Anda di halaman 1dari 3

Nata De Coco, apakah berbahaya

Berbicara mengenai isu carbon negative memang sangat menarik. Akumulasi bahan – bahan
atau zat yang mengandung karbon dan mempunyai dampak merugikan atau membahayakan
bagi manusia maupun lingkungan semakin menumpuk di atmosfer. Karena dianggap merugikan
dan membahayakan, maka sekarang ini sedang marak dilakukan upaya penanggulangannya.
Salah satunya adalah dengan pemanfaatkan karbon itu sendiri.

Sumber karbon jangan dipandang sebatas karbondioksida (CO2), gas metan (CH4), ataupun
gula (C6H12O6) saja. Masih banyak sumber karbon lainnya. Salah satunya adalah limbah
pertanian. Limbah pertanian banyak mengandung sumber karbon. Limbah pertanian yang tidak
diolah dengan baik, pada titik tertentu dapat mengalami fermentasi dan dapat menghasilkan gas
metan CH4 yang berkontribusi sebagai karbon negatif. Namun, sekarang ini banyak
dimanfaatkan limbah pertanian menjadi produk yang berdaya guna lebih tinggi, salah satunya
adalah produk nata de coco yang memanfaatkan sumber karbon dari air kelapa.

Nata de coco merupakan produk makanan yang dihasilkan dari air limbah kelapa. Air tersebut
mengalami proses fermentasi dengan melibatkan bakteri Acetobacter xylinum, sehingga
membentuk kumpulan biomassa yang terdiri dari selulosa dan memiliki bentuk padat, berwarna
putih seperti kolang-kaling.

Pembuatan nata pada prinsipnya adalah pembentukan selulose sintesis melalui fermentasi gula
oleh bakteri Acetobacter xylinum. Untuk hidup, semua organisme membutuhkan sumber energi,
yang diperoleh dari metabolisme bahan pangan tempat orgnisme hidup didalamnya. Bahan baku
yang paling banyak digunakan mikroorganisme adalah glukosa. Dengan adanya oksigen
beberapa mikroorganisme mencerna glukosa dan menghasilkan air, karbondioksida, dan
sejumlah besar ATP yang digunakan oleh tubuh (Winarno, 1984 Nurdianto 2008; ). Dalam
peneitian yang dilakukan Nadiyah pada tahun 2002 bakteri Acetobacter xylinum memiliki
kemampuan mengubah karbohidrat menjadi selulosa (Nurdianto, 2008).

Bahan yang dbutuhkan untuk pembuatan nata adalah air, gula, Zwavelzure Amoniak (ZA) / atau
Ammonium sulfat (AS) (NH4)2SO4, dan air kelapa (Miguel et al., 2013). Konsentrasi sukrosa 10%
dan konsentrasi sulfat amonium dari 0,5% pada pH 4,0 ditemukan untuk memaksimalkan
ketebalan nata yang diproduksi (Jagannath et al., 2008). Bahan bahan tersebut dibutuhkan
bakteri Acetobater xylinum dalam pertumbuhannnya. Gula yang terutama adalah sukrosa
diperlukan bakteri ini sebagai sumber C (karbon) sebelum memanfaatkan sumber C dari air
kelapa. Selain itu ammoinum sulfat diperlukan bakteri ini sebagai sumber N. Air disini dibutuhkan
untuk memodifikasi tempat hidup bakteri ini yang membutuhkan banyak air dan memudahkan
dalam pembentukan selulosa dari beberapa sumber karbon tersebut.

Namun, akhir-akhir ini terdengar isu bahwa produk nata menjadi berbahaya karena penggunaan
pupuk ZA dalam pembuatannya. Pupuk ZA memang mengandung ammonium sulfat yang
diperlukan bakteri asam asetat dalam pertumbuhannya sebagai sumber N. Akan tetapi dalam
kasus ini yang menjadi masalah adalah kandungan kimia pada pupuk ZA selain ammonium
sulfat. Industri pupuk tentu saja tidak seketat dalam pengawasan produk dibandingkan industri
pangan. Karena sifatnya yang hanya sebatas pupuk untuk tanaman, maka kemungkinan pupuk
ZA dapat mengandung berbagai macam kandungan kimia yang dapat membahayakan
kesehatan manusia namun tidak membahayakan kesehatan tanaman. Hal ini yang menjadikan
alasan mengapa penggunaan pupuk ZA tidak diperbolehkan untuk industri makanan. Sehingga
diperlukan penggunan ZA yang khusus digunakan untuk makanan atau memenuhi kriteria food
grade yang diproses sebagaimana siperuntukkan untuk makanan.

Kepala Biro Hukum dan Humas BPOM, Budi Djanu Purwanto seperti dilantsir dari
Galamedianews.com yang mengeluarkan pernyataan, bahwa jenis minuman Nata de coco yang
mengandung urea (CH4N2O) aman dikonsumsi selama urea yang digunakan masuk dalam
kategori tara pangan atau food grade. Begitu juga Amonium sulfat Zwavelzure Amoniak (ZA)
dengan rumus kimia (NH4)2S04 itu aman jika ‘food grade‘. Budi mengatakan akan berbeda
halnya jika ZA dan urea yang digunakan dalam nata de coco bukan kategori “food grade“.

Dalam rangka keamanan pangan Budi menjelaskan pula dalam Tempo.co, Pembuatan nata
yang baik dan tidak membahayakan adalah dengan menggunakan ZA dan urea jenis food
grade (tara pangan/khusus untuk pangan). Sebab, jika menggunakan yang non-food
grade dikhawatirkan ada potensi cemaran logam berat. Selain itu faktor keamanan pangan lain
yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan nata de coco adalah penerapan praktek cara
produksi pangan olahan yang baik.

Dengan adanya pernyataan dari BPOM ini menjadikan masyarakat tak perlu khawatir dalam
mengkonsumsi maupun memproduksi nata de coco asal dengan menggunakan bahan-
bahan food grade dan penerapan produksi olahan yang benar. Pemanfaatan nata de coco dari
limbah air kelapa ini selain kaya serat dan menyehatkan juga turut mengurangi jumlah karbon
yang tidak dimanfaatkan dilingkungan seperti limbah pertanian menjadi produk yang bernilai.
Referensi :

Jagannath, A., A. Kalaiselvan, S. S. Manjunatha, P.S. Raju, dan A. S. Bawa. 2008. The effect of
pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production of bacterial cellulose
(Nata-de coco) by Acetobacter xylinum. World J.Microbiol Biotechmol 24 : 2593-2599.

Kurnia, K. 2015. BPOM, Nata de Coco Diolah ZA dan Urea Food Grade Aman Dikonsumsi.
<http://www.galamedianews.com/nasional/17135/bpom-nata-de-coco-diolah-za-dan-urea-food-
grade-aman-dikonsumsi.html > Diakses 11 April 2015.

Miguel G., P. Gatenholm, D. Klemm. 2013. Bacterial nanocellulose a sophisticated multifuntional


material. CRC Press, Boca Raton.

Nurdianto. 2008. Kualitas Nata dari Bahan Bekatul (Nata de Katul) dengan Starter
Bakteri Acetobacter xylinum. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Skripsi.

Anda mungkin juga menyukai