Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis


progresif, merupakan penyakit terbanyak ke-dua setelah demensia Alzheimer.
Penyakit ini adalah penyakit yang terkait dengan usia (pertengahan atau lanjut),
kronis, neurodegeneratif, progresif dengan lambat dan ditandai klinis oleh adanya
tanda gejala utama yaitu, tremor pada waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia
(kelambatan gerakan) dengan kekakuan dan postural instability. Pertama kali
ditemukan oleh seorang dokter inggris yang bernama James Parkinson pada tahun
1887.
Penyakit Parkinson bisa menyerang laki-laki dan perempuan. Rata-rata usia
mulai terkena penyakit Parkinson adalah 60 tahun, tetapi bisa lebih awal pada usia
40 tahun atau bahkan sebelumnya. Jumlah orang di Amerika Serikat dengan
penyakit Parkinson diperkirakan antara 500.000 sampai satu juta, dengan sekitar
50.000 ke 60.000 terdiagnosa baru setiap tahun. Angka tersebut meningkat setiap
tahun seiring dengan populasi umur penduduk Amerika. Sementara sebuah
sumber menyatakan bahwa Penyakit Parkinson menyerang sekitar 1 diantara 250
orang yang berusia diatas 40 tahun dan sekitar 1 dari 100 orang yang berusia
diatas 65 tahun. Sedangkan di Indonesia, penderita Parkinson bertambah 75 ribu
orang setiap tahunnya.

Penyebab Penyakit Parkinson belum diketahui, tetapi penyakit sindrom rigiditas-


akinetik lainnya telah diketahui penyebabnya. Seperti trauma serebelar, inflamasi
(ensefalitis), neoplasia (tumor ganglia basalis), infark lakunar multipel,
penggunaan obat-obatan (neuroleptik, antiemetik, amiodaron) dan toksin.

Meskipun Penyakit Parkinson didominasi oleh gangguan gerakan, gangguan


lain juga sering didapatkan termasuk masalah kejiwaan seperti depresi dan
demensia.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Penyakit Parkinson adalah gangguan neurodegeratif yang progresif dari


sistem saraf pusat. Penyakit Parkinson merupakan gejala kompleks yang
dimanifestasikan oleh 4 tanda utama : tremor saat beristirahat, rigidity,
bradikinesia, kehilangan refleks postural.

Secara patologis penyakit parkinson ditandai oleh degenerasi neuron-neuron


berpigmen neuromelamin, terutama di pars kompakta substansia nigra yang
disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies), atau disebut juga
parkinsonisme idiopatik atau primer.

Sedangkan Parkinsonisme adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor


waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural, atau disebut
juga sindrom parkinsonisme.

2.2. EPIDEMIOLOGI

Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan
wanita 3:2. 5 – 10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya
muncul sebelum usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65
tahun. Secara keseluruhan, pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di
seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat dari 0,6 % pada usia 60 – 64 tahun
sampai 3,5 % pada usia 85 – 89 tahun.

Di Amerika Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia


sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar
200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50 tahun dengan
rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di

2
Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar
negeri maupun di dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan
(3:2) dengan alasan yang belum diketahui.

2.3. KLASIFIKASI

Pada umumnya diagnosis sindrom Parkinson mudah ditegakkan, tetapi harus


diusahakan menentukan jenisnya untuk mendapat gambaran tentang etiologi,
prognosis dan penatalaksanaannya.

1. Parkinsonismus primer/ idiopatik/paralysis agitans


Sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan kronis, tetapi penyebabnya
belum jelas. Kira-kira 7 dari 8 kasus parkinson termasuk jenis ini.
2. Parkinsonismus sekunder atau simtomatik
Dapat disebabkan pasca ensefalitis virus, pasca infeksi lain : tuberkulosis,
sifilis meningovaskuler, iatrogenik atau drug induced, misalnya golongan
fenotiazin, reserpin, tetrabenazin dan lain-lain, misalnya perdarahan serebral
petekial pasca trauma yang berulang-ulang pada petinju, infark lakuner,
tumor serebri, hipoparatiroid dan kalsifikasi.
3. Sindrom paraparkinson (Parkinson plus)
Pada kelompok ini gejalanya hanya merupakan sebagian dari gambaran
penyakit keseluruhan. Jenis ini bisa didapat pada penyakit Wilson (degenerasi
hepato-lentikularis), hidrosefalus normotensif, sindrom Shy-drager,
degenerasi striatonigral, atropi palidal (parkinsonismus juvenilis).

2.4. ETIOLOGI

Etiologi Penyakit Parkinson belum diketahui ( idiopatik ) , akan tetapi ada


beberapa faktor resiko ( multifaktorial ) yang telah diidentifikasikan , yaitu :

a. Usia : meningkat pada usia lanjut dan jarang timbul pada usia < 30tahun.

b. Rasial : Orang kulit putih lebih sering daripada orang Asia dan Afrika .

c. Genetik : diduga ada peranan faktor genetik.

3
Telah dibuktikan mutasi yang khas tiga gen terpisah (alpha-Synuclein , Parkin
, UCHL1 ) dan empat lokus tambahan ( Park3 , Park4 , Park6 , Park7 ) yang
berhubungan dengan Parkinson keturunan. Kebanyakan kasus idiopatik Parkinson
diperkirakan akibat faktor –faktor genetik dan lingkungan. Etiologi yang
dikemukan oleh Jankovics ( 1992 ) adalah sebagai berikut :

Genetik predispositions
+
Environmental Factor ( exogenous and endogenous )
+
Trigger factor ( stress, infection , trauma , drugs , toxins )
+
Age related neuronal attrition and loss of anti-oxidative mechanism

Parkinsons Disease

Bagan 1. Etiologi dari Parkinsons disease ( Jankovic 1992)

d. Lingkungan :

• Toksin : MPTP , CO , Mn , Mg , CS2 , Metanol , Sianid

• Pengunaan herbisida dan pestisida

• Infeksi

e. Cedera kranio serebral : peranan cedera kranio serebral masih belum jelas.

f. Stres emosional : diduga juga merupakan faktor resiko.

2.5. PATOFISIOLOGI

Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena


penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia
nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy
bodies). Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang
mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra

4
pars kompakta. Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung
saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2
(inhibitorik) yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum
disalurkan ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis
lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan
reseptor D2. Bila masukan direk dan indirek seimbang, tidak ada kelainan
gerakan.

Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia


nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada
rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum
muncul sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin
berkurang 80%. Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur
direk dengan neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2
yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus
palidus segmen eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga
fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi
inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nukleus
subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat
akibat inhibisi.

Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen


interna/substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang
eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus/
substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari
jalur langsung, sehingga output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah
talamus.

Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah


GABAnergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya
rangsangan dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan

5
output korteks motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi
hipokinesia.

2.6. MANIFESTASI KLINIS

Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik,
yang didapat dari anamnesa yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegal-
pegal atau kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan, gejala
sensorik (parestesia) dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis
penderita parkinson :

1. Tremor

Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi


metakarpofalangeal, kadang kadang tremor seperti menghitung uang logam (pil
rolling). Pada sendi tangan fleksi ekstensi atau pronasi supinasi, pada kaki fleksi
ekstensi, pada kepala fleksi ekstensi atau menggeleng, mulut membuka menutup,
lidah terjulur tertarik-tarik. Tremor terjadi pada saat istirahat dengan frekuensi 4-5
Hz dan menghilang pada saat tidur. Tremor disebabkan oleh hambatan pada
aktivitas gamma motoneuron. Inhibisi ini mengakibatkan hilangnya sensitivitas
sirkuit gamma yang mengakibatkan menurunnya kontrol dari gerakan motorik
halus. Berkurangnya kontrol ini akan menimbulkan gerakan involunter yang
dipicu dari tingkat lain pada susunan saraf pusat. Tremor pada penyakit Parkinson
mungkin dicetuskan oleh ritmik dari alfa motor neuron dibawah pengaruh impuls
yang berasal dari nukleus ventro-lateral talamus.

2. Rigiditas

Rigiditas disebabkan oleh peningkatan tonus pada otot antagonis dan otot
protagonis dan terdapat pada kegagalan inhibisi aktivitas motoneuron otot
protagonis dan otot antagonis sewaktu gerakan. Meningkatnya aktivitas alfa
motoneuron pada otot protagonis dan otot antagonis menghasilkan rigiditas yang
terdapat pada seluruh luas gerakan dari ekstremitas yang terlibat.

6
3. Bradikinesia

Gerakan volunter menjadi lamban sehingga gerak asosiatif menjadi berkurang


misalnya: sulit bangun dari kursi, sulit mulai berjalan, lamban mengenakan
pakaian atau mengkancingkan baju, lambat mengambil suatu obyek, bila
berbicara gerak bibir dan lidah menjadi lamban. Bradikinesia menyebabkan
berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan berkurang
sehingga wajah mirip topeng, kedipan mata berkurang, menelan ludah berkurang
sehingga ludah keluar dari mulut. Bradikinesia merupakan hasil akhir dari
gangguan integrasi dari impuls optik sensorik, labirin , propioseptik dan impuls
sensorik lainnya di ganglia basalis. Hal ini mengakibatkan perubahan pada
aktivitas refleks yang mempengaruhi alfa dan gamma motoneuron.

4. Hilangnya refleks postural

Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada


awal stadium penyakit Parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita
penyakit Parkinson yang sudah berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala ini.
Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan labirin dan
sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia basalis yang akan
mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini mengakibatkan penderita
mudah jatuh.

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis,karena


tidak memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson.
Pengukuran kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing , darah
maupun cairan otak akan menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan
kontrol.Lebih lanjut , dalam keadaan tidak ada penanda biologis yang spesifik
penyakit, maka diagnosis definitive terhadap penyakit Parkinson hanya
ditegakkan dengan otopsi . Dua penelitian patologis terpisah berkesimpulan

7
bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria patologis aktual, sedangkan
yang 24% mempunyai penyebab lain untuk parkinsonisme tersebut.

• Neuroimaging :

 Magnetik Resonance Imaging ( MRI )

Baru – baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI , didapati bahwa hanya
pasien yang dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal di
striatum.

 Positron Emission Tomography ( PET )

Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi
kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamin nigrostriatal
dan peranannya dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan karakteristik
pada pengambilan fluorodopa, khususnya di putamen, dapat diperlihatkan hampir
pada semua penderita penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat
awitan gejala, penderita penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30%
pada pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat
membedakan antara penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal. PET juga
merupakan suatu alat untuk secara obyektif memonitor progresi penyakit, maupun
secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon fetus.

 Single Photon Emission Computed Tomography ( SPECT )

Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh
SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus
dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan
ke striatum oleh derivat kokain [123]beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55,
berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena
maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang
berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V.
Marek dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar

8
11% pada pengambilan [123]beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit
Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan
untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel saraf nigrostriatal pada
penyakit Parkinson.

Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang


menggunakan ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna dalam
mendeteksi orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai
suatu metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik
tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut
sebagai metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi farmakologis baru,
sekarang sedang diselidiki

2.8. DIAGNOSIS

Diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan klinis dengan ditemukannya


gejala motorik utama antara lain tremor pada waktu istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural. Kriteria diagnosis yang dipakai di
Indonesia adalah kriteria Hughes (1992) :

• Possible : didapatkan 1 dari gejala-gejala utama

• Probable : didapatkan 2 dari gejala-gejala utama

• Definite : didapatkan 3 dari gejala-gejala utama

Untuk kepentingan klinis diperlukan adanya penetapan berat ringannya


penyakit dalam hal ini digunakan stadium klinis berdasarkan Hoehn and Yahr
(1967) yaitu :

 Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tetapi menimbulkan kecacatan, biasanya
terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang
terdekat (teman)

9
 Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara
berjalan terganggu
 Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang
 Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat
berkurang dibandingkan stadium sebelumnya
 Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu
berdiri dan berjalan walaupun dibantu.

2.9. PENATALAKSANAAN

Pengobatan penyakit Parkinson dapat dikelompokan ,sebagai berikut :

I. Farmakologik

1. Bekerja pada sistem dopaminergik

2. Bekerja pada sistem kolinergik

3. Bekerja pada Glutamatergik

4. Bekerja sebagai pelindung neuron, dll.

II. Non Farmakologik

1. Perawatan

2. Pembedahan

3. Deep-Brain Stimulasi

4. Transplantasi

I. Farmakologik

1. Bekerja pada sistem dopaminergik

a. L-dopa

10
Penemuan terapi l-dopa pada tahun 1960 merupakan terobosan baru
pengetahuan tentang penyakit degenerasi. Meskipun sampai sekarang l-dopa
masih merupakan obat paling menjanjikan respon terbaik untuk penyakit
parkinson ,namun masa kerjanya yang singkat , respon yang fluktuatif dan efek
oxidative stress dan metabolitnya menyebabkan para peneliti mencari bahan
alternatif. Mulailah dosis rendah dan secara berangsur ditingkatkan. Drug holiday
sebaliknya jangan lebih lama dari 2 minggu, karena gejala akan muncul lagi
sesudah 2 minggu obat dihentikan.

b. MAO dan COMT Inhibitor

Pada umumnya penyakit parkinson memberi respon yang cepat dan bagus
dengan l-dopa dibandingkan dengan yang lain ,namun ada laporan bahwa l-dopa
dan dopamin menghasilkan metabolit yang mengganggu atau menekan proses
pembentukan energi dari mitokondria dengan akibat terjadinya oxidative stress
yang menuntun timbulnya degenerasi sel neuron. Preparat penghambat enzim
MAO (monoamine oxydase) dan COMT (Catechol-O-methyl transferase)
ditambahkan bersama preparat l-dopa untuk melindungi dopamin terhadap
degradasi oleh enzim tersebut sehingga metabolit berkurang (pembentukan radikal
bebas dari dopamin berkurang) sehingga neuron terlindung dari proses oxidative
stress.

c. Agonis Dopamin

Preparat lain yang juga dapat menghemat pemakaian l-dopa adalah


golongan dopamin agonis . Golongan ini bekerja langsung pada reseptor dopamin,
jadi mengambil alih tugas dopamin dan memiliki durasi kerja lebih lama
dibandingkan dopamin. Sampai saat ini ada 2 kelompok dopamin agonis , yaitu
derivat ergot dan non ergot.

Keuntungan terapi dengan agonis dopamin dibandingkan l-dopa antara


lain :

1. Durasi kerja obat lebih lama

11
2. Respon fluktuatif dan diskinesia lebih kecil

3. Dapat dipilih agonis dopamin yang lebih spesifik terhadap reseptor


dopamin tertentu disesuaikan kondisi penderita penyakit parkinson.

2. Bekerja pada sistem kolinergik

Obat golongan antikolinergik memberi manfaat untuk penyakit parkinson ,


oleh karena dapat mengoreksi kegiatan berlebihan dari sistem kolinergik terhadap
sistem dopaminergik yang mendasari penyakit parkinson . Ada dua preparat
antikolinergik yang banyak digunakan untuk penyakit parkinson , yaitu
thrihexyphenidyl ( artane ) dan benztropin ( congentin ). Preparat lainnya yang
juga termasuk golongan ini adalah biperidon ( akineton ) , orphenadrine ( disipal )
dan procyclidine ( kamadrin ).

Golongan anti kolinergik terutama untuk menghilangkan gejala tremor dan


efek samping yang paling ditakuti adalah kemunduran memori.

3. Bekerja pada sistem Glutamatergik

Diantara obat – obat glutamatergik yang bermanfaat untuk penyakit parkinson


adalah dari golongan antagonisnya , yaitu amantadine , memantine, remacemide.
Antagonis glutamatergik diduga menekan kegiatan berlebihan jalur dari inti
subtalamikus sampai globus palidus internus sehingga jalur indirek seimbang
kegiatannya dengan jalur direk , dengan demikian out put ganglia basalis ke arah
talamus dan korteks normal kembali. Disamping itu, diduga antagonis
glutamatergik dapat meningkatkan pelepasan dopamin, menghambat reuptake dan
menstimulasi reseptor dopamin. Obat ini lebih efektif untuk akinesia dan rigiditas
daripada antikolinergik.

4. Bekerja sebagai pelindung neuron

Berbagai macam obat dapat melindungi neuron terhadap ancaman degenerasi


akibat nekrosis atau apoptosis. Termasuk dalam kelompok ini adalah :

12
a. Neurotropik faktor , yaitu dapat bertindak sebagai pelindung neuron terhadap
kerusakan dan meningkatkan pertumbuhan dan fungsi neuron.

b. Anti-exitoxin , yang melindungi neuron dari kerusakan akibat paparan bahan


neurotoksis ( MPTP , Glutamate ) . Termasuk disini antagonis reseptor NMDA ,
MK 801 , CPP , remacemide dan obat antikonvulsan riluzole.

c. Anti oksidan , yang melindungi neuron terhadap proses oxidative stress akibat
serangan radikal bebas.

d. Bioenergetic suplements , yang bekerja memperbaiki proses metabolisme


energi di mitokondria.

e. Immunosuppressant , yang menghambat respon imun sehingga salah satu jalur


menuju oxidative stress dihilangkan .

II. Non Farmakologik.

1. Perawatan Penyakit Parkinson

Sebagai salah satu penyakit parkinson kronis yang diderita oleh manula ,
maka perawatan tidak bisa hanya diserahkan kepada profesi paramedis ,
melainkan kepada semua orang yang ada di sekitarnya.

a. Edukasi

Dalam arti memberi penjelasan kepada penderita , keluarga dan care giver tentang
penyakit yang diderita. Hendaknya keterangan diberikan secara rinci namun
supportif dalam arti tidak makin membuat penderita cemas atau takut.
Ditimbulkan simpati dan empati dari anggota keluarganya sehingga dukungan
fisik dan psikik mereka menjadi maksimal.

13
b. Rehabilitasi

Untuk mencapai tujuan tersebut diatas dapat dilakukan tindakan sebagai berikut :

a. Terapi fisik : ROM ( Range Of Motion )

• Peregangan

• Latihan jalan ( gait training )

• Latihan kebugaran kardiopulmonar

• Edukasi dan program latihan di rumah

b. Terapi okupasi

Memberikan program yang ditujukan terutama dalam hal pelaksanaan aktivitas.

c. Orthotik Prosthetik

Dapat membantu penderita Parkinson yang mengalami ketidakstabilan postural ,


dengan membuatkan alat Bantu jalan seperti tongkat atau walker.

3. Pembedahan :

Tindakan pembedahan untuk penyakit parkinson dilakukan bila penderita tidak


lagi memberikan respon terhadap pengobatan / intractable , yaitu masih adanya
gejala dua dari gejala utama penyakit.

Ada 2 jenis pembedahan yang bisa dilakukan :

a. Pallidotomi:

- Bradikinesia

- Gangguan jalan / postural

- Gangguan bicara

14
b. Thalamotomi

- Tremor

- Rigiditas

- Diskinesia karena obat.

2.10. PROGNOSIS

Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala parkinson,


sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat ini. Sekali
terkena parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang hidupnya. Tanpa
perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi total
disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan dapat
menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien
berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan
gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping
pengobatan terkadang dapat sangat parah.

Penyakit parkinson sendiri tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal, tetapi
berkembang sejalan dengan waktu. Rata-rata harapan hidup pada pasien parkinson
pada umumnya lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita penyakit
parkinson. Tidak ada cara yang tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini
pada masing-masing individu. Dengan treatment yang tepat, kebanyakan
penderita parkinson dapat hidup produktif beberapa tahun setelah diagnosis.

15
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif yang bersifat kronis


progresif, merupakan suatu penyakit/sindrom karena gangguan pada ganglia
basalis akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamin dari substansia
nigra ke globus palidus/ neostriatum (striatal dopamine deficiency). Di Amerika
Serikat, ada sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan
jumlah penduduk 210 juta orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000
penderita.

Penyakit Parkinson merupakan penyakit kronis yang membutuhkan


penanganan secara holistik meliputi berbagai bidang. Pada saat ini tidak ada terapi
untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan operasi dapat mengatasi
gejala yang timbul . Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan gejala-gejala
parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat
ini. Sekali terkena Parkinson, maka penyakit ini akan menemani sepanjang
hidupnya.

Tanpa perawatan, gangguan yang terjadi mengalami progress hingga terjadi


total disabilitas, sering disertai dengan ketidakmampuan fungsi otak general, dan
dapat menyebabkan kematian. Dengan perawatan, gangguan pada setiap pasien
berbeda-berbeda. Kebanyakan pasien berespon terhadap medikasi. Perluasan
gejala berkurang, dan lamanya gejala terkontrol sangat bervariasi. Efek samping
pengobatan terkadang dapat sangat parah.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Fahn, Stanley. Merrit’s Neurology. Tenth edition. Lippincott Williams &


Wilkins.2000.

2. De Long, Mahlon.Harrison Neurology in Clinical Medicine. First edition.


McGraw-Hill Professional.2006

3. John C. M. Brust, MD, “Current Diagnosis & Treatment In Neurology”,


McGraw-Hill 2007, hlm 199 – 206.

4. Clarke CE, Moore AP., “Parkinson's Disease”.

5. NICE clinical guideline 35, Parkinson’s disease diagnosis and


management in primary and secondary care, National Institute for Health
and Clinical Exexllence, 2006.

6. Mardjono M,Sidharta. P, Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian rakyat,


Jakarta 2000. Hal 60-61.

7. Price.S, Wilson L, Patofisiologi, Edisi 4, Buku 2 Penerbit EGC, Jakarta


1995. Hal 991-5

17

Anda mungkin juga menyukai