DESIE RACHMANIA
Skripsi
Oleh:
DESIE RACHMANIA
C34070088
NIM : C34070088
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui:
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Desie Rachmania
NRP C34070088
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai
tugas akhir yang berjudul Karakteristik Nano Kitosan Cangkang Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelasi Ionik dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan ini, terutama kepada:
1) Ibu Dr. Pipih Suptijah, MBA dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol,
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahannya kepada penulis.
2) Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS., M.Phil selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan sekaligus dosen penguji yang telah memberikan
nasihat, kritik dan saran dalam penulisan skripsi.
3) Bapak Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb,-Dipl. Biol selaku Ketua Program Studi
Teknologi Hasil Perairan atas bimbingan kepada penulis.
4) Mama dan (Alm.) Papa yang selalu memberikan doa, semangat, cinta kasih
dan dukungan yang diberikan, baik moril maupun materil serta kasih sayang
kepada penulis.
5) Febri Ika Suseno, S.St.Pi yang selalu meberikan motivasi, semangat doa dan
perhatiannya kepada penulis.
6) Teman-teman seperjuangan ”Tim Nano ”(Nani, Icha dan Zahid). Terima
kasih atas kebersamaannya.
7) Sahabat - sahabat dan teman seperjuangan: Siska, Ria, Medal, Fasta atas
semangat, bantuan dan canda tawa selama ini.
8) Teman – teman ”Kost Tiara” : Mba Tatay, Fasta, Tatha, Aul, Ayu,dan Desti
atas semangat dan doa yang selalu diberikan.
9) Tim Nano Kitosan: Taufik (THP 45) dan Yunko atas kebersamaan,
kekompakan dan perjuangan menuju PIMNAS.
10) Teman-teman THP 44, 43 dan 45 yang telah mendukung dan memberikan
semangat kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini belum sempurna. Oleh
sebab itu penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca dan semoga tulisa ini dapat bermanfaat bagi pihak yang
memerlukannya.
I PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
- Mendapatkan rendemen kitosan tertinggi akibat pengaruh lama waktu
perendaman HCl.
- Menentukan proses gelasi ionik terbaik dengan berbagai perlakuan sizing.
- Menentukan karakteristik nanopartikel yang meliputi morfologi, efisiensi,
dan ukuran nanopartikel dengan SEM.
- Menganalisis karakteristik partikel kitosan yang dilakukan dengan metode
gelasi ionik menggunakan Fourier Transform InfraRed (FTIR) dan
Scanning Electron Microscopy (SEM).
- Menentukan metode pembuatan kitosan yang sederhana, dapat diterapkan
dengan mudah di laboratorium.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Limbah udang merupakan bahan yang mudah busuk karena adanya proses
degradasi oleh bakteri pembusuk dan enzim yang berjalan dengan cepat. Hal ini
5
2.2 Karakteristik
2.2.1 Kitosan
Kitosan adalah jenis polimer alami yang dihasilkan dari proses deasetilasi
kitin. Kitosan mempunyai sifat yang khas yakni bioaktifis, biodegradasi dan tidak
beracun. Kitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai rantai tidak
linier dan mempunyai rumus (C 6 H 11 NO 4 )n. Mempunyai sifat tidak
berbau,berwarna putih dan terdiri dari dua jenis polimer yaitu
poli (2-deoksi,2-asetilamin,2-glukosa) dan poli(2-deoksi,2- amino glukosa) yang
berikatan secara beta (1,4). Kitosan larut dalam pelarut organik, HCl encer, HNO 3
encer, dan H 3 PO 4 0,5%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H 2 SO 4 . Sifat
kelarutan kitosan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi.
Bobot molekul kitosan beragam, bergantung pada degradasi yang terjadi selama
proses deasetilasi (Sugita 2010). Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.
Parameter mutu kitosan biasanya dilihat dari nilai derajat deasetilsi, kadar air,
kadar abu, bobot molekul, dan viskositas. Viskositas kitosan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti derajat deasetilasi, bobot molekul, konsentrasi pelarut, dan
suhu. Gel kitosan terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi antara molekul
kitosan yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan
menangkap sejumlah air di dalamnya. Sifat jaringan serta interaksi molekul yang
mengikat keseluruhan gel menentukan kekuatan, stabilitas, dan tekstur gel. Untuk
6
2.5 Surfaktan
Penelitian nanopartikel kitosan termodifikasi menggunakan emulsifier yang
merupakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Berdasarkan penelitian
Silva et al. (2006) diketahui bahwa penambahan surfaktan dapat memperkecil
ukuran partikel kitosan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah
glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan
nonionik (Tween 80 dan Span 80). Beberapa contoh surfaktan nonionik adalah
Tween 80 (polietilena sorbitan monooleat) dan Span 80 (sorbitan monooleat).
Tween 80 dan Span 80 bersifat nontoksik yang umumnya digunakan sebagai
emulsifier dan penstabil pada bidang pangan dan farmasi. Tarirai (2005) dalam
Wahyono (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan gel kitosan
sebagai pembawa obat ibuprofen dengan menggunakan senyawa pengikat silang
tripolifosfat dan senyawa surfaktan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat
silang, yaitu asam oleat, sodium laurit sulfat (SLS) dan Tween 80.
2.6 Sonikasi
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal yang
memiliki frekuensi 20 KHz ke atas. Pada alat Ultrasonics Processor Cole-Parmer,
spesifikasi yang dapat diperoleh yaitu frekuensi yang tidak bisa diubah-ubah
sebesar 20 KHz dan daya sebesar 130 watt. Pada alat tersebut juga terdapat waktu
sonikasi, amplitude, dan pulsa gelombang yang dapat diatur sesuai kebutuhan.
Gelombang suara ultrasonik dapat didengar dan digunakan sebagai alat
komunikasi oleh pendengaran beberapa jenis binatang, seperti anjing, kelelawar
dan lumba - lumba (Tipler 1998).
Batas atas rentang ultrasonik mencapai 5 MHz untuk gas dan mencapai
500 Mhz untuk cairan dan padatan. Penggunaan ultrasonik berdasarkan
rentangnya yang luas ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama termasuk suara
10
beramplitudo rendah (frekuensi lebih tinggi) dan berkaitan dengan efek fisik
medium pada gelombang dan biasanya disebut “gelombang energi rendah” atau
“ultrasonik frekuensi tinggi”. Biasanya, gelombang amplitudo rendah digunakan
dalam tujuan analisis untuk mengukur kecepatan dan koefisien absorpsi
gelombang dalam medium pada rentang 2 sampai 10 MHz. Yang kedua adalah
gelombang energi tinggi (frekuensi rendah), yang dikenal dengan “ultrasonik
energi tinggi” dan terletak antara 20 – 100 KHz. Jenis kedua ini digunakan untuk
pembersihan, pembentukan plastik, dan yang terbaru adalah untuk sonokimia
(Mason et al. 2002 dalam Komariah 2010).
Efek kimia dari gelombang ultrasonik, tidak secara langsung berinteraksi
dengan molekul – molekul untuk menginduksi suatu perubahan kimiawi. Ini
karena panjang gelombang ultrasonik yang terlalu panjang jika dibandingkan
dengan panjang gelombang molekul – molekul. Interaksi gelombang ultrasonik
dengan molekul – molekul terjadi melalui media perantara berupa cairan.
Gelombang yang dihasilkan oleh tenaga listrik (lewat tranduser) diteruskan oleh
media cair ke medan yang dituju melalui fenomena kavitasi akustik
(Wardiyati et al. 2004 dalam Wulandari 2010), yang menyebabkan terjadinya
temperatur dan tekanan lokal ektrem dalam cairan dimana reaksi terjadi.
dilakukan satu tahap, atau dengan kata lain prosesnya sinambung (continuous),
dan (7) merupakan metode yang fleksibel, dapat digunakan untuk enkapsulasi
polimer – polimer yang berbeda dan suhu berbeda (Yundhana 2008).
3 METODOLOGI
Cangkang udang
Netralisasi
Netralisasi
Kitin
Diagram alir pengujian stabilitas nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik
dapat dilihat pada Gambar 4.
Kitosan dilarutkan
dalam asam asetat
Ditambahkan emulsifier
(Tween 80) 0,2 % secara tetes demi tetes
Didiamkan selama 30
Uji SEM
Nano Kitosan yang stabil
Uji FTIR
Keterangan:
B = berat sampel (gram)
B 1 = berat (sampel+cawan) sebelum dikeringkan
B 2 = berat (sampel+cawan) setelah dikeringkan
hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan
HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan
dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh.
Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
%N =
Log P0
A=
P
Keterangan:
P 0 = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi
dengan panjang gelombang 1.655cm-1 atau 3.450 cm-1.
P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang
A1.655 1
% N-deasetilasi = 1- X
A3.450 1,33
kadar abu yang diteliti oleh Ravichandran et al. (2009) sebesar 21,5% (bk).
Perbedaan nilai kadar abu diduga dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan
lingkungan hidup.
Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference
menunjukkan bahwa cangkang udang vannamei mengandung karbohidrat sebesar
31,75%. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini
merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara
kasar, dimana serat kasar juga terhitung sebagai karbohidrat (Winarno 2008).
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa ukuran partikel pada kitosan dari
kulit udang berupa serpihan – serbuk. Hal ini sesuai dengan Suptijah et al. (1992)
yaitu ukuran partikel pada kitosan berupa serpihan – serbuk. Pada proses
pembuatan kitosan dengan ektraksi bahan baku terlihat hancur. Warna larutan
kitosan tersebut jernih, yang berarti tidak ada zat pengotor yang menempel pada
permukaan kitosan.
Kadar abu merupakan parameter untuk mengetahui mineral yang terkandung
dalam suatu bahan yang mencirikan keberhasilan proses demineralisasi yang
dilakukan. Kadar abu kitosan hasil penelitian ini yaitu 0,11%. Hal ini
menunjukkan bahwa kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar mutu sesuai
ketentuan Protan Biopolimer, yakni sebesar≤ 2 %. Kadar abu ini dipengaruhi
proses pengadukan yang dilakukan selama proses pembuatan kitosan. Pada proses
tersebut dilakukan pengadukan yang cukup kostan sehingga kadar abu dari kedua
kitosan tersebut cukup rendah.
Kadar abu yang rendah menunjukan kandungan mineral yang rendah.
Semakin rendah kadar abu yang dihasilkan maka mutu dan tingkat kemurnian
kitosan akan semakin tinggi. Selain itu proses pencucian yang baik dan
diperolehnya pH netral, juga berpengaruh terhadap kadar abu. Dengan pencucian
ini, mineral yang telah terlepas dari bahan dan berikatan dengan pelarut dapat
25
terbuang dan larut bersama air (Angka dan Suhartono 2000). Pencucian yang
kurang sempurna akan mengakibatkan mineral yang sudah terlepas dapat melekat
kembali pada permukaan molekul kitin.
Kadar air merupakan salah satu parameter yang sangat penting untuk
menentukan mutu kitosan. Protan Biopolimer menetapkan standar mutu kadar air
kitosan adalah ≤ 10 % (Bastaman 1989). Dari Tabel 5 diketahui bahwa kadar air
kitosan sebesar 15 %. Kitosan yang dihasilkan memiliki kadar air yang masih
cukup tinggi dan melebihi batas maksimum standar mutu kadar air kitosan yang
telah ditetapkan. Kadar air yang terkandung pada kitosan dipengaruhi oleh proses
pengeringan, lama pengeringan yang dilakukan, jumlah kitosan yang dikeringkan
dan luas tempat permukaan tempat kitosan yang dikeringkan (Saleh et al. 1994).
Benjakula dan Sophanadora (1993) juga menyatakan bahwa kadar air kitosan
tidak dipengaruhi oleh jumlah bahan, nisbah bahan, dan waktu proses tetapi
dipengaruhi oleh waktu pengeringan yang dilakukan terhadap kitosan.
Kadar air yang tinggi dipengaruhi oleh kurang meratanya peletakan kitosan
pada tempat pengeringan, sehingga ada kitosan yang saling menggumpal dan akan
mempersulit proses pengeringan. Instensitas sinar matahari yang tidak stabil
(berubah-ubah) juga akan menyebabkan proses pengeringan berlangsung kurang
sempurna. Selain itu, kadar air kitosan sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan, khususnya kelembaban relatif dari tempat kitosan tersebut disimpan.
Pada umumnya kitosan disimpan di dalam ruangan. Hal yang harus diperhatikan
agar dihasilkan kitosan dengan kadar air yang memenuhi persyaratan adalah
dengan cara pengeringan, cara pengemasan dan cara penyimpanan yang baik.
Penyimpanan yang baik dengan penutupan yang sempurna merupakan upaya
untuk mempertahankan mutu kitosan, khususnya kadar airnya.
Kadar nitrogen merupakan salah satu parameter yang juga diukur untuk
menentukan mutu kitosan. Kadar nitrogen menentukan sifat kitosan yang
berinteraksi dengan gugus lainnya. Keberadaan senyawa lain dalam kitosan yaitu
bentuk gugus amin (NH 2 ) menyebabkan kitosan memiliki reaktivitas kimia yang
cukup tinggi, sehingga kitosan mampu mengikat air dan larut dalam asam asetat.
Menurut Protan Biopolimer standar mutu kadar nitrogen kitosan yang telah
ditetapkan adalah ≤5 %. Pada Tabel 5 di atas ditunjukkan bahwa kadar nitrogen
26
kitosan yang dihasilkan telah memenuhi standar yang ditetapkan yakni sebesar
4,73%.
Pada penelitian ini dilakukan proses deasetilasi yang sesuai dengan penelitian
Ariesta (2008), yaitu dengan konsentrasi NaOH 50 % dan suhu proses deasetilasi
140 °C. Hasil analisis kadar nitrogen menunjukkan nilai yang relatif sama dengan
hasil penelitian Ariesta (2008) yaitu ≤5 %. Konsentrasi NaOH dan suhu
deasetilasi yang semakin tinggi, menyebabkan kadar nitrogen cenderung semakin
kecil. Hal ini didukung oleh pernyataan Benjakula dan Sophanodora (1993)
bahwa kadar total nitrogen berupa protein yang dapat dihilangkan
(pada pembuatan kitin) sangat dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang
digunakan, waktu ekstraksi dan suhu ekstraksi. Protein yang masih terikat setelah
proses deasetilasi dilakukan dengan suhu yang semakin meningkat dan
konsentrasi NaOH yang tinggi. Proses pengadukan yang konstan juga merupakan
salah satu faktor yang mempermudah panghilangan protein dari kulit udang
melalui reaksi antara larutan NaOH dengan bahan.
Menurut Saleh et al. (1994) kadar nitrogen dipengaruhi oleh konsentrasi
NaOH dan waktu proses deproteinasi. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang
digunakan dan semakin lama waktu deproteinasi yang digunkan maka reaksi
antara protein dengan larutan pembentuk ester (Na-proteinat) akan semakin
sempurna, sehingga protein yang dihilangkan akan semakin banyak.
Penggunaan alat ultrasonik atau mekanik dengan waktu sonikasi 60 menit dan
amplitudo 30% menghasilkan rendemen kitosan nano sebesar 46,88 %. Rendemen
kitosan nano menggunakan alat homogenizer dengan waktu homogenisasi
60 menit kecepatan 3000 rpm yaitu sebesar 40,00 %. Sedangkan rendemen
kitosan nano yang dihasilkan menggunakan alat magnetic stirrer dengan waktu 60
menit dan 6000 rpm yaitu sebesar 81,30 %. Tabel 6 menunjukkan rendemen
kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada perlakuan metode pengecilan ukuran
dengan alat magnetic stirer yaitu sebesar 81,30 %. Sedangkan rendemen terendah
ditunjukkan oleh kitosan nanopartikel dengan perlakuan menggunakan alat
homogenizer yaitu sebesar 40,00 %.
Rendemen yang rendah ini dapat disebabkan oleh proses yang digunakan. Alat
ultrasonik memiliki kelemahan yaitu memerlukan energi tinggi untuk
dekomposisi kimia. Selain itu, metode pemecahan menggunakan homogenizer
memiliki kelebihan antara lain cocok untuk senyawa yang kelarutannya rendah,
sedangkan kekurangan metode ini antara lain pemecahan partikel padatan
memerlukan energi dan waktu yang lebih besar, dapat menghasilkan panas, dan
ukuran partikel yang dihasilkan terbatas, yaitu lebih besar dari 1000 nm.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, rendemen nano kitosan yang tertinggi yaitu
menggunakan magnetic stirrer, karena dengan alat magnetic stirrer memiliki
kelebihan yaitu proses homogenisasi antara kitosan serbuk awal dengan bahan
gelasi ionik, dapat dikendalikan secara merata dengan kecepatan yang tinggi,
dibanding dengan menggunakan alat lainnya, sehingga lebih efektif menghasilkan
28
molekul larutan emulsi akan terpecah dengan ukuran yang sama serta distribusi
ukuran partikelnya cenderung labih homogen. Hal inilah yang menyebabkan
nanopartikel di dalamnya juga akan dapat terpisah satu sama lain sehingga
didapatkan nanosfer dengan ukuran terkecil. Selain itu, penggunaan tripolipospat
dalam proses gelasi juga besar pengaruhnya, yaitu dapat menstabilkan missel
(emulsi homogen dan sangat kecil) sehingga missel tersebut menjadi lebih stabil.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian BPPT yang dilakukan dengan uji PSA
(Particle Size Analyzer) (Tabel 7), bahwa ultrasonik dan homogenizer memiliki
kestabilan rendah. Sedangkan dengan magnetic stirrer menghasilkan kestabilan
tetap, yang bisa dilihat dalam waktu/hari. Magnetic stirrer lebih stabil dalam
waktu 24 jam, sementara pada ultrasonik dan homogenizer bisa berubah
kestabilannya mencapai 25 kali lebih meningkat (BPPT 2010).
Surfaktan yang digunakan untuk obat secara farmakologi harus nontoksik.
Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan surfaktan dari golongan nonionik
yang bersifat tidak toksik, yaitu Tween 80. Surfaktan merupakan molekul yang
diadsopsi oleh permukaan partikel untuk mencegah terjadinya gumpalan (Mustika
et al. 2006 dalam Latifah 2008). Pengaruh surfaktan dapat menurunkan tegangan
permukaan antar lapisan larutan bahan dengan kitosan semakin baik dengan
terbentuknya misel – misel, artinya bahan akan menyaluti permukaan matriks
kitosan atau berada pada inti matriks.
Penggunaan tripolipospat mengingat sifatnya yang nontoksik.
Menurut Mi et al. (1999) dalam Wahyono (2010), penambahan TPP bertujuan
untuk membentuk silang ionik antara molekul kitosan sehingga dapat digunakan
sebagai bahan penguat. Hal ini dapat disebabkan oleh peran TPP sebagai zat
pengikat silang yang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan
semakin banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka
kekuatan mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan
menjadi semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil.
Pada penelitian ini, konsentrasi kitosan yang digunakan sebesar 0,2% (50 ml)
dan konsentrasi surfaktan sebesar 0,2% (25 ml), sesuai dengan penelitian
Kencana (2009) dalam mendapatkan nanokitosan dengan ukuran partikel terkecil
32
yaitu 300 - 600 nm. Penambahan surfaktan berfungsi untuk menstabilkan emulsi
partikel dalam larutan dengan cara mencegah timbulnya penggumpalan
(aglomerasi) antarpartikel. Dengan adanya surfaktan, partikel-partikel kitosan di
dalam larutan akan terselimuti dan terstabilkan satu dengan yang lain sehingga
proses pemecahan partikel akan semakin efektif. Partikel yang telah terpecah akan
kembali terstabilkan dalam emulsi larutannya, sehingga mencegah terjadinya
aglomerasi. Silvia et al. (2006) melaporkan bahwa menambahan surfaktan
Tween 80 dan Span 80 ke dalam larutan kitosan dapat menurunkan diameter
partikel berturut-turut dari 198 µm menjadi 181,3 µm dan dari 132,6 µm
menjadi 24,9 µm.
Menurut Yongmei dan Yumin (2003), pembentukan nanopartikel hanya
terjadi pada konsentasi kitosan dan TPP tertentu. Yongmei dan Yumin berhasil
membuat nanopartikel kitosan berukuran 20 - 200 nm dengan menggunakan
konsentrasi kitosan 1,5mg/ml dan konsentrasi TPP 0,7 mg/ml. Selain itu,
Wu et al. (2005) dalam Wahyono (2010) juga berhasil membuat nanopartikel
kitosan berukuran 20 - 80 nm dengan menggunakan konsentrasi kitosan 1,44
mg/ml dan konsentrasi TPP 0,6 mg/ml. Hal ini diduga karena analisis ukuran
partikel menggunakan peralatan yang memiliki akurasi yang tinggi sehingga
ukuran partikel yang diperoleh mendekati ukuran sebenarnya.
Menurut Mi et al. (1999) dalam Komariah (2010), penambahan TPP bertujuan
untuk membentuk silang ionik antara molekul kitosan sehingga dapat digunakan
sebagai bahan penjerap. Penambahan jumlah TPP akan menurunkan jumlah
nanopartikel kitosan. Hal ini dapat disebabkan oleh peran TPP sebagai zat
pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin
banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan
mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi
semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian-bagian
yang lebih kecil. Oleh karenanya jumlah partikel kitosan yang dihasilkan akan
semakin sedikit. Untuk itu, pada penelitian ini digunakan formulasi pada ketiga
metode pengecilan ukuran dengan konsentrasi TPP 0,1% (10 ml) dan
konsentrasi kitosan sebesar 0,2% (50 ml), agar tidak terjadi penggumpalan
(aglomerasi) molekul-molekul kitosan. Alasan lain pada konsentrasi kitosan yang
33
tinggi hingga mencapai 3,0% (b/v) dengan jumlah TPP yang tetap, menyebabkan
terjadinya penggumpalan (aglomerasi) molekul-molekul kitosan sehingga proses
pemecahan menjadi kurang efektif, akibatnya jumlah nanopartikel yang dihasilkan
akan semakin sedikit. Namun, seiring dengan penambahan jumlah konsentrasi
kitosan, akan menyebabkan peningkatan jumlah nanopartikel kitosan. Hal ini
menyatakan bahwa, konsentrasi kitosan harus lebih besar dibandingkan dengan
konsentrasi TPP yang digunakan (Wahyono 2010).
Pengaruh cara penegecilan ukuran dengan magnetic stirrer dengan kecepatan
tinggi, akan menyamaratakan energi yang diterima oleh partikel diseluruh bagian
sisi larutan sehingga ukuran partikel semakin homogen. Meningkatnya
kehomogenan ukuran partikel juga dapat dilihat pada Gambar 7. Jika dilihat dari
kehomogenan distribusi ukuran partikel, sampel yang menggunakan alat magnetic
stirrer (A1) distribusi ukuran partikelnya cenderung lebih homogen dibandingkan
dengan alat lainnya (A2 dan A3), karena penyebaran energi yang dipantulkan dari
magnetic stirrer terhadap molekul disekitarnya lebih rata dan lebih konstan.
Sedangkan, ketika menggunakan homogenizer ultrasonik (A3) dan ultrasonik
(A2), penyebaran energinya tidak sama, sehingga energi yang dipantulkan pada
molekul larutan emulsi berbeda – beda pula. Terjadinya pemantulan yang berbeda
– beda ini menyebabkan molekul larutan ada yang pecah lebih cepat dan ada juga
yang pecah lebih lama sehingga menghasilkan ukuran partikel yang lebih besar
dan tidak homogen (Wulandari 2010).
Dalam waktu yang relatif singkat, sebenarnya sonikasi dapat memecahkan
partikel hingga ukuran yang sangat kecil. Lamanya sonikasi dapat mengakibatkan
partikel-partikel yang telah terpecah untuk menggabungkan diri kembali sehingga
terlihat adanya penggumpalan partikel pada citra SEM tersebut (Kencana 2009).
Selain itu, sifat tween 80 juga mudah larut dalam air, sehingga kemungkinan
dalam proses difusi tween 80 juga larut sebagian dalam air sehingga proses
penggumpalan kembali terjadi.
Berbeda dengan sampel yang menggunakan alat magnetic stirrer (A1),
penyebaran energi cenderung merata, sehingga seluruh molekul terkena energi
yang sama dan molekul larutan emulsi akan terpecah dengan ukuran yang sama
serta distrinbusi ukuran partikelnya cenderung labih homogen. Hal inilah yang
34
A2 (ultrasonik), H1 A2 (ultrasonik), H2
A3 (homogenizer), H1 A3 (homogenizer), H2
Gambar foto SEM pada kode sampel A3 berbeda dengan kode sampel lainnya
(Gambar 7). Hal tersebut karena terjadi penundaan proses spray dryer setelah
melakukan proses homogenisasi. Larutan yang telah diproses sebaiknya langsung
dilakukan proses spray drying agar larutan tersebut tetap terjaga stabilitas
distribusi partikelnya. Tujuan dilakukan spray drying agar menghasilkan serbuk
berupa partikel nanokapsul yang kecil, teknik yang ramah sehingga dapat
terhindar dari penggunaan pelarut organik, dan dapat meningkatkan stabilitas
serbuk (Yundhana 2008).
18
16
3901.52 2342.47
14
3854.88
12 3839.58
3818.17
3803.28
10
%T 3751.96
3735.87 651.62
8 3690.79
3672.48
6
1152.06
2
1412.31
1076.14
0 3392.84
1575.13
-2.0
4000.0 3000 2000 1500 1000 450.0
cm-1
Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa kitosan tersebut telah sesuai dengan
standar mutu yang telah ditentukan oleh laboratorium Protan diacu dalam Suptijah
et al. (1992) yaitu ≥70 %. Derajat deasetilasi yang tinggi menunjukkan kemurnian
dari kitosan yang dihasilkan (Bastaman 1989).
Derajat deasetilasi dari kitosan menentukan banyaknya gugus asetil yang telah
hilang selama proses deasetilasi kitin menjadi kitosan. Semakin besar derajat
deasetilasi, maka kitosan akan semakin aktif karena semakin banyak gugus amina
menggantikan gugus asetil. Gugus amina lebih reaktif diabandingkan gugus asetil
karena adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen dalam struktur kitosan
(Muzzarelli dan Peter 1997 dalam Kencana 2009).
37
5.1 Kesimpulan
Pembuatan nanopartikel kitosan dengan metode gelasi ionik dengan perlakuan
menggunakan perbedaan alat sizing berhasil dilakukan dari hasil preparasi kitosan
dengan perlakuan waktu perendaman HCl 1 N selama 72 jam dengan rendemen
sebesar 13,50% (bk) dan yang terendah diperoleh dengan perlakuan waktu
perendaman HCl 1 N selama 0 jam dengan rendemen sebesar 11,57% (bk).
Rendemen kitosan nanopartikel tertinggi terdapat pada kitosan nanopartikel
dengan perlakuan pengecilan ukuran menggunakan alat magnetic stirrer yaitu
sebesar 81,30%. Sedangkan rendemen terendah ditunjukkan oleh kitosan
nanopartikel dengan menggunakan alat homogenizer, yaitu sebesar 40,00%.
Penggunaan TPP pada penelitian ini dapat menguatkan sifat mekanik kitosan
yang mudah rapuh dan dapat membentuk ikatan silang ionik antara molekul
kitosan. Lamanya waktu homogenisasi dapat meningkatkan kehomogenan ukuran
partikel. Magnetic stirrer dapat mendistribusikan ukuran partikel yang lebih
homogen dibandingkan menggunakan homogenizer ultrasonik dan ultrasonik.
Sampel dengan pengaruh alat magnetic stirrer, konsentrasi TPP, surfaktan dan
waktu yang sesuai menunjukkan bahwa kerutan pada partikel semakin berkurang.
Gelasi ionik dengan surfaktan dan TPP, menghasilkan partikel sangat kecil
dan tidak berpolimerisasi. Ukuran partikel yang diperoleh dengan menggunakan
magnetic stirrer sebesar 400 - 450 nm. Nilai derajat deasetilasi dari kitosan
nanopartikel terkecil yang dihasilkan yaitu sebesar 99% dan menunjukan bahwa
nano kitosan yang dihasilkan merupakan kitosan murni.
5.2 Saran
Penelitian selanjutnya dapat divariasikan lagi konsentrasi TPP, surfaktan dan
waktu yang lebih lama. Hal ini bertujuan agar kitosan tersebut lebih homogen dan
lebih sedikit, sehingga didapatkan ukuran partikel akhir sesuai standar nano.
38
DAFTAR PUSTAKA
Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut.. Bogor: PKSPL,
Institut Pertanian Bogor.
Ariesta A. 2008. Karakteristik mutu dan kelarutan kitosan dari ampas silase
kepala udang windu (Penaeus monodon) [skripsi]. Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
BPPT. 2010. Pembuatan Partikel Nano Kitosan dengan Metode Gelasi Ionik
Menggunakan Magnetic Stirrer. Tanggerang: Balai Pengkaji dan
Penerapan Teknologi.
Keuteur J. 1996. Nanoparticles and Microparticles for drug and vaccine delivery.
Eur J of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 189: 19-34.
39
Kim, T. Y and Cho S. Y. 2005. Adsorpsi Equilibria of Reactife Dye Onto Highly
Polyaminatid Porous Chitosan Bead. Korean J. Chem Eng. 22 (5)
691- 696.
Kim JD, Nhut TM, Hai TN, Ra CS. 2011. Effect of Dietary Essential Oils on
Growth, Feed Utilization and Meat Yields of White Leg Shrimp L.
Vanname. Journal Anim. Sci 24(8):1136-1141.
Komariah S. 2010. Kombinasi emulsi dan ultrasonikasi dalam nanoenkapsulasi
ibuprofen tersalut polipaduan poli (as.laktat) dan poli (ε-
Kaprolakton). [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Rini I. 2010. Recovery dan karakterisasi kalsium dari limbah demineralisasi kulit
udang jerbung (Penaeus merguiensis deMan) [skripsi]. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
40
Shu XZ and Zhu KJ. 2002. Controlled Drug Release Properties of Ionically Cross-
Linked Chitosan beads: The Influence of Anion Structure.
International Journal of Pharmaceutics 233: 217-225.
Steel RGD, JH Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Bambang Sumantri,
penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sugita. 1992. Isolasi kitin dan komposisi senyawa kimia limbah udang windu
(Penaeus monodon) [tesis]. Bandung: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Tripler, Paul A. 2001. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Jilid 2. Edisi ketiga.
Soegiyono B. Penerjemah. Terjemahan dari Physics for Scientist
and Engineers Volume 2 Third Edition. Jakarta: Erlangga.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi Revisi. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
41
LAMPIRAN
43
% Kadar air =
% N (U1) = x 100 %
= x 100 %
= 5,579 %
= 6,25 x 5,579 %
= 34,87 %
% N (U2) = x 100 %
= x 100 %
= 5,521 %
= 6,25 x 5,521 %
= 34,51 %
% Protein rata-rata=
= 34,69 %
45
= x 100 %
= 0,54 %
% Lemak 2 = x 100 %
= x 100 %
= 0,61 %
% Lemak rata-rata =
= 0,57%
% Karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)
% Karbohidrat = 31,75%
46
Contoh perhitungan:
Perhitungan kadar air pada sampel kulit udang:
Keterangan: A= Berat cawan kosong (gr)
B= Berat cawan dengan sampel kulit udang (gr)
C= Berat cawan dengan sampel kulit udang setelah dikeringkan
Diketahui: A= 47,1151
B= 48,1181
C= 47,9663
% kadar air =
= 15,00 %
47
Contoh Perhitungan:
Perhitungan kadar abu pada sampel kulit udang
U1 (ulangan 1):
A= 25,9669 gr
B= 26,9803 gr
C= 25,968 gr
= 0,11 %
U2 (ulangan 2):
A= 29,2438 gr
B= 30,2553 gr
C= 29,245 gr
= 0,12 %
Contoh perhitungan:
Perhitungan kadar protein kulit udang
= 4,73%
DD = [1 - ( -( ) ] x 100%
A
1575 =
A
3392 =
DD = [1 -[ ( -( ) ] ] x 100%
= [1 -[0,76 – 0,75] ] x 100%
= [1– 0,01] x 100%
= [0,99] x 100%
DD = 99 %