatikan setiap DAS
memiliki karakter yang unik, maka pengelolaan DAS menuntut strategi yang bersifat
tailor-made dan local specific. Berbagai upaya pengelolaan DAS, memperhatikan tingginya
keterkaitan dan ketergantungan antara komponen ekosistem, harus dilakukan secara terintegrasi.
Kendala utama pelaksanaan pengelolaan DAS/DTA: (a) Ketidak-sinkronan antara batas
politis/administratif pembangunan dengan batas DAS. Perencanaan pembangunan desa,
kabupaten dan provinsi sepenuhnya menggunakan batas administratif yang tidak mereferensi ke
batas DAS; (b) Lemahnya koordinasi pembangunan antar sektor pembangunan: Kegiatan
pengelolaan DAS terfragmentasi kedalam urusan berbagai kementerian yang menyulitkan upaya
perencanaan dan pelaksanannnya secara terpadu; (c) Lemahnya penegakan hukum yang membuat
tidak terkendalinya kerusakan seumberdaya alam.
BAHAN BACAAN
Pemetaan batas DTA dilakukan untuk mengetahui batas DTA sebagai unit perencanaan
Perlindungan lahan untuk perlindungan sumber air di wilayah hulu DAS; selain untuk memahami
posisi batas DTA terhadap batas administratif, baik batas desa, kecamatan dan kabupaten.
Pemetaan DTA dapat dilakukan dengan mudah di wilayah hulu DAS yang memiliki kerapatan
drainase (sungai) yang tinggi serta kondisi topografinya berbukit dan bergunung, sehingga selain
mudah dilakukan dileniasi (penggarisan) batas punggung-punggung bukit yang membatasi aliran
permukaan, ukuran DTA juga tidak terlalu luas, biasanya dari ratusan sampai ribuan ha.
Sebaliknya pemetaan DTA sulit dilakukan diwilayah DAS hilir, dimana kerapatan drainasenya
rendah, sungai berkelok-kelok dan bertopografi landai sampai datar. Dalam kondisi demikian
biasanya DTA-nya berukuran luas (puluhan ribu ha) dan tidak mudah dikenali batasnya, karena
daerah hilir bertopografi datar. Dalam kondisi demikian P-DTA tidak perlu menggunakan batas
DTA, melainkan cukup mendasarkan pada luasan lahan kritis saja.
Pengaliran sungai/anak-anak sungai dibagi menjadi tiga: (a) sungai yang memiliki aliran menerus
sepanjang tahun (perennial flow); (b) sungai yang hanya mengalir pada waktu musim hujan
(seasonal flow); (c) sungai yang hanya mengalir sesaat setelah hujan (ephemeral flow). Dileniasi
karakter pengaliran sungai penting dilakukan untuk mengenali kontinuitas aliran air dan kondisi
kekritisan lahan, kususnya kerapatan sungai sesaat yang bisa menggambarkan kekritisan lahan
(periksa Bahan Bacaan 2.3: Pemetaan Kekritisan Lahan). Berbagai bentuk pengaliran sungai
dapat ditandai dengan garis yang berbeda, yaitu: (a) sungai menerus dengan garis tidak terputus;
(b) sungai musiman dengan garis putus-putus, dan (c) sungai sesaat dengan titik-titik yang
membentuk garis.
Pemetaan batas DTA dilakukan berdasarkan kapasitas masyarakat tempatan yang prinsipnya bisa
dibedakan menjadi tiga cara:
Sketsa DTA merupakan gambaran kasar batas DTA yang diperoleh dari pengamatan visual (tanpa
mengunakan peta dan alat bantu) yang dipadukan/digambarkan (overlay-kan) dengan
mengunakan kertas transparan dengan Peta Desa.
desa, digambarkan jaringan sungai alami (tidak termasuk saluran irigasi) yang ada di desa;
Ketiga: menandai punggung-punggung bukit yang mengelilingi anak-anak sungai tersebut dengan
bantuan titik-titik penting di alam yang dapat dikenali dengan mudah pada peta desa; Keempat;
Menghubungan titik–titik tertinggi dan punggung-punggung bukit yang menggambarkan
cekungan DTA.
Hasil pengamatan visual tersebut kemudian digambarkan dalam peta desa, sehingga masyarakat
akan mengatahui posisi DTA terhadap batas desa. Dengan melakukan pembatasan DTA,
masyarakat akan mengetahui apakah di wilayah desa mereka memiliki beberapa DTA atau desa
mereka merupakan bagian dari suatu DTA yang berhubungan dengan desa lain disekitarnya.
Informasi seperti ini penting sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengan
Desa (RPJM-Desa) dan pembuatan kerjasama antar desa untuk melindungi sumber-sumber air.
Untuk mengenali batas DAS dan DTA dengan mudah maka batas DTA perlu diberi warna yang
kontras dengan batas desa. Titik-titik tertinggi dari punggung-punggung bukit yang merupakan
batas alam DTA diberi tanda atau simbol tertentu yang disepakati.
Cara pemetaan ini pada prinsipnya sama pemetaan DTA secara visual, namun dineliasi batasnya
menggunakan peta topografi. Peta Topografi adalah peta yang menggambarkan relief (perbedaan
tinggi) suatu wilayah, terdiri atas gari-garis yang menghubungkan titik-titik yang memiliki
ketinggian yang sama. Tahapan pembatasan DTA adalah sebagai berikut:
Sediakan peta topografi
Peta topografi yang digunakan untuk menentukan batas DTA adalah peta topografi dengan
skala 1:50.000. Peta ini dapat diperoleh dari Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional
(Bakosurtanal) atau dapat juga diperoleh dari instansi terkait (BPDAS, Dinas Kehutanan,
Dinas Pekerjaan Umum, dll.).
Selain dapat dilakukan interpretasi batas DTA secara visual dan Peta Topografi, saat ini juga
sudah berkembang cara cepat untuk membatasi DTA secara otomatis dengan menggunakan
perangkat Lunak Sistem Informasi Geografis (SIG/Geo-Information System): Arcview, ArcGIS,
dan Global Mapper. Penentuan batas DTA diproses berdasarkan hasil tumpang tindih (overlay)
antara soft copy data Digital Elevation Model (DEM) dan peta RBI pada skala 1: 25,000 untuk
pulau Jawa dan skala 1:50,000 untuk di luar Jawa. Metode yang digunakan ada dua macam, yaitu:
(a) melakukan digitasi mengikuti kontur dan aliran sungai dan (b) menggunakan automatic system
tool hidrology dalam software yang dipilih (menentukan arah aliran, jaringan aliran sungai dan
kemudian deliniasi batas DTA).
BAHAN BACAAN
Ada banyak definisi dan kriteria lahan kritis, namun pada prinsipnya ada empat hal penting yang
perlu diamati dalam menentukan tingkat kekritisan lahan yaitu: (a) kerapatan penutupan vegetasi;
(b) kerapatan erosi jurang; (c) kedalaman tanah; (d) jenis pengunaan lahan.
Menghitung kerapatan populasi jenis pohon dalam berbagai tingkatan pertumbuhan dari semai,
pancang, tiang hingga pohon dalam setiap ha-nya. Semai adalah anakan pohon hingga setinggi
1.5 m dengan diameter sampai 5 cm; pancang adalah anakan pohon setingi 1.5. m dengan diameter
antara 5-10 cm; pancang adalah pohon dengan diameter 10 – 20 cm, sedangkan pohon adalah
apabila telah berdiameter diatas 20 cm. Kerapatan populasi disebut rapat (jika ∑ pohon > 500
individu/ha atau >5 individu dalam setiap plot ukuran 10 m x 10 m), sedang (2-5 individu setiap
plot ukuran 10 m x 10 m) dan terbuka (< 2 individu setiap plot ukuran 10 m x 10 m).
Erosi jurang (gully-erosion) sering ditemukan pada lahan berlereng yang gundul (tidak
bervegetasi), pada saat hujan alur-alur jurang ini menjadi sungai-sungai dengan aliran sesaat
(emphemeral flow).
Ada tiga bentuk erosi (proses pengikisan tanah karena air dan angin); Pertama adalah erosi lembar
(sheet-erosion) yaitu pengikisan tanah dengan ketebalan kurang dari 1 cm yang terjadi secara
merata pada sebidang lahan, erosi semacam ini sering tidak mudah dikenali secara visual. Kedua
adalah erosi parit (rill-erosion) yang merupakan bentuk lanjut dari erosi lembar yang terjadi pada
gundukan-gundukan tanah atau lahan berlereng yang tanahnya gembur, tebal dan tidak stabil.
Alur-alur yang timbul dapat diamati secara visual dan bisa dihilangkan dengan pencangkulan.
Pada lahan berlereng yang gundul, erosi alur ini sering kemudian berkembang menjadi erosi
jurang.
Erosi lembar dan alur ini karena tidak merubah bentuk lahan, melainkan hanya terjadi di
permukaan lahan, maka dikelompokan menjadi erosi permukaan (surface erosion). Sedangkan
erosi jurang masuk dalam kelompok erosi bentuk (morpho-erosion) atau erosi masa
(mass-wasting).
Erosi jurang memiliki lebar dan dalam lebih dari 1 m, sehingga memerlukan upaya besar untuk
meratakannya kembali melalui pencangkulan. Erosi jurang biasa terjadi karena terbentuknya
alur yang merupakan batas pemilikan lahan atau jalan setapak yang sering dilalui sehingga
tanahnya mengeras, vegetasi tidak tumbuh, sehinga menjadi saluran air saat hujan besar,
Kerapatan erosi jurang dalam sebidang lahan menentukan tingkat kekritisan lahan dan dapat
dibedakan menjadi agak rapat, cukup rapat dan sangat rapat. Disebut agak rapat, apabila
terdapat 1 erosi jurang per ha, cukup rapat apabila ditemukan 2 – 3 erosi jurang per ha dan
sangat rapat apabila ditemukan lebih dari 3 erosi jurang per ha
c. Kedalaman Tanah
Kedalaman tanah dapat diukur dengan cara menggali tanah hingga ditemukan bahan dasar
(batuan) atau dari singkapan tanah. Memperhatikan bahwa kedalaman tanah ditentukan oleh
proses erosi dan pengendapan tanah (deposisi), sedang proses tersebut ditentukan oleh bentuk
kelerengan lahan, yaitu pada lereng cembung (convex) memiliki kerentanan erosi yang tinggi,
kemudian lereng yang lurus (strainght) memiliki kerentanan erosi yang tinggi pula, sedangkan
lereng yang berbentuk cekung (concave), merupakan daerah pengendapan hasil erosi dari bagian
atasnya. Dengan demikian kedalaman tanah relative tipis pada lereng cembung dan lurus dan
relative dalam pada lereng cekung.
Memperhatikan hal demikian maka pengukuran kedalaman tanah sebaiknya dilakukan secara
toposequence, artinya kedalaman tanah dari sebidang lahan ditentukan berdasarkan hasil rata-rata
pengukuran kedalaman tanah dari tiga titik yaitu pada lereng cembung dibagian atas, kemudian
lereng lurus dibagian tengah dan lereng cekung di bagian bawah. Apabila kondisi lahan datar,
maka pengukuran kelerengan lahan cukup dilakukan pada satu titik yang mewakili. Kedalaman
tanah disebut dalam apabila memiliki kedalaman > 100 cm), sedang (60 – 100 cm), dangkal
(30 – 60 cm), dan sangat dangkal (< 30 cm).
Penggunaan lahan secara visual dapat diamati di lapangan yang pada dasarnya bisa dibedakan
menjadi hutan, kebun campuran, sawah, perkebunan, lahan kering, semak belukar dan
alang-alang.
Jenis Penutupan
No. Uraian
lahan
1. Hutan Penutupan lahan yang didominasi oleh vegetasi berkayu, yang tumbuh baik
secara alami dalam bentuk hutan alam maupun hutan tanaman.
2. Kebun Campuran Kebun yang dikelola masyarakat yang terdiri dari perpaduan pohon dan
tanaman semusim (agroforestry).
3. Sawah Pertanian lahan basah beririgasi dengan komoditas padi.
4. Lahan Kering Pertanian tadah hujan (tegalan) dengan komoditas tanaman semusim,
seperti jagung, padi gogo, singkong dsb.
5. Perkebunan Penggunaan lahan yang didominasi oleh jenis-jenis tanaman perdagangan,
monokultur dan dikelola secara intensif (teh, karet, sawit dsb.)
6. Semak Belukar Lahan yang tidak terurus (lahan tidur) dimana kondisi lahannya masih
relatif subur.
7. Alang-alang Lahan yang tidak terurus (lahan tidur) dimana kondisi lahannya relatif
kurang subur.
Tahapan pemetaan lahan lahan kritis dengan menggunakan GPS (Geo-Potitioning System) adalah
sebagai berikut:
Untuk memulai pemetaan lahan kritis, perlu menentukan titik awal yanf yang mudah dikenali
di lapangan dan mudah dicari dalam peta topografi, sebagai titik ikat dari penempelan hasil
pemetaan GPS. Pasang patok pertama sebagai awal pemetaan pada lokasi lahan kritis atau
lahan sasaran Perlindungan lainnya, kemudian diambil datanya menggunakan GPS.
Dengan mengaktifkan “track” pada GPS, dari patok I kemudian bergerak mengelilingi lahan
kritis yang menjadi sasaran hingga kembali ke patok pertama. Gunakan tanda-tanda patok
lain sepanjang perjalanan dalam melakukan pemetaan lahan kritis untuk memberikan infor-
masi penting yang dijumpai seperti batas kepemilikan lahan.
Jika lahan kritis terpencar, maka proses pemetaan tetap berjalan seperti cara di atas dengan
memberi tanda patok yang lain.
Patok-patok yang telah dipasang akan diikuti dengan entry data pada GPS dengan kode sesuai
nomor patok sehingga informasi rute pemetaan akan tergambarkan dalam GPS.
Sambil melakukan pemetaan lahan dapat diamati dan dicatat kondisi lahannya, baik kerapatan
vegetasi, kerapatan jurang, kedalaman tanah, pengggunaan lahan dan status pemilikan la-
hannya.
Gambar 3.3. Perbedaan relatif kedalaman tanah sesuai dengan bentuk kelerengannya
BAHAN BACAAN
Tabel 3. Data dan Informasi P-DTA Dalam Proses Identifikasi Masalah dan Analisis Situasi
4. Sebaran dan luasan lahan kritis (lahan Sebagai dasar untuk mengidentifikasi sasaran
rusak/tidak produktif) di desa P-DTA
No Data dan informasi Relevansinya dalam P-DTA
5. Kearifan lokal Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung
P-DTA
6. Tokoh-tokoh masyarakat Untuk mengetahui motivator/pemicu lokal
kegiatan P-DTA
7. Sebaran lahan kritis yang perlu Lahan dibawah pemilikan desa dan masyarakat
diPerlindungan. desa tempatan yang perlu diPerlindungan. .
2. Daftar jenis-jenis pohon yang tumbuh • Jenis pohon apa yang paling banyak
dengan baik di desa tumbuh?
• Jenis pohon apa yang tumbuh dengan baik?
• Jenis pohon lokal (asli) yang tumbuh dengan
baik?
• Jenis pohon eksotik (bukan asli) yang tum-
buh baik?
• Sebutkan bulan-bulan dimana terjadi musim
buah baik untuk jenis pohon asli maupun
jenis pohon eksotik?
3. Sejarah perubahan penggunaan/ • Bagaimana sumber air saat hutan masih utuh
penutupan lahan dan hubungannya di desa ini?
terhadap kelimpahan sumber air di desa • Kapan mulai terjadi penebangan hutan di
desa ini?
• Apa yang dirasakan masyarakat dengan se-
makin berkurangnya luas hutan?
4. Sebaran dan luasan lahan kritis (lahan • Di kampung/dusun mana ditemukan banyak
rusak/tidak produktif) di desa lahan kritis di desa ini?
• Apa penyebab terjadinya kekritisan lahan?
• Mengapa masyarakat tidak melakukan
Perlindungan lahan kritis?
5. Kearifan lokal • Adakah hutan adat yang masih
dipertahankan di desa?
• Adakah hukum adat atau Perdes yang
melarang penebangan hutan?.
• Adakah hukum adat atau Perdes untuk per-
lindungan mata air?
• Adakah hukum adat atau Perdes yang me-
wajibkan untuk menanam?
• Adakah kerjasama antar desa dalam
pelestarian hutan dan atau pelestarian
sumbe air?
6. Tokoh-tokoh masyarakat Sebutkan tokoh-tokoh adat, agama, atau petani
pelestari lingkungan?
7. Sebaran lahan kritis yang perlu Sebutkan lahan-lahan terlantar milik masyarakat
diPerlindungan (desa) yang perlu diPerlindungan?
8. Kelembagaan masyarakat desa Sebutkan lembaga desa, kelompok tani dan
kelompok pengguna air yang layak sebagi
perencana, pelaksana dan pemelihara P-DTA
BAHAN BACAAN
Tidak bisa kecuali hutan tersebut telah menjadi Hutan Desa atau Hutan Kemasyarakatan.
Hutan negara yang dikelola desa dan untuk kesejahteraan desa. (Peraturan Menhut No.49
Tahun 2008)
Sesuai dengan statusnya kawasan hutan apa yang bisa dirubah menjadi Hutan Desa?
Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk
pemberdayakan masyarakat. (Peraturan Menhut No.6 Tahun 2007).
Status kawasan hutan apakah yang bisa dirubah statusnya menjadi Hutan Kemasyarakatan?
Kawasan hutan produksi, Kawasan hutan lindung, Kawasan hutan konservasi, kecuali Cagar
Alam dan Zona Inti Taman Nasional
***
BAHAN BACAAN
Perlindungan Lahan
Perlindungan lahan merupakan upaya untuk merestorasi kerusakan lahan. Kegiatan ini biasa
dilakukan dengan penghijauan (penanaman pohon di luar kawasan hutan) dan konservasi tanah
dalam bentuk penterasan lahan kering (tegalan), pengendalian erosi jurang, pembuatan dam
penahan dan pengendali.
Kegiatan ini menjadi program pemerintah sejak akhir tahun enam-puluhan, dipicu oleh banjir
Bengawan Solo yang disebabkan oleh kerusakan lahan diwilayah hulu DAS. Pada awal tahun
tujuh-puluh diluncurkan ‘Inpres Penghijauan dan Reboisasi’, program ini berlangsung hingga
akhir tahun 1990-an, kemudian disusul dengan Gerakan Perlindungan Hutan dan Lahan
(Gerhan) hingga tahun 2007. Kegiatan Perlindungan lahan juga dilakukan dalam Green-PNPM
di Sulawesi dan Sumatera, dimana sebagian besar pilihan masyarakat, dari sekian banyak
Green-menu, adalah penanaman pohon.
Berikut disampaikan refleksi efektifitas kegiatan Perlindungan lahan sipil teknis, khususnya
penterasan lahan dan bangunan pengendali jurang dalam perbaikan lingkungan, kemudian
fenomena disintensifikasi lahan kering yang menjadi momentum penting keberhasilan
Perlindungan lahan vegetatif.
Kegiatan penterasan lahan telah menjadi maskot Perlindungan lahan selama beberapa abad. Pada
tahun 1874, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Ordinance of Alienation of Domain
Forest Land, yaitu ijin pembukaan hutan pada lahan berlereng diberikan dengan syarat petani
bersedia melakukan penterasan lahan. Pada tahun 1930, Belanda melakukan penterasan lahan
skala besar di Keresidenan Priangan dan Cheribon (Cirebon). Sejak masa itu teras bangku telah
menjadi mitos kegiatan Perlindungan lahan.
Teras bangku yang dibangun pada lokasi yang tepat, terpenuhi persyaratan teknisnya dan
terpelihara dengan baik memang mampu meningkatkan produktifitas lahan sekaligus
mengendalikan laju erosi pada pertanian lahan kering. Permasalahannya, berbeda dengan teras
bangku pada lahan sawah. penterasan lahan kering, karena tidak ditujukan untuk menampung air
irigasi, kualitas teras biasanya asal-asalan, sekedar dibuat untuk menciptakan budidaya tanaman
semusim pada lahan berlereng yang jauh dari tujuan pengendalian erosi. Karena itu, banyak teras
bangku lahan kering yang tidak terpenuhi persyaratan teknisnya, memperhatikan mahalnya biaya
pembangunan dan pemeliharaan teras serta rendahnya nilai ekonomi yang dihasilkan.
Pengukuran erosi yang dilakukan oleh penulis menggunakan plot erosi batas alam (natural
boundary erosion plot) pada tanah Latosol dengan bidang olah miring ke dalam (goler kampak),
tampingan teras (terrace riser) tidak diproteksi di Malangbong, Garut, Jawa Barat menunjukan
bahwa laju erosi selama musim hujan pada lahan dengan kemiringan landai berkisar antara 95-135
ton/ha, sedangkan pada lahan terjal mencapai 240 ton/ha. Laju erosi ini cukup besar dan
beberapa kali lipat melampaui tolerable erosion. Sumber erosi utama berasal dari tampingan
teras yang tidak diproteksi, karena miskinnya pemeliharaan teras.
Kesimpulannya teras bangku yang tidak terpenuhi persyaratan teknisnya dan tidak dipelihara
dengan baik justru berpeluang sebagai sumber degradasi lahan daripada upaya Perlindungan
lahan, Cure is worse than the desease!
Masih langkanya penelitian efektifitas teknologi Perlindungan lahan menyebabkan kegiatan ini
masih banyak mengadopsi high cost technologies yang dikembangkan oleh Proyek Solo pada
tahun 70-an. Di masa lalu banyak proyek Perlindungan lahan untuk mengendalikan erosi jurang
dengan membangun gully plug, gully structure. Berhasilkah? sebagian memang cukup berhasil,
namun tidak sedikit gabion yang hancur atau menggantung di tengah jurang pada musim kemarau.
Stocking (1996) menjelaskan bahwa erosi jurang sering merupakan symtom dari unstable
landscape sehingga tidak bernilai ekonomi untuk diPerlindungan.
Sama halnya dengan pembangunan dam pengendali, beberapa memang memiliki multi-guna,
namun banyak yang waste of precious resources, mengingat bangunan bernilai puluhan juta
rupiah tersebut banyak yang penuh lumpur kurang dari tiga tahun, bahkan dalam satu tahun.
Tidakkah lebih efisien bila dana tersebut digunakan untuk mePerlindungan daerah tangkapan
air-nya? Konservasi tanah berarti mengendalikan kehilangan tanah secara on-site dan bukan
penampungan sedimen ! Hasil analisa ekonomi yang dilakukan oleh Proyek Kali Konto
membuktikan bahwa bangunan pengendali sedimen memiliki Internal Rate Return (IRR) yang
rendah yaitu hanya sebesar 9 – 11 %, jauh dibawah konservasi tanah vegetatif (16 – 18 %).
Semakin menipisnya ketersediaan dana pemerintah dan pentingnya upaya konservasi secara
mandiri membuat teknik konservasi harus bergeser dari high cost ke low cost dan dari teknik
sipil ke vegetatif.
Mitos Keproyekan
Hingga kini kegiatan Perlindungan lahan sebagian besar dipicu dengan pendekatan keproyekan.
‘Proyek’ sebagaimana na manya, dilaksanakan pada suatu wi layah dan jangka waktu tertentu,
dengan penekanan pada aktifitas tertentu, semuanya dilakukan dengan extra input dan personnel.
Karena bersifat keproyekan maka teknologi Perlindungan lahan yang dikembangkan biasanya
padat modal agar bersifat monomental dan cepat terlihat hasilnya. Hal ini berlawanan dengan
proses adopsi dan dampak Perlindungan lahan yang lebih bersifat proses sosial sehingga memakan
waktu yang lama. Di lain pihak subsidi langsung yang diberikan untuk `mernompa’ kerja petani
sering menjadi faktor penghambat penerapan Perlindungan lahan berbiaya murah yang perlu
dilakukan petani dengan kekuatan dan kesadarannya sendiri. Bahkan subsidi langsung sering
justru merusak kelembagaan lokal yang pada gilirannya mengurangi semangat petani untuk
mengelola lahannya dengan kekuatannya sendiri. Melihat kenyataan ini bisa dipahami, begitu
proyek selesai, semua kegiatan selama proyek selesai pula. Diperlukan kiat rehabiliasi lahan yang
lebih inovatif untuk membuat kegiatan ini benar-benar melembaga, bukan sekedar menghabiskan
dana besar untuk sesuatu yang bersifat sesaat.
Dalam kondisi keterbatasan sumberdaya dan pilihan teknologi, cara termudah untuk mengelola
kesuburan tanah pada awal perkembangan lahan kering adalah melalui peladangan berpindah.
Meningkatnya kepadatan penduduk berpengaruh terhadap semakin pendeknya masa bera, kondisi
ini kemudian me rangsang upaya pengelolaan lahan secara lebih intensif. Pada titik inilah kegiatan
intensifikasi mulai berperan, dimulai dengan penterasan lahan secara sederhana yaitu dengan
pembuatan parit mengelilingi bukit (teras gunung), kemudian berkembang menjadi teras gulud,
teras kredit hingga menjadi teras bangku sebagaimana banyak dikenal kini.
Tanpa pemupukan, produktifitas la han kering secara cepat merosot, se hingga kemudian pupuk
kandang mulai memegang peranan dalarn proses intensifikasi. Puncak intensi fikasi lahan kering
terjadi pada akhir tahun 70-an. Waktu itu pupuk mineral, pestisida, insektisida, herbisida dan
varietas unggul mulai banyak tersedia di pasaran. Sayangnya, pertanian semusim berproduktifitas
tinggi di wilayah tro pis yang mampu dipertahankan dalam jangka panjang hanyalah pertanian
lahan basah (sawah). Intensifikasi lahan kering merupakan upaya pengendalian dan peningkatan
produktifitas, sebagai kompensasi terhadap degradasi yang disebabkan oleh pemanfaatan lahan
secara intensif. Proses pergulatan antara intensifikasi dan degradasi terus berlangsung hingga
mencapai suatu titik, dimana intensifikasi secara ekonomis menjadi tidak menarik.
Setiap bentuk intensifikasi selalu diikuti dengan lost of efficiency, degradasi (eksploitasi) lahan
yang berlangsung, amat inten sif dalam setiap tahap intensifikasi. berdampak pada ke’aus’an
kesubur an tanah, sehingga dicapailah kon disi law of diminishing returns, ya itu penambahan
input biaya (incremental cost) menjadi semakin tidak seimbang dengan tambahan perolehan hasil
(incremental benefit).
Kondisi tersebut di berbagai wilayah telah lama disadari, namun keterbatasan pilihan,
keterdesakan ke butuhan dan kentalnya daerah ag raris membuat petani masih menco ba berlahan,
walaupun dengan cara mengeksploitasi diri. Sebagian petani yang tidak tahan mulai berkelit dari
himpitan tersebut dengan cara banting setir ke off farm. Kegiatan terakhir ini bisa masih berkaitan
de ngan pertanian, misalnya menjadi buruh tani di lahan sawah atau se penuhnya di luar pertanian.
Desa-desa lahan kering yang didominasi oleh petani tipe ini memiliki karakteristik sebagai
berikut: tingginya la ju urbanisasi baik musiman maupun permanen, semakin rendahnya mi nat
pemuda memegang cangkul dan semakin menipisnya kontribusi lahan kering dalam struktur
pendapatan perdesaan.
Dampaknya terhadap lahan ke ring sangat ditentukan oleh status la hannya, apabila lahan di
wilayah tersebut merupakan lahan guntai (absentee land, lahan yang dimiliki oleh orang luar desa,
petani tempatan hanya sebagai penggarap), biasanya hanya ditanami singkong. Apabila status
lahannya adalah lahan milik, biasanya terjadi perubahan kualitas lahan secara signifikan dengan
beralihnya petani pada hutan rakyat berdaur pendek, kondisi ini didukung oleh meningkatnya
harga kayu dan melonjaknya harga pupuk. Fenomena ini menjelaskan berkembang pesatnya hutan
rakyat di Jawa saat ini.
BAHAN BACAAN
Perencanaan pembibitan meliputi : (a) rencana lokasi pembibitan; (b) jenis bibit; (c) metode
pembibitan yang akan diterapkan; (d) target jumlah bibit. Untuk target jumlah bibit dihitung
berdasarkan kebutuhan bibit untuk penanaman tahun berjalan, penyulaman tahun berjalan, dan
penyulaman tahun pemeliharaan I. Contoh perhitungan disajikan sebagai berikut:
Keterangan :
Kebutuhan bibit untuk Perlindungan penuh disepekati 400 batang/ha (5x5 m), dan pengkayaan
200 (5 x 10 m2) batang/ha.
Cara menghitung jumlah bibit sesuai dengan jarak tanam yang direncanakan:
Apabila jarak tanam yang diinginkan adalah 5x 5 m2, berapa batang bibit yang diperlukan?
1 ha = 10,000 m2, Jarak tanm 5x5 m2 = 25 m2, jadi bibit yang dibutuhkan per ha: 10,000 m2/25
m2 = 400 batang/ha;
B. Perencanaan Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman dilakukan melalui tiga tahap, yaitu : Pemeliharaan Tahun Berjalan,
Pemeliharaan Tahun I, dan Pemeliharaan Tahun II. Jenis kegiatan pada masing-masing tahap
pemeliharaan disajikan sebagai berikut:
1) RAB Pembibitan
Kebutuhan biaya dihitung berdasarkan target jumlah bibit yang akan dikembangkan,
selanjutnya dapat dibuat persemaian dalam bentuk persemaian sementara atau permanen.
Kebutuhan bahan, alat, dan tenaga kerja yang akan menjadi komponen biaya pembangunan
persemaian disajikan pada Tabel 3 berikut:
No Komponen Biaya
1 Pengadaan bambu untuk tiang dan rangka atap persemaian (tiang bedeng sapih dan bedeng tabur)
2 Pengadaan bambu untuk pembuatan bedeng sapih (ukuran 1 m x 5 m ). Kapasitas bedeng sapih
tergantung dari ukuran diameter polybag,
3 Pengadaan alang-alang/nipah untuk atap persemaian, jika dana cukup tersedia maka atap
persemaian lebih baik menggunakan paranet dengan intensitas penutupan 65%.
4 Pengadaan papan untuk pembuatan bedeng tabur ukuran 1 m x 4 m.
6 Pengadaan media tumbuh di polybag : tanah, pupuk kandang, arang sekam padi
7 Pengadaan peralatan pembuatan persemaian (cangkul, gergaji, ember, selang air, penampung air,
handsprayer, sekop, dll.) dan bahan pembibitan (fungisida, pestisida, dll.)
8 Pengadaan polybag (standar ukuran 12 cm x 15 cm)
9 Tenaga kerja pembangunan atap peersemaian, bedeng sapih, dan bedeng tabur
10 Borongan pengisian media ke polybag
11 Borongan penyapihan bibit
12 Pemeliharaan bibit di persemaian selama 5-6 bulan
13 Pengadaan benih dan transportasi pengiriman
14 Bahan-bahan pembangunan persemaian (paku, kawat, dll.)
Berdasarkan hasil musyawarah dengan masyarakat, maka dari daftar tabel kebutuhan bahan,
alat, dan tenaga di atas, akan diperolehh kesepakatan komponen-komponen mana yang bisa
diswadayakan/digotongroyongkan dan komponen-komponen mana yang harus dibiayai.
2) RAB Penanaman
DAFTAR PUSTAKA
Anwar.C. dan E. Subiandono. 1996. Pedoman Teknis Penanaman Mangrove. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Balai Litbang Teknologi Perbenihan. 2002. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
Du-Hyun Kim. 2009. Forest Seed Storage Technology. Paper of Training on Forest Tree Seed
Management and Development. Korea Forest Research Institute
Permenhut No. P.70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Perlindungan Hutan dan Lahan.
Direktorat jendral Perlindungan Lahan dan Perhutanan Sosial, Departemen Kehutanan.
Schmidt. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Danida
Forest Seed Center. Direktorat Jenderal Perlindungan Lahan dan Perhutanan Sosial
Departemen Kehutanan.
Sub Teknik Konservasi Tanah. Direktorat Perlindungan dan Konservasi Tanah. 1999. Informasi
Teknik Perlindungan dan Konservasi Tanah. Pusat Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan,
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Supriyanto. 1996. Penggunaan Inokulum Kelereng Alginat dalam Uji Efektifitas pada Semai
Beberapa Jenis Dipterocarpaceae. Laporan DIP 1995/ 1996. SEAMEO-BIOTROP. Bogor.
Supriyanto. 1997. Pengenalan Silvikultur Tanaman Hutan dan Teknik Pembibitan Tanaman
Hutan. Makalah Pelatihan Manajemen Perbenihan dan Persemaian Tahun 1997 Tingkat
Asper/ KBKPH dan Sederajat. Perum Perhutani Unit III Jawa Barat. Cianjur.