Anda di halaman 1dari 13

Menentukan Kegagalan Induksi pada Persalinan

Pendahuluan : Meskipun terdapat standar yang telah ditetapkan terkait


persalinan fase aktif macet, definisi “kegagalan” induksi dari persalinan masih
belum begitu jelas. Satu pendekatan untuk mendiagnosis kegagalan induksi adalah
berdasarkan durasi fase laten. Namun, standar minimal durasi fase laten dimana
induksi sebaiknya dilanjutkan, tidak adanya indikasi akut ibu ataupun fetus untuk
persalinan sesar, masih belum terdapat data yang mendukung.
Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi keluaran
kejadian maternal dan perinatal yang merugikan yang menunjukkan fungsi durasi
fase laten pada wanita nulipara yang menjaladi induksi persalinan.
Desain penelitian : Penelitian ini berdasarkan data dari kohort obstetri dari
wanita yang melahirkan di 25 rumah sakit di US dari tahun 2008 hingga 2011.
Wanita nulipara diartikan sebagai wanita yang hamil tunggal dengan presentasi
kepala, wanita-wanita tersebut yang dapat dianalisis jika mereka menjalani
induksi persalinan. Konsisten dengan penelitian sebelumnya, fase laten diartikan
dengan selesainya pematangan servik, lalu dimulai pemberian oksitosin, dan
ketuban telah pecah, dan selesai saat tercapai pembukaan 5 cm. Frekuensi
persalinan sesar, begitu juga dengan kejadian yang tidak diinginkan pada maternal
(contoh : perdarahan postpartum, korioamnionitis) dan perinatal (contoh :
frekuensi kejadian kejang, sepsis, trauma tulang atau saraf, ensefalopati, atau
kematian), dibandingkan dengan fungsi dari durasi fase laten (dianalisis dengan
pengukuran kontinyu dan dikategorikan setiap 3 jam).
Hasil : Terdapat toal 10.677 wanita yang dapat dianalisis. Pada sebagian besar
(96,4%) wanita, fase aktif telah dicapai dalam 15 jam. Semakin lama durasi fase
laten, semakin besar kemungkinan mereka untuk menjalani persalinan sesar (P <
0,001, pada variabel bebas kontinyu dan kategorik), meskipun >40% wanita yang
fase latennya berlangsung > 18 jam masih bisa menjalani persalinan per-vaginam.
Beberapa morbiditas maternal, seperti perdarahan postpartum (P < 0,001) dan
korioamnionitir (P < 0,001), meningkat frekuensinya sesuai dengan peningkatan
panjang fase laten. Sebaliknya, frekuensi dari keluaran sebagian besar kejadian
yang tidak diinginkan terkait perinatal stabil secara statistik dari waktu ke waktu.
Kesimpulan : Sebagian besar wanita yang menjalani induksi persalinan akan
memasuki fase aktif dalam 15 jam setelah dimulainya pemberian oksitosin dan
pecahnya ketuban. Kejadian yang tidak diinginkan terkait maternal secara statistik
lebih sering terjadi dengan waktu yang lebih panjang pada fase laten, meskipun
peningkatan absolut pada frekuensinya masih relatif kecil. Data ini menunjukkan
bahwa persalinan sesar sebaiknya belum perlu dilakukan sebelum 15 jam setelah
pemberian oksitosin dan pecahnya ketuban. Keputusan untuk melanjutkan
persalinan dikembalikan lagi ke masing-masing individu, dan mungkin terdapat
beberapa faktor lain terkait perjalanan persalinan.
Kata kunci : induksi persalinan, fase laten, hasil akhir

Pendahuluan
Induksi persalinan telah meningkat penggunaannya dalam intervensi
obstetrik. Dalam 2 dasawarsa terakhir, penggunaanya lebih dari dua kali lipat, dan
saat ini, sekitar 1 dari 4 wanita hamil dilakukan induksi pada persalinannya.
Ketika teka-teki ini dihadapkan pada dokter yang peduli terhadap wanita yang
menjalani induksi persalinan, terdapat pertanyaan terkait apakah manfaatnya lebih
besar dari risiko yang berkelanjutan wanita berada dalam fase laten untuk jangka
waktu yang panjang. Ketika persalinan sesar dilakukan pada fase laten dari
induksi persalian, indikasinya terkadang disebut “kegagalan”. Namun,belum ada
konsensus terkait kriteria untuk indikasi ini, dan akhirnya, pendekatan terhadap
manajemen obstetrik pada fase laten pada wanita yang menjalani induksi
persalinan masih berbeda-beda di berbagai pelayanan dan institusi.
Rouse dkk membuat satu pendekatan yang mendefinisikan kegagalan
induksi. Mereka mendefinisikan fase laten ketika dimulainya pemberian oksitosin
dan pecahnya ketuban, berakhir pada dilatasi 4 cm dan pendataran 90% atau
dilatasi 5 cm tanpa melihat pendataran. Keluaran obstetrik selanjutnya dipelajari
sebagai fungsi dari lamanya fase laten pada induksi persalinan. Mereka
menyimpulkan bahwa fase laten dapat dilakukan setidaknya hingga 12 jam tanpa
morbiditas obstetrik yang berlebihan. Namun, populasi penelitian mereka relatif
kecil dan dari satu tempat saja, dan mereka tidak memiliki analisis yang adekuat
dar durasi fase laten yang lebih dari 12 jam. Tiga penelitian lain dilakukan terkait
diagnosis dari kegagalan induksi dari perspektif ini, dan untuk berbagai derajat
memiliki keterbatasan metodologis yang serupa.
Menentukan kriteria standar dan berbasis bukti untuk sesar yang dilakukan
pada fase laten untuk alasan tunggal bahwa pasien tidak memasuki fase aktif
adalah penting untuk meminimalisir sesar yang tidak diperlukan dan
membandingkan perawatan antar institusi. Tujuan dari analisis ini adalah untuk
menentukan, pada populasi yang luas dan bervariasi secara geografis pada wanita
nulipara yang menjalani induksi persalinan, keluaran maternal dan neonatal
berhbuugnan dengan panjang fase laten persalinan.

Materi dan Metode


Gambar. Flowchart populasi penelitian

Gambaran flowchart dari populasi penelitian wanita nulipara dengan tanpa


anomali vertex, kehamilan tunggal yang menjalani induksi persalinan.
Dari tahun 2008 hingga 2011, investigator dari Eunice Kennedy Shriver
Institusi Nasional dari Kesehatan Anak dan Perkembangan Manusia, Jaringan
Unit Kesehatan Maternal-Fetal melakukan penelitian observasional (contoh :
penelitian APEX). Pada penelitian ini, karakteristik pasien, kejadian intrapartum,
dan keluaran kehamilan didapatkan dari semua wanita dengan usia kehamilan
minimal adalah 23 minggu 0 hari dengan janin hidup dan persalinan dilakukan
pada hari yang dipilih secara acak merepresentasikan satu pertiga dari persalinan
selama periode 3 tahun di 25 rumah sakit terpilih. Personel penelitian harus yang
sudah terlatih dan tersertifikasi. Semua senter mendapatkan persetujuan dari
badan eksekutif institusi dan menyetujui informed consent. Detail lengkap dari
teknik pengumpulan data telah dijelaskan sebelumnya.
Wanita yang dianggap pantas untuk analisis ini adalah nulipara, janin
tunggal, presentasi kepaa, usia kehamilan > 37 minggu, dan menjalani induksi
persalinan. Durasi fase laten diartikan sama seperti yang pertama kali diuraikan
oleh Rouse dkk dan kemudian digunakan oleh yang lainnya pada analisis mereka
terkait fase laten selama induksi persalinan. Secara spesifik, fase laten persalinan
yang dilakukan induksi dimulai dengan pematangan servik yang sudah lengkap,
mulai diberikan oksitosin, dan pecahnya ketuban (baik spontan atau dibuat). Fase
laten persalinan diakhiri jika dilatasi telah mencapai 5 cmm (atau jika sesar
dilakukan sebelum dilatasi tersebut). Wanita dieksklusi dari analisis primer jika
tidak terdapat waktu terkait fase laten (contoh : waktu pecahnya ketuban, waktu
inisiasi oksitosin, waktu setidaknya tercapai pembukaan 5 cm) yang tercatat,
karena waktu fase laten tidak dapat ditentukan kemudian.
Keluaran pasien, termasuk frekuensi persalinan sesar, keluaran kejadian
yang tidak diinginkan pada maternal (diagnosis klinis korioamnionitis, perdarahan
postpartum, histerektomi), dan keluaran kejadian yang tidak diinginkan pada
neonatal dibandingkan dengan fungsi durasi fase laten. Keluaran primer dari
kejadian yang tidak diinginkan pada neonatal merupakan gabungan yang terjadi
ketika neonatus memiliki beberapa kejadian sebagai berikut : kejang, sepsis yang
sudah dibuktikan dengan kultur, trauma tulang atau saraf, ensefalopati, atau
kematian. Analisis ini dilakukan dengan waktu yang ditunjukkan dengan variabel
kontinyu dan variabel kategorik dalam penambahan waktu setiap 3 jam.
Model linear umum untuk keluaran biner dengan fungsi log-link digunakan
untuk memperkirakan risiko relati dengan interval kepercayaan 95% untuk
hubungan antara durasi fase laten (ditunjukkan dengan variabel kontinyu dalam
jam) dengan keluaran obstetrik. Cochran-Armitage atau uji yang tepat untuk tren
yang ada digunakan untuk menganalisis apakah frekuensi keluaran anatomi
berubah sesuai dengan durasi fungsional fase laten setiap penambahan waktu 3
jam. Risiko relatif dari masing-masing interval 3 jam dihitung dengan model
linear umum menggunakan titik tengah dari interval waktu sebagai nilai untuk
variabel bebas sebagai persamaannya. Jumlah sesar yang terjadi pada fase laten,
fase aktif, dan kala dua, dengan indikasi utama status janin yang tidak
meyakinkan (seperti pelacakan detak jantung janin yang tidak meyakinkan,
prolaps tali pusar, atau abrupsio) atau distosia, dihitung juga dalam interval waktu
setiap 3 jam.
Untuk menilai validitas dari temuan kami, beberapa analisis sensitivitas
dilakukan. Pada satu analisis sensitivitas, hasil dari analisis dihitung ulang setelah
jumlah nilai waktu yang hilang berkurang. Pada analisis ini, waktu dimulainya
fase laten dimasukkan berdasarkan waktu pecahnya ketuban atau oksitosin, jika
hanya 1 dari waktu tersebut yang tersedia. Pada analisis sensitivitas lebih lanjut,
model linear umum dengan fungsi log-link, dengan waktu sebagai variabel bebas
kontinyu, kami melakukan penilai ualang setelah menyesuaikan terhadap 3 hal
berikut : penggunaan pematangan servik (ya/tidak), induksi elektif (ya/tidak), atau
ketuban pecah dini (ya/tidak). Penyesuaian pada model-model ini termasuk
pengaruh utama dari interaksi faktor dengan waktu. Perangkat lunak (SAS versi
9,4; SAS Institute Inc, Cary, NC) digunakan untuk analisis. Semua uji dilakukan 2
sisi dan nilai P < 0,05 digunakan untuk menentukan signifikansi statistik tanpa
menggunakan penyesuaian perbandingan multipel.
Hasil
Tabel 1. Karakteristik populasi penelitian
Karakteristik N = 10.677
Usia maternal, tahun 26,4 + 6,1
Indeks massa tubuh, kg/m2 32,2 + 6,7
Usia kehamilan, minggu 39,8 + 1,3
Ras/suku
Putih 5724 (53,6)
Hitam 2153 (20,2)
Hispanik 1665 (15,6)
Asian 570 (5,3)
Lain-lain 565 (5,3)
Alasan untuk induksi persalinan
Kondisi medis maternala 2562 (24,0)
Late atau postterm 3004 (28,1)
Status fetalb 1636 (15,3)
KPD 1725 (16,2)
Elektif 1468 (13,8)
Lain-lain 282 (2,6)
Pematangan servik 5582 (52,3)
Penggunaan epidural 10.038 (95,0)
Berat saat lahir, gram 3369 + 477
Data ditampilkan dengan rata-rata + SD atau N (%).
KPD, ketuban pecah dini.
a
Termasuk komorbiditas maternal, seperti pernyakit hipertensi dan diabetes
mellitus, yang merupakan indikasi induksi persalinan; bTermasuk restriksi
pertumbuhan janin, oligohidramnion, kesejahteraan antepartum yang tidak
meyakinkan.

Tabel 2. Proporsi wanita yang sudah tidak dalam fase laten setelah inisiasi
induksi persalinan
Fase laten, jam N % Kumulatif %
0 - 2,9 3523 33,0 33,0
3 - 5,9 3470 32,5 65,5
6 - 8,9 1997 18,7 84,2
9 - 11,9 921 8,6 92,8
12 - 14,9 380 3,6 96,4
15 - 17,9 192 1,8 98,2
> 18 194 1,8 100,0
Wanita setidaknya 5 cm (atau telah menjalani sesar dalam interval waktu tersebut)
setelah pematangan servik lengkap, mulainya pemberian oksitosin, dan pecahnya
ketuban (baik spontan atau buatan).
Terdapat total 10.677 wanita memenuhi kriteria inklusi dan dapat dianalisis
(Gambar), 1725 (16,2%) menjalani induksi dengan KPD dan 5582 (52,3%)
menjalani induksi dengan pematangan servik (Tabel 1). Untuk wanita tanpa KPD,
median durasi antara inisiasi oksitosin dan pecahnya ketuban adalah 215 menit
(rentang interquartil 75-418 menit) untuk wanita yang dilakukan pematangan
servik dan 180 menit (rentang interquartil 65-332 menit) untuk wanita yang tidak
dilakukan pematangan servik. Median durasi untuk mulainya oksitosin dan
pecahnya KPD (diartikan sebagai dimulainya fase laten) ke persalinan aktif (atau
persalinan sesar jika tidak mencapai persalinan aktif) adalah 262 menit (rentang
interquartil 141-435 mentit). Dalam 6 jam hampir dua per tuga wanita telah
berprogres dari awal fase laten ke persalinan aktif, dan sebagian besar (96,4%)
wanita, fase aktif tercapai dalam 15 jam (Tabel 2).

Tabel 3. Frekuensi keluaran maternal yang dibagi berdasarkan durasi fase laten

CI, Confidence intreval, PPH, postpartum hemorrhage


a
Cochran-Armitage or Exact trend test
Tabel 4. Frekuensi indikasi persalinan sesar, dibagi berdasarkan fase dan kala
persalinan

Data ditampilkan dalam N (%)


NRFS, nonreassuring fetal status

Semakin panjang durasi fase laten, semakin besar kemungkinan untuk


menjalani persalinan sesar (P < 0,001 untuk kedua variabel bebas kontinyu dan
kategorik) (Tabel 3). Namun, >40% wanita yang fase latennya mencapai > 18 jam
menjalani persalinan per vaginam. Indikasi untuk sesar, dibagi berdasarkan fase
dan kala persalinan, ditunjukkan dalam Tabel 4. Seperti yang digambarkan,
sebagian besar sesar dalam berbagai interval waktu dan terutama pada interval
waktu yang lebih awal yaitu <15 jam tidak dilakukan di fase laten. Beberapa
morbiditas maternal (contoh : korioamnionitis, perdarahan postpartum, dan
transfusi darah) juga meningkat sesuai dengan peningkatan frekuensi lamanya
fase laten.

Tabel 5. Frekuensi keluaran neonatal yang dibagi berdasarkan durasi fase laten

ANC, adverse neonatal composite (kejang, sepsis, trauma tulang atau saraf,
ensefalopati, kematian); CI, confidence interval; NICU, neonatal intensive care
unit admission; UA, umbilical artery
a
Data hilang pada 6666 neonatus, bCochran-Armitage or exact tren test.
Sebaliknya, frekuensi untuk kejadian yang tidak diinginkan pada neonatal
yang paling sering tidak didapatkan perbedaan berdasarkan waktu. Secara
spesifik, tidak terdapat peningkatan statistik pada frekuensi kejadian yang tidak
diinginkan primer pada neonatal, atau hasil seperti skor Apgar yang rendah,
asidemia, atau distosia bahu. Frekuensi perawatan di NICU (neonatal intensive
care unit) meningkat dengan durasi fase laten (Tabel 5).
Yang terakhir, untuk analisis sensitivitas, kami menilai apakah hasilnya
berbeda setelah beberapa nilai yang hilang dari durasi fase laten berkurang
(menyisakan hanya 746 durasi fase laten yang hilang), atau setelah penyesuaian
untuk pematangan servik yang dilakukan, induksi dilakukan tanpa adanya indikasi
medis (contoh : induksi elektif), atau terjadinya KPD. Pada semua analisis
sensitivitas, hubungan antara durasi fase laten dan hasil yang ada masih tetap
serupa dengan yang ada di analisis primer (data tidak ditunjukkan).

Pembahasan
Penelitian ini membahas beberapa aspek dari fase laten terkait induksi
persalinan yang dapat sangat membantu ketika membahas rekomendasi yang
berkaitan dengan manajemen persalinan. Pertama, sebagian besar wanita (96%)
akan memasuki fase aktif dalam 15 jam pematangan sempurna servik (jika
dibutuhkan), inisiasi oksitosin dan pecahnya ketuban. Wanita yang masih dalam
rentang waktu tersebut akan lebih mungkin menjalani persalinan per vaginam dan
bebas dari morbiditas maternal dan perinatal. Pola ini akan menetap tanpa melihat
apakah induksi tanpa indikasi medis, setelah KPD, atau setelah pematangan
servik. Dan juga, tidak ada saat dimana komplikasi tiba-tiba meningkat, meskipun
terdapat penambahan peningkatan frekuensi dari beberapa komplikasi maternal,
dan perawatan NICU seiring bertambahnya waktu.
Temuan ini memperluas temuan dari peneliti lain yang melakukan analisis
serupa. Penelitian oleh Chelmow dkk, Maghoma dkk, dan Buchman contohnya,
menunjukkan bahwa fase laten yang memanjang berhubungan dengan
peningkatan frekuensi komplikasi maternal dan neonatal, meskipun penelitian ini
tidak terbatas pada induksi persalinan atau definisi konsensus tunggal dari “fase
laten memanjang”. Rouse dkk melakukan penelitian pertama yang menggunakan
pendekatan serupa dengan analisis untuk mencoba mencari tahu hubungan antara
durasi fase laten dan komplikasi obstetrik pada induksi persalinan. Penelitian
terebut mengikutsertakan 509 wanita dari berbagai paritas dan menunjukkan
bahwa “induksi persalinan yang berlanjut menyebabkan beberapa wanita
menjalani persalinan per vaginam”, bahwa korioamnionitis akan meningkat
seiring bertambahnya waktu fase laten, dan sebagian besar komplikasi maternal
dan perinatal jarang terjadi. Penelitian tersebut tidak memiliki ukuran sampel
yang mencukupi untuk membandingkan komplikasi neonatal yang jarang lainnya,
seperti ph arteri umbilikal < 7,0, yang berkaitan dengan durasi fase laten atau hasil
akhir setelah fase laten selama > 12 jam.
Analisis selanjutnya oleh Simon dan Grobman (n=397) dan Rouse dkk
(n=1347) mengikutsertakan lebih banyak wanita nulipara dengan durasi fase laten
> 12 jam dan memasukkan juga fase laten setelah 12 jam, persalinan per vaginam
terjadi dengan frekuensi yang masuk akal dan komplikasi masih jarang terjadi.
Contohnya, pada analisis oleh Smon dan Grobman, 67% wanita yang memiliki
fase laten 12-18 jam setelah pematangan lengkap servik, inisiasi oksitosin, dan
pecahnya ketuban menjalani persalinan per vaginam tanpa peningkatan yang jelas
dari komplikasi perinatal. Pada analisis terbaru dari data 9.763 wanita nulipara
dalam penelitian Persetujuan Keamanan Persalinan, dimana 6 cm digunakan
sebagai akhir fase laten, perawatan di NICU (tanpa ventilasi mekanik atau sepsis)
lebih sering secara statistik (8,7% saat 12 jam vs 6,7% saat 9 jam) setelah
mencapai 12 jam fase laten. Penelitian yang menggunakan 6 cm untuk
mendefinisikan akhir dari fase laten tersebut, memiliki hasil yang serupa dengan
penelitian kami (dimana 5 cm digunakan untuk dilatasi terminal dari fase laten).
Terdapat beberapa kekuatan dari penelitian ini, seperti ukuran populasi,
kualitas data (dilakukan oleh personel penelitian terlatih dari masing-masing
bagian), dan keanekaragaman dari kohort berbagai negara. Wanita diikutsertakan
dengan berbagai kebutuhan untuk pematangan servik, dan berbagai hubungan
yang terjadi setelah memasukkan beberapa faktor. Sebaliknya, faktor seperti usia
maternal atau indeks masa tubuh tidak dilakukan penyesuaian, mengingat bahwa
faktor tersebut bukan hanya kovariat namun bisa juga memiliki hubungan sebab
akibat dengan paparan dan hasil yang ada.
Meskipun memiliki kelebihan, namun keterbatasannya juga perlu untuk
diketahui. Karena ini merupakan observasi hal yang alami, hubungan yang ada
tidak bisa langsung dijadikan hubungan sebab akibat. Meskipun dengan kualitas
data dan proses kontrol yang baik, beberapa tipe data (contoh : waktu berbagai
kejadian selama persalinan) bisa jadi hilang dalam grafik sehingga tidak dapat
disimpulkan. Jika datang yang hilag tersebut tidak acak, namun berkaitan secara
sistematik ke hasil dan paparan, maka bisa dikatakan sebagai bias. Namun, pada
analisis sensitivitas pada beberapa waktu yang hilang telah berkurang >75%, dan
hasil masih tetap tidak berubah. Begitu juga, temuan ini pada wanita nulipara dan
tidak dapat digeneralisir pada wanita multipara. Namun, kami percaya bahwa
wanita nulipara adalah populasi yang paling dibutuhkan dalam penelitian ini,
memberikan mereka kesempatan yang lebih untuk persalinan yang lebih lama,
dan persalinan sesar. Karena penelitian ini mengenai panjang fase laten selama
induksi, sehingga tidak diketahui mengenai fase laten selama persalinan normal.
Meskipun penelitian ini dilakukan di banyak institusi, sebagian besar merupakan
pusat pendidikan dengan program pelatihan, dan generalisir ke rumah sakit
masyarakat belum begitu jelas. Belum terdapat bukti mengapa hubungan yang ada
dengan durasi fase persalinan dan keluaran obstetrik harus dibedakan berdasarkan
setting masyarakat atau pendidikan. Dan, satu yang harus dipertimbangkan bahwa
banyak institusi yang ikut serta dan kurangnya protokol tunggal untuk induksi
atau manajemen persalinan sebagai kekuatan penelitian, karena karakteristik
tersebut meningkatkan penerapan temuan untuk institusi yang lain, yang sama-
sama tidak memiliki standar tunggal untuk semua aspek manajemen persalinan.
Penelitian lain dari standar persalinan, seperti pada Persetujuan Keamanan
Persalinan, juga memiliki keuntungan dari analisis manajemen persalinan,
terutama dalam setting klinis yang sebenarnya. Namun, kami tidak tau dengan
jelas apakah temuan ini dapat digeneralisir ke semua setting pelayanan kesehatan.
Penelitian ini tidak hanya mengenai pendekatan saja, namun menilai juga
mengenai hingga sejauah apa fase laten dilanjutkan, yaitu jika tidak ada indikasi
akut untuk melahirkan selama proses induki persalinan. Pendekatan lain,
contohnya, memasukkan terkait penentuan titik perubahan pada kurva persalinan,
mengkategorikan ketidaknormalan berdasarkan tingkat persentil populasi. Dalam
pendekatan yang saat ini sudah diaplikasikan, memiliki beberapa keuntungan,
yaitu terstandarnya durasi sebagai fungsi dari beberapa aspek manajemen terkait
“waktu”, dan secara langsung menilai hubungan antara durasi dengan keluaran
obstetrik. Tentu saja, beberapa peneliti menekankan pentingnya menentukan
definisi persalinan dan penggunaan berbagai manajemen pendekatan terkait
keluaran maternal dan neonatal. Tanpa memandang pendekatan yang spesifik,
standar minimal durasi dari fase laten sebaiknya diterapkan dalam induksi
persalinan. Penyedia layanan obstetrik sering dipaparkan terhadap pertanyaan ini,
untuk wanita yang belum masuk fase aktif, apakah lebih banyak keuntungan atau
risiko untuk melanjutkan induksi. Dalam data yang kami tunjukkan, meskipun
sesar karena distosia atau kegagalan induksi tidak terlalu sering, hal tersebut buka
satu-satunya indikasi yang terjadi sepanjang fase laten.
Konversi data ini ke rekomendasi klinis diskret menjadi tantangan tersendiri
karena tidak adanya interval waktu tunggal dimana komplikasi tiba-tiba
meningkat, dimana peningkatan marginal dari frekuensi komplikasi mengerdilkan
peningkatan marginal selama interval anteseden, atau dimana tidak ada lagi
keseimbangan antara keuntungan (contoh : menghindari sesar) dengan risiko.
Namun, sebagian besar wanita akan mencapai fase aktif dalam 15 jam, wanita
yang dalam rentang waktu tersebut yang sebagian besar akan menjalani persalinan
per vaginam, dan hanya akan terjadi sedikit hal yang tidak diinginkan, kami
percaya hasil ini konsisten dengna rekomendasi yang ada. Secara spesifik, pada
wanita yang menjalani induksi persalinan, ketika kondisi maternal, fetal maternal,
dan fetal mengijinkan, persalinan sesar tidak perlu dilakukan pada fase laten
setidaknya dalam 15 jam setelah pecahnya ketuban dan oksitosin telah diberikan.
Penentuan untuk melanjutkan persalinan dalam titik ini sebaiknya difokuskan
terhadap masing-masing individu dan memperhitungkan juga faktor-faktor lain
seperti bukti dari perjalanan persalinan.
Keuntungan dari sebuah pendekatan diilustrasikan oleh 1 penelitian yang
menunjukkan bahwa pengenalan dari protokal yang spesifik terhadap jumlah
minimal waktu sebelum didiagnosis kegagalan induksi (pada kaus tersebut, 12
jam setelah kematangan, oksitosin, dan pecahnya ketuban) berhubungan dengan
frekuensi yang lebih rendah secara signifikan dari sesar dan frekuensi yang tidak
begitu besar pada kejadian yang tidak diinginkan. Dan, berdasarkan data kami,
ratifikasi kesehatan masyarang tentang definisi standar untuk “kegagalan induksi”
dapat diperkirakan. Jika induksi ditetapkan sebagai “kegagalan” jika wanita terus
berada di fase laten pada 15 jam dibandingkan 6 jam setelah inisiasi oksitosin dan
pecahnya ketuban, sekitar 70.000 operasi sesar dapat dihindari pada 400.000
wanita nulipara yang menjalani induksi di Amerika Serikat setiap tahunnya.

Anda mungkin juga menyukai