2 TINJAUAN PUSTAKA
Pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan sebagai pulau dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan
ekosistemnya (Undang- undang RI No. 27 Tahun 2007). Konvensi PBB tentang
Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS 1982) pasal 121 mendefinisikan
pulau seba gai da ratan yang terbe ntuk secara alami dan dikelilingi oleh air dan
selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang naik tertinggi. Dengan kata
lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam pada saat air pasang naik. Implikasinya,
ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai pulau, yakni (1)
memiliki lahan daratan, (2) terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi, (3)
dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar, (4) selalu berada di atas
garis pasang tinggi. Alternatif batasan pulau kecil dikemukakan pada pertemuan
CSC (1984) yang menetapkan pulau kecil adalah pulau dengan luas area
maksimum 5.000 km2 . Selanjutnya berlandaskan pada kepentingan hidrologi
(ketersediaan air tawar), ditetapkan batasan pulau kecil sebagai pulau dengan
ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km. Namun batasan
ini mengalami perubahan UNESCO (1991) yang memberikan batasan sebagai
pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2.000 km2 (Bengen and
Retraubun 2006).
Dari segi luasnya, UNESCO (1994) menetapkan bahwa pulau-pulau yang
luasnya kurang dari 200 km2 tergolong pulau kecil, sedangkan yang luasnya
kurang dari 100 km2 tergolong pulau sangat kecil. Definisi lainnya
menyebutkan, pulau kecil adalah ruang daratan yang berelevasi di
atas muka air pasang dari perairan yang mengelilinginya dengan
luas kurang dari 100 km2 (BBPT-Proyek Pesisir USAID 1998).
Menurut pembentukannya, pulau kecil dapat terbagi menjadi dua tipe yaitu
pulau oseanik dan pulau kontinental. Pulau oseanik dapat digolongkan atas dua
kategori yaitu pulau vulkanis dan pulau karang (pulau datar). Umumnya pulau-
pulau kecil di Indonesia memiliki karakteristik biogeofisik yang tersendiri sebagai
10
berikut (Bengen 2004) : (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island)
dan bersifat insulair, (2) memiliki sumberdaya air terbatas, baik air permukaan
maupun air tanah, dengan daerah tangkapan air yang relatif kecil atau sangat
terbatas sehingga sebagian aliran air permukaan dan sedimen akan diteruskan ke
laut, (3) rentan terhadap pengaruh dari luar, baik yang bersifat alami (badai dan
gelombang besar) maupun akibat kegiatan manusia (pengubahsuaian lahan,
pencemaran), (4) memiliki sejumlah spesies endemik yang bernilai ekologis
tinggi, (5) area perairan lebih luas daripada daratan, serta relatif terisolir, (6) tidak
memiliki hinterland yang jauh dari pantai
Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau
kecil, seperti yang dikemukakan Retraubun (2001) yaitu :
1. Secara Ekologis
• Habitat/ Ekos istem pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik yang
tinggi dibandingkan proporsi ukuran pulaunya.
• Memiliki resiko lingkungan yang tinggi, misalnya akibat pencemaran dan
kerusakan akibat aktivitas transportasi laut dan aktivitas penangkapan ikan,
akibat bencana alam seperti gempa tsunami.
• Keterbatasan daya dukung lingkungan pulau (ketersediaan air tawar dan
tanaman pangan).
2. Secara Fisik
• Terpisah dari pulau besar
• Bentuk gugu san atau sendiri
• Tidak mampu mempengaruhi hidroklimat laut
• Luas pulau tidak lebih dari 10.000 km2
• Rentan terhadap perubahan alam dan atau manusia seperti bencana angin
badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan
permukaan air laut (sea level rise) dan penambangan
3. Secara Sosial – Budaya – Ekonomi
• Ada pulau yang berpenduduk dan tidak
• Penduduk asli mempunyai buda ya da n sosial eko nomi yang khas
11
abrasi, amukan angin, taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air
laut, dan lain sebagainya. Sedangkan secara ekonomis berfungsi sebagai penyedia
kayu, bahan baku obat-obatan dan lain- lain. Disamping itu, ekosistem hutan
mangrove juga memberikan manfaat tidak langsung, terutama sebagai habitat bagi
bermacam- macam binatang seperti binatang laut (udang, kepiting, dan beberapa
jenis ikan), dan binatang melata lainnya.
Di kawasan pulau-pulau kecil jenis mangrove yang banyak ditemukan
adalah jenis Avicennia, karena wilayah pulau-pulau kecil merupakan daerah yang
ketersediaan air tawarnya terbatas, pasokan sedimen (bahan or ganiknya) relatif
rendah da n memiliki substrat pa sir (Dahuri 2003).
Dengan luas wilayah laut yang lebih besar dibandingkan darat maka potensi
energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk
mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain- lain
sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya
kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah
Konversi Energi Panas Samudera/ Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC),
Panas Bumi (Geothermal), Ombak dan Pasang Surut (Bengen and Retraubun
2006).
Kawasan pulau-pulau kecil merupakan aset wisata bahari yang sangat besar
yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai
hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (Coral Reef), khususnya hard
corals. Disamping itu, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni secara
logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang
dimilikinya.
Berdasarkan rating yang dilakukan oleh lembaga kepariwisataan
internasional, beberapa kawasan di Indonesia dengan sumberdaya yang
15
dimilikinya mempunyai rating tertinggi bila ditinjau dari segi daya tarik wisata
bahari dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain di dunia. Beberapa kawasan
wisata bahari yang sangat sukses di dunia antara lain adalah kawasan Great
Barrier Reef, ka wasan negara- negara di Karibia, seperti Bahama, Kawasan Pasifik
seperti Hawai serta Kawasan Meditterrania. Belajar dari pengalaman di kawasan
tersebut, ternyata negara-negara tersebut merupakan “Negara Pulau-pulau Kecil
(Small Islands State)”, kecuali di Great Barrier Reef dan Meditterrania.
Sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki potensi wisata
bahari yang cukup potensial (DKP 2008). Beberapa diantaranya telah
dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari seperti Taman Nasional (TN)
Taka Bone Rate (Sulawesi Selatan), Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Taman
Nasional Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Taman Wisata Alam (TWA)
Kepulauan Kapoposang (Sulawesi Selatan), Taman Wisata Alam Tujuh Belas
Pulau (Nusa Tenggara Timur), Taman Wisata Alam Gili Meno, Ayer, Trawangan
(Nusa Tenggara Barat), Taman Wisata Alam Pulau Sangiang (Jawa Barat) dan
lain- lain.
pemerintahan, (3) keterpaduan spasial, (4) keterpaduan ilmu dan manajemen dan
(5) keterpaduan internasional. Dalam penentuan wilayah pesisir, Indo nesia
menggunakan batasan pengertian berdasarkan pendekatan secara ekologis yang
digabungkan dengan pendekatan dari segi perencanaan untuk memperlihatkan
batasan secara yuridis dari wilayah pesisir Indonesia.
Ditinjau dari pendekatan secara administratif, masalah batasan wilayah
pesisir merupakan hal yang paling mendasar yang harus dipahami lebih dahulu,
karena akan menunjukkan ruang lingkup berlakunya suatu perundang- undangan
mengenai pengelolaan wilayah pe sisir. Di Indo nesia dalam konsep normatifnya,
batasan wilayah pesisir yang digunakan dalam Pedoman Umum Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yaitu wilayah peralihan ekosistem darat dan
laut yang saling mempengaruhi dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk
Provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu untuk kabupaten/ kota ke arah darat
batas administrasi kabupaten/ kota. Berdasarkan Rancangan Undang-undang
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil tahun 2004,
pengertian wilayah pesisir ialah satu kesatuan wilayah antara daratan dan lautan
yang secara ekologis mempunyai hubungan keterkaitan yang di dalamnya
termasuk ekosistem pulau kecil serta perairan di antara satu kesatuan pulau-pulau
kecil.
Singh (1992) in Adrianto (2004) menjelaskan bahwa pulau-pulau kecil yang
merupakan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik tambahan (1) relatif
terisolir, (2) memiliki keterbatasan secara geografis (smallness), (3)
keanekaragaman yang terbatas; dan (4) secara ekonomis maupun ekologis rentan
terhadap faktor eksternal harus berbasis keberlanjutan dalam pengelolaannya.
Artinya harus mempertimbangkan faktor keterpaduan antar komponen yang
secara riil tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam perspke tif ekos istem
wilayah. Wilayah pulau-pulau kecil dibagi menjadi beberapa sub wilayah dengan
berbagai potensi dan potensi persoalan yaitu (1) wilayah perairan lepas pantai
(coastal offshore zone), (2) wilayah pantai (beach zone), (3) wilayah dataran
rendah pesisir (coastal lowland zone), (4) wilayah pesisir pedalaman (inland
zone).
19
Tabe l 1 Potensi Kemampuan, Pemanfaatan Jasa, dan Ancaman pada Ekos istem di
Sub-Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil
bergantung dari kegiatan pembangunan yang dilakukan. (2) Fakta resiko dan
kerentanan tidak jelas terlihat pada kondisi alami, kecuali jika dikaitkan dengan
kemiskinan yang terlihat pada beberapa kondisi lokal, nasional dan tingkat
internasional. (3) Anggapan yang salah bahwa kondisi alam dapat dikontrol
dengan teknologi dan selanjutnya bencana dapat dihindari.
Bencana pada dasarnya berasal dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi, fisik
dan lingkungan masyarakat. Infrastruktur, jasa, organisasi dari yang paling
sederhana sampai yang paling rumit dan sistem yang berbeda, cenderung
dipengaruhi oleh peristiwa alam seperti ge mpa bumi, banjir, tanah longsor atau
dengan peristiwa teknis seperti ledakan, kebakaran , tumpahan minyak, dan lain
lain. Suatu bencana didahului oleh sedikitnya dua kecenderungan yaitu ; peristiwa
yang sedang berlangsung, yang disebut resiko; da n suatu ko ndisi rentan ;
bermula dari perangai manusia , proses, infrastruktur, jasa, organisasi atau sistem
yang berpengaruh, yang mengakibatkan kerusakan.
Kerentanan sebagai salah satu akibat yang tidak dapat diduga, pertama kali
dipelajari oleh Briguglio (1995) untuk mengidentifikasi masalah- masalah yang
terdapat di pulau-pulau kecil dan negara kepulauan. Pulau-pulau kecil dilihat
secara umum sebagai suatu daerah atau area, yang jika dibandingkan dengan
entitas bukan kepulauan, secara relatif memiliki alam dan batas-batas administrasi
yang lebih jelas, dan juga secara khusus memiliki beberapa keuntungan ekonomi
dan lingkungan sekaligus juga kerugian.
Suatu formulasi tentang kerentana n diusulka n oleh Disaster Reduction
Institute (DRI) ( White et al, 2005) in Villagran (2006) sebagai berikut :
Istilah kerentanan digunakan pada konteks berbeda satu sama lain. Literatur
yang ada, ditemukan perbedaan pengertian mengenai kerentanan sebagai berikut :
1. Sebagai ko ndisi tertentu atau situasi dari suatu sistem sebelum terjadi be ncana,
digambarkan dengan bentuk seperti ukuran kepekaan, pembatasan, kekurangan
atau ketidakmampuan seperti ketidakmampuan untuk bertahan terhadap
25
Kenaikan muka
< -1 -1.0 – 0.99 1.0-2.0 2.1-4.0 > 4.0
laut(mm/tahun)
T unggang
1.0 1.1 – 2.0 2.1 – 4.0 4.1 – 6.0 > 6.0
pasut(m)
Tinggi
0-2.9 3-4.9 5-5.9 6-6.9 >6.9
gelombang(m)
kondisi kerentanan yang ada terjadi secara terus menerus akan membawa dampak
bagi suatu ko ndisi yang ada. Model PAR, menjelaskan bahwa dasar dari
kerentanan yaitu ko ndisi yang terjadi secara terus menerus dan menjadi kondisi
yang tidak dapat dikendalikan, yang akan menjadi ancaman sehingga suatu
kondisi menjadi rusak a tau berbahaya.
Keterangan :
Akibat/ Relasi antar Komponen
Kebergantungan antar Kompo nen
Keterangan :
Akibat/ Relasi antar Komponen
Kebergantungan antar Kompo nen
Gambar 3. Model PAR (Penelitian Secara Umum) Dengan Penekanan Pada
Kondisi Sosial Yang Menyebabkan Terjadinya Tekanan (Turner et al.
2003)
Bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan aka n membuat
komunitas semakin rentan jika tidak ada upaya menguranginya (kapasitas adaptif
29
1. Ruang lingkup, berupa analisa yang digunaka n sesuai target sistem indikator
kerentanan, kebutuhan pe nduduk, persepsi, dan kapasitas ruang dan wilayah
serta batasan waktu.
2. Pemilihan kerangka indikator yang sesuai, yang meliputi daerah (lingkungan,
ekonomi, masyarakat), tujuan (kebutuhan dasar manusia, kemakmuran
ekonomi), sektor publik (perumahan, kesehatan, pendidikan), isu (polusi
industri, tingkat pengangguran) dan sebab akibat ( kondisi-ko ndisi, teka nan,
reaksi), dan kombinasi faktor-faktor yang ada.
3. Kriteria pemilihan berkaitan dengan kebenaran, perhitungan yang mudah,
ketelitian, dan keefektifan biaya untuk mengumpulkan dan memproses data.
4. Identifikasi indikator potensial berkaitan dengan kerangka dan kriteria
pemilihan.
5. Pemilihan indikator akhir berkaitan dengan tingkatan sebelumnya.
6. Evaluasi pelaksanaan indikator berkaitan dengan langkah- langkah
sebelumnya.
Pengukuran model DPSIR berupa matriks hubungan antara suatu komponen
indikator yang ada dan akibat yang ditimbulkannya hingga menimbulkan
kerentanan ekosistem (functional relationship to ecosystem vulnerability).
Kerentanan sangat mudah dikaji pada wilayah yang sangat kecil seperti
halnya dengan pulau kecil. Vitousek (2002), menggambarkan pulau sebagai
mod el sistem untuk mempelajari ekologi karena pada pulau kecil terdapat proses
evolus i dan spesiasi, biologi konservasi mudah dilakukan dan terdapat evolusi
buda ya. Dalam konteks wilayah pulau kecil, kerentanan digambarkan Villagran
(2006) sebagai kecenderungan wilayah yang rusak oleh kekuatan eko nomi
eksternal atau resiko lingkungan terkait dengan keterpencilan dan ukuran
geografis yang kecil. CSD-UN-DESA memperkenalkan indeks kerentanan untuk
wilayah pulau kecil (UN-DESA 2004), seperti Briguglio ( Atkins et al. 2001).
33
Pressure Impact
State
Certain socio-econo mic
Changes in Nutrient Dynamics
Indicators can describe ContaminantBurden in Marine
System drivers or the Sediments
Sustainability of given state
character
kecil yang terkait dengan karakteristik insularitas ini terutama yang terkait dengan
persoalan transportasi dan komunikasi, lingkungan ekonomi yang cenderung
monopolistik, melimpahnya sumberdaya kelautan dan dominasi sektor jasa.
Adapun karakteristik pulau-pulau kecil yang dilihat dari sifat insularitas seperti
yang dikemukakan oleh Briguglio (1995), yaitu:
1. Biaya transportasi per unit produk.
2. Ketidakpastian suplai.
3. Volume stok yang besar.
4. Ketergantungan terhadap p rod uk-produk dengan tingkat spesialisasi tinggi.
5. Terbatasnya kemampuan untuk mempengaruhi harga lokal.
6. Terbatasnya kemampuan untuk menentukan skala ekonomi.
7. Terbatasnya kompetisi lokal.
8. Persoalan yang terkait dengan administrasi publik.
BPPT (2009), kerentanan ekonomi menggambarkan suatu kondisi tingkat
kerapuhan ekonomi dalam menghadapi ancaman bahaya. Kemampuan ekonomi
suatu individu atau masyaraka t sangat menentuka n tingka t kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Beberapa indikator kerentanan ekonomi diantaranya adalah
persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan
terhadap pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin.
Sebagai contoh adalah masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu
lebih rentan terhadap ba haya, ka rena tidak mempunyai kemampuan finansial yang
memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana.
Penduduk miskin ada lah pe nduduk yang pe ndapa tannya di ba wah garis
kemiskinan. Pada tahun 2005, garis kemiskinan ditentukan oleh dua kelompok
besar yaitu garis kemiskinan berkaitan dengan makanan (GKM) berupa
pemenuhan kebutuhan 2.100 kalori per kapita per hari sebesar Rp 91.072,- dan
Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) berupa paket komoditi kebutuhan
dasar yang ditetapkan sebesar Rp 38.036,-. Beban pe nduduk miskin yang
berkeluarga lebih besar daripada yang belum berkeluarga mengingat besarnya
jumlah dan banyaknya macam kebutuhan anggota keluarga yang masih harus
ditanggung. Dari penduduk miskin terdapat kelompok masyarakat fakir miskin,
38
a. Fisik
Faktor kerentanan fisikal pada umumnya merujuk pada perhatian serta
kelemahan atau kekurangan pada lokasi serta lingkungan terbangun. Hal ini
dapat diartikan sebagai wilayah terbuka (exposure) atau tempat yang sangat
rentan terke na ba haya (placed in harm’s way). Kerentanan fisik dapat
ditunjukkan oleh misalnya tingkat kepadatan penduduk, permukiman terpencil,
lokasi, desain serta material yang dipergunakan untuk infrastruktur dan
perumahan, kondisi geomorfologi area terbangun serta elemen fisis lainnya.
b. Sos ial
Elemen yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang
berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas dan masyarakat pada
umumnya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat melek
huruf dan pendidikan, jaminan keamanan dan ketenangan, jaminan hak asasi
manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial pos itif,
ideologi dan lain- lain. Selain itu isu gender, kelompok usia, akses ke fasilitas
kesehatan juga merupakan elemen kerentanan sosial. Fasilitas fisik dalam
komunitas, seperti keterbatasan infrastruktur dasar, misalnya sediaan air bersih
dan sanitasi, fasilitas kesehatan, hal tersebut juga dapat meningkatkan
kerentanan sosial. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi dapat menjadi
bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial.
c. Ekonomi
Tingkat kerentanan ekonomi sangatlah bergantung pada status ekonomi dari
masyarakat, komunitas serta tingkat diatasnya. Selain itu jumlah kaum miskin,
komposisi jumlah perempuan yang tidak berimbang dan para manula juga akan
meningkatkan kerentanan ekonomi, karena kelompok ini dianggap paling
rentan apabila terjadi bencana, karena pada umumnya kelompok ini memiliki
keterbatasan kemampuan dalam upaya recovery akibat bencana. Kerentanan
ekonomi juga bergantung pada kondisi cadangan ekonomi dari masyarakat,
komunitas atau level diatasnya, akses pada pendanaan, pinjaman dan asuransi.
Eko nomi yang lemah pada umumnya akan meningkatkan tingkat kerentanan
ekonomi. Selain itu keterbatasan akses terhadap Infrasturktur pendukung
40
bentuk nyata tiga dimensi dengan menggunakan data ketinggian berikut layer
tematik yang diperlukan. Untuk melakukan hal ini, SIG memiliki kemampuan
untuk menggunakan data spasial maupun atribut secara terintegrasi, sehingga
sistem ini dapat menjawab pertanyaan spasial dan non-spasial yang berkaitan
dengan (1) lokasi, (2) kondisi, (3) kecenderungan, (4) pola dan (5) pemodelan.
Sumber data yang diperlukan untuk proses dalam SIG secara umum
dibedakan atas tiga kategori (Paryono 1994 and Sutrisno 1994) yaitu:
1. Data survei lapang (berupa data digital dan data atribut).
2. Data peta, merupakan informasi yang telah terekam pada peta, kertas, atau film
yang telah dikonversikan dalam bentuk digital, dan bila telah terekam dalam
bentuk peta maka tidak diperlukan lagi data lapang kecuali untuk keperluan
ground check.
3. Data inderaja, berupa foto udara dan citra satelit.
Secara kaidah, SIG harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1)
terdiri atas konsep dan data geografis yang berhubungan dengan distribusi spasial,
(2) merupakan suatu informasi dari data yang di dapat, ide atau analisis, biasanya
berhubungan dengan tujuan pengambilan keputusan, (3) suatu sistem yang terdiri
dari komponen, masukan, proses dan keluaran, ketiga hal tersebut di atas
difungsikan dalam skenario berdasarkan pada teknologi tinggi, (Hamid 2003).
Secara lebih jelas ilustrasi proses pengolahan data dengan mengguakan SIG dapat
dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Diagram Sistem untuk Ilustrasi SIG (Meaden and Kapetsky 1991)
45
kelompok tentang hal- hal penting yang akan disepakati, sehingga kedua pihak ini
seringkali sulit disinergikan (Pratikto 2005).
Model yang terakhir adalah model pengelolaan terpadu. Model ini adalah
suatu mekanisme dimana setiap elemen mempunyai peran yang saling
mendukung agar terlaksananya tujuan pengelolaan. Multi disiplin ilmu bersinergis
dalam suatu wadah tim kerja (teamwork) sehingga alokasi waktu untuk
menciptakan kesamaan persepsi, prinsip dan tujuan nampak lebih lama. Mode l
terintegrasi (terpadu) ini memerlukan dukungan kelembagaan, baik dari
pemerintah maupun dari masyarakat pesisir itu sendiri, disamping validasi daya
dukung sumberdaya bagi terselenggaranya tujuan ini. Pulau-pulau di lokasi
penelitian lebih baik dikelola dengan model pengelolaan terpadu ini.
Marimin (2007), mengemukakan sifat-sifat dasar dari suatu sistem yaitu (1)
Pencapaian tujuan, orientasi pencapaian tujuan akan memberikan sifat dinamis
kepada sistem, memberi ciri perubahan yang terus menerus dalam usaha mencapai
tujuan, (2) Kesatuan usaha, mencerminka n suatu sifat dasar dari sistem dimana
hasil keseluruhan melebihi dari jumlah bagian-bagiannya atau sering disebut
konsep sinergi, (3) Keterbukaan terhadap lingkungan, lingkungan merupakan
sumber kesempatan maupun hamba tan pe ngemba ngan. Keterbukaan terhadap
lingk ungan membuat penilaian terhadap suatu sistem menjadi relatif atau yang
dinamakan equifinality atau pe ncapa ian tujuan suatu sistem tidak mutlak harus
dilakuka n de ngan satu cara terba ik. Tetapi pe ncapa ian tujuan suatu sistem dapat
dilakukan melalui berbagai cara sesuai dengan tantangan lingkungan yang
dihadapi, (4) Transformasi, merupakan proses perubahan input menjadi output
yang dilakuka n oleh sistem, (5) Hubungan antar bagian, kaitan antara subsistem
inilah yang akan memberikan analisa sistem suatu dasar pemahaman yang lebih
luas, (6) Sistem ada berbagai macam, antara lain sistem terbuka, sistem tertutup
dan sistem dengan umpan balik, (7) Mekanisme pengendalian, mekanisme ini
menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberi
informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian
tujuan atau pe mecahan persoa lan yang dihadapi. Simatupang (1995),
mengemukakan bahwa suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu dibuat
dalam pemodelan sebagai suatu proses membangun atau membentuk sistem yang
dimaksud, yang dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (1) tata nilai yang diyakini/
dianut oleh pemodel, (2) ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh pemodel, dan (3)
pengalaman hidup dari pemodel.
menyelesaikan masalah ; dan (2) dibuat suatu mode l kuantitatif untuk membantu
keputusan secara rasional. Suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur
yang meliputi : metodo logi untuk pe rencanaan da n pengelolaan, suatu tim yang
multidisipliner, pengorganisasian, disiplin untuk bida ng yang non kuantitatif,
teknik model matematik, teknik simulasi, teknik optimasi dan aplikasi komputer
(Marimin 2007).
Simatupang (1995), mengemukakan bahwa hal yang perlu diperhatikan
dalam memecahkan atau menganalisis masalah dengan pendekatan sistem adalah :
a. Melihat masalah sebagai suatu sistem. Dalam konteks penelitian ini, pulau
kecil dipandang sebagai sebuah sistem.
b. Mengenali sistem lingkungan.
c. Identifikasi subsistem yang ada pada sistem.
d. Analisis bagian-bagian sistem secara berurutan, dengan cara (1) evaluasi
tujuan, (2) membandingkan keluaran (output) dengan tujuan, (3) mengevaluasi
manajemen, melalui: (a) evaluasi performansi (hasil kerja), (b) evaluasi
kebutuhan, (c) evaluasi percobaan (experiment) yang pernah dilakukan, (d)
tingkat pe ncapa ian tujuan yang hendak dicapai, (e) waktu yang tersedia,(4)
mengevaluasi sistem pengolah informasi, dengan (a) menentukan informasi-
informasi yang akan dibutuhkan, (b) mendesain sistem informasi sesuai dengan
yang dibutuhka n, (5) Mengevaluasi sumberdaya meliputi : (a) evaluasi
sumberdaya yang ada (mesin, manusia, material, uang, energi dan sebagainya),
(b) evaluasi sumberdaya yang dibutuhkan, (c) evaluasi dilakukan secara
kuantitatif dan kualitatif, (6) mengevaluasi proses transformasi dengan cara (a)
mengevaluasi proses pendayagunaan sumberdaya, (b) proses transformasi
diarahkan menuju tercapainya efektivitas dan efisiensi yang cukup tinggi.
Marimin (2007), metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan
melalui pendekatan sistem terdiri dari tahapan proses. Tahapan tersebut meliputi
analisa, rekayasa model, implementasi rancangan, implementasi dan operasi
sistem tersebut. Metodo logi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisa
yang meliputi analisa kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi permasalahan,
51
pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik dan
penentuan ke layaka n eko nomi da n ke uangan.
Permodelan sistem merupakan salah satu metode analisis dalam pemecahan
suatu masalah dengan mengabstraksikan dari suatu objek pada situasi yang aktual
ke dalam ko nsep da n stukturisasi mode l. Tahapan dalam membangun model
simulasi komputer menurut Djojomartono (1993 ) adalah :
1. Identifikasi dan defenisi sistem.
Tahap ini mencakup pemikiran, definisi, karakteristik yang bersifat dinamik
atau stokastik dari masalah yang dihadapi dan memerlukan pemecahan dan
mengapa perlu dilakukan pendekatan sistem terhadap masalah tersebut.
Batasan dari pe rmasalahannya juga harus dibuat untuk menentuka n ruang
lingk up sistem;
2. Konseptualisasi sistem.
Tahap ini mencakup pa nda ngan yang lebih da lam lagi terhadap struktur sistem
dan mengetahui dengan jelas pengaruh-pengaruh penting yang akan beroperasi
di dalam sistem. Struktur dan kuantitatif dari model digabungkan bersama,
sehingga akhirnya kedua-duanya akan mempengaruhi efektivitas model;
3. Formulasi model.
Tahap ini biasanya model dibuat dalam bentuk kode-kode yang dapat
dimasukkan ke dalam komputer. Penentuan akan bahasa komputer yang tepat
merupakan bagian pokok pada tahap formulasi model;
4. Simulasi mode l.
Tahap simulasi komputer digunakan untuk menyatakan dan menentukan
bagaimana semua peubah dalam sistem berperilaku terhadap waktu. Tahapan
ini perlu menetapka n periode waktu simulasi;
5. Evaluasi model.
Berba gai uji dilakuka n terhadap mode l yang telah dibangun untuk
mengevaluasi keabsahan dan mutunya. Uji berkisar memeriksa konsistensi
logis, membandingkan keluaran model dengan data pengamatan atau lebih jauh
menguji secara statistik parameter-parameter yang digunakan dalam simulasi.
Analisis sensitivitas dapat dilakukan setelah mode l divalidasi;
52
6. Penggunaan model dan analisis kebijakan. Tahap ini mencakup aplikasi mode l
dan mengevaluasi alternatif yang memungkinkan dapat dilaksanaka n.
Pemodelan sistem dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terkait dengan
kerentanan, memasukka n faktor-faktor fungsi dari kerentanan (fisik) yang
terdiri dari exposure, sensitivity dan adaptif capacity (Gambar 8) yang akan
dioverlay dengan faktor sosial ekonomi dan kondisi eksisting pulau-pulau
kajian.
berupa kenaikan muka laut yang dititikberatkan pada faktor pemanasan global.
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini pada Tabel 4.