Anda di halaman 1dari 15

TAX PLANNING PPH BADAN

TUGAS RMK KELOMPOK

Nama Anggota:

1. Theresia Laraswati Seran 1533121009


2. Idalia Margarida A. Ximenes 1533121463
3. Emanuel Jabur 1533121274

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WARMADEWA

2018
A. PENDAHULUAN

Pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan
dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Secara umum ketentuan perpajakan
maupun peraturan peraturannya yang tergantung dan ditertibkan dalam undang-undang atau
peraturan-peraturan perpajakan lainnya yang sangat berpengaruh pada dunia usaha, hal
tersebut akan meningkatkan kompetisi dan prestasi suatu badan usaha, dimana kegiatan
usaha dilakukan untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu untuk mendapatkan laba yang
sebesar-besarnya dan meminimalisasikan beban pajak yang ditanggung oleh perusahaan.
Untuk meminimalisasikan beban pajak yang ditanggung wajib pajak ditempuh dapat
ditempuh dengan cara rekayasa yang masih berada dalam ruang lingkup perpajakan hingga
diluar ketentuan perpajakan. Upaya untuk meminimalisasi pajak sering disebut dengan
tekhnik tax planning.
Tujuan pokok dari tax planning adalah untuk mengurangi jumlah atau total pajak
yang harus dibayar oleh wajib pajak. Tax planning adalah tindakan legal karena
penghematan pajak hanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-hal yang tidak diatur oleh
undang-undang. Tujuannya bukan untuk mengelak membayar pajak, tetapi mengatur
sehingga pajak yang dibayar tidak lebih dari jumlah yang seharusnya.
Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan
perpajakan dan dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan. Terdapat perbedaan
antara perhitungan pajak versi PSAK dengan versi fiskal, tetapi perbedaan tersebut tidak
perlu dipertentangan karena masing-masing memiliki tujuan penggunaan yang berbeda,
meski pengukuran profitnya diperoleh dari sumber data yang sama, yakni laporan keuangan
komersial

B. LABA FISKAL vs LABA KOMERSIAL


Laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan laba-rugi disusun
berdasarkan prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam praktik. Laporan keuangan
komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiscal dengan melakukan koreksi
seperlunya atau penyesuaian melalui suatu rekonsiliasi antara standar akuntansi dan
ketentuan perpajakan.
Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan fiskal dengan laporan
keuangan komersial adalah bahwa penyusunan laporan keuangan fiskal didasarkan pada
penerapan mekanisme atau prinsip taxable dan deductible.
Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi) merupakan
prinsip yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya
mengubah penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi penghasilan yang tidak
merupakan objek pajak, serta mengubah biaya yang tidak boleh dikurangkan menjadi
biaya yang boleh dikurangkan, atau sebaliknya, didasarkan pada ketentuan perpajakan,
dengan konsekuensi terjadinya perubahan pajak terutang akibat pengubahan tersebut.
Prinsip taxability deductibility yang dianut dalam melakukan penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya adalah penjabaran dri
ketentuan perpajakan yang diterapkan pada Pasal 4 ayat 1 dan 2 (penghasilan) dan Pasal
6 ayat 1 (biaya deductible), serta Pasal 9 ayat 1 (biaya non deductible) Undang-Undang
No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No. 36 Tahun
2008 mengenai Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya, yakni:

a. Penghasilan yang menjadi objek (Taxable Income)


Penghasilan yang menjadi objek diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU Pajak
Penghasilan No. 36 Tahun 2008. Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik
yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c. Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun.
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak.
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi asuransi
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
b. Penghasilan yang Pajaknya dikenakan PPh bersifat final
Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final diatur dalam Pasal 4
ayat 2 UU PPh No. 36 tahun 2008. Penghasilan dibawah ini dapat dikenakan pajak
bersifat final:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lain, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi.
b. Berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasanganya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dan transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan,
usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan pesewaan tanah dan atau
bangunan; dan penghasilan tertentu lainya, yang diatur dengan atau
berdasarkan peraturan pemerintah.
c. Penghasilan yang bukan objek pajak (Non taxable income)
Penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam pasal 4 ayat 3 UU PPh No. 36
Tahun 2008, sebagai berikut:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak, atau sumbangan wajib
keagamaan.
b. Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan pendidikan, badan
sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil.
c. Warisan
d. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib
pajak atau pemerintah, kecuali yang diberihkan oleh atau wajib pajak, wajib
pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunak
norma perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15.
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroaan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividenn berasal dari cadangan laba ditahan.
2. Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen ,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% dari jumlah modal yang disetor.
h. Iuran yang diterima atau dioperoleh dana pensiun yang pendirianya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
i. Penghasilan daroi modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif.
k. Dihapus.
l. Pengahasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan usaha mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
m. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuanya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membeidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
o. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuanya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
d. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 6 UU
PPh No. 36 Tahun 2008.
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
 Biaya pembelian bahan.
 Berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang.
 Bunga, sewa, dan royalti.
 Biaya perjalanan.
 Biaya pengolahan limbah.
 Premi asuransi.
 Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
 Biaya administrasi.
 Pajak, keculain PPh.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang
mempunyai manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendirianya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f. Penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
g. Biaya beasiswa, magan dan pelatihan.
h. Piutang yang nyatanya tidak dapat ditagih dengan syarat:
 Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
 Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang tang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
 Telah diserahkan perkara penagihanya kepada pengadilan negeri.
 Syarat, sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k, yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penangulangan bencana nasional yang ketentuan
ya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuanya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuanya diatur dengan peraturan
pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuanya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
e. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductiblr Expensess)
Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal
9 UU PPh No. 36 tahun 2008 sebagai berikut:
a. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apa pun seperti dividen.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan.
d. Premi asuransi perusahaan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang
pribadi, keculai dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihutang
sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
e. Pergantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
wajib pajak atau menjadi prang tanggunganya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi brupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
l. Pengeluaran yang mempunya masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak
boleh dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan objek pajak.
n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara pengahasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
o. Pajak yang ditanggung oleh pemeberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26
ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak
Penghasilan tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk
pemotongan pajak.
p. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki atau tidak
diperhunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
C. TAX PLANNING DALAM RANGKA MENGEFISIENSIKAN PPH BADAN
Strategi efesiensi PPh Badan akan lebih optimal apabila wajib pajak memahami
timbulnya perhitungan penghasilan kena pajak. Penghasilan kena pajak merupakan laba
yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, yaitu UU
No. 17 tahun 2000 dan peraturan pelaksanannnya. Karena terjadi perbedaan dalam
perhitungan laba akuntansi dan laba kena pajak, perusahaan dapat memilih perlakuan
pajak yang tepat sehingga dapat menghasilkan efisiensi pajak yang besar. Beberapa
upaya yang bisa dilakukan wajib pajak dalam mengefisiensikan pembayaran PPh
Badan:
1. Memilih sistem pembukuan yang tepat.
2. Memilih metode penyusutan aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak
berwujud
3. Memilih metode penilaian persediaan yang tepat
4. Pemilihan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura
atau cash
5. Memilih metode pemotongan PPh Pasal 21 yang tepat.

1. Memilih sistem pembukuan yang tepat


a. Metode Penghitungan Penghasilan dan Biaya (stelsel akrual vs stelsel kas)
Menurut stelsel akrual, penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada
waktu terutang, jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya
itu dibayar secara tunai.
 Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan adalah
pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentasi tingkat penyelesaian pekerjaan
yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode laian yang dipakai dalam
bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estate.
 Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipunpembayaran atas penyerahan
tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang
Kena Pajak.
Menurut stesel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan pabila benar-benar
telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu, serta biaya baru dianggap
sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode
tertentu.
Penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel
campuran. Oleh karena itu, untuk penghitungan pajak Penghasilan dengan memakai
stelsel kas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjulan
baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-
biaya yang harus dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui
penyusutan dan amortisasi
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Apabila dibandingkan antara stelsel akrual dan stelsel kas, menurut versi perpajakan,
dalam hal biaya administrasi biaya dan umum pada basis akrual dibebankan pada saat
timbulnya kewajiban, sedangkan basis kas biaya tersebut baru dilaporkan pada saat
terjadinya pembayaran. Dari segi strategi perpajakan, lebih menguntungkan memilih
basis akrual daripada basis kas.

b. Analisis Perbandingan Pembukuan dengan Pencatatan


wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Pengecualian
diberikan pada Wajib Pajak Orang Pribadi :
1) Yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ; dan
2) Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Semua wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan, kecuali bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran bruto tetrtentu diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan.
Pencatatan itu terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto yang digunakan sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek
pajak dan atau yang dikenai pajak yang bersifat final, dengan kriteria sebagai berikut
:
a. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas,
pencatatan meliputi : peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan
lainnya.
b. Bagi wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima penghasilan dari luar
usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai :
Penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek
Pajak Penghasilan.
c. Pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenai
pajak yang bersifat final.
Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun wajib pajak orang pribadi yang boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak enghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 36 tahun 2008, menjadi kurang dari Rp. 4.800.000.000.000
Untuk melihat mana yang paling menguntungkan bagi wajib pajak, apakah
menggunakan pembukuan atau pencatatan.
Keuntungan menyelenggarakan pembukuan dapat dilihat dari perbandingannya
dengan pencatatan berikut ini :

Uraian Pencatatan Pembukuan


Harga Pokok dan biaya Tidak Boleh Bisa diperhitungkan
usaha Diperhitungkan (Pengeluaran yang deductible)
Kompensasi kerugian Tidak Boleh Bisa dokompensasikan ke tahun
Diperhitungkan berikutnya
Penetapan Penghasilan Kena Sesuai Norma Sesuai kondisi riil : penghasilan
Pajak Penghitungan pengeluaran deductible
Penghasilan Neto
Bila perusahaan mengalami PPh tetap harus PPh nihil
kerugian dibayar sesuai norma
2. Pemilihan Metode Penyusutan aktiva tetap dan amortisasi atas aktiva tidak berwujud
Metode penyusutan aktiva tetap diatur dalam PSAK NO.16 berbeda dengan
akuntansi komersial yang memperbolehkan perusahaan menggunakan metode garis
lurus (straight line methode), metode saldo menurun (diminishing balance method),
metode jumlah unti (sum of the unit method), metode penyusutan aset dipilih
berdasrakan ekspektasi pola konsumsi manfaat ekonomis masa depan dari aset, maka
untuk tujuan perpajakan perusahaan hanya boleh memilih metode garis lurus atau
metode saldo menurun.
3. Memilih Metode Penilaian Persediaan

Sesuai pasal 10 ayat (6) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir
kali dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai pajak penghasilan, di mana
metode penilaian persediaan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan sebagai berikut :

 Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan.


 Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya boleh
dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang
didapat pertama (FIFO).
 Penggunaan metode penilaian persediaan harus dilakukan secara taat asas.

4. pemilihan pemberian kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura atau cash.

Pemberian natura atau kenikmatan untuk kesejahteraan karyawan tidak cocok dalam kondisi
sebagai berikut :

1. Pada perusahaan yang sedang menderita kerugian.


2. Pada perusahaan yang dikenakan PPh badan secara final.
D. FORMULA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Dalam rangka mendesain suatu perencanaan pajak, ada beberapa alternatif


pendekatan sistematis yang dapat dilakukan, tetapi semua itu bertitik tolak kepada
formula umum perhitungan pajaknya.

Jumlah seluruh penghasilan (worldwide Pasal 4 ayat 1


income) Pasal 2 ayat 3
-/-: Penghasilan yang bukan objek PPh
(non taxable)
Penghasilan bruto (1-2)
-/-: Biaya fiskal yang boleh dikurangkan Pasal 6 ayat 1, Ps. 11&11A
(deductible) Pasal 9 ayat 1 & 2
(Koreksi biaya fiskal yang tidak boleh
dikurangkan dari total biaya)
Penghasilan neto (3-4)
-/-: Kompensasi kerugian Pasal 6 ayat 2
Penghasilan Tidak Kena Pajak (WPOP) Pasal 7 ayat 1
Penghasilan Kena Pajak/PhKP (taxable
income) (5-6-7) Pasal 17 dan 31E
Tarif PPh Pasal 17 dan 31E
Pajak Penghasilan terutang (tarif x
PhKP) Pasal 21 (WPOP) Ps. 22, 23,
-/-: kredit pajak 24, 25
PPh kurang bayar/lebih bayar (10-11) Pasal 28, 28A, 29

Dulu, sebelum terbitnya UU PPh No. 36 Tahun 2008, sasaran utama untuk
mengefisiensikan beban pajak terutang dilakukan dengan membidik lapis tarif pajak
yang lebih rendah dari tarif pajak PPh badan, sehingga untuk memperoleh lapisan
bawah yang minimal tersebut, pengaturan harus dilakukan dengan melibatkan semua
komponen di atasnya secara maksimal.

Perencanaan pajak bersifat dinamis, membutuhkan keahlian dalam bidang


perencanaan pajak dengan cara mendalami dan mempelajari masalahnya secara
berkesinambungan, serta melakukan penelitian yang kontinyu yang dipadu dengan
terapan ide-ide dan teknik-teknik perencanaan pajak. Begitu juga interaksi dengan
undang-undang pajak yang juga menyangkut pendekatan internal dan alternatif-
alternatif kebijakan yang dapat mengarahkan ke tujuan meminimalkan beban pajak,
karena perencanaan itu pada hakikatnya merupakan hasil penelitian yang didesain untuk
suatu kejadian atau transaksi finansial sehingga dalam penstrukturan fakta-fakta hasil
penelitian tersebut harus dilakukan secara berhati-hati sebelum peristiwanya terjadi.

Secara bertahap dianjurkan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

 Mempelajari pokok permasalahannya secara komprehensif


 Review keinginan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan pengeluaran pajak
minimal atau berupa keuntungan bebas pajak melalui tindakan atau persyaratan
yang ditentukan.
 Mencari data sebanyak mungkin berkenaan dengan permasalahan tersebut
 Teliti dan tentukan fakta-fakta yang relevan, kemudian buat asumsi-asumsi yang
harus disusun dan ditentukan peraturan perpajakan yang sesuai dengan situasi
semacam itu.

Anda mungkin juga menyukai