Anda di halaman 1dari 16

Telaah Kata Makruf dan Munkar dalam Tafsir Al-Maraghi

Tia Izzah Fathiya


Mahasiswi IAT IAIN Salatiga
tiaizzah03@gmail.com

Abstrak:
Akhir-akhir ini amar ma’ruf nahi munkar banyak disalah artikan dengan mengajak kepada suatu
kebaikan dan mencegah keburukan dengan kekerasan. Padahal Islam sendiri tidak pernah
mengajarkan hal yang demikian. Arti kata ma’ruf sendiri menurut sebagian mufasir adalah setiap
kebaikan yang dikenal oleh jiwa, yang menjadikan jiwa tersebut suka dan tenang dengannya.
Sedangkan kata munkar dipahami oleh banyak ulama sebagai segala sesuatu, baik ucapan maupun
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan agama, akal, dan adat istiadat. Dalam kajian ini
penulis mengacu kepada pendapat al-Maraghi untuk melihat bagaimana penafsiran beliau terhadap
kata ma’ruf dan munkar tersebut. Ahmad Musthafa al-Maraghi merupakan salah satu ahli tafsir al-
Qur’an yang terkenal dengan kecerdasannya dan telah menyusun suatu kitab tafsir dengan metode
penulisan yang sistematis, bahasa yang simple dan efektif serta mudah untuk difahami. Kitab
tersebut diberi nama dengan “Tafsir al-Maraghi”. Dalam penafsirannya, yang dimaksud dengan al-
ma’ruf adalah ma istahsanahu al-syar’i wa al-‘aql (sesuatu yang dipandang baik menurut agama
dan akal). Sedangkan al-munkar adalah lawan atau kebalikan dari yang ma’ruf. Jadi al-ma’ruf
adalah setiap bentuk ketaatan kepada Allah, upaya mendekatkan diri kepadan-Nya, kebaikan
kepada manusia, dan semua yang dianjurkan oleh agama. Sedangkan al-munkar adalah lawan dari
al-ma’ruf, yaitu segala sesuatu yang dinilai buruk, dibenci dan diharamkan oleh agama.
Kata Kunci: Ma’ruf, Munkar, Tafsir, al-Maraghi

Pendahuluan
Di dalam al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang masih bersifat Ijmal
(Global), oleh karena itu ayat-ayat tersebut masih perlu untuk ditafsirkan supaya
dapat dipahami. Untuk mendapatkan maksud dari makna al-Qur’an tersebut,
mufassir perlu untuk menjelaskan kata-kata tertentu dalam al-Qur’an. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan sebuah kata dalam al-Qur’an mempunyai
makna yang berbeda, dalam buku Semantik al-Qur’an, Mardjoko Idris
menyebutkan ada tiga hal yang menyebabkan mengapa satu kata dapat diartikan
dengan beberapa makna atau mengapa makna pertama meluas maknanya menjadi
makna kedua. Pertama, sebab konteks bahasa yang mengitarinya. Kedua,
perluasan makna yang disebkan oleh perbedaan mufrad. Ketiga, berbilangnya
makna disebabkan oleh gaya bahasa majaz.1

Di dalam al-Qur’an, istilah amar ma’rūf nahi munkar, disebutkan


berulang-ulang sebanyak 9 kali di dalam surat yang berbeda, tetapi disebut secara
utuh. Sementara kata ma’rūf yang berdiri sendiri disebut sebanyak 39 kali dalam
surat yang berbeda. Secara bahasa kata ma’ruf merupakan isim maf’ul yang

Romi Hasbi Arrazi, Skripsi: “Penafsiran kata ma’ruf dan munkar menurut Sayyid Quthb
1

dalam Tafsir fi Zilalil Qur’an, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017), hlm. 2.
berasal dari kata ‘arafa-ya’rafu-ma’ruufatan yang berarti berarti yang diketahui,
yang dikenal.2 Menurut Buya Hamka, kata ma’ruf berasal dari kata ‘urf, artinya
‘yang dikenal” atau “yang dapat dimengerti yang dapat dipahami serta diterima
oleh mayarakat.”3 Sedangkan kata munkar terbentuk dari kata ankara-yunkiru-
inkaaran yang bermakna “tidak mengetahui, mengingkari.”4

Adapun alasan penulis mengkaji tafsir karya al-Maraghi ini adalah karena
beliau salah satu salah satu ahli tafsir al-Qur’an yang terkenal dengan
kecerdasannya dan telah menyusun suatu kitab tafsir dengan metode penulisan
yang sistematis, bahasa yang simple dan efektif serta mudah untuk difahami.

Dari uraian latar belakang di atas, penulis ingin mengkaji lebih dalam
makna yang lebih luas dari kata ma’ruf dan kata munkar, menurut penafsiran
Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam tafsirnya Al-Maraghi.

Biografi Ahmad Mustafa al-Maraghi


1. Kelahirannya
Nama lengkap al-Maraghi adalah Ahmad Mustafa Ibn Musthafa ibn
Muhammad Ibn ‘Abd al-Mun’in al-Qadhi al-Maraghi. Ia lahir pada tahun 1300
H/ 1881 M di kota al-Maraghah, Propinsi Suhaj, kira-kira 700 km arah selatan
Kota Kairo. Sebuah (nisbah) al-Maraghi yang terdapat diujung nama Ahmad
Mustafa al-Maraghi bukanlah dikaitkan dengan keturunan Hasyim, melainkan
dihubungkan dengan nama daerah atau kota, yaitu al-Maraghah.5
Ahmad Mustafa al-Maraghi berasal dari keluarga ulama yang taat dan
menguasai berbagai bidang ilmu agama. Hal ini dapat dibuktikan bahwa lima
dari delapan orang putra Syeikh Mustafa al-Maraghi (ayah Ahmad Mustafa al-
Maraghi) adalah ulama besar yang cukup terkenal. Orang-orang yang memakai
sebutan al-Maraghi tidak terbatas pada anak cucu Syeikh Abd Mun’im al-
Maraghi saja. Sebab menurut keterangan kitab “Mu’jam al-Mu’allifin”

2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984),
hlm. 921.
3
Op. cit.,hlm. 2.
4
Abd. Muqsith Ghazali, Tafsir atas Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Islam, Jurnal
Dialog Peradaban Vol. 7, No. I, 2014, hlm. 40.
5
Ibu kota Kabupaten al-Maraghah yang terletak di tepi Barat sungai Nil, berpenduduk
sekitar 10.000 orang dengan penghasilan utama gandum, kapas dan padi.
karangan Syeikh Umar Rida Kahalah, meyatakan ada 13 orang yang
dinisbahkan dengan al-Maraghi diluar keluarga dan keturunan Syeikh Abd.
Mun’im al-Maraghi, yaitu para ulama atau sarjana yang ahli dalam berbagai
ilmu pengetahuan yang dihubungkan dengan kota asalnya al-Maraghah.6
2. Pendidikan dan Profesinya
Sewaktu Ahmad Mustafa al-Maraghi lahir, situasi politik, sosial dan
intelektual di Mesir sedang mengalami perubahan nasionalisme, sebab
pada masa itu nasionalisme “Mesir untuk orang Mesir” sedang
menampakkan peranannya baik dalam usaha membebaskan diri dari
kesulitan Usmaniyyah maupun penjajahan Inggris. Ketika Ahmad Mustafa
al-Maraghi memasuki usia sekolah, beliau dimasukkan oleh orang tuanya
ke Madrasah di desanya untuk belajar Al-Qur’an. Otaknya sangat cerdas,
sehingga sebelum usia 13 tahun beliau sudah hafal seluruh al-Qur’an.
Disamping itu, beliau juga mempelajari Ilmu Tajwid dan dasar-dasar Ilmu
Syari’ah di Madrasah sampai beliau menamatkan pendidikan peringkat
menengah. setelah ia menamatkan sekolah menengah di kampungnya,
orang tuanya menyuruh dia untuk berhijrah ke Kairo untuk menuntut ilmu
di Universitas al-Azhar pada tahun 1314 H/1895 M. Semasa belajar di al-
Azhar beliau amat menekuni ilmu bahasa Arab, Tafsir, Hadis, Ilmu Hadis,
Balaghah, Fiqh, Ushl Fiqh Akhlak, Ilmu al-Qur’an dan Ilmu Falak
berbanding dengan ilmu-ilmu lainnya. Disamping itu beliau juga
mengikuti kuliah di Fakultas Dar al-‘Ulum Kairo. Beliau berhasil
menyelesaikan studinya di kedua perguruan tinggi tersebut pada tahun
1909 M. Inilah barangkali yang menyebabkan beliau menjadi salah
seorang murid yang cemerlang dalam pelajarannya yang akhirnya beliau
terpilih sebagai alumnus terbaik pada tahun 1904 M.
Setelah Ahmad Mustafa al-Maraghi menamatkan studinya di
Universitas al-Azhar dan Dar al-‘Ulum, beliau memulai kariernya dengan
menjadi guru di beberapa sekolah menengah. Kemudian beliau diangkat

6
Yuli Gusmawati, Skripsi: Makna Kata Ma’ruf dan padanannya dalam al-Qur’an (Suatu
Kajian terhadap Penafsiran al-Maraghi), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011), hlm. 15-17.
menjadi rektor Madrasah Mu’allimin di Fuyun.7 Pada tahun 1916, beliau
diangkat menjadi dosen utusan Universitas al-Azhar untuk mengajar ilmu-
ilmu Syari’ah di Sudan. Selain sibuk mengajar al-Maraghi juga sibuk
mengarang buku-buku ilmiah. Disamping itu, beliau juga diangkat
menjadi dosen Ilmu Balaghah dan Sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas
Adab Universitas al-Azhar. Selama mengajar di Universitas al-Azhar dan
Dar al-‘Ulum, beliau tinggal di daerah Hilwan. Beliau menetap disana
sampai akhir hayatnya sehingga di kota itu terdapat suatu jalan yang diberi
nama jalan al-Maraghi.8
Selama hidupnya, selain mengajar di al-Azhar dan Dar al-‘Ulum,
beliau juga mengajar di perguruan Ma’had Tarbiyah Mu’allimah beberapa
tahun lamanya sampai beliau mendapat piagam tanda penghargaan dari
Raja Mesir pada tahun 1361 H atas jasa-jasanya, piagam tersebut
bertanggal 11/01/1361 H. Pada tahun 1370 H/1951 M, setahun sebelum
beliau meninggal dunia, beliau masih mengajar bahkan dipercaya menjadi
rektor Madrasah Ustman Mahir Basya di Kairo sampai menjelang akhir
hayatnya. Beliau meninggal dunia pada tanggal 9 Juli 1952 M/1371 H di
tempat kediamannya, di jalan Zul Fikar Basya No. 37 Hilwan dan
dikuburkan pemakaman keluarganya di Hilwan.9
3. Karya-karyanya
Al-Maraghi juga sibuk mengarang buku-buku ilmiah, dan salah
satu yang selesai dikarangnya ketika di Sudan ialah “ Ulum al-Balaghah”,
selain itu diantara karya-karya tulis al-Maraghi adalah sebagai berikut :
a. Al-Diyanat wa al-Akhlak.
b. Al-Hisbah fi al-Islam.
c. Al-Mujaz fi Al-Adl al-Arabi.
d. Al-Mujaz fi’Ulum al-Qur’an.
e. Buhus wa Ara’.
f. Hidayah al-Thalib.

7
Sebuah kota setingkat kabupaten, kira-kira terletak 300 km sebelah Barat Daya kota
Kairo.
8
Yuli Gusmawati................................................, hlm. 17-20.
9
Terletak kira-kira 25 km di sebelah selatan kota Kairo.
g. Tafsir al-Maraghi.10

Kitab Tafsir Ahmad Mustafa al-Maraghi


1. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Maraghi
Tafsir al-Maraghi merupakan salah satu kitab tafsir terbaik di abad modern
ini. Penulisan kitab tersebut secara implisitnya dapat dilihat di dalam
muqaddimah tafsirnya itu bahwa penulisan kitab tafsir ini karena dipengaruhi
oleh dua faktor :
a. Faktor eksternal
Beliau banyak menerima pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat
yang berkisar pada masalah tafsir apakah yang paling mudah difahami
dan paling bermanfaat bagi para pembacanya serta dapat dipelajari
dalam masa yang singkat. Mendengar pertanyatan-pertanyaan tersebut,
beliau merasa agak kesulitan dalam memberikan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Masalahnya, karena telah
mengungkapkan persoalan-persoalan agama dan macam-macam
kesulitan yang tidak mudah difami, namun kebanyakan kitab tafsir itu
telah banyak dibumbui dengan menggunakan istilah-istilah ilmu lain,
seperti ilmu Balaghah, Nahwu, Sharaf, Fiqh, Tauhid dan ilmu-ilmu
lainnya, semuanya itu merupakan hambatan bagi pemahaman al-
Qur’an secara benar bagi pembacanya. Disamping itu ada pula kitab
tafsir pada saat itu sudah dilengkapi pula dengan penafsiran-penafsiran
atau sudah menggunakan analisa-analisa ilmiah.11
b. Faktor Internal
Faktor ini berasal dari diri imam al-Maraghi sendiri bahwa beliau
telah mempunyai cita-cita untuk menjadi obor pengetahuan Islam
terutama di bidang ilmu tafsir, untuk itu beliau merasa berkewajiban
untuk mengembangkan ilmu yang sudah dimilikinya. Berangkat dari
kenyataan tersebut, maka imam al-Maraghi yang sudah berkecimpung

10
Karya terbesar Musthafa al-Maraghi, baca juga Yuli Gusmawati........., hlm. 21.
11
Menurut al-Maraghi al-Qur’an tidak perlu ditafsirkan dengan menggunakan analisa-
analisa ilmiah karena analisa ilmiah hanya berlaku untuk seketika (relative), karena dengan
berlalunya masa atau waktu, sudah tentu situasi tersebut akan berubah pula, sedangkan al-Qur’an
berlaku untuk sepanjang zaman.
dalam bidang bahasa Arab selama setengah abad lebih, baik belajar,
maupun mengajar, merasa terpanggil untuk menyusun suatu kitab
tafsir dengan metode penulisan yang sistematis, bahasa yang simple
dan efektif serta mudah untuk difahami. Kitab tersebut diberi nama
dengan “Tafsir al-Maraghi.”12
2. Sistematika Tafsir al-Maraghi
Adapun sistematika penulisan tafsir al-Maraghi sebagaimana yang
dikemukakannya dalam muqaddimah tafsirnya adalah sebagai berikut:13
a. Menyampaikan Ayat-Ayat di Awal Pembahasan.
Al-Maraghi memulai setiap pembahasan dengan mengemukakan
satu, dua atau lebih ayat-ayat al-Qur’an yang disusun sedemikian rupa
hingga memberikan pengertian yang menyatu.
b. Menjelaskan kata-kata (Syarh al-Mufradat).
Kemudian al-Maraghi menjelaskan pengertian dari kata-kata secara
bahasa, bila ternyata ada kata-kata yang dianggap sulit untuk dipahami
oleh para pembaca.
c. Pengertian ayat-ayat secara global (al-Jumali li al-Ayat).
Selanjutnya al-Maraghi menyebutkan makna ayat-ayat secara
ijmal, dengan maksud memberikan pengertian ayat-ayat yang di
atasnya secara global. Sehingga sebelum memasuki penafsiran yang
menjadi topik utama, para pembaca telah terlebih dahulu mengetahui
makna ayat-ayat tersebut secara ijmal.
d. Sebab-sebab Turunnya Ayat (Asbab al-Nuzul).
Al-Maraghi pun akan menyertakan bahasan asbabun nuzul (sebab
turun ayat) berdasarkan riwayat sahih dari hadis yang menjadi
pegangan para mufassir.
e. Meninggalkan istilah-istilah yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan.
Al-Maraghi sengaja mengesampingkan istilah yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan yang diperkirakan merupakan suatu
penghambat bagi para pembaca di dalam mempelajari kitab-kitab tafsir
12
Yuli Gusmawati................................................, hlm. 21-23.
13
Yuli Gusmawati................................................, hlm. 23-27.
dan memahami ilmu al-Qur’an. Misalnya ilmu nahwu, sharaf, ilmu
balaghah dan lain sebagainya.pembicaraan tentang ilmu tersebut
merupakan bidang tersendiri (spesialisasi), yang sebaiknya tidak di
campuradukkan dengan tafsir al- Qur’an, namun ilmu-ilmu tersebut
sangat penting diketahui dan dikuasai oleh mufassir.
f. Gaya Bahasa Para Mufassir.
Al-Maraghi menyadari bahwa kitab tafsir terdahulu disusun
dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para pembaca ketika itu.
Namun, karena pergantian masa selalu diwarnai oleh ciri-ciri khusus
baik tingkah laku dan kerangka berfikir masyarakat, maka wajar,
bahkan wajib bagi para mufassir masa sekarang untuk memperhatikan
keadaan pembaca dan menjauhi pertimbangan masa lalu yang tidak
relevan lagi. Karena al-Maraghi merasa berkewajiban memikirkan
lahirnya sebuah kitab tafsir yang mempunyai warna tersendiri dan
dengan gaya bahasa yang mudah oleh alam pikiran saat ini, sebab
setiap orang harus diajak bicara sesuai dengan kemampuan akal
mereka.
Dalam menyusun kitab tafsir ini al-Maraghi tetap merujuk kepada
pendapat-pendapat para mufassir terdahulu sebagai penghargaan atau
upaya yang pernah mereka lakukan. Al-Maraghi berusaha
menunjukkan kaitan ayat-ayat al-Qur’an dengan pemikiran dan ilmu
pengetahuan yang lain. Untuk keperluan itu, beliau sengaja
berkonsultasi dengan orang-orang ahli dibidangnya masing-masing,
seperti dokter, astronom, sejarawan dan orang-orang ahli lainnya untuk
mengetahui pendapat-pendapat mereka.
g. Seleksi Terhadap Kisah-Kisah Yang Terdapat Di Dalam Kitab Tafsir.
Al-Maraghi melihat salah satu kelemahan kitab tafsir terdahulu
adalah dimuatnya di dalamnya cerita-cerita yang berasal dari Ahli
Kitab (Israilliyat), padahal cerita tersebut belum tentu benar. Karena
itu, al-Maraghi memandang langkah yang paling baik dalam
pembahasan tafsirnya ialah tidak menyebutkan masalah-masalah yang
berkaitan erat dengan cerita orang-orang terdahulu, kecuali jika cerita-
cerita tersebut tidak bertentangan dengan prinsip agama yang sudah
tidak diperselisihkan. Al-Maraghi yakin, cara inilah yang paling baik
dan bisa dipertanggungjawabkan di dalam menafsirkan al-Qur’an.
h. Jumlah Juz Tafsir al-Maraghi.
Adapun bilangan juz dalam tafsir al-Maraghi bila dilihat dari
jumlah terjemahan, terdiri dari 30 jilid (satu jilid satu juz). Sedangkan
kitab tafsirnya yang asli (bahasa Arab) terdiri dari 10 jilid (setiap jilid
tiga juz), maka jumlahnya lengkap 30 juz surat al-Qur’an. Adapun
pembagian jilid itu adalah sebagai berikut:
1. Jilid I: dari al-Fatihah sampai surat Ali Imran ayat 92.
2. Jilid II: Ali Imran; 92 sampai al-Maidah; 81.
3. Jilid III: al-Maidah; 82 sampai al-Anfal; 40.
4. Jilid IV: al-Anfal; 41 samapi Yusuf ; 40.
5. Jilid V: Yusuf; 53 sampai al-Kahfi; 74
6. Jilid VI: al-Kahfi; 75 sampai al-Furqan; 20.
7. Jilid VII: al-Furqan; 21 sampai al-Ahzab; 30.
8. Jilid VIII: al-Ahzab; 31 sampai al-Fushshilat; 46.
9. Jilid IX: al-Fushshilat; 47 sampai al-Hadid; 29.
10. Jilid X: al-Mujadalah sampai an-Nas.
Namun walaupun hanya terdiri dari sepuluh jilid, dan setiap jilid
terdiri dari 3 juz, jadi isinya tetap sama dengan yang tiga puluh juz di atas,
yakni 30 juz al-Qur’an. Demikianlah metode penulisan, sistematika dan
langkahlangkah yang ditempuh al-Maraghi dalam menyusun kitab
tafsirnya.14
Tinjauan umum tentang kata Ma’ruf dan Munkar
1. Definisi kata Ma’ruf
Kata ma’ruf merupakan isim maf’ul yang berasal dari kata ‘arafa-ya’rafu-
ma’ruufatan yang berarti berarti yang diketahui, yang dikenal.15 Sedangkan
dalam kamus al-Wasith ma’ruf diartikan dengan:

14
lahirnya kitab tafsir ini untuk pertama kalinya bertepatan dengan dimulainya tahun baru
hijriyah 1365 H/1946 M.
15
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1984),
hlm. 921.
‫اسم لكل فعل یعرف حسنة با لعقل او الشرع‬
Yang berarti setiap perbuatan yang baik menurut akal atau syara’.Yang
dimaksud disini ma’ruf adalah kebaikan yang bersifat relatif (kondisional). Tidak
akan sama ma’ruf di tempat yang satu dengan ma’ruf di tempat yang lain.16
Sedangkan menurut pakar bahasa, Ibnu Faris, kata ini berasal dari akar
kata ‘a-ra-fa, yang memiliki dua makna dasar; pertama, ketersambungan sesuatu
dengan lainnya; kedua diam dan tenang. Suatu kebaikan disebut al-ma’ruf karena
jiwa manusia merasa tenang dengannya dan tidak menolaknya. Al-Ashfahani
dalam kamus kosa kata al-Qur’an menyebutkan, al-ma’ruf adalah nama untuk
semua perbuatan (dan perkataan) yang dinyatakan dan diketahui, baik menurut
akal dan agama.17
Dalam hadist-hadist Nabi, kata ini juga sering digunakan. Ibnu al-Atsir,
pakar bahasa hadist, dalam karyanya tentang kosa kata hadist menjelaskan bahwa
al-ma’ruf adalah nama bagi setiap bentuk ketaatan kepada Allah, upaya
mendekatkan diri kepadan-Nya, kebaikan kepada manusia, dan semua yang
dianjurkan oleh agama. Bentuk-bentuk kebaikan tersebut telah dikenal manusia
dan tidak ditolak atau diingkari oleh mereka. Al-ma’ruf juga bermakna perlakuan
baik dan bijak kepada keluarga dan orang lain.18
Sedangkan menurut Buya Hamka kata ma’ruf semakna dengan ‘urf (adat
istiadat), yang dimaksud disini adalah sesuatu yang dikenal atau yang dimengerti
dan dapat dipahami serta diterima oleh masyarakat secara umum, sekaligus sudah
menjadi kebiasaan baik yang dilakukan secara turun temurun.19
Dengan demikian, kata al-ma’ruf terkait erat maknanya dengan kebaikan
yang sering diungkapkan al-Qur’an dengan kata al-birr, al-khayr, dan al-husn.

16
Yuli Gusmawati, Skripsi: Makna Kata Ma’ruf dan padanannya dalam al-Qur’an (Suatu
Kajian terhadap Penafsiran al-Maraghi), (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim, 2011), hlm. 28.
17
Muchlis M. Hanafi, Moderasi Islam, (Ciputat: Ikatan Alumni Al-Azhar dan Pusat Studi
Al-Qur’an, 2013), hlm.72.
18
Muchlis M. Hanafi.................................................., hlm. 73.
19
Muhbib Abdul Wahab, Kontekstualisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar, (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah), hlm. 4.
1. Definisi kata Munkar
Kata munkar terbentuk dari kata ankara-yunkiru-inkaaran yang
bermakna “tidak mengetahui, mengingkari.”20 Akar katanya terdiri
dari nun-kaf-ra, yang mempunyai makna lawan dari pengetahuan al-
ma’rifah/al-‘irfan) yang membuat hati tenang. Makna dasarnya adalah
sesuatu yang masuk kedalam hati tanpa diduga dan diketahui sehingga
hati menolaknya. Menurut al-Ashfahani, al-munkar adalah setiap
perbuatan yang dinilai jelek atau buruk oleh akal sehat, atau dipandang
buruk menurut agama di saat akal tidak bisa menilai dan memutuskan
baik atau buruknya. Ibnu al-Atsir, pakar kosakata hadist menjelaskan,
al-munkar lawan dari al-ma’ruf, yaitu segala sesuatu yang dinilai
buruk, dibenci dan diharamkan oleh agama.21
Dengan demikian pengertian munkar, yaitu mencakup seluruh apa
yang dilarang bukan atas dasar penilaian orang per-orang atau
perkembangan akal semata, tetapi ketentuan agama yang terdapat
dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Penafsiran al-Maraghi terhadap kata ma’ruf dan munkar


1. Penafsiran al-Maraghii tentang kata ma’ruf
Kata ma’ruf disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 39 kali yang tidak
semua maknanya berarti baik. Disini penulis mencoba meengulas arti kata
ma’ruf yang terdapat di dalam al-Qur’an, diantaranya:
a. Ma’ruf yang bermakna kebaikan QS. Ali-Imran (3): 10422
Al-Maraghi menyebutkan makna kata ma’ruf pada ayat ini adalah
sesuatu yang dianggap baik oleh akal dan syari’at. Lawan dari kata ini
adalah munkar. Dan makna kata khair di sini ialah sesuatu yang di

Abd. Muqsith Ghazali, Tafsir atas Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam Islam, Jurnal
20

Dialog Peradaban Vol. 7, No. I, 2014, hlm. 40.


21
Muchlis M. Hanafi.................................................., hlm. 73-74.
22
َ‫وف َویَ ْنه َْونَ ع َِن ا ْل ُم ْنك َِر ۚ َوأُو َٰلَئِكَ ُه ُم ا ْل ُم ْف ِل ُحون‬
ِ ‫َو ْلت َك ُْن مِ ْن ُك ْم أ ُ َّمةٌ یَ ْدعُونَ إِلَى ا ْل َخي ِْر َویَأ ْ ُم ُرونَ بِا ْل َمع ُْر‬
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.”
dalamnya mengandung kebaikan untuk manusia baik dalam masalah
agama maupun duniawi. Al-Maraghi juga menyebutkan bahwa orang
yang diajak bicara dalam ayat ini adalah kaum mukminin seluruhnya.
Mereka terkena taklif agar memilih suatu golongan yang
melaksanakan kewajiban amar ma’ruf ini. Realisasinya adalah
hendaknya masing-masing anggota kelompok tersebut mempunyai
motivasi dan mau bekerja untuk mewujudkan hal tersebut, dan
mengawasi perkembangannya secara optimal. Sehingga bila mereka
melihat kekeliruan atau penyimpangan dalam hal ini (amar ma’ruf nahi
mungkar), segera mereka mengembalikan ke jalan yang benar.23
Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan, maksud kata ma’ruf
dalam ayat ini dijelaskan bahwa mufasir mempersamakan kandungan
al-khair dengan al-ma’ruf, dan bahwa lawan dari al-khair adalah al-
munkar. Al-khair adalah nilai universal yang diajarkan oleh al-Qur’an
dan as-Sunnah. Al-khair menurut Rasulullah saw. sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya: (Ittabaa’a Al-
Qur’aana wa sunnatii) (Mengikuti al-Qur’an dan sunnahku). Sedang
al-ma’ruf adalah sesutu yang baik menurut pandangan umum satu
masyarakat selama sejalan dengan al-khair. Adapun al-munkar, maka
ia adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh suatu masyarakat serta
bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Karena itu ayat diatas
menekankan perlunya mengajak kepada al-khair/kebaikan,
memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Paling tidak
ada dua hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengn ayat diatas.
Pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan
secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Hal kedua yang perlu
digarisbawahi adalah al-ma’ruf, yang merupakan kesepakatan umum
masyarakat. Ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-munkar
seharusnya dicegah baik yang memerintahkan maupun mencegah itu
pemilik kekuasaan maupun bukan.24

23
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut Libanon: Dar al- Fikr, 2006),
Juz II, hlm. 13.
24
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm. 174-175.
Perlu dicatat bahwa konsep ma’ruf hanya membuka pintu bagi
perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya,
Dari sini filter al-khair harus benar-benar difungsikan. Demikian
halnya dengan munkar yang pada gilirannya dapat mempengaruhi
pandanga tentang muru’ah, identitas dan integritas seseorang.25
b. Ma’ruf yang bermakna sewajarnya QS. An-Nisa’ (4): 2526
Pada ayat yang terdapat kata Ma’ruf yang diartikan oleh Al-
maraghi sebagai sesuatu yang patut. Dalam ayat ini ditegaskan untuk
membayar mahar kepada mereka dengan izin keluarga mereka, karena
mahar adalah hak maula (tuan) wanita tersebut. Dan makna kata
ma’ruf di sini adalah hendaklah dilakukan dengan baik-baik di antara
kalian, yaitu di dalam perlakuan, pembayaran mahar dan izin kepada
keluarga.27
Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan ayat ini Barangsiapa di
antara kalian tidak mampu menikahi wanita merdeka yang beriman,
maka ia boleh mengawini budak wanita beriman. Allah paling
mengetahui hakikat keimanan dan keikhlasan kalian. Dan janganlah

25
Quraish Shihab................................................................................, hlm. 176.
ِ ‫ت َفمِ ْن َما َملَكَْتْ أ َ ْی َماُنُ ُك ْم مِ ْن فَتَيَاِتِ ُك ُم ا ْل ُمْؤْ مِ َنا‬
ۚ‫ت‬
26
ِ ‫ت ا ْل ُمْؤْ مِ َنا‬
ِ ‫صنَا‬ َ ْ‫ستَطِ ْع مِ ْن ُك ْم َط ْو اًل أ َ ْن یَ ْن ِك َح ا ْل ُمح‬
ْ َ‫َو َم ْن لَ ْم ی‬
َ ‫ت‬
‫غي َْر‬ ٍ ‫صنَا‬ َ ْ‫وف ُمح‬ ِ ‫ُورهُنَّ ِبا ْل َمع ُْر‬ َ ‫ْض ۚ َفا ُْن ِكحُوهُنَّ ِب ِإ ْذ ِن أ َ ْهل ِِهنَّ َوآِت ُوهُنَّ أُج‬ ٍ ‫ض ُك ْم مِ ْن َبع‬ ُ ‫َّللاُ أ َ ْعلَ ُم ِب ِإی َماُنِ ُك ْم ۚ بَ ْع‬
َّ ‫َو‬
ۚ‫ب‬ ِ ‫ت مِ نَ ا ْل َعذَا‬ َ ْ‫علَى ا ْل ُمح‬
ِ ‫صنَا‬ َ ‫ُْف َما‬ َ ِ‫َان ۚ فَ ِإذَا أُحْ ِصنَّ فَ ِإ ْن أَِت َ ْينَ بِفَاح‬
ُ ‫ش ٍة فَعَلَي ِْهنَّ ُنِص‬ ٍ ‫ت أ َ ْخد‬
ِ ‫ت َو ًَل ُمتَّخِ ذَا‬
ٍ ‫سافِحَا‬
َ ‫ُم‬
ۚ ‫ِي ا ْلعَنَْتَ مِ ْن ُك ْم‬ َ َٰ َ ُ‫َّللا‬ َ
ٌ ُ‫غف‬
َ ‫ور َرحِ يم ذ ِلكَ ِل َم ْن َخش‬ َّ ‫صبِ ُروا َخي ٌْر لَ ُك ْم ۚ َو‬ ْ َ ‫َوأ ْن ِت‬
“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan
seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita
yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga
diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas
mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.
(Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada
kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu
lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
27
Ahmad Musthafa al-Maraghi...................................................131-132.
kalian segan untuk mengawini mereka karena, dalam pandangan
agama, kalian dan mereka tidak berbeda. Kawinilah mereka dengan
izin tuannya. Berilah mahar yang telah kalian tentukan sesuai dengan
perjanjian yang kalian sepakati untuk bergaul dengan baik. Pilihlah
wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, bukan pezina dan bukan
pula gundik. Jika setelah dinikahi mereka melakukan zina, maka
hukuman mereka separuh hukuman wanita merdeka. Menikahi budak
wanita dalam kondisi tidak mampu, diperbolehkan bagi orang yang
khawatir akan mengalami kesulitan yang mengarah kepada perbuatan
zina. Kesabaran kalian dalam menikahi budak wanita yang selalu
menjaga kehormatan adalah lebih baik. Ampunan Allah amat luas dan
kasih sayang-Nya amat besar.28
2. Penafsiran al-Maraghi tentang kata munkar
a. Munkar yang bermakna kejelekan/keburukan QS. Al-Maidah (5):
79.29
Dalam tafsirnya al-Maraghi menjelaskan bahwa mungkar disini
diartikan dengan kejelekan atau keburukan yang ketika sudah biasa
dilakukan maka akan lenyap kekuasaan agama dari hati dan
dibuanglah hukum-hukum agama ke belakang punggung. Ayat diatas
mengisyaratkan betapa luas tersebarnya kemungkaran di kalangan bani
Israel, dan meratanya bermacam-macam kerusakan. Ayat ini
merupakan kecaman dan pernyataan heran atas perbuatan mereka yang
buruk, dan celaan terhadap sebagian mereka yang melakukan
bermacam-macam kemungkaran tanpa mau dicegah. Sedang yang lain
diam dan ridha terhadap kelakuan mereka. Lain dari itu ayat ini pun
merupakan bimbingan dan pelajaran bagi kaum mu’minin, supaya
mereka jangan meniru perbuatan orang-orang kafir Bani Israel itu,
sehingga takkan bernasib seperti mereka, takkan ditimpa murka dan
siksaan Allah, seperti yang telah menimpa bani Israil itu.

28
Quraish Shihab.................................................., hlm. 489-490.
َ ‫كَاُنُوا ًَل یَتَنَاه َْونَ ع َْن ُم ْنك ٍَر فَعَلُوهُ لَ ِبئ‬
‫ْس َما كَاُنُوا یَ ْفعَل‬
29 َ‫ُون‬

Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.
Asar-asar lainnya mengenai ayat ini bab ini masih banyak, di
antaranya terdapat ancaman berat terhadap orang-orang yang tak mau
saling melarang terhadap kejahatan.30
Sedangkan KH. Bisri Mustafa dalam tafsirnya al-Ibriz
menjelaskan bahwa mereka (bani israel) tidak saling mengingatkan
satu sama lain, artinya yang paham akan kejelekan atau keburukan
tidak mau untuk mengingatkan kepada mereka yang berbuat
keburukan. Dan perbuatan yang seperti itu adalah perbuatan yang
sangat buruk.31
b. Munkar yang bermakna keingkaran QS. At-Taubah (10): 71
‫وف َویَ ْنه َْونَ ع َِن ا ْل ُم ْنك َِر‬ ِ ‫ض ۚ یَأ ْ ُم ُرونَ ِبا ْل َم ْع ُر‬ ٍ ‫ض ُه ْم أ َ ْو ِليَا ُء بَ ْع‬ ُ ‫َوا ْل ُمْؤْ ِمنُونَ َوا ْل ُمْؤْ ِمنَاتُ بَ ْع‬
ٌ ‫َّللاَ ع َِز‬
‫یز‬ َّ َّ‫َّللاُ ۚ ِإن‬ َ َ‫سولَهُ ۚ أُو َٰ َل ِئك‬
َّ ‫س َي ْر َح ُم ُه ُم‬ َّ َ‫الزكَاةَ َویُ ِطيعُون‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬ َّ َ‫َویُ ِقي ُمونَ الص َََّلةَ َویُْؤْ ِت ُون‬
‫َح ِكي ٌم‬
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian
yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Al-Maraghi di dalam tafsirnya menjelaskan di dalam ayat
ini, Allah menyifati kaum mu’minin dengan lima sifat yang sama
sekali berlainan dengan sifat kaum munafik. Yaitu:
Pertama, mereka menyuruh melakukan perbuatan yang
ma’ruf, sedangkan kaum munafik menyuruh mereka melakukan
perbuatan yang munkar.
Kedua, mereka mencegah melakukan perbuatan yang
munkar, sedangkan kaum munafik mencegah melakukan perbuatan
yang ma’ruf.32

30
Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tarjamah Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1987), jilid IV, hlm. 312-313.
31
KH. Bisri Mustafa, al-Ibriz, (Kudus: Menara Kudus, 1959), hlm. 308.
32
Al-Maraghi........................................, hlm.272.
Di dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya at-
Thabari menjelaskan kata munkar yang dimaksudkan disini adalah
tentang penyembahan berhala dan segala apa yang mengikutinya.
At-Thabari mengatakan dari Abi al-Alawiyah bahwasannya
Rasulullah saw. berkata: “Allah telah menjelaskan di dalam al-
Qur’an bahwa memerintahkan kepada yang baik dan mencegah
dari keburukan adalah larangan untuk menyembah berhala dan
syetan. Dan perintah ini juga telah dijelaskan di dalam al-Qur’an
surat al-Maidah dan ali-Imran.33

Kesimpulan
Amar ma’ruf nahi munkar adalah suatu ajaran agama Islam yang sangat
diutamakan. Kata ma’ruf merupakan isim maf’ul yang berasal dari kata ‘arafa-
ya’rafu-ma’ruufatan yang berarti yang diketahui, yang dikenal. Kata al-ma’ruf
juga mencakup seluruh bentuk ketaatan kepada Allah, upaya mendekatkan diri
kepada-Nya, kebaikan kepada manusia, dan semua yang dianjurkan oleh agama.
Bentuk-bentuk kebaikan tersebut telah dikenal manusia dan tidak ditolak atau
diingkari oleh mereka. Dengan demikian, kata al-ma’ruf terkait erat maknanya
dengan kebaikan yang sering diungkapkan al-Qur’an dengan kata al-birr, al-
khayr, dan al-husn.
Sedangkan kata munkar adalah lawan dari ma’ruf. Kata munkar terbentuk
dari kata ankara-yunkiru-inkaaran yang bermakna “tidak mengetahui,
mengingkari.” Pengertian munkar, yaitu juga mencakup seluruh apa yang dilarang
bukan atas dasar penilaian orang per-orang atau perkembangan akal semata, tetapi
ketentuan agama yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Daftar Pustaka
Arrazi, Romi Hasbi. 2017. Skripsi: “Penafsiran kata ma’ruf dan munkar menurut
Sayyid Quthb dalam Tafsir fi Zilalil Qur’an. (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga).

33
Al-Qurthubi, Al-Jami’u li Ahkam al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 671.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka
Progresif).
Ghazali, Abd. Muqsith. 2014. Tafsir atas Amar Ma’ruf Nahi Munkar dalam
Islam. Jurnal Dialog Peradaban Vol. 7, No.
Gusmawati, Yuli. 2011. Skripsi: Makna Kata Ma’ruf dan padanannya dalam al-
Qur’an (Suatu Kajian terhadap Penafsiran al-Maraghi). (Riau: UIN
Sultan Syarif Kasim).
Hanafi, Muchlis M. 2013. Moderasi Islam, (Ciputat: Ikatan Alumni Al-Azhar dan
Pusat Studi Al-Qur’an).
Wahab, Muhbib Abdul. Kontekstualisasi Amar Ma’ruf Nahi Munkar. (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah).
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 2006. Tafsir al-Maraghi, Juz II. (Beirut Libanon:
Dar al-Fikr).
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. (Jakarta: Lentera Hati).
Mustafa, KH. Bisri. 1959. al-Ibriz, (Kudus: Menara Kudus).
Al-Qurthubi, Jami’ul Ahkamul Qur’an, Dar al-kutub al-Misriyah,

Anda mungkin juga menyukai