Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PRAKTIK PROFESIONAL APOTEKER DALAM PELAYANAN


RESEP DOKTER

Disusun Oleh :

IIS RISNAWATI : (1704026056)


KELAS : SORE A (Apoteker)

APOTEKER UHAMKA ANGKATAN 28

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Regulasi merupakan sebuah istilah yang biasa dipakai dalam segala bidang, pengertian cukup
luas. Membuat istilah ini mampu mewakili segala segiilmu. Pengertian regulasi menurut para
ahli pun cukup beragam menyesuaikan bidang dan segi ilmu yang dikaji tersebut. Regulasi
sering kali dikaitkan dengan suatu peraturan dalam kehidupan. Peraturan tersebut bisa berupa
peraturan yang mengikat suatu kelompok, lembaga, atau organisasi untuk mencapai suatu tujuan
tertentu dalam kehidupan bersama, bermasyarakat dan bersosialisasi.

Dalam kamus besar bahsa Indonesia, regulasi diartikan sebagai sebuah peraturan secara lebih
lengkap, regulasi merupakan cara untuk mengendalikan manusia atau masyarakat dengan suatu
aturan atau pembatasan tertentu. Penerapan regulasi bisa dilakukan dengan berbagai macam
bentuk, yakni batasan hukum yang diberikan oleh pemerintah, regulasi oleh suatu perusahaan
dan sebagainya.

Profesi farmasi adalah profesi yang menyangkut manusia sehingga diatur melalui peraturan
peraturan perundang-undangan yang sangat rinci. Banyak sekali peraturan yang menyangkut
profesi dan kegiatan profesi.

Peraturan perundang-undangan yang sangat penting dan peraturan pemerintah RI No. 51


Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.

1. Undang-undang (UU)
2. Peraturan Pemerintah (PP)
3. Peraturan Presiden (Perpres)
Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia. Menurut Kepmenkes No.
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apoteker adalah
sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia
sebagai Apoteker. Setiap profesi harus disertifikasi secara resmi oleh lembaga keprofesian untuk
tujuan diakuinya keahlian pekerjaan keprofesiannya dan proses ini sering dikenal
dengan kompetensi Apoteker.
Kompetensi Apoteker menurut International Pharmaceutical Federation (IPF) adalah
kemauan individu farmasis untuk melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat legal
minimum yang berlaku serta mematuhi standar profesi dan etik kefarmasian.

B. Tujuan
 Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan,
 Meningkatkan disiplin atas peraturan Perundang-undangan yang telah di tetapkan.
 Agar dapat menjalankan pekerjaan kefarmasian tanpa ada kesalahan.
 Untuk mengetahui peran Apoteker dalam penjaminan mutu layanan farmasi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Permasalahan
1. Apoteker berada di apotek, pelayanan resep obat keras dilayani oleh tenaga teknis
kefarmasian

Judul/pasal/ayat per uu/butir pedoman disiplin/butir kode etik serta identifikasi mengapa
disebut pelanggaran :

PP Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 51 ayat 1 berbunyi,


“Pelayanan Kefarmasian di apotek, puskesmas, atau instalasi farmasi Rumah Sakit hanya dapat
dilakukan oleh Apoteker”, dan Pasal 24 ayat c yang berbunyi, “Dalam melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras,
narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”

Identifikasi : Pada kasus ini, Apoteker tidak melakukan pelayanan kefarmasian terhadap resep
obat keras oleh dirinya sendiri, melainkan mendelegasikannya kepada Tenaga Teknis
Kefarmasian walaupun Apoteker tersebut berada di Apotek.

Pedoman Disiplin Bab IV tentang Bentuk Pelanggaran Disiplin Apoteker Butir ke 12


berbunyi, “Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, apoteker melakukan apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan dengan tanggung jawab
profesi.”

Identifikasi : Pada kasus ini, Apoteker yang berada di apotek mendelegasikan penyerahan obat
keras kepada Tenaga Teknis Kefarmasian, sehingga penatalaksanaan kefarmasian praktik
kefarmasian dilakukan dengan yang tidak seharusnya dan tidak bertanggung jawab kepada
profesi.
Pedoman Kode Etik Apoteker Indonesia Butir 7 yang berbunyi: “Seorang Apoteker harus
menjadi sumber informasi seduai dengan profesinya”.

Identifikasi: pada kasus ini, apoteker mendelegasikan penyerahan obat keras kepada Tenaga
teknis Kefarmasian, padahal PIO itu harus dilakukan oleh Apoteker serta informasi yang
diberikan bisa dijaminkualitasnya dan dapat dipertanggung jawabkan.

Peranan Apoteker Sebagai Profesional Apoteker memiliki kemampuan dalam


melaksanakan kegiatan pelayanan kefarmasian yang bermutu dan efisien yang
berasaskan pharmaceutical care di apotek. Adapun standar pelayanan kefarmasian di apotek telah
diatur melalui S u ra t K ep ut us an M ent e ri K es eh at a n R ep ubl i k In do n es i a
Nom or 1027/Menkes/SK/I X/2004.
Tujuan dari standar pelayanan ini adalah:
 Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.
 Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.
 Pedoman dalam pengawasan praktek Apoteker.
 Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, terutama pada BAB III, bahwa pelayanan kefarmasian
meliputi:
1. Pelayanan Resep
a. Skrining Resep
Apoteker melakukan skrining resep meliputi:
1) Persyaratan Administratif :
- Nama, SIP dan alamat dokter
- Tanggal penulisan resep
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
- Nama obat, potensi, dosis, dan jumlah yang minta
- Cara pemakaian yang jelas
- Informasi lainnya
2) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara
dan lama pemberian.
3) Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah
obat dan lain lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada
dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya
bila perlumenggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
b. Penyiapan obat
1) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan
etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
2) Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
3) Kemasan Obat yang Diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.
4) Penyerahan Obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara
obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat
dan konseling kepada pasien.
5) Informasi Obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: dosis,
efek farmakologi, cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu
pengobatan,aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
6) Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan
perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi
atauperbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular,
diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya apoteker harus memberikan konseling secara
berkelanjutan.
7) Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan
obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit
kronis lainnya.

2. Promosi dan Edukasi


Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus memberikan edukasi apabila masyarakat
ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang
sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut
membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster,
penyuluhan, dan lain-lain.

3. Pelayanan Residensial (Home Care)


Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang
bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut usia dan pasien dengan pengobatan
penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini Apoteker harus membuat catatan berupa catatan
pengobatan (medication record).
Sanksi pelanggaran :

Pasal 12 Undang-Undang Obat Keras : hukuman penjara setinggi-tingginya 6 bulan atau


denda uang setinggi-tingginya 5000 gulden.

B. Solusi

 Agar setiap apoteker berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan


kefarmasian secara profesional.
 Perlunya dibangun jiwa, pengetahuan dan kesadaran terhadap tanggung jawab profesi.
 Apabila apoteker yang berada di apotek sedang sibuk dengan pekerjaan/ Tugas yang lain,
maka pelayanan pekerjaan kefarmasiaan harus diserahkan kepada apoteker
pendamping/apoteker pengganti.
BAB III
KESIMPULAN

 Regulasi farmasi dan perundang-undangan sangatlah penting dalam praktek profesi kefarmasian
untuk meningkatkan pelayanan kesehatan serta untuk mengetahui pembaharuan atau peraturan
yang di tetapkan oleh perUndang-undangan yang telah di tetapkan.
 Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Apoteker berusaha dengan sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan kefarmasian secara
profesional.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

JDIH, Peraturan Pemerintah no 5 No. 51 Tahun 2009 tentang “Pekerjaan Kefarmasian”.

JDIH, Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang “Standar Pelayanan Kefarmasian di


Apotek”

IAI, Kode etik dan disiplin Apoteker Indonesia

Anda mungkin juga menyukai