Pendahuluan
Induksi persalinan telah meningkat penggunaannya dalam intervensi
obstetrik. Dalam 2 dasawarsa terakhir, penggunaanya lebih dari dua kali lipat, dan
saat ini, sekitar 1 dari 4 wanita hamil dilakukan induksi pada persalinannya.
Ketika teka-teki ini dihadapkan pada dokter yang peduli terhadap wanita yang
menjalani induksi persalinan, terdapat pertanyaan terkait apakah manfaatnya lebih
besar dari risiko yang berkelanjutan wanita berada dalam fase laten untuk jangka
waktu yang panjang. Ketika persalinan sesar dilakukan pada fase laten dari
induksi persalian, indikasinya terkadang disebut “kegagalan”. Namun,belum ada
konsensus terkait kriteria untuk indikasi ini, dan akhirnya, pendekatan terhadap
manajemen obstetrik pada fase laten pada wanita yang menjalani induksi
persalinan masih berbeda-beda di berbagai pelayanan dan institusi.
Rouse dkk membuat satu pendekatan yang mendefinisikan kegagalan
induksi. Mereka mendefinisikan fase laten ketika dimulainya pemberian oksitosin
dan pecahnya ketuban, berakhir pada dilatasi 4 cm dan pendataran 90% atau
dilatasi 5 cm tanpa melihat pendataran. Keluaran obstetrik selanjutnya dipelajari
sebagai fungsi dari lamanya fase laten pada induksi persalinan. Mereka
menyimpulkan bahwa fase laten dapat dilakukan setidaknya hingga 12 jam tanpa
morbiditas obstetrik yang berlebihan. Namun, populasi penelitian mereka relatif
kecil dan dari satu tempat saja, dan mereka tidak memiliki analisis yang adekuat
dar durasi fase laten yang lebih dari 12 jam. Tiga penelitian lain dilakukan terkait
diagnosis dari kegagalan induksi dari perspektif ini, dan untuk berbagai derajat
memiliki keterbatasan metodologis yang serupa.
Menentukan kriteria standar dan berbasis bukti untuk sesar yang dilakukan
pada fase laten untuk alasan tunggal bahwa pasien tidak memasuki fase aktif
adalah penting untuk meminimalisir sesar yang tidak diperlukan dan
membandingkan perawatan antar institusi. Tujuan dari analisis ini adalah untuk
menentukan, pada populasi yang luas dan bervariasi secara geografis pada wanita
nulipara yang menjalani induksi persalinan, keluaran maternal dan neonatal
berhbuugnan dengan panjang fase laten persalinan.
Tabel 2. Proporsi wanita yang sudah tidak dalam fase laten setelah inisiasi
induksi persalinan
Fase laten, jam N % Kumulatif %
0 - 2,9 3523 33,0 33,0
3 - 5,9 3470 32,5 65,5
6 - 8,9 1997 18,7 84,2
9 - 11,9 921 8,6 92,8
12 - 14,9 380 3,6 96,4
15 - 17,9 192 1,8 98,2
> 18 194 1,8 100,0
Wanita setidaknya 5 cm (atau telah menjalani sesar dalam interval waktu tersebut)
setelah pematangan servik lengkap, mulainya pemberian oksitosin, dan pecahnya
ketuban (baik spontan atau buatan).
Terdapat total 10.677 wanita memenuhi kriteria inklusi dan dapat dianalisis
(Gambar), 1725 (16,2%) menjalani induksi dengan KPD dan 5582 (52,3%)
menjalani induksi dengan pematangan servik (Tabel 1). Untuk wanita tanpa KPD,
median durasi antara inisiasi oksitosin dan pecahnya ketuban adalah 215 menit
(rentang interquartil 75-418 menit) untuk wanita yang dilakukan pematangan
servik dan 180 menit (rentang interquartil 65-332 menit) untuk wanita yang tidak
dilakukan pematangan servik. Median durasi untuk mulainya oksitosin dan
pecahnya KPD (diartikan sebagai dimulainya fase laten) ke persalinan aktif (atau
persalinan sesar jika tidak mencapai persalinan aktif) adalah 262 menit (rentang
interquartil 141-435 mentit). Dalam 6 jam hampir dua per tuga wanita telah
berprogres dari awal fase laten ke persalinan aktif, dan sebagian besar (96,4%)
wanita, fase aktif tercapai dalam 15 jam (Tabel 2).
Tabel 3. Frekuensi keluaran maternal yang dibagi berdasarkan durasi fase laten
Tabel 5. Frekuensi keluaran neonatal yang dibagi berdasarkan durasi fase laten
ANC, adverse neonatal composite (kejang, sepsis, trauma tulang atau saraf,
ensefalopati, kematian); CI, confidence interval; NICU, neonatal intensive care
unit admission; UA, umbilical artery
a
Data hilang pada 6666 neonatus, bCochran-Armitage or exact tren test.
Sebaliknya, frekuensi untuk kejadian yang tidak diinginkan pada neonatal
yang paling sering tidak didapatkan perbedaan berdasarkan waktu. Secara
spesifik, tidak terdapat peningkatan statistik pada frekuensi kejadian yang tidak
diinginkan primer pada neonatal, atau hasil seperti skor Apgar yang rendah,
asidemia, atau distosia bahu. Frekuensi perawatan di NICU (neonatal intensive
care unit) meningkat dengan durasi fase laten (Tabel 5).
Yang terakhir, untuk analisis sensitivitas, kami menilai apakah hasilnya
berbeda setelah beberapa nilai yang hilang dari durasi fase laten berkurang
(menyisakan hanya 746 durasi fase laten yang hilang), atau setelah penyesuaian
untuk pematangan servik yang dilakukan, induksi dilakukan tanpa adanya indikasi
medis (contoh : induksi elektif), atau terjadinya KPD. Pada semua analisis
sensitivitas, hubungan antara durasi fase laten dan hasil yang ada masih tetap
serupa dengan yang ada di analisis primer (data tidak ditunjukkan).
Pembahasan
Penelitian ini membahas beberapa aspek dari fase laten terkait induksi
persalinan yang dapat sangat membantu ketika membahas rekomendasi yang
berkaitan dengan manajemen persalinan. Pertama, sebagian besar wanita (96%)
akan memasuki fase aktif dalam 15 jam pematangan sempurna servik (jika
dibutuhkan), inisiasi oksitosin dan pecahnya ketuban. Wanita yang masih dalam
rentang waktu tersebut akan lebih mungkin menjalani persalinan per vaginam dan
bebas dari morbiditas maternal dan perinatal. Pola ini akan menetap tanpa melihat
apakah induksi tanpa indikasi medis, setelah KPD, atau setelah pematangan
servik. Dan juga, tidak ada saat dimana komplikasi tiba-tiba meningkat, meskipun
terdapat penambahan peningkatan frekuensi dari beberapa komplikasi maternal,
dan perawatan NICU seiring bertambahnya waktu.
Temuan ini memperluas temuan dari peneliti lain yang melakukan analisis
serupa. Penelitian oleh Chelmow dkk, Maghoma dkk, dan Buchman contohnya,
menunjukkan bahwa fase laten yang memanjang berhubungan dengan
peningkatan frekuensi komplikasi maternal dan neonatal, meskipun penelitian ini
tidak terbatas pada induksi persalinan atau definisi konsensus tunggal dari “fase
laten memanjang”. Rouse dkk melakukan penelitian pertama yang menggunakan
pendekatan serupa dengan analisis untuk mencoba mencari tahu hubungan antara
durasi fase laten dan komplikasi obstetrik pada induksi persalinan. Penelitian
terebut mengikutsertakan 509 wanita dari berbagai paritas dan menunjukkan
bahwa “induksi persalinan yang berlanjut menyebabkan beberapa wanita
menjalani persalinan per vaginam”, bahwa korioamnionitis akan meningkat
seiring bertambahnya waktu fase laten, dan sebagian besar komplikasi maternal
dan perinatal jarang terjadi. Penelitian tersebut tidak memiliki ukuran sampel
yang mencukupi untuk membandingkan komplikasi neonatal yang jarang lainnya,
seperti ph arteri umbilikal < 7,0, yang berkaitan dengan durasi fase laten atau hasil
akhir setelah fase laten selama > 12 jam.
Analisis selanjutnya oleh Simon dan Grobman (n=397) dan Rouse dkk
(n=1347) mengikutsertakan lebih banyak wanita nulipara dengan durasi fase laten
> 12 jam dan memasukkan juga fase laten setelah 12 jam, persalinan per vaginam
terjadi dengan frekuensi yang masuk akal dan komplikasi masih jarang terjadi.
Contohnya, pada analisis oleh Smon dan Grobman, 67% wanita yang memiliki
fase laten 12-18 jam setelah pematangan lengkap servik, inisiasi oksitosin, dan
pecahnya ketuban menjalani persalinan per vaginam tanpa peningkatan yang jelas
dari komplikasi perinatal. Pada analisis terbaru dari data 9.763 wanita nulipara
dalam penelitian Persetujuan Keamanan Persalinan, dimana 6 cm digunakan
sebagai akhir fase laten, perawatan di NICU (tanpa ventilasi mekanik atau sepsis)
lebih sering secara statistik (8,7% saat 12 jam vs 6,7% saat 9 jam) setelah
mencapai 12 jam fase laten. Penelitian yang menggunakan 6 cm untuk
mendefinisikan akhir dari fase laten tersebut, memiliki hasil yang serupa dengan
penelitian kami (dimana 5 cm digunakan untuk dilatasi terminal dari fase laten).
Terdapat beberapa kekuatan dari penelitian ini, seperti ukuran populasi,
kualitas data (dilakukan oleh personel penelitian terlatih dari masing-masing
bagian), dan keanekaragaman dari kohort berbagai negara. Wanita diikutsertakan
dengan berbagai kebutuhan untuk pematangan servik, dan berbagai hubungan
yang terjadi setelah memasukkan beberapa faktor. Sebaliknya, faktor seperti usia
maternal atau indeks masa tubuh tidak dilakukan penyesuaian, mengingat bahwa
faktor tersebut bukan hanya kovariat namun bisa juga memiliki hubungan sebab
akibat dengan paparan dan hasil yang ada.
Meskipun memiliki kelebihan, namun keterbatasannya juga perlu untuk
diketahui. Karena ini merupakan observasi hal yang alami, hubungan yang ada
tidak bisa langsung dijadikan hubungan sebab akibat. Meskipun dengan kualitas
data dan proses kontrol yang baik, beberapa tipe data (contoh : waktu berbagai
kejadian selama persalinan) bisa jadi hilang dalam grafik sehingga tidak dapat
disimpulkan. Jika datang yang hilag tersebut tidak acak, namun berkaitan secara
sistematik ke hasil dan paparan, maka bisa dikatakan sebagai bias. Namun, pada
analisis sensitivitas pada beberapa waktu yang hilang telah berkurang >75%, dan
hasil masih tetap tidak berubah. Begitu juga, temuan ini pada wanita nulipara dan
tidak dapat digeneralisir pada wanita multipara. Namun, kami percaya bahwa
wanita nulipara adalah populasi yang paling dibutuhkan dalam penelitian ini,
memberikan mereka kesempatan yang lebih untuk persalinan yang lebih lama,
dan persalinan sesar. Karena penelitian ini mengenai panjang fase laten selama
induksi, sehingga tidak diketahui mengenai fase laten selama persalinan normal.
Meskipun penelitian ini dilakukan di banyak institusi, sebagian besar merupakan
pusat pendidikan dengan program pelatihan, dan generalisir ke rumah sakit
masyarakat belum begitu jelas. Belum terdapat bukti mengapa hubungan yang ada
dengan durasi fase persalinan dan keluaran obstetrik harus dibedakan berdasarkan
setting masyarakat atau pendidikan. Dan, satu yang harus dipertimbangkan bahwa
banyak institusi yang ikut serta dan kurangnya protokol tunggal untuk induksi
atau manajemen persalinan sebagai kekuatan penelitian, karena karakteristik
tersebut meningkatkan penerapan temuan untuk institusi yang lain, yang sama-
sama tidak memiliki standar tunggal untuk semua aspek manajemen persalinan.
Penelitian lain dari standar persalinan, seperti pada Persetujuan Keamanan
Persalinan, juga memiliki keuntungan dari analisis manajemen persalinan,
terutama dalam setting klinis yang sebenarnya. Namun, kami tidak tau dengan
jelas apakah temuan ini dapat digeneralisir ke semua setting pelayanan kesehatan.
Penelitian ini tidak hanya mengenai pendekatan saja, namun menilai juga
mengenai hingga sejauah apa fase laten dilanjutkan, yaitu jika tidak ada indikasi
akut untuk melahirkan selama proses induki persalinan. Pendekatan lain,
contohnya, memasukkan terkait penentuan titik perubahan pada kurva persalinan,
mengkategorikan ketidaknormalan berdasarkan tingkat persentil populasi. Dalam
pendekatan yang saat ini sudah diaplikasikan, memiliki beberapa keuntungan,
yaitu terstandarnya durasi sebagai fungsi dari beberapa aspek manajemen terkait
“waktu”, dan secara langsung menilai hubungan antara durasi dengan keluaran
obstetrik. Tentu saja, beberapa peneliti menekankan pentingnya menentukan
definisi persalinan dan penggunaan berbagai manajemen pendekatan terkait
keluaran maternal dan neonatal. Tanpa memandang pendekatan yang spesifik,
standar minimal durasi dari fase laten sebaiknya diterapkan dalam induksi
persalinan. Penyedia layanan obstetrik sering dipaparkan terhadap pertanyaan ini,
untuk wanita yang belum masuk fase aktif, apakah lebih banyak keuntungan atau
risiko untuk melanjutkan induksi. Dalam data yang kami tunjukkan, meskipun
sesar karena distosia atau kegagalan induksi tidak terlalu sering, hal tersebut buka
satu-satunya indikasi yang terjadi sepanjang fase laten.
Konversi data ini ke rekomendasi klinis diskret menjadi tantangan tersendiri
karena tidak adanya interval waktu tunggal dimana komplikasi tiba-tiba
meningkat, dimana peningkatan marginal dari frekuensi komplikasi mengerdilkan
peningkatan marginal selama interval anteseden, atau dimana tidak ada lagi
keseimbangan antara keuntungan (contoh : menghindari sesar) dengan risiko.
Namun, sebagian besar wanita akan mencapai fase aktif dalam 15 jam, wanita
yang dalam rentang waktu tersebut yang sebagian besar akan menjalani persalinan
per vaginam, dan hanya akan terjadi sedikit hal yang tidak diinginkan, kami
percaya hasil ini konsisten dengna rekomendasi yang ada. Secara spesifik, pada
wanita yang menjalani induksi persalinan, ketika kondisi maternal, fetal maternal,
dan fetal mengijinkan, persalinan sesar tidak perlu dilakukan pada fase laten
setidaknya dalam 15 jam setelah pecahnya ketuban dan oksitosin telah diberikan.
Penentuan untuk melanjutkan persalinan dalam titik ini sebaiknya difokuskan
terhadap masing-masing individu dan memperhitungkan juga faktor-faktor lain
seperti bukti dari perjalanan persalinan.
Keuntungan dari sebuah pendekatan diilustrasikan oleh 1 penelitian yang
menunjukkan bahwa pengenalan dari protokal yang spesifik terhadap jumlah
minimal waktu sebelum didiagnosis kegagalan induksi (pada kaus tersebut, 12
jam setelah kematangan, oksitosin, dan pecahnya ketuban) berhubungan dengan
frekuensi yang lebih rendah secara signifikan dari sesar dan frekuensi yang tidak
begitu besar pada kejadian yang tidak diinginkan. Dan, berdasarkan data kami,
ratifikasi kesehatan masyarang tentang definisi standar untuk “kegagalan induksi”
dapat diperkirakan. Jika induksi ditetapkan sebagai “kegagalan” jika wanita terus
berada di fase laten pada 15 jam dibandingkan 6 jam setelah inisiasi oksitosin dan
pecahnya ketuban, sekitar 70.000 operasi sesar dapat dihindari pada 400.000
wanita nulipara yang menjalani induksi di Amerika Serikat setiap tahunnya.