Anda di halaman 1dari 10

2.

6 Sifat Fisikokimia

2.6.1 XRD (X-Ray Diffraction)

Granula pati memiliki struktur supramolekul semi-kristal yang unik dengan lapisan

konsentris dari daerah amorf dan kristal memancar dari hilum. Amilopektin adalah molekul

besar yang membentuk daerah semikristal yang menunjukkan pola difraksi x-ray tipe A, B, atau

C tergantung pada struktur yang halus, pengaturan non acak dan panjang dari setiap rantai linear

dalam molekul (Thompson, 2000).

Daerah amorf dan daerah kristalin pada pati dapat diketahui melalui pengujian XRD (X-

Ray Diffraction) yaitu pemaparan sinar x pada sampel dengan pemindaian daerah difraksi pada

sudut 2θ mulai dari 4°, yang mencakup semua puncak difraksi yang signifikan dari kristal pati.

Pengujian menggunakan XRD akan menghasilkan x-ray diffractogram (Gambar 7). Menurut

Nara dan Komiya (1983), daerah atas (αc) yang dipisahkan dengan kurva menunjukkan daerah

kristalin dan daerah bawah diantara kurva dan garis linear menunjukkan daerah amorf (αa). Rasio

daerah atas dan total luas area difraksi merupakan degree of crystallinity (Cheetam & Tao,

1998).

Gambar 7. X-Ray Diffractogram Pati Kentang


(Nara & Komiya, 1983)

Pola difraksi x-ray tipe A menunjukkan pola khas dengan puncak pada 15°, 17°, 18°, and

23° (2θ), yang merupakan karakteristik umum yang terdapat pada pati tipe A yang sebagian
besar dimiliki pati beras (Zeng et al., 2015). Pola difraksi x-ray tipe B ditandai dengan puncak

kecil pada 5.6° (2θ) dan puncak ganda pada 22° dan 24° (2θ) (Huang et al., 2015). Pati dengan

pola difraksi x-ray tipe C memiliki proporsi struktur kristal dari pola difraksi x-ray tipe A dan

tipe B yang berbeda dan bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi tipe CA (lebih mendekati tipe

A) dan tipe CB (lebih mendekati tipe B). Pati tipe C menunjukkan puncak difraksi yang kuat

pada 17° dan 23° (2θ), dan puncak kecil beberapa sekitar 5.6° dan 15° (2θ). Pati tipe CA

menunjukkan shoulder peak pada 18° (2θ), yang menunjukkan indikasi dari tipe A. Pati tipe CB

menunjukkaan dua shoulder peak pada 22° dan 24° (2θ), yang merupakan indikasi dari tipe B

(Cheetham dan Tao, 1998). Selain tipe A, B, serta tipe C terdapat tipe V yang merupakan tipikal

dari kompleks yang dibentuk oleh amilosa dengan lipid. Menurut Lopez-Rubio et al., (2008)

kristal tipe V ditunjukkan melalui puncak pada sudut difraksi 7°, 13°, dan 20° (2θ).

Berdasarkan berbagai penelitian, pati pisang dapat memiliki pola difraksi tipe A (Bello-

Perez et al., 2000), tipe B (Faisant, Buleon et al. (1995), Lii et al. (1982); Teixeira, Ciacco,

Tavares & Bonezzi, 1998), maupun gabungan dari kedua tipe tersebut (tipe C) seperti yang

dilaporkan (Chang, Li dan Yang (1991); Jane et al., 1997; Waliszewski et al., 2003). Zhang et al.

(2005) menyebutkan bahwa perbedaan tipe pola difraksi pati pisang bergantung pada sumber

varietas dan/ atau kondisi lingkungan pertumbuhan dan/ atau teknik isolasi.

2.6.2 DSC (Differential Scanning Calorimetry)

Differential Scanning Calorimetry (DSC) mengukur sejumlah panas yang terkait selama

gelatinisasi pati dengan menggunakan alat differential scanning calorimeter. Hasil dari

pengukuran ini menghasilkan data berupa To (onset temperature), Tp (peak temperature), Tc

(conclusion temperature), serta ΔH (entalpi gelatinisasi. Menurut Chung et al., (2009), To (onset
temperature) menggambarkan lelehnya kristal pati yang lemah dan Tc (conclusion temperature)

menggambarkan lelehnya kristal pati yang kuat, sedangkan menurut Yadav et al., (2009) Tp

(peak temperature) mengindikasikan stabilitas struktur pati dan ketahanan terhadap gelatinisasi.

Entalpi gelatinisasi (ΔH) merupakan energi yang diperlukan untuk menguraikan ikatan heliks

ganda, menunjukkan ikatan heliks ganda yang kacau serta menggambarkan jumlah ikatan heliks

yang terurai selama gelatinisasi (Rocha et al., 2012), Cooke dan Gidley, 1992; Gunaratne dan

Hoover, 2002).

2.6.3 SEM (Scanning Electron Microscope)

SEM (Scanning Electron Microscope) merupakan mikroskop elektron yang digunakan

untuk mengamati permukaan objek solid secara langsung. SEM memiliki perbesaran 10 –

3.000.000 kali, depth of field 4 – 0.4 mm dan resolusi sebesar 1 – 10 nm. Hasil SEM

memperlihatkan bahwa granula tepung dan pati pisang memiliki bentuk tidak beraturan, dimana

granula memiliki struktur yang kompak dengan bentuk memanjang dan bulat (Gambar 8)

(Pelissari et al., 2012). Surendra-Babu, Mahalakshmi, dan Palimalavalli (2014) juga

memperlihatkan hasil SEM granula tepung dan pati pisang di mana granula tersebut memiliki

bentuk oval hingga bulat memanjang.

Gambar 8. SEM granula (a) tepung dan (b) pati pisang (perbesaran 1000x)
(Pelissari et al., 2012)
Granula pati pada pisang mempunyai ukuran rata-rata 39 µm (Bello et al., 2005).

Menurut Jane and Chen (1992), ukuran granula pati berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pati.

Pati dengan ukuran granula kecil akan lebih mudah dihidrolisis oleh enzim dibandingkan pati

yang memiliki ukuran granula besar. Hasil SEM memperlihatkan granula pati pisang berukuran

sangat besar (20 – 50 µm) (Gonsalez-Soto et al., 2006).

2.7 Sifat Fungsional

Sifat fungsional merupakan sifat yang mempengaruhi perilaku komponen tersebut selama

persiapan, pengolahan, penyimpanan dan konsumsi.

2.7.1 Swelling Volume dan Kelarutan

Swelling Volume merupakan perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya

(Collado et al., 1999). Swelling volume merupakan kemampuan pati untuk mengembang jika

dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu. Kelarutan menunjukkan karakteristif sifat kelarutan

pati setelah dilakukan pemanasan. Pada proses gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati

akan masuk ke dalam daerah amorphous yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses

masuknya air dalam granula pati ini menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga

diameter granula pati bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan

granula pati dan molekul pati yang terlarut air dengan mudah keluar masuk ke dalam sistem

larutan. Molekul pati yang larut dalam air panas (amilosa) akan ikut keluar bersama air tersebut

sehingga terjadi amylose leaching (Chen et al., 2003).

Pati dengan profil gelatinisasi tipe A (pati sagu) biasanya memiliki swelling volume yang

lebih besar dibandingkan dengan pati dengan profil gelatinisasi tipe B contohnya pati gandum,
pati jagung, pati beras dan pati tapioka (Wattanachant et al., 2002). Pati yang memiliki profil

gelatinisasi tipe C contohnya pati kacang-kacangan memiliki swelling volume yang terbatas atau

sangat rendah jika dibandingkan tipe A (Kim et al., 1996).

2.7.2 Kapasitas Penyerapan Air

Kapasitas penyerapan air berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah

ditambahkan dengan sejumlah air. Menurut Elliason (2004), granula pati dapat basah dan secara

spontan terdispersi dalam air. Air yang terserap disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang

terikat secara fisik maupun intermolekuler pada bagian amorf.

Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi

pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai

kondisi optimum. Dengan demikian, kemampuan hidrasi yang rendah kurang cocok untuk

produk olahan yang membutuhkan tingkat gelatinisasi yang tinggi (Tam et al., 2004).

Menurut Hodge & Osman (1976), tepung yang memiliki KPA tinggi memiliki gugus

hidrofilik yang lebih banyak. Lebih lanjut Hoover & Sosulski (1986) menjelaskan bahwa

perbedaan KPA bahan dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pengikatan gugus hidroksil yang

membentuk ikatan hidrogen dan ikatan kovalen antar rantai pati. Terdapatnya gugus hidroksil

bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian,

semakin banyak gugus hidroksil dari molekul pati semakin tinggi kemampuannya menyerap air.

Oleh karena itu air sangat berpengaruh terhadap viskositas (Tester dan Karkalas, 1996).
2.7.3 Freeze Thaw Stability

Pengujian freeze-thaw stability dilakukan untuk melihat apakah pati yang dihasilkan

dapat disimpan dalam suhu beku (-15oC) sehingga aplikasinya memungkinkan untuk digunakan

dalam produk yang harus disimpan pada suhu yang sangat rendah. Pengujian sifat ini dilakukan

dengan membuat larutan pasta pati 5% disimpan pada suhu 4o C selama 24 jam dilanjutkan

dengan penyimpanan pada suhu beku selama 24 jam dan setelah itu diletakkan kembali pada

suhu kamar selama 2-3 jam. Setelah itu sampel disentrifugasi untuk melihat jumlah air yang

terpisah menunjukkan bahwa pati tersebut memiliki freeze-thaw stability yang rendah.

Selama penyimpanan suhu beku, pasta pati mengalami retrogradasi, retrogradasi

merupakan kecenderungan amilosa-amilopekin pasta pati untuk berikatan satu sama lain melalui

ikatan hidrogen diantara gugus hidroksilnya. Salah satu efek daripada retrogradasi ialah

terjadinya sineresis yaitu keluarnya air dari pasta pati. Pada penyimpanan suhu beku ini, air

dalam larutan pasta pati akan berubah bentuk menjadi kristal es. Fenomena ini tentu akan

mengubah kelarutan air dalam struktur pasta pati. Martin dan Schoch (1977) mengatakan bahwa

air yang telah berubah bentuk menjadi kristal es mengakibatkan peristiwa retrogradasi dalam

larutan pasta pati. Apabila pasta larutan pati yang telah beku diletakkan kembali pada suhu

kamar, kristal es tersebut akan kembali mencair dan air akan terpisah dari struktur pasta pati.

Sunarti et al., (2007) melaporkan nilai freeze-thaw stability yang dinyatakan dalam %

sineresis dapat diartikan sebagai persentase jumlah air yang terpisah setelah larutan pasta pati

diberi perlakuan penyimpanan pada satu siklus -15o C. Semakin tinggi persentase jumlah air

yang terpisah, menunjukkan bahwa pati tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan

suhu beku.
2.8 Sifat Amilografi

Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas pati dengan konsentrasi tertentu

selama pemanasan dan pengadukan. Singh et al., (2003) menyatakan bahwa sifat amilografi

tepung dapat dianalisis menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). RVA adalah viskometer

yang dilengkapi dengan system pemanas dan pendingin untuk mengukur resistensi sampel pada

pengadukan terkontrol (Collado dan Corke, 1999).

Beberapa sifat adonan yang dapat dilihat dari kurva hasil pengukuran menggunakan RVA

antara lain suhu awal gelatinisasi atau pasting temperature (PT), yaitu suhu pada saat kurva

mulai naik atau awal terbentuknya viskositas yang menandakan pati mulai menyerap air.

Viskositas puncak atau peak viscosity (PV), yaitu viskositas pada puncak gelatinisasi atau

menunjukkan pati tergelatinisasi.

Viskositas pasta panas atau trough viscosity (TV) yaitu viskositas pada saat suhu

dipertahankan 95o C. Perubahan viskositas selama pemanasan atau breakdown, yaitu selisih

antara PV dengan TV atau menunjukkan kestabilan viskositas terhadap panas. Viskositas pasta

dingin atau final viscosity (FV) yaitu viskositas pada saat suhu dipertahankan 50o C. Perubahan

viskositas selama pendinginan atau setback, yaitu selisih antara FV dengan TV atau

menunjukkan kemampuan untuk meretrogradasi.

Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai menyerap air atau

dapat terlihat dengan mulai meningkatnya viskositas. Suspensi pati bila dipanaskan, granula-

granula akan menggelembung karena menyerap air dan selanjutnya mengalami gelatinisasi dan

mengakibatkan terbentuknya pasta yang ditandai dengan kenaikan viskositas pasta. Kenaikan

viskositas ini disebabkan oleh terjadinya penggelembungan granula pati khususnya amilosa.

Proses ini berlanjut terus hingga viskositas puncak pasta tercapai, kemudian viskositas menurun
akibat gaya ikatan antara granula-granula pati yang telah mengembang dan tergelatinisasi

menjadi berkurang oleh pemanasan yang tinggi dan pengadukan yang keras. Selain itu struktur

granula pati juga pecah sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta serta stabilitas

viskositas pasta rendah. (Bean and Seteser, 1992).

Viskositas maksimum merupakan viskositas pasta yang dihasilkan selama pemanasan

(Baah, 2009). Peningkatan penggelembungan granula oleh pengaruh panas akan meningkatkan

viskositas maksimum yaitu viskositas puncak pada saat terjadi gelatinisasi sempurna. Makin

besar kemampuan mengembang granula pati maka viskositas pasta makin tinggi dan akhirnya

akan menurun kembali setelah pecahnya granula pati (Leach, 1965; Swinkles, 1985).

Setelah mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan dalam RVA dilanjutkan

pada suhu yang lebih tinggi granula pati menjadi rapuh, pecah, dan terpotong-potong membentuk

polimer, agregat, serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Penurunan

tersebut terjadi pada pemanasan suhu suspensi 95oC yang dipertahankan selama 10 menit. Nilai

penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika

suspensi dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit disebut dengan breakdown viscosity.

Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta

selama pemanasan, di mana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan

semakin stabil terhadap panas (Widaningrum dan Purwani, 2006). Penurunan viskositas puncak

dan viskositas breakdown menurut Hoover et al., (1993) dalam Pukkahuta et al. (2008) diduga

karena meningkatnya keteraturan matriks kristalin dan pembentukan komplek amilosa-lemak

yang menurunkan kapasitas pembengkakan granula dan memperbaiki stabilitas pasta selama

pemanasan.
Nilai kenaikan viskositas ketika pasta pati didinginkan disebut setback viscosity. Semakin

tinggi nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk

gel (meningkatkan viskositas) lama pendinginan. Tingginya nilai setback menandakan tingginya

kecenderungan untuk terjadinya retrogradasi. Hal tersebut didasarkan pada pengertian

retrogradasi yaitu terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang

berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah

pasta didinginkan (Winarno, 2004). Kenaikan viskositas pati yang terjadi disebabkan oleh

retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan

hidrogen intermolekuler (Swinkles 1985 dalam Baah, 2009).

Gambar 9. Kurva Amilografi Pati Jagung Berbagai Varietas


(Frohberg et al., 2013)

Schoch dan Maywald (1968) mengklasifikasikan pati ke dalam 4 tipe berdasarkan kurva

amilografi (Gambar 9.), yaitu:

1. Tipe A, menunjukkan pengembangan granula pati yang tinggi dan diikuti dengan penurunan

viskositas dengan cepat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam tipe ini yaitu pati

kentang, tapioka, dan beberapa serealia.


2. Tipe B, menunjukkan pengembangan granula yang lebih rendah dari tipe A dan bersifat

moderat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati serealia.

3. Tipe C, menunjukkan pengembangan granula terbatas dan tidak menunjukkan viskositas

puncak serta relatif bersifat konstan selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori

ini adalah pati legum dan pati modifikasi.

4. Tipe D, menunjukkan pengembangan granula yang sangat terbatas. Pati yang termasuk

dalam kategori ini adalah pati yang mempunyai kadar amilosa lebih dari 50%.

Anda mungkin juga menyukai