Anda di halaman 1dari 11

PROSEDUR MEMPEROLEH IZIN USAHA SEMENTARA

1. Badan Usaha melakukan registrasi permohonan izin usaha sementara. Surat


permohonan Izin Usaha kepada Menteri ESDM cq. Kepala BKPM, disertai dengan
seluruh dokumen dalam bentuk softcopy dan hardcopy. Permohonan akan diproses
lebih lanjut apabila telah melengkapi dan memenuhi persyaratan administrasi
dan teknis yang telah ditetapkan. Seluruh dokumen permohonan akan dikembalikan jika
persyaratan administrasi dan teknis tidak lengkap. Badan Usaha dapat mengajukan
permohonan kembali dengan melengkapi seluruh permohonan yang ditentukan.

2. Dalam rangka klarifikasi terhadap data administrasi dan teknis, Ditjen Migas akan
melakukan evaluasi teknis dan mengundang Badan Usaha untuk melakukan presentasi.

3. Badan Usaha memenuhi kelengkapan dokumen maksimal 15 hari kerja.

4. Peninjauan lokasi dilakukan untuk pemeriksaan kesesuaian data administrasi dan informasi
mengenai rencana Badan Usaha.

5. Direktorat Jenderal Migas menyelesaikan penelitian dan evaluasi terhadap data


administrasi dan teknis untuk persetujuan/penolakan Izin Usaha Sementara. Apabila
dokumen kelengkapan tidak dapat dipenuhi dalam 15 hari kerja, maka Badan Usaha
melakukan proses perizinan dari awal.

6. Direktur Jenderal Migas menyusun draft Izin Usaha Sementara dan mengirimkan kepada
BKPM.

7. BKPM menyusun Izin Usaha Sementara.

8. BKPM menyerahkan Izin Usaha Sementarakepada Badan Usaha.


PERSYARATAN IZIN USAHA SEMENTARA NIAGA UMUM
BBM/MINYAK BUMI/HASIL OLAHAN

a. Persyaratan Administratif

1. Surat permohonan Izin Usaha kepada Menteri ESDM cq. Kepala BKPM;

2. Lampiran surat permohonan;

3. Akte pendirian perusahaan dan perubahannya (mencantumkan bidang usaha


perdagangan Minyak Bumi/BBM/Hasil Olahan);

4. Pengesahan akte pendirian perusahaan dan perubahannya dari instansi yang


berwenang;

5. Profil perusahaan (company profile);

6. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

7. Surat Tanda Daftar Perusahaan (TDP) / SIUP;

8. Surat Keterangan Domisili Perusahaan;

9. Surat pernyataan tertulis di atas materei kesanggupan memenuhi aspek K3;

10. Surat pernyatan tertulis diatas materai kesanggupan pengembangan masyarakat


setempat;

11. Surat pernyataan tertulis diatas materai kesanggupan memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

12. Surat pernyataan tertulis di atas materai kesanggupan memenuhi kewajiban Badan
Usaha;

13. Surat pernyataan tertulis di atas materai kesediaan dilakukan inspeksi lapangan;

14. Surat pernyataan tertulis di atas materai mengenai kesanggupan menerima


penunjukan dan penugasan dari Menteri untuk menyediakan Cadangan BBM
Nasional dan pemenuhan kebutuhan BBM di dalam negeri;
15. Surat pernyataan kesanggupan pencampuran Bahan Bakar Nabati ke dalam BBM
yang diniagakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

16. Persetujuan Prinsip dari Pemerintah Daerah mengenai lokasi untuk


pembangunan fasilitas dan sarana; dan

17. Surat pernyataan dokumen persyaratan administrasi dan teknis serta


pernyataan/keterangan diberikan dengan sebenarnya.

b. Persyaratan Teknis:

1. Studi kelayakan;

2. Surat Kepemilikan Fasilitas atau Perjanjian (MoU) sewa menyewa sarana dan fasilitas
Niaga Umum BBM yang dinotarialkan/dinotariskan(bila menyewa);

3. Surat keterangan rencana fasilitas niaga yang digunakan pada kegiatan usaha niaga umum
BBM;

4. Rencana pembangunan fasilitas dan sarana niaga dan teknologi yang digunakan
dengan jangka waktu pembangunan paling lama 3 tahun;

5. Jaminan dukungan pendanaan asli;

6. Kesepakatan (Kontrak) Jaminan Pasokan Minyak Bumi/BBM/Hasil Olahan yang


diniagakan;

7. Rencana standar dan mutu BBM yang akan diniagakan (berdasarkan hasil uji laboratorium
independen tersertifikasi) :
a. Apabila sumber pasokan berasal dari impor, melampirkan hasil uji spesifikasi
BBM

b. Apabila sumber pasokan berasal dari dalam negeri, melampirkan hasil uji
spesifikasi BBM yang telah tercampur BBN sesuai peraturan Rencana merek dagang
BBM yang akan diniagakan;

8. Rencana merek dagang Minyak Bumi/BBM/Hasil Olahan yang akan diniagakan

9. Rencana wilayah niaga, konsumen (besar) dan pengecer;


10. Rencana sarana pengelolaan limbah;

11. Rencana Studi Lingkungan; dan

12. Surat Keterangan Rencana Investasi


CONTOH KASUS AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI
KECIL DI SEMARANG

Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang dari Pencemaran Limbah


Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan,
pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH).
Secara umum Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability)
dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor
pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20
UUPLH disebutkan:

1. Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke
media lingkungan hidup.
2. Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke
media lingkungan hidup Indonesia.
3. Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berada pada Menteri.
4. Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
5. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-
undangan.

Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.


Dalam Pasal 22 UUPLH disebutkan:
1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang lingkungan hidup.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
3. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala
Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur dalam PP
No 27 tahun 1999. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang dinilai
berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. AMDAL sebagai salah satu instrumen
proses penegakkan hukum administrasi lingkungan belum terlaksana sebagaimana mestinya.
Padahal pada instrumen ini dilekatkan suatu misi mengenai kebijakan pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum
dalam pasal 16-17:
Pasal 16
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan
limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
2. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
3. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 :
1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan
bahan berbahaya dan beracun.
2. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
3. Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang


Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Di samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:
1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.
2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan
informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH
merupakan argumentasi hukum yang substantive bagi sesorang untuk melakukan gugatan
lingkungan terhadap pemenuhan kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.

Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini memang belum
ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah salam hal
pengawasan serta belum adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini.
Walupun mereka merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.

Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan
kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan
kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :

1. Penegakkan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata


Usaha Negara.
2. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana

Sanksi Administrasi
Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu
instrumen hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan
adalah hukum administrasi. Instrumen hukum administratif berbeda dengan instrumen
lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian,
efektivitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan. Sanksi administratif
tercantum dalam pasal 25.
Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan
apabila tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan
pengalengan ikan yang terbukti membuang limbah ke pesisir Kepala Daerah dapat
mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang
berwenang. Selain itu pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada
pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan
kepentingannya (lihat pasal 27 ayat 1,2,3 UUPLH). Upaya adminisrtatif adalah upaya
tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan. Dalam kasus pengerusakan lingkungan
upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya
yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.

Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH
terdapat dalam pasal 30-39. Pada pasal Pasal 34 ayat (1) Setiap perbuatan melanggar hukum
berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada
orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pada ayat (2) Selain
pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Selanjutnya
pasal 34 tidak menetapkan lebih lanjut mengenai tata cara menggugat ganti kerugian.
Pengaturan mengenai tanggunggugat dan ganti rugi masih berlaku pasal 1365 BW.
Syarat-syarat dalam pasal 1365 antara lain:

Kesalahan
Syarat kesalahan artinya pembuat harus mempertanggungjawabkan karena telah
melakuakan perbuatan melanggar hukum. Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab
mutlak (strict liability). Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum maka terjadi
kesalahan dan pembuat harus mempertanggungjawabkan. Jadi misalnya kelompok
masyarakat sekitar Pengambengan yang diwakili oleh LSM melakukan gugatan tentang
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran limbah, penggugat harus membuktikan
adanya kesalahan dari pelanggar.
Kerugian (Schade)

Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam syarat ini harus
dibuktikan adanya kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2
Juni 1971 Nomor 177 K/Sip/1971 disebutkan: “Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan
dengan sempurna dan tidak disertai pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti
rugi yang harus diterima oleh pengadilan tidak dapat dikabulkan oleh pengadilan”

Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 34 UUPLH: ”Setiap perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan
tertentu.”

Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Pengertian
tanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat
sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan
tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.

 Asas strict liability ini dituangkan dalam pasal 35:


Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya
dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung
jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi
secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.

 Hubungan Kausal
Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadinya kerugian dengan
kata lain, pembuangan limbah tersebut harus terbukti mengakibatkan adanya kerugian
pengusaha berupa kematian tambak udang.

 Relativitas
Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan unang-undang atau suatu syarat dalam
iizin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu
kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan
perizinan. Mengenai siapa yang berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan Organisasi
Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk melakukan gugatan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 37 UUPLH:
Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum, hal
terebut tercantum dalam Pasal 41:
Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya
terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya
bersifat (ultimum remidium) karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada
tingkat memprihatinkan.
Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 41 sampai
Pasal 47 UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :

1. adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke
dalam Lingkungan Hidup atau perbuatan yang menimulkan perubahan langsung atau
tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau hayati Lingkungan Hidup
2. adanya penurunan kemampuan lingkungan sampai tingkat tertentu dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan atau Lingkungan Hidup kurang/ tidak dapat berfungsi lagi
sesuai dengan peruntukannya
3. adanya unsur kesalahan dari perilaku baik karena kesengaajaan atau kelalaian;
4. adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku dengan penurunan kualitas
Lingkungan Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya;
5. kesalahan pelaku bersangkutan dimaksudkan sebagai tidak pidana
Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran dilakukan bukan oleh
individu saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan, mengenai pencemaran yang
dilakukan secara kolektif merujuk pada Pasal 46 UUPLH.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula
dikenakan tindakan tata tertib sesuai pasal 47 UUPLH.
TUGAS HUKUM PERIZINAN

Nama-nama Kelompok

1. Priezka Pratiwi Hasan 14071101032


2. Ria Anggraini Rais 14071101140
3. Amalia Izati Hikmat 14071101207
4. Jesis Priscilia Kurniawan 14071101227
5. Ejinia E. Kambey 14071101683

Anda mungkin juga menyukai