Anda di halaman 1dari 33

KONTEKS SOSIAL DAN PERKEMBANGAN SOSIOEMOSIONAL

Oleh :

HARDIYANTI SF, 16.1300.007


KHARISMA, 16.1300.067
MULYA PURNAMA, 16.1300.152

Dosen pembimbing : Munawir, M.Pd


Mata Kuliah English Learning Psychology

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PAREPARE


FAKULTAS TARBIYAH DAN ADAB
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS
TAHUN AKADEMIK 2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,

dengan ini puji syukur atas kehadirat-Nya karena dengan rahmat, karunia, serta taufik

dan hidayah-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini mengenai “Konteks Sosial

dan Perkembangan Sosioemosional” dengan baik meskipun banyak kekurangan di

dalamnya. Dan juga kami mengucapkan terima kasih kepada Munawir, M.Pd selaku

Dosen mata kuliah English Learning Psychology yang telah memberikan tugas ini

kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah

wawasan serta pengetahuan kami dan juga pembaca. Kami juga menyadari

sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan saran dan usulan

demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa yang akan datang, mengingat

tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi sesiapapun yang

membacanya. Sekiranya makalah yang disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya.

Parepare,23 Oktober 2018

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
A. Latar Belakang .............................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 5
C. Tujuan ........................................................................................................................... 6
BAB II....................................................................................................................................... 7
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 7
A. Teori Kontemporer........................................................................................................ 7
B. Konteks Sosial dalam Perkembangan ........................................................................ 11
C. Perkembangan Sosioemosional................................................................................... 21
BAB III ................................................................................................................................... 31
PENUTUP .............................................................................................................................. 31
A. Simpulan ..................................................................................................................... 31
B. Saran ........................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemampuan sosioemosional merupakan fundasi bagi perkembangan kemampuan

anak berinteraksi dengan lingkungannya secara lebih luas. Dalam berinteraksi dengan

orang lain, individu tidak hanya dituntut untuk mampu berinteraksi secara baik

dengan orang lain, tetapi terkait juga didalamnya bagaimana ia mampu

mengendalikan dirinya secara baik. Ketidakmampuan individu mengendalikan

dirinya dapat menimbulkan berbagai masalah sdengan orang lain.

Sejak usia kanak-kanak, memasuki masa sekolah masa remaja awal sampai

mereka memasauki tahap dewasa awal, masalah-masalah sosial emosional sudah

dapat kita identifikasi dari berbagai perilaku yang ditampakkan anak, diantaranya

anak selalu ingin menang sendiri, bersikap agresif, cepat marah, setiap keinginannya

selalu harus dituruti, membangkang bahkan menarik diri dari lingkungannya dan

tidak mau bergaul dengan teman-temannya. Permasalahan sosioemosional ini bila

dibiarkan begitu saja akan berkembang menjadi permasalahan yang lebih luas dan

kompleks karena anak akan berkembang ke arah yang lebih buruk, terbentuknya

kepribadian yang tidak baik dan berakibat munculnya perilaku-perilaku negatif yang

tidak diharapkan. Dengan kata lain anak akan mengalami kesulitan dan hambatan

dalam proses perkembangannya. Untuk membantu mengurangi ketidakmampuan

anak berperilaku sosioemosional yang baik, dan membantu menyiapkan anak

memasuki lingkungan pergaulan yang lebih luas, dibutuhkan layanan bimbingan yang

memadai.
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak melakukan fungsi sosialisasinya.

Proses yang terjadi antara anak dan orangtua tidaklah bersifat satu arah, namun saling

mempengaruhi satu sama lain. Artinya, anak belajar dari orangtua, sebaliknya,

orangtua juga belajar dari anak. Proses sosialisasi yang terjadi dalam keluarga lebih

berbentuk sebagai suatu system yang interaksional. Karena gaya parenting orang tua

sangat mempengaruhi perkembangan anak.

Konteks sosial di luar keluarga pada anak-anak adalah teman sebaya. Pada teman

sebaya inilah, anak memperoleh informasi dan perbandingan tentang dunia sosialnya.

Anak juga belajar tentang prinsip keadilan melalui konflik-konflik yang terjadi

dengan teman-temannya. Pada masa kanak-kanak, teman sebaya yang dipilih

biasanya terkait dengan jenis kelamin. Selain itu proses perkembangan

sosioemosioanal anak jugadapat dibentuk melalui pendidikan disekolah dari sana

mereka dapat melahat dunia secara luas dan mengembangkan hubungan sosialnya

dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Apakah inti Teori Ekologi Baronfenbrener dan Teori Rentang Perkembangan

Erikson serta hubungannya dengan perkembangan sosioemosional?

2. Bagaimanakah hubungan keluarga, rekan sebaya, dan sekolah dalam

perkembangan sosioemosional anak?

3. Apakah yang menjadi aspek perkembangan sosioemosional anak

(penghargaan diri, identitas diri dan konsep moral)?


C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui inti Teori Ekologi Baronfenbrener dan Teori Rentang

Perkembangan Erikson dan hubungannya dengan perkembangan

sosioemosional?

2. Untuk mengetahui hubungan keluarga, rekan sebaya dan sekolah dalam

perkembangan sosioemosional anak

3. Untuk mengetahui aspek perkembangan sosioemosional anak (penghargaan

diri, identitas diri dan konsep moral).


BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Kontemporer

Sejumlah teori membahas perkembangan sosioemosional anak-anak. Dalam bab ini,

kita akan fokus pada dua teori utama: teori ekologi Bronfenbrenner dan teori

pengembangan rentang usia Erikson. Kedua teori ini dipilih untuk cara komprehensif

mereka mengatasi konteks sosial di mana anak-anak berkembang (Bronfenbrenner)

dan perubahan besar dalam perkembangan sosioemosional anak-anak (Erikson).

1. Teori Ekologi menurut Bronfenbrenner

Teori ekologi yang dikembangkan oleh Urie Bronfenbrenner (1917–2005) lebih

berfokus pada konteks sosial di mana anak-anak tinggal dan orang-orang yang berada

di sekitar mereka akan berpengaruh pada perkembangan mereka.

Ada Lima Sistem Lingkungan, Bronfenbrenner's (1995, Bronfenbrenner &

Morris, 2006) teori ekologi terdiri dari lima sistem lingkungan yang beragam dari

interaksi interpersonal yang dekat dengan pengaruh budaya yang luas. Teori ekologi

Bronfenbrenner terdiri dari lima sistem lingkungan: microsystem, mesosystem,

exosystem, macrosystem, dan chronosystem.

 Microsystem adalah pengaturan di mana individu menghabiskan banyak

waktu, seperti bersama keluarga, teman sebaya, sekolah, dan siswa

lingkungan. Di dalam microsystem ini, individu memiliki interaksi langsung

dengan orang tua, guru, teman sebaya, dan lainnya. Untuk Bronfenbrenner,
siswa itu tidak pasif penerima pengalaman tetapi seseorang yang secara timbal

balik berinteraksi dengan orang lain dan membantu membangun microsystem.

 Mesosystem melibatkan hubungan antara Microsystems. Contohnya adalah

hubungan antara pengalaman keluarga dan pengalaman sekolah dan antara

keluarga dan teman sebaya.

 Ekosistem sedang bekerja ketika pengalaman di lingkungan lain (di mana

siswa tidak memiliki peran aktif) mempengaruhi apa yang siswa dan guru
alami di konteks langsung. Misalnya, pertimbangkan dewan pengawas

sekolah dan taman di masyarakat. Mereka memiliki peran yang kuat dalam

menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan perpustakaan, yang

dapat membantu atau menghambat perkembangan anak.

 Sistem makro melibatkan budaya yang lebih luas. Budaya adalah istilah yang

sangat luas, termasuk peran etnis dan faktor sosial ekonomi dalam

perkembangan anak-anak. Itu adalah konteks terluas di mana siswa dan para

guru hidup, termasuk nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat (Shiraev & Levy,

2010).

 Chronosystem termasuk kondisi sosiohistoris pengembangan siswa. Sebagai


contoh, kehidupan anak-anak saat ini berbeda dengan orang tua dan kakek-

nenek mereka saat masih anak-anak. Anak-anak saat ini lebih cenderung

menggunakan komputer, dan tumbuh dengan karakter baru dan tersebar di

kota dekonsentrasi seperti perkotaan, pedesaan, atau pinggiran kota.

2. Teori Pengembangan Kehidupan menurut Erikson


Melengkapi analisis Bronfenbrenner tentang konteks sosial di mana anak-anak

berkembang dan orang-orang yang penting dalam hidup mereka, teori Erik Erikson

(1902–1994) menyajikan pandangan perkembangan kehidupan orang-orang secara

bertahap. Kita ambil sebuah perjalanan melalui pandangan Erikson tentang rentang

kehidupan manusia.

Delapan Tahapan Pengembangan Manusia,

 Kepercayaan versus ketidakpercayaan adalah tahap psikososial pertama


Erikson. Itu terjadi pada yang pertama tahun hidup. Perkembangan

kepercayaan membutuhkan pengasuhan yang hangat dan memelihara. Hasil

positif adalah perasaan nyaman dan rasa takut yang minimal.

Ketidakpercayaan berkembang ketika bayi diperlakukan terlalu negatif atau

diabaikan.

 Otonomi versus rasa malu dan keraguan adalah tahap psikososial kedua

Erikson. Ini terjadi pada masa bayi dan balita. Setelah mendapatkan

kepercayaan pada pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku

mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka menegaskan kemandirian

mereka dan mewujudkan keinginan mereka. Jika bayi terlalu banyak ditahan
atau dihukum terlalu keras, mereka mengembangkan rasa malu dan ragu.

 Inisiatif versus rasa bersalah adalah tahap psikososial ketiga Erikson. Ini

sesuai dengan awal masa kecil, sekitar 3 hingga 5 tahun. Ketika anak-anak

muda mengalami dunia sosial yang semakin meluas, mereka ditantang lebih

dari sebagai bayi. Untuk mengatasi tantangan ini, mereka perlu aktif, perilaku

yang bertujuan yang melibatkan inisiatif. Anak-anak mengembangkan


perasaan bersalah yang tidak nyaman jika mereka melihat diri mereka sebagai

orang yang tidak bertanggung jawab atau dibuat merasa terlalu cemas

 Industri versus inferioritas Erikson adalah tahap psikososial keempat. Itu

sesuai kira-kira saat sekolah dasar, dari usia 6 tahun hingga pubertas atau

masa remaja awal. Ketika mereka pindah ke tahun sekolah dasar, anak-anak

langsung meluapkan energi mereka untuk menguasai pengetahuan dan

keterampilan intelektual. Bahaya di dalam tahun sekolah dasar adalah bahwa


anak-anak akan mengembangkan rasa rendah diri, tidak produktif, dan tidak

kompeten.

 Identitas versus kebingungan identitas adalah Tahap psikososial kelima

Erikson. Ini sesuai dengan tahun-tahun remaja. Remaja mencoba mencari tahu

siapa mereka, tentang apa diri mereka, dan ke mana mereka pergi dalam

hidup. Mereka dihadapkan dengan banyak peran baru dan status dewasa

(seperti kejuruan dan hubungan asmara). Remaja harus diizinkan untuk

menjelajahi jalan yang berbeda untuk mendapatkan jati diri mereka

sebenarnya. Jika mereka tidak memadai mengeksplorasi berbagai peran yang

berbeda dan gagal untuk mengukir jalan masa depan yang positif, mereka
dapat tetap bingung tentang identitas mereka.

 Keintiman versus isolasi adalah tahap psikososial keenam Erikson. Itu sesuai

dengan usia dewasa awal, dua puluhan dan tiga puluhan. Tugas

pengembangan adalah membentuk hubungan dekat yang positif dengan orang

lain. Bahaya dari tahap ini adalah bahwa salah satu akan gagal untuk

membentuk hubungan intim dengan pasangan atau teman romantis dan

menjadi terisolasi secara sosial.


 Generativity versus stagnasi adalah tahap psikososial ketujuh Erikson. Ini

sesuai dengan tahun-tahun dewasa pertengahan, empat puluhan dan dua

puluhan. Generativity artinya mentransmisikan sesuatu yang positif ke

generasi berikutnya. Ini dapat melibatkan peran semacam itu sebagai

pengasuhan dan pengajaran, di mana orang dewasa membantu generasi

berikutnya dalam mengembangkan kehidupan yang berguna. Erikson

menggambarkan stagnasi sebagai perasaan tidak melakukan apa-apa untuk


membantu generasi selanjutnya.

 Integritas dan keputusasaan adalah tahap psikososial kedelapan dan akhir

Erikson. Ini sesuai dengan tahun-tahun dewasa akhir, tahun enam puluhan

sampai mati. Orang dewasa yang lebih tua cenderung tinjau kembali

kehidupan mereka, cermati apa yang telah mereka lakukan. Jika evaluasi

retrospektif positif, mereka mengembangkan rasa integritas. Pada dasarnya,

mereka memandang kehidupan mereka sebagai sesuatu yang positif

terintegrasi dan hidup layak. Sebaliknya, orang dewasa yang lebih tua menjadi

putus asa jika pandangan belakang mereka sebagian besar negatif.

B. Konteks Sosial dalam Perkembangan

1. Keluarga

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena

dari merekalah anak mula-mula menerima pelajaran (pendidikan). Dengan demikian

bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga. Pada umumnya

pendidikan dalam rumah tangga itu bukan berpangkal tolak dari kesadaran dan
pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati. Suasana
dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan.

Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan dan hubungan pengaruh

mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak

Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang berbeda-beda. Beberapa orang tua

mengasuh dan mendidik anak mereka dengan benar. Orang tua lainnya bersikap kasar

atau mengabaikan anaknya. Beberapa anak orang tuanya bercerai, anak lainya

tinggal bersama orang tua yang lengkap tanpa perceraian. Beberapa keluarga hidup

dalam kondisi ekonomi yang berkecukupan, beberapa keluarga lainnya hidudalam

kondisi ekonomi sederhana. Situasi yang bervariaasi ini akan mempengaruhi

perkembangan anak dan mempengaruhi murid didalam dan diluar lingkungan sekolah

(Crowan & Crowan, 2002 dan Morrisan dan Cooney, 2002).

a. Gaya Parenting (gaya asuh)

Baumrin mengatakan ada empat bentuk gaya pengasuhan atau perentin:

1. Authoritarian Perenting

Merupakan gaya asuh yang bersifat menghukum dan membatasi. Dimana

hanya ada sedikit percakapan antara orang tua dan murid, menghasilkan anak

yang tidak kompeten secara sosial.

2. Authoritative Pareting

Merupakan gaya asuh yang positif yang mendorong anak untuk independen

tapi masih membatasi dan mengontrol tindakan mereka. Perbincangan saling

tukar pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan

mendukung. Menghasilkan anak yang kompeten secara sosial. Anak


cenderung mandiri, tidak cepat puas, gaul, dan memperlihatkan harga diri

yang tinggi.

3. Neglectful Parenting

Gaya asuh dimana orang tua tidak terlibat aktif dan tidak perduli dengan

kehidupan anaknya, orang tua hanya meluangkan sedikit waktu. Hasilnya

anak anak sering bertindak tidak kompeten secara sosial. Mereka cendrung

kurang bisa mengontrol diri, tidak cukup termotifasi untuk berprestasi


4. Indulgend Parenting

Gaya asuh dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tapi

tidak banyak memberikan batasan atau kekeangan pada perilaku mereka.

Orang tua ini sering membiarkan anak mencari cara sendiri untuk mencapai

tujuannya, bahwa orang tua model ini percaya bahwa kombinasi dukungan

pengasuhan dan sedikit pembatasan akan menbentuk anak kreatif dan percaya

diri.

b. Keluarga yang berubah dalam masyarakat yang berubah

Anak-anak dari keluarga yang bercerai, perceraian dalam keluarga dapat

memberikan dampak yang kompleks terhadap anak. Hal tersebut tergantung faktor-

faktor seperti usia anak, kekuatan dan kelemahan anaksaat perceraian, tipe parenting,

status social ekonomi dan pelaksanaan fungsi keluarga setelah perceraian. Adanya

system pendukung seperti saudara kawan, guru, dapat menciptakan hubungan positif

yang terus berlanjut anatara ayah dan ibu yang sudah bercerai, kemapuan memenuhi

kebutuhan keuangan dan kualitas sekolah dapat membantu anak dalam mengatasi
situasi perceraian yang menekan.
c. Variasi etnis dan sosial ekonomi keluarga

Keluarga dalam kelompok etnis yang berbeda akan bervariasi dalam besar,

strukturnya dan komposisinya: keterkaitan mereka dengan jaringan kerabat, dan level

pendapatan dan pendidikannya.

Praktek pengasuhan anak berbeda-beda diantara keluarga yang bersatatus

ekonomi tinggi, sedang dan rendah. Contohnya, orang tua yang berpendapatan rendah
lebih sering menekankan pada karakteristik eksternal seperti kepatuhan dan kerapian.

Sebaliknya keluarga yang status ekonomi menengah sering menekankan pada

karakter nilai internal sepertikontrol diri dan penundaan rasa puas. Orang tua yang

berstatus social ekonomi menengahlebih sering memuji, melengkapi disiplin dengan

penalaran, dan mengajukan pertanyaan kepada anak. Orang tua berstatu ekonomi

rendah, lebih mungkin menggunakan hukuman fisik dan mengkritik anaknya

d. Hubungan Sekolah-keluarga

Dalam teori Bronfendbrenner, hubungan antara keluarga dan sekolah adalah

system yang penting. Demikian juga menurut studi Hetherington, lingkungan sekolah

yang otoritatif akan mengunrungkan anak-anak dari beragam keluarga yang berbeda.

Joyce Epstai (1996, 2001: Epstain & Sanders, 2002) mendeskripsikan enam area

dimana hubungan keluarga dan sekolah dibentuk:

 Menyediakan bantuan untuk keluarga. Sekolah dapat memberikan informasi

kepada orng tua informasi tentang keterampilan bagaimana cara keluarga

mendidik anak, menerangkan arti penting keluarga , perkembangan anak dan


remaja dan konteks konteks rumah yang bisa memperkaya pembelajaran
dikelas. Guru adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan hubungan

antara sekolah dan keluarga.

 Berkomunikasi secara efektif dengan keluarga mengenai program sekolah dan

kemajuan anak mereka. Hal ini dilakukan dengan mengajak orang tua untuk

mengadakan konferensi guru-orang tua dan fungsi-fungsi sekolah lainnya.

Kehadiran orang tua dapat membuat murid tahu orang tua memperhatikan

prestasi mereka di sekolah.


 Ajak orang tua untuk menjadi relawan. Disekolah orang tua sebagai relawaan

dan untuk meningkatkan meningkatkan kehadiran dalam pertemuan sekolah.

 Libatkan keluarga dengan anak mereka dalam aktivitas belajar di rumah. Ini

menggunakan anatara lain pekerjaan rumah dan aktivitas lain yang

berhubungan dengan kurkulum pelajarann. Orang tua akan beerminat efektif

jika mereka mempelajari strategi tutoring (mengajar) dan mendukung

kegiatan sekolah.

 Libatkan keluarga sebagai partisipan dalam keputusan sekolah. Orang dua

bisan di undang untuk menjadi dewan sekolah, komite sekolah, penasehat dan

organisasi orang tua lainnya. Organisasi orang tua-guru dengan tujuan untuk
melakukan diskusi tujuan pendidikan dan sekolah, metode belajar yang tepat

sesuai dengan usia, disiplin anak, dan kinerja ujian

 Mengorganisasikan kerjasama komunitas. Membuat hubungan dengan upaya

dan sumber daya komunitas bisnis, gen, perguruan tinggi dan universitas

untuk memperkuat program sekolah, praktek keluarga, dan pembelajaran

murit. Sekolah bisa member keluarga tentang program komunitas dan layanan

komunitas yang bermannfaat bagi mereka.


2. Teman Sebaya

Selain keluarga dan guru, teman seusia atau teman sebaya juga mempermainkan

peran penting dalam perkembangan anak. Dalam konteks perkembangan anak, teman

sebaya (seusia) adalah anak pada usia yang sama. Sebaya adalah orang dengan

tingkat umur dan kedewasaan yang kira–kira sama. Sebaya memegang peran yang

unik dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting adalah memberikan

informasi dan perbandingan tentang dunia diluar keluarga.

Fungsi teman sebaya :

 Teman sebaya ialah anak-anak yang tingkat usia dan kematangannya kurang

lebih sama.

 Salah satu fungsi kelompok teman sebaya yang paling penting ialah

menyediakan suatu sumber informasi dan perbandingan tentang dunia di luar

keluarga

 Relasi yang buruk di antara teman-teman sebaya pada masa anak-anak

diasosiasikan dengan suatu kecenderungan untuk putus sekolah dan perilaku

nakal pada masa remaja


 Relasi yang harmonis di antara teman-teman sebaya pada masa remaja

diasosiasikan dengan kesehatan mental yang positif pada tengah baya.

a. Status Teman Sebaya

Para developmentalis telah dengan tepat menunjukkan empat tipe status teman

sebaya: anak popular, anak diabaikan, anak ditolak, dan anak kontroversial. Anak
populer (popular Children) sering kali dinominasikan sebagai kawan terbaik dan
jarang dibenci teman sebayanya. Anak populer member dukungan, mau mendengar

dengan perhatian, menjaga alur komunikasi dengan kawannya tetap terbuka,

cendrung riang, bertindak mandiri, menunjukkan antusianisme dan perhatian kepada

orang lain (Hartup,1983).

Anak diabaikan (neglegted children) jarang dinominasikan sebagai kawan terbaik,

tetapi bukan tidak disukai oleh kawan seusianya. Anak ditolak (rejected children)

jarang dinominasikan sebagai kawan yang baik dan sering dibenci oleh teman

seusianya. Anak yang ditolak mengalami masalah penyesuaian diri yang serius

ketimbang anak yang diabaikan. Faktor penting dalam memprediksi apakah anak

yang ditolak itu melakukan tindakan jahat atau keluar dari sekolah menengah adalah

sikap agresinya terhadap teman sebayanya pada saat masih sekolah dasar. Anak

controversial (controversial children) sering kali dinominasikan sebagai teman baik

tetapi juga kerap tidak disukai.

b. Persahabatan

Persahabatan memberikan kontribusi pada status teman usia sebaya dan

memberikan keuntungan lainnya:

 Kebersamaan. Persahabatan memberikan anak partner yang akrab, seseorang

yang bersedia meluangkan waktu dan melakukan kegiatan bersama

 Dukungan fisik. Persahabatan memberikan sumberdaya dan bantuan disaat

dibutuhkan

 Dukungan ego. Persahabatan membantu anak merasakan bahwa mereka

adalah anak yang bisa melakukan sesuatu dan layak dihargai, yang terpenting
adalah penerimaan social dari kawannya
 Intimasi/kasih sayang. Persahabatan memberianak suatu hubungan yang

hangat, saling percaya dan dekat dengan orang lain. Dalam hal ini anak-anak

sering kali merasa nyaman mengungkapkan informasi pribadi mereka.

c. Perubahan Developmen dalam hubungan teman sebaya

Pada masa sekolah dasar, kelompok teman seusia anak terdiri dari teman seusia

dengan jenis kelamin yang sama. Anak laki-laki saling mengajarkan perilaku

maskulin dan anak perempuan mengajarkan kultur wanita dan biasanya suka

berkelompok dengan teman-temannya. Pada masa remaja awal, partisipasi dalam

kelompok teman semakin meningkat . Mereka membentuk kelompok kecil yang

khusus atau disebut Klik (Clique) dan kesetiaan pada kelompok ini dapat

mempengaruhi hidup mereka. Identitas kelompok dengan klik ini bisa mengaburkan

identitas diri. Beberapa klik ini bisa mengaburkan identitas personal individu.

Beberapa jenis klik, misalnya kelompok anak yang menyukai olah raga, anak

populer, anak pintar, pencandu narkoba dan jagoan. Namun diantara beberapa anak

sangat independen dan tak ingin masuk ke kelompok mana pun. Para remaja biasanya

lebih tergantung pada kawan ketimbang pada orang tua mereka untuk memuaskan

kebutuhan akan rasa kebersamaan, kepastian dan kedekatan.

3. Sekolah

Sekolah merupakan pusat pendidikan formal. Tugas sekolah sangat penting dalam

menyiapkan anak dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah bukan semata-mata

sebagai konsumen, tapi sekolah juga sebagai produsen dan pemberi jasa yang erat

kaitannya dengan pembangunan. Pembangunanan tidak mungkin berhasil tanpa

tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas sebagai produk pendidikan.


Sekolah banyak berperan dalam mengembangkan social emosional anak karena

disekolah mereka mulai bergaul sebagai bagian dari anggota masyarakat.

a. Konteks perkembangan sosial yang terus berkembang di sekolah

Konteks sekolah bervariasi sejak masa kanak-anak awal (taman kanak-kanak),

sekolah dasar hingga remaja. Masa kanak-kanak awal adalah sebuah lingkungan

yang terlindung oleh batas-batas dalam ruang kelas. Dalam setting social yang

terbatas ini, anak-anak berinteraksi dengan satu atau dua guru yang biasanya

perempuan, yang menjadi figure utama dalam kehidupan mereka saat iitu. Anak-

anak berinteraksi dengan teman sebayanya dalam kelompok kecil. Ruang kelas

merupakan konteks utama disekolah dasar, kelas lebih mungkin dirasakan sebagai

unit social ketimbang kelaspada masa taman kanak-kanak. Pada masa SMP

lapang sosialnya lebih luas bukan hanya ruang kelas saja. Remaja berinteraksi

dengan guru dan teman seuria mereka dari berbagai kalangan dengan latar

belakang kultur yang berbeda. Pada saat ini perilaku remaja makin mengarah

pada interaksi dengan teman, ekstrakulikuler, klub dan komunitas. Murid SMA

lebih menyadari sekolah sebagai system social dan mungkin termotivai untuk

menyesuaikan diri dengannya atau menentang (Santrock, 2007).

b. Pendidikan masa kanak-kanak awal

Ada banyak variasi cara mendidik anak, namun banyak pakar yang sepakat agar

pendidikan disesuaikan dengan perkembangannya.

Pendidikan yang sesuai secara development pendidikan jenis ini didasarkan pada

pengetahuan perkembangan khas dari anak-anak dalam rentang usia (ketepatan

usia) dan keunikan anak (ketepatan individual). Pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan bertentangan dengan praktek yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan yang mengabaikan metode kongkret dalam mengajar anak.

Pengajaran langsung yang biasa berupa tulis baca, dianggap tidak sesuai dengan

perkembangan. Pendidikan yang tepat adalah pendidikan secara development.

c. Transisi ke sekolah dasar

Saat menjalani transisi ke sekolah dasar, mereka berinteraksi dan megembangkan

hubungan dengan anak baru sekolah memberi mereka banyak sumber ide untuk

membentuk pemahaman tentang diri mereka.


d. Sekolah untuk remaja

Ada perhatian khusus berkenaan dengan sekolah untuk remaja: (1) transisi dari SMP

ke SMA, (2) sekolah yang efektif untuk remaja, (3) peningkatan kualitas sekolah

menengah

Pada masa ini murid merasa lebih tidak tergantung pada orang tua dan lebih ingin

menghabiskan banyak waktu dengan kawan-kawannya.

Berdasarkan pengamatan dan rekomendasi dari pakar dan pengamat pendidikan

diseluruh negeri ada tiga ciri-ciri utama dari sekolah-sekolah terbaik:

1. Sekolah yang mampu menyesuaikan semua kegiatan sekolah dengan variasi

individu dalam pengembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional murid-

muridnya

2. Mereka memandang serius apa yg dikenal sebagai perkembangan remaja

awal. Beberapa SMP hanya mempersispkan siswanya untuk masuk ke jenjang

yang lebih tinggi. Salah satu contohnya ada sekolah efektif membuat

kelompok kecil, dimana murid bekerjasama dengan sekelompok kecil guru


yang berbeda-beda, tergantung kepada kebutuhan murid
3. Sekolah-sekolah yang banyak perhatian pada perkembangan sosioemosional

dan kognitif

C. Perkembangan Sosioemosional

Menurut penulis drama Italia abad ke-20, Ugo Betti, ketika anak-anak

mengatakan "Saya," mereka berarti sesuatu yang unik, tidak menjadi bingung dengan

yang lain. Psikolog sering menyebut bahwa "aku" sebagai diri. Dua aspek penting

dari diri adalah harga diri dan identitas.

1. The Self

1) Self-Esteem ( Harga Diri )

Penghargaan diri (self-esteem) adalah pandangan keseluruhan dari individu

tentang dirinya sendiri. Penghargaan ini juga dinamakan martabat diri (self-worth)

atau gambaran diri (self-image). Misalnya anak yang punya penghargaan diri yang

tinggi mungkin tidak hanya memandang dirinya sebagai seseorang tetapi juga sebagai

seseorang yang baik. Rogers (1961) mengatakan bahwa sebab utama seseorang
mempunyai penghargaan diri yang rendah (atau rendah diri) adalah karena mereka

tidak diberikan dukungan emosional dan penerimaan social yang memadai. Mungkin

dahulu saat masih berkembang sering ditegur. Misalnya “jangan ini, jangan itu”,

“kamu kok bodoh banget”, dan lain-lain.

Para peneliti telah menemukan bahwa harga diri murid berubah pada saat mereka

berkembang. Dalam suatu studi baik itu laki-laki atau perempuan mempunyai hatga

diri yang tinggi pada saat anak-anak dan menurun pada masa remaja awal (Robins,
dkk). Penghargaan diri anak gadis turun dua kali lebih besar dari anak laki-laki
selama masa remaja. Diantara beberapa alasan yang menjadi penyebab menurunnya

harga diri ini adalah akibat gejolak selama perubahan fisik (pubertas), meningkatnya

tuntutan untuk berprestasi, dan kurangnya dukungan dari sekolah dan orang tua.

Riset menyarankan empat kunci untuk meningkatkan rasa harga diri anak (Bednar,

Well & Peterson, 1995, Harter, 1999):

1. Identifikasi penyebab rendah diri dan area kompetensi yang penting bagi diri.
Apakah rendah diri karena prestasi sekolah? Karena konflik? Kemampuan

social rendah? Murid mempunyai harga diri tinggi ketika mereka bisa

kompeten dan sukses dalam melakukan sesuatu di area yang mereka anggap

penting.

2. Berikan dukungan emosional dan penerimaan social. Disetiap kelas punya

anak yang banyak nilai buruknya. Mungkin anak ini berasal dari keluarga

yang suka menghina dan merendahkan si anak atau mungkin murid ini di

kelas yang terlalu banyak memberikan penilaian negative. Dukungan

emosional dan penerimaan social anda dapat amat membantu mereka

menghargai diri mereka sendiri.

3. Bantu anak untuk mencapai tujuan atau prestasi. Prestasi bida menaikkan

harga diri. Pengajaran atau kursus ketrampilan akademik secara langsung

dapat menaikan prestasi anak, dan akibatnya dapat menaikkan harga diri anak.

4. Kembangkan ketrampilan mengatasi masalah. Ketika anak mempunyai

problem dan bisa mengatasinya, bukan menghindarinya, maka rasa harga

dirinya akan naik. Murid yang mau mengatasi masalah kemungkinan akan

menghadai problem secara jujur dan realistis, ini menghasilkan pemikiran


yang positif tentang diri mereka sendiri yang akibatnya bisa meningkatkan

harga diri mereka.

2) Perkembangan identitas.

Aspek penting lain selain diri adalah identitas. Menurut Erikson (1968) persoalan

paling penting dalam diri remaja adalah perkembangan identitas yang berupa

pencarian jawaban atas pertanyaan seperti: Siapa saya? Seperti apakan saya ini? Apa

yang akan saya lakukan dalam hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan ini jarang muncul

pada masa kanak-kanak tetapi sering muncul dimasa remaja dan perguruan tinggi.

Erikson menyimpulkan bahwa adalah penting untuk membedakan antara eksplorasi

dan komitmen. Eksplorasi adalah pencarian identitas alternative yang bermakna.

Komitmen adalah menunjukkan penerimaan personal pada satu identitas dan

menerima apapun implikasi dari identitas itu. Berdasarkan klasifikasinya menurut

komitmen dan eksplorasi terdapat empat tipe identitas :

 Identity diffusion, terjadi ketika individu belum mengalami krisis (yakni

belum mengeksplorasi altrenatif yang bermakna) atau membuat komitmen.

Mereka belum memutuskan pilihan pekerjaan dan ideology.


 Identity Foreclosure, terjadi saat individu membuat komitmen tetapi belum

mengalami krisis.

 Identity Moratorium, terjadi ketika individu berada ditengah-tengah krisis

tetapi komitmen mereka tidak ada atau baru didefinisikan secara samar-samar.

 Identity Achievement, terjadi ketika individu telah mengalami krisis dan telah

membuat komitmen.


2. Perkembangan Moral.

Hanya sedikit orang yang netral terhadap perkembangan moral. Banyak orang tua

mengkhawatirkan kelak anak mereka tumbuh tanpa membawa nilai tradisional

mereka. Perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang interaksi

yang adil antar orang. Ketika anak-anak mengembangkan rasa diri dan identitas,

mereka juga mengembangkan rasa moralitas.

a. Domains of Moral Development

Pengembangan moral seseorang menyangkut aturan dan konvensi tentang

interaksi antara orang-orang. Aturan-aturan ini dapat dipelajari dalam tiga

domain: kognitif, perilaku, dan emosional. Dalam domain kognitif masalah

utama adalah bagaimana siswa berpikir atau berpikir tentang aturan untuk

perilaku etis. Dalam domain perilaku fokusnya adalah pada bagaimana siswa

benar-benar berperilaku daripada pada moralitas pemikiran mereka. Dalam

domain emosional penekanannya adalah pada bagaimana perasaan moral

siswa. Misalnya, apakah mereka mengasosiasikan perasaan bersalah yang

cukup kuat dengan tindakan tidak bermoral untuk menolak melakukan

tindakan itu? Apakah mereka menunjukkan empati terhadap orang lain?

b. Kohlberg’s Theory

Lawrence Kohlberg (1976, 1986) menekankan bahwa perkembangan moral

terutama melibatkan penalaran moral dan terjadi secara bertahap. Kohlberg

tiba di teorinya setelah mewawancarai anak-anak, remaja, dan orang dewasa

(terutama laki-laki) tentang pandangan mereka tentang serangkaian dilema

moral. Konsep kunci dalam memahami perkembangan melalui tingkat dan


tahapan adalah bahwa moralitas mereka menjadi lebih internal atau matang.

Artinya, alasan mereka untuk keputusan atau nilai moral mereka mulai

melampaui alasan eksternal atau superfisial yang mereka berikan ketika

mereka lebih muda.

c. Cheating

Perhatian pengembangan moral guru adalah apakah siswa curang dan

bagaimana menangani kecurangan jika mereka menemukannya (Anderman &


Anderman, 2010). Kecurangan akademik dapat mengambil banyak bentuk,

termasuk plagiarisme, menggunakan “lembar curang selama ujian, menyalin

dari teman selama tes, membeli kertas, dan memalsukan hasil lab. Survei

tahun 2006 mengungkapkan bahwa 60 persen sekolah menengah siswa

mengatakan bahwa mereka telah menyontek pada ujian di sekolah selama

tahun lalu dan sepertiga dari siswa melaporkan bahwa mereka telah menjiplak

informasi dari Internet pada tahun lalu (Josephson Institute of Ethics, 2006).

Mengapa siswa curang? Di antara alasan yang diberikan siswa untuk

menyontek termasuk tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi, tekanan waktu,

persepsi diri bahwa seseorang tidak memiliki kemampuan untuk berhasil,


pengajaran yang buruk, kurangnya minat, dan merasakan kemungkinan

rendah untuk ditangkap dan dihukum. untuk berselingkuh (Anderman &

Anderman, 2010; Stephens, 2008). Dalam hal tekanan untuk mendapatkan

nilai tinggi, siswa lebih mungkin untuk menipu jika tujuan mereka hanya

untuk mendapatkan nilai tinggi; mereka cenderung untuk menipu jika tujuan

mereka adalah untuk menguasai materi yang sedang dipelajari (Anderman &

Anderman, 2010). Dalam hal memiliki persepsi diri bahwa seseorang tidak
memiliki kemampuan untuk berhasil, keraguan mereka tentang kemampuan

dan kegelisahan terkait dengan kegagalan dapat menyebabkan mereka untuk

menipu. Dalam hal merasakan kemungkinan rendah tertangkap dan dihukum

karena curang, siswa dapat mempertimbangkan risiko mendapatkan nilai yang

baik dengan curang sebagai lebih murah daripada mendapatkan nilai yang

gagal dengan tidak curang (Anderman & Anderman, 2010). Dalam hal

pengajaran yang buruk, siswa lebih cenderung untuk menipu ketika mereka
menganggap guru mereka tidak kompeten, tidak adil, dan tidak peduli

(Stephens, 2008).

Sejarah panjang penelitian juga berimplikasi pada kekuatan situasi dalam

menentukan apakah siswa curang atau tidak (Anderman & Anderman, 2010;

Hartshorne & May, 1928–1930). Sebagai contoh, siswa lebih cenderung untuk

menipu ketika mereka tidak dimonitor secara ketat selama tes, ketika mereka

tahu rekan-rekan mereka curang, apakah mereka tahu jika siswa lain telah

tertangkap curang, dan ketika skor siswa diumumkan (Anderman & Murdock)

, 2007; Carrell, Malmstrom, & West, 2008).

Strategi untuk mengurangi kecurangan akademis termasuk memastikan siswa


menyadari apa yang merupakan kecurangan dan apa konsekuensinya jika

mereka menipu, memantau ketat perilaku siswa ketika mereka mengambil tes,

dan menyampaikan kepada mereka pentingnya menjadi individu yang

bermoral dan bertanggung jawab yang terlibat dalam integritas akademik.

Dalam mempromosikan integritas akademik, banyak perguruan tinggi telah

menerapkan kode kehormatan yang menekankan tanggung jawab sendiri,

keadilan, kepercayaan, dan beasiswa (Narváez & lain-lain, 2008).


Namun, beberapa sekolah menengah telah mengembangkan kode kehormatan.

Pusat Integritas Akademik (www.academicintegrity.org) memiliki bahan-

bahan ekstensif yang tersedia untuk membantu sekolah mengembangkan

kebijakan integritas akademik seperti itu.

d. Prosocial Behavior

Memperhatikan kesejahteraan dan hak orang lain, merasa prihatin dan empati

pada mereka, dan bertindak dengan cara yang menguntungkan orang lain
adalah semua komponen perilaku prososial, yang melibatkan melampaui

kepentingan diri yang sempit dan menghargai perspektif orang lain (Barbarin

& Odom, 2009). Bentuk perilaku prososial yang paling murni dimotivasi oleh

altruisme, minat yang tidak egois dalam membantu orang lain orang

(Eisenberg & lain-lain, 2009).

Belajar berbagi merupakan aspek penting dari perilaku prososial. Adalah

penting bahwa anak-anak mengembangkan keyakinan bahwa berbagi adalah

bagian wajib dari hubungan sosial dan melibatkan pertanyaan tentang benar

dan salah. Penting juga bahwa anak-anak mengalami rasa syukur, perasaan

terima kasih dan penghargaan, terutama dalam menanggapi seseorang yang


melakukan sesuatu yang baik atau membantu. Sebuah penelitian baru-baru ini

terhadap remaja muda mengungkapkan bahwa rasa syukur terkait dengan

sejumlah aspek positif dari perkembangan, termasuk kepuasan terhadap

keluarga, optimisme, dan perilaku prososial seseorang (Froh, Yurkewicz, &

Kashdan, 2009).

Perbedaan gender membedakan perilaku prososial. Perempuan memandang

diri mereka sebagai lebih prososial dan empatik, dan mereka juga terlibat
dalam perilaku yang lebih prososial daripada laki-laki (Eisenberg & lain-lain,

2009).

3. Coping With Stress

Dalam pembelajaran layanan dan pendidikan etika integratif, sebuah tema penting

adalah mengajak siswa untuk membantu orang lain. Namun ada kalanya, ketika siswa

membutuhkan bantuan sendiri, terutama ketika mereka mengalami peristiwa yang

menegangkan (Kopp, 2009). Seiring bertambahnya usia anak-anak, mereka lebih

akurat menilai situasi yang menegangkan dan menentukan berapa banyak kendali

yang mereka miliki terhadapnya. Anak-anak yang lebih tua menghasilkan alternatif

mengatasi lebih banyak untuk kondisi stres dan menggunakan strategi mengatasi

lebih kognitif (Saarni & lain-lain, 2006). Mereka lebih baik daripada anak-anak yang

lebih kecil dengan sengaja mengalihkan pikiran mereka ke sesuatu yang kurang

menegangkan, dan saat membingkai ulang, atau mengubah persepsi seseorang

tentang situasi yang menekan. Sebagai contoh, seorang anak yang lebih muda

mungkin sangat kecewa bahwa seorang guru tidak mengatakan halo ketika anak itu

tiba di kelas. Seorang anak yang lebih tua dapat menata ulang situasi dan berpikir,

"Guru saya mungkin sibuk dengan hal-hal lain dan hanya lupa mengucapkan salam."

Pada usia 10 tahun, kebanyakan anak dapat menggunakan strategi kognitif ini

untuk mengatasi stres (Saarni, 1999). Namun, dalam keluarga yang belum

mendukung dan dicirikan oleh gejolak atau trauma, anak-anak mungkin sangat

kewalahan oleh stres sehingga mereka tidak menggunakan strategi tersebut

(Frydenberg, 2008).
Bencana terutama dapat membahayakan perkembangan anak-anak dan

menghasilkan masalah penyesuaian. Anak-anak yang mengalami bencana sering

menunjukkan reaksi stres akut, depresi, gangguan panik, dan gangguan stres pasca-

trauma (Kar, 2009). Proporsi anak-anak yang mengembangkan masalah ini setelah

bencana tergantung pada faktor-faktor seperti sifat dan keparahan bencana, serta

dukungan yang tersedia bagi anak-anak. Serangan teroris di World Trade Center di

New York City dan Pentagon di Washington, DC, pada 11 September 2001, dan
badai Katrina dan Rita pada bulan September 2005, menyuarakan keprihatinan

khusus tentang bagaimana membantu anak-anak mengatasi peristiwa-peristiwa yang

menekan seperti itu (Osofsky , 2007). Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat

digunakan guru untuk membantu siswa mengatasi peristiwa-peristiwa yang

menimbulkan stres (Gurwitch & lain-lain, 2001, hlm. 4-11):

 Yakinkan anak-anak (berkali-kali, jika perlu) keselamatan dan keamanan

mereka.

 Anak-anak yang lamban untuk menceritakan kembali kejadian dan bersabar

dalam mendengarkannya.

 Dorong anak-anak untuk berbicara tentang perasaan yang mengganggu atau

membingungkan, yakinkan mereka bahwa perasaan seperti itu normal setelah

peristiwa yang menegangkan.

 memutar anak-anak dari reexposure ke situasi yang menakutkan dan pengingat

trauma — misalnya, dengan membatasi diskusi tentang acara di depan anak-

anak.

 Bantu anak-anak memahami apa yang terjadi, ingatlah bahwa anak-anak


mungkin salah memahami apa yang terjadi. Misalnya, anak-anak kecil
"mungkin menyalahkan diri sendiri, percaya bahwa hal-hal yang terjadi tidak

terjadi, percaya bahwa teroris ada di sekolah, dll. Lembut membantu anak-anak

mengembangkan pemahaman yang realistis tentang peristiwa".


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Perkembangan sosioemosional anak merupakan perkembangan yang sangat

penting untuk diperhatikan mengingat perkembangan ini sangat mempengaruhi

perkembangan mental anak secara lebih luas. Kemampuan sosioemosional

merupakan fundasi bagi perkembangan kemampuan anak berinteraksi dengan

lingkungannya secara lebih luas. Dalam berinteraksi dengan orang lain, individu tidak

hanya dituntut untuk mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain, tetapi terkait

juga didalamnya bagaimana ia mampu mengendalikan dirinya secara baik.

Ketidakmampuan individu mengendalikan dirinya dapat menimbulkan berbagai

masalah sdengan orang lain.

Mengingat pentingnya perkembangan sosioemosional ini maka peran lingkungan

sangat berpengaruh terutama dalam memberikan nilai-nilai positif kepada

perkembangan anak. Peran lingkungan ini mulai dari keluarga, teman sebaya,

sekolah, dan lingkungan yang lebih luas. Salah satu komponen lingkungan ini tidak

berfungsi maka akan berakibat pada kurang efektifnya perkembangan social

emosional anak sehingga anak akan cenderung berperilaku negative.

Selaian peran lingkungan peran diri sendiri dan juga sangat diperhatikan, karena

masing-masing saling mempengaruhi. Kalau lingkungannya baik maka akan

membawa dampak yang baik kepada diri sendiri sebaliknya kalau lingkungannya

kurang baik maka akan membawa dampak negative pada diri sendiri juga.
B. Saran
Mengingat pentingnya peran perkembangan pada diri sendiri dan lingkungan

maka masing-masing komponen harus merasa bertanggungjawab memberikan

masukan yang positif bagi perkembangan anak.

Pendidikan karakter dan perilaku prososial perlu dikembangkan dalam rangka

memberikan perhatian kepada anak sehingga perkembangan sosioemosional anak

menjadi tidak terganggu.


DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John W, Psikologi Pendidikan, 2007, Jakarta.

Mohammad Ali, Mohammad Asrori, Psikologi Remaja, 2010, Jakarta.

Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, 2011, Bandung.

http://www/Psikologi/Pendidikan/Bahan/Pendukung/perkembangan-sosial-dan

emosional-anak.html

Anda mungkin juga menyukai