6 Sifat Fisikokimia
Granula pati memiliki struktur supramolekul semi-kristal yang unik dengan lapisan
konsentris dari daerah amorf dan kristal memancar dari hilum. Amilopektin adalah molekul
besar yang membentuk daerah semikristal yang menunjukkan pola difraksi x-ray tipe A, B, atau
C tergantung pada struktur yang halus, pengaturan non acak dan panjang dari setiap rantai linear
Daerah amorf dan daerah kristalin pada pati dapat diketahui melalui pengujian XRD (X-
Ray Diffraction) yaitu pemaparan sinar x pada sampel dengan pemindaian daerah difraksi pada
sudut 2θ mulai dari 4°, yang mencakup semua puncak difraksi yang signifikan dari kristal pati.
Pengujian menggunakan XRD akan menghasilkan x-ray diffractogram (Gambar 7). Menurut
Nara dan Komiya (1983), daerah atas (αc) yang dipisahkan dengan kurva menunjukkan daerah
kristalin dan daerah bawah diantara kurva dan garis linear menunjukkan daerah amorf (αa). Rasio
daerah atas dan total luas area difraksi merupakan degree of crystallinity (Cheetam & Tao,
1998).
Pola difraksi x-ray tipe A menunjukkan pola khas dengan puncak pada 15°, 17°, 18°, and
23° (2θ), yang merupakan karakteristik umum yang terdapat pada pati tipe A yang sebagian
besar dimiliki pati beras (Zeng et al., 2015). Pola difraksi x-ray tipe B ditandai dengan puncak
kecil pada 5.6° (2θ) dan puncak ganda pada 22° dan 24° (2θ) (Huang et al., 2015). Pati dengan
pola difraksi x-ray tipe C memiliki proporsi struktur kristal dari pola difraksi x-ray tipe A dan
tipe B yang berbeda dan bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi tipe CA (lebih mendekati tipe
A) dan tipe CB (lebih mendekati tipe B). Pati tipe C menunjukkan puncak difraksi yang kuat
pada 17° dan 23° (2θ), dan puncak kecil beberapa sekitar 5.6° dan 15° (2θ). Pati tipe CA
menunjukkan shoulder peak pada 18° (2θ), yang menunjukkan indikasi dari tipe A. Pati tipe CB
menunjukkaan dua shoulder peak pada 22° dan 24° (2θ), yang merupakan indikasi dari tipe B
(Cheetham dan Tao, 1998). Selain tipe A, B, serta tipe C terdapat tipe V yang merupakan tipikal
dari kompleks yang dibentuk oleh amilosa dengan lipid. Menurut Lopez-Rubio et al., (2008)
kristal tipe V ditunjukkan melalui puncak pada sudut difraksi 7°, 13°, dan 20° (2θ).
Berdasarkan berbagai penelitian, pati pisang dapat memiliki pola difraksi tipe A (Bello-
Perez et al., 2000), tipe B (Faisant, Buleon et al. (1995), Lii et al. (1982); Teixeira, Ciacco,
Tavares & Bonezzi, 1998), maupun gabungan dari kedua tipe tersebut (tipe C) seperti yang
dilaporkan (Chang, Li dan Yang (1991); Jane et al., 1997; Waliszewski et al., 2003). Zhang et al.
(2005) menyebutkan bahwa perbedaan tipe pola difraksi pati pisang bergantung pada sumber
varietas dan/ atau kondisi lingkungan pertumbuhan dan/ atau teknik isolasi.
Differential Scanning Calorimetry (DSC) mengukur sejumlah panas yang terkait selama
gelatinisasi pati dengan menggunakan alat differential scanning calorimeter. Hasil dari
(conclusion temperature), serta ΔH (entalpi gelatinisasi. Menurut Chung et al., (2009), To (onset
temperature) menggambarkan lelehnya kristal pati yang lemah dan Tc (conclusion temperature)
menggambarkan lelehnya kristal pati yang kuat, sedangkan menurut Yadav et al., (2009) Tp
(peak temperature) mengindikasikan stabilitas struktur pati dan ketahanan terhadap gelatinisasi.
Entalpi gelatinisasi (ΔH) merupakan energi yang diperlukan untuk menguraikan ikatan heliks
ganda, menunjukkan ikatan heliks ganda yang kacau serta menggambarkan jumlah ikatan heliks
yang terurai selama gelatinisasi (Rocha et al., 2012), Cooke dan Gidley, 1992; Gunaratne dan
Hoover, 2002).
untuk mengamati permukaan objek solid secara langsung. SEM memiliki perbesaran 10 –
3.000.000 kali, depth of field 4 – 0.4 mm dan resolusi sebesar 1 – 10 nm. Hasil SEM
memperlihatkan bahwa granula tepung dan pati pisang memiliki bentuk tidak beraturan, dimana
granula memiliki struktur yang kompak dengan bentuk memanjang dan bulat (Gambar 8)
memperlihatkan hasil SEM granula tepung dan pati pisang di mana granula tersebut memiliki
Gambar 8. SEM granula (a) tepung dan (b) pati pisang (perbesaran 1000x)
(Pelissari et al., 2012)
Granula pati pada pisang mempunyai ukuran rata-rata 39 µm (Bello et al., 2005).
Menurut Jane and Chen (1992), ukuran granula pati berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pati.
Pati dengan ukuran granula kecil akan lebih mudah dihidrolisis oleh enzim dibandingkan pati
yang memiliki ukuran granula besar. Hasil SEM memperlihatkan granula pati pisang berukuran
Sifat fungsional merupakan sifat yang mempengaruhi perilaku komponen tersebut selama
Swelling Volume merupakan perbandingan volume pasta pati terhadap berat keringnya
(Collado et al., 1999). Swelling volume merupakan kemampuan pati untuk mengembang jika
dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu. Kelarutan menunjukkan karakteristif sifat kelarutan
pati setelah dilakukan pemanasan. Pada proses gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati
akan masuk ke dalam daerah amorphous yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses
masuknya air dalam granula pati ini menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga
diameter granula pati bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan
granula pati dan molekul pati yang terlarut air dengan mudah keluar masuk ke dalam sistem
larutan. Molekul pati yang larut dalam air panas (amilosa) akan ikut keluar bersama air tersebut
Pati dengan profil gelatinisasi tipe A (pati sagu) biasanya memiliki swelling volume yang
lebih besar dibandingkan dengan pati dengan profil gelatinisasi tipe B contohnya pati gandum,
pati jagung, pati beras dan pati tapioka (Wattanachant et al., 2002). Pati yang memiliki profil
gelatinisasi tipe C contohnya pati kacang-kacangan memiliki swelling volume yang terbatas atau
Kapasitas penyerapan air berkaitan dengan komposisi granula dan sifat fisik pati setelah
ditambahkan dengan sejumlah air. Menurut Elliason (2004), granula pati dapat basah dan secara
spontan terdispersi dalam air. Air yang terserap disebabkan oleh absorbsi oleh granula yang
Kapasitas penyerapan air menentukan jumlah air yang tersedia untuk proses gelatinisasi
pati selama pemasakan. Bila jumlah air kurang maka pembentukan gel tidak dapat mencapai
kondisi optimum. Dengan demikian, kemampuan hidrasi yang rendah kurang cocok untuk
produk olahan yang membutuhkan tingkat gelatinisasi yang tinggi (Tam et al., 2004).
Menurut Hodge & Osman (1976), tepung yang memiliki KPA tinggi memiliki gugus
hidrofilik yang lebih banyak. Lebih lanjut Hoover & Sosulski (1986) menjelaskan bahwa
perbedaan KPA bahan dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat pengikatan gugus hidroksil yang
membentuk ikatan hidrogen dan ikatan kovalen antar rantai pati. Terdapatnya gugus hidroksil
bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati. Dengan demikian,
semakin banyak gugus hidroksil dari molekul pati semakin tinggi kemampuannya menyerap air.
Oleh karena itu air sangat berpengaruh terhadap viskositas (Tester dan Karkalas, 1996).
2.7.3 Freeze Thaw Stability
Pengujian freeze-thaw stability dilakukan untuk melihat apakah pati yang dihasilkan
dapat disimpan dalam suhu beku (-15oC) sehingga aplikasinya memungkinkan untuk digunakan
dalam produk yang harus disimpan pada suhu yang sangat rendah. Pengujian sifat ini dilakukan
dengan membuat larutan pasta pati 5% disimpan pada suhu 4o C selama 24 jam dilanjutkan
dengan penyimpanan pada suhu beku selama 24 jam dan setelah itu diletakkan kembali pada
suhu kamar selama 2-3 jam. Setelah itu sampel disentrifugasi untuk melihat jumlah air yang
terpisah menunjukkan bahwa pati tersebut memiliki freeze-thaw stability yang rendah.
merupakan kecenderungan amilosa-amilopekin pasta pati untuk berikatan satu sama lain melalui
ikatan hidrogen diantara gugus hidroksilnya. Salah satu efek daripada retrogradasi ialah
terjadinya sineresis yaitu keluarnya air dari pasta pati. Pada penyimpanan suhu beku ini, air
dalam larutan pasta pati akan berubah bentuk menjadi kristal es. Fenomena ini tentu akan
mengubah kelarutan air dalam struktur pasta pati. Martin dan Schoch (1977) mengatakan bahwa
air yang telah berubah bentuk menjadi kristal es mengakibatkan peristiwa retrogradasi dalam
larutan pasta pati. Apabila pasta larutan pati yang telah beku diletakkan kembali pada suhu
kamar, kristal es tersebut akan kembali mencair dan air akan terpisah dari struktur pasta pati.
Sunarti et al., (2007) melaporkan nilai freeze-thaw stability yang dinyatakan dalam %
sineresis dapat diartikan sebagai persentase jumlah air yang terpisah setelah larutan pasta pati
diberi perlakuan penyimpanan pada satu siklus -15o C. Semakin tinggi persentase jumlah air
yang terpisah, menunjukkan bahwa pati tersebut semakin tidak stabil terhadap penyimpanan
suhu beku.
2.8 Sifat Amilografi
Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas pati dengan konsentrasi tertentu
selama pemanasan dan pengadukan. Singh et al., (2003) menyatakan bahwa sifat amilografi
tepung dapat dianalisis menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RVA). RVA adalah viskometer
yang dilengkapi dengan system pemanas dan pendingin untuk mengukur resistensi sampel pada
Beberapa sifat adonan yang dapat dilihat dari kurva hasil pengukuran menggunakan RVA
antara lain suhu awal gelatinisasi atau pasting temperature (PT), yaitu suhu pada saat kurva
mulai naik atau awal terbentuknya viskositas yang menandakan pati mulai menyerap air.
Viskositas puncak atau peak viscosity (PV), yaitu viskositas pada puncak gelatinisasi atau
Viskositas pasta panas atau trough viscosity (TV) yaitu viskositas pada saat suhu
dipertahankan 95o C. Perubahan viskositas selama pemanasan atau breakdown, yaitu selisih
antara PV dengan TV atau menunjukkan kestabilan viskositas terhadap panas. Viskositas pasta
dingin atau final viscosity (FV) yaitu viskositas pada saat suhu dipertahankan 50o C. Perubahan
viskositas selama pendinginan atau setback, yaitu selisih antara FV dengan TV atau
Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai menyerap air atau
dapat terlihat dengan mulai meningkatnya viskositas. Suspensi pati bila dipanaskan, granula-
granula akan menggelembung karena menyerap air dan selanjutnya mengalami gelatinisasi dan
mengakibatkan terbentuknya pasta yang ditandai dengan kenaikan viskositas pasta. Kenaikan
viskositas ini disebabkan oleh terjadinya penggelembungan granula pati khususnya amilosa.
Proses ini berlanjut terus hingga viskositas puncak pasta tercapai, kemudian viskositas menurun
akibat gaya ikatan antara granula-granula pati yang telah mengembang dan tergelatinisasi
menjadi berkurang oleh pemanasan yang tinggi dan pengadukan yang keras. Selain itu struktur
granula pati juga pecah sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta serta stabilitas
(Baah, 2009). Peningkatan penggelembungan granula oleh pengaruh panas akan meningkatkan
viskositas maksimum yaitu viskositas puncak pada saat terjadi gelatinisasi sempurna. Makin
besar kemampuan mengembang granula pati maka viskositas pasta makin tinggi dan akhirnya
akan menurun kembali setelah pecahnya granula pati (Leach, 1965; Swinkles, 1985).
Setelah mencapai viskositas maksimum, jika proses pemanasan dalam RVA dilanjutkan
pada suhu yang lebih tinggi granula pati menjadi rapuh, pecah, dan terpotong-potong membentuk
polimer, agregat, serta viskositasnya menurun akibat terjadinya leaching amilosa. Penurunan
tersebut terjadi pada pemanasan suhu suspensi 95oC yang dipertahankan selama 10 menit. Nilai
penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika
suspensi dipanaskan pada suhu 95oC selama 10 menit disebut dengan breakdown viscosity.
selama pemanasan, di mana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan
semakin stabil terhadap panas (Widaningrum dan Purwani, 2006). Penurunan viskositas puncak
dan viskositas breakdown menurut Hoover et al., (1993) dalam Pukkahuta et al. (2008) diduga
yang menurunkan kapasitas pembengkakan granula dan memperbaiki stabilitas pasta selama
pemanasan.
Nilai kenaikan viskositas ketika pasta pati didinginkan disebut setback viscosity. Semakin
tinggi nilai setback maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk
gel (meningkatkan viskositas) lama pendinginan. Tingginya nilai setback menandakan tingginya
berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah
pasta didinginkan (Winarno, 2004). Kenaikan viskositas pati yang terjadi disebabkan oleh
retrogradasi pati, yaitu bergabungnya rantai molekul amilosa yang berdekatan melalui ikatan
Schoch dan Maywald (1968) mengklasifikasikan pati ke dalam 4 tipe berdasarkan kurva
1. Tipe A, menunjukkan pengembangan granula pati yang tinggi dan diikuti dengan penurunan
viskositas dengan cepat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam tipe ini yaitu pati
moderat selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori ini adalah pati serealia.
puncak serta relatif bersifat konstan selama pemasakan. Pati yang termasuk dalam kategori
4. Tipe D, menunjukkan pengembangan granula yang sangat terbatas. Pati yang termasuk
dalam kategori ini adalah pati yang mempunyai kadar amilosa lebih dari 50%.