Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Sang Pencipta Alam yang telah memberikan
nikmat-Nya kepada kita. Dengan rida dan izin-Nya sehingga dapat menyelesaikan
Makalah tentang AKHLAQ MAHMUDAH. Tujuannya adalah sebagai
pembelajaran dan kelengkapan tugas pada mata kuliah Akidah dan Akhlak.
Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabiyullah Muhammad SAW.
Semoga kelak kita mendapatkan syafaat beliau di akhirat nanti.

Dalam makalah ini akan membahas tentang akhlaq mahmudah dan


menjelaskan akhlaq kepada Allah, Rasul, Al-Qur’an, lingkungan, dan sesama
muslim. Dari yang penulis sajikan dapat di petik pelajaran yang dapat memperbaiki
kualitas akhlaq baik pada penulis itu sendiri dan lebih luasnya kepada para pembaca
makalah ini.

Dengan demikian kami harapkan makalah ini sangat bermanfaat bagi semua
orang yang membaca makalah ini, dan juga penulis mengharapkan saran yang dapat
membangun untuk lebih sempurna makalah ini.

Makassar, 11 April 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhlak merupakan sifat yang tumbuh dan menyatu di dalam diri
seseorang. Dari sifat yang ada itulah terpancar sikap dan tingkah laku perbuatan
seseorang, seperti sifat sabar, kasih sayang, atau malah sebaliknya pemarah,
benci karena dendam, iri dan dengki, sehingga memutuskan hubungan
silaturahmi.
Bagi seorang muslim, akhlak yang terbaik ialah seperti yang terdapat
pada diri Nabi Muhammad SAW karena sifat-sifat dan perangai yang terdapat
pada dirinya adalah sifat-sifat yang terpuji dan merupakan uswatun hasanah
(contoh teladan) terbaik bagi seluruh kaum Muslimin.
Dalam Ajaran islam adalah ajaran yang bersumber pada wahyu Allah,
Al-Qur’an dalam penjabarannya terdapat pada hadis Nabi Muhammad SAW.
Masalah akhlak dalam Islam mendapat perhatian yang sangat besar.
Akhlak yang baik dan mulia akan mengantarkan kedudukan seseorang
pada posisi yang terhormat dan tinggi. Atas dasar itulah kami menyusun
makalah ini, agar kita semua sebagai makhluk Allah, tidak tersesat dalam
menjalani hidup, dan dapat menjadikan Rasulullah sebagai idola kita, karena
sesungguhanya pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik bagi kita.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi tentang Akhlak Mahmudah?
2. Apa defenisi Ash-Shidqu (Berlaku Benar)?
3. Apa defenisi Ash-Shabru (Sabar)?
4. Apa defenisi Al-Haya’u (Malu)?
5. Apa defenisi Tawadhu’ (Rendah Diri)?
6. Apa defenisi Syaja’ah (Berani)?
7. Apa defenisi Qana’ah (Merasa Cukup)?

1.3 Tujuan
1. Untuk dapat mengetahui yang mana yang disebut akhlak mahmudah
2. Untuk dapat mengetahui lebih jauh lagi objek kajian akhlak mahmudah
BAB II
ISI

2.1 Pengertian Akhlak


Akhlak secara etimologi berasal dari kata khuluq dan jama’nya akhlaq
yang berarti budi pekerti, etika, atau moral.
Pengertian etimologi tersebut berimplikasi bahwa akhlak mempunyai
kaitan dengan tuhan pencipta yang menciptakan sifat batin manusia luar dan
dalam, sehingga tuntutan akhlak harus dari kholiq yang mengisyaratkan adanya
akhlak dari ketetapan manusia bersama, sehingga dalam kehidupan manusia
harus berkhlak yang baik menurut ukuran Allah dan ukuran manusia.
Sejak dulu masalah akhlak mendapat perhatian yang serius dari Allah
SWT dan mengutus beberapa nabi dan rasul ke bumi untuk membimbing
manusia, salah satunya nabi kita yaitu nabi muhammad saw yang membawa
misi utamanya yaitu untuk memperbaiki akhlak ( moral ) manusia,
sebagaimana sabdanya yaitu :

ِ ‫إنَّ َما بُ ِعثْتُ ألُت َ ِم َّم َم َك‬


ِ َ‫ار َم االَ ْخال‬
‫ق‬
Artinya :
“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) ke muka bumi ini untuk memperbaiki
dan menyempurnakan akhlak manusia”.

Akhlak itu terbagi dua yaitu :


1. Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah)
yaitu akhlak yang diridai oleh Allah SWT.
2. Akhlak yang Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-Ahklakul
Mazmumah). Yaitu Akhlak yang tidak diridai oleh Allah SWT.

2.2 Akhlak Yang Terpuji (Al-Akhlakul Mahmudah)


Akhlak mahmudah adalah etika perilaku manusia yang mencerminkan
sifat yang terpuji terhadap manusia, Allah SWT maupun terhadap lingkungan
hidup. Akhlak yang baik dilahirkan oleh sifat- sifat yang baik juga, oleh karena
itu dalam jiwa manusia dapat menelurkan perbuatan- perbuatan lahiriyah yang
baik
Baik dalam bahasa Arab disebut Khoir, dalam bahasa inggris
disebut good . dalam beberapa kamus dan ensiklopedia diperoleh pengertian
baik sebagi berikut:
1. Baik berarti sesuatu yangh telah mencapai kesempurnaan
2. Baik berarti sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam
kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan sebagainya.
3. Baik berarti sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai
yang diharapkan dan memberikan kepuasan
4. Baik berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan
5. Sesuatu yang dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat,
memberikan perasaan sengan atau bahagia, bila ia dihargai
secara positif.

Al-Ghazali menerangkan bentuk keutamaan akhlak mahmudah yang


dimilki seseorang misalnya sabar, benar dan tawakal, itu dinyatakan sebagai
gerak jiwa dan gambaran batin seseorang yang secara tidak langsung menjadi
akhlaknya. Al-ghazali menerangkan adanya pokok keutamaan akhlak yang
baik, antara lain mencari hikmah, bersikap berani, bersuci diri, berlaku adil.

Keutamaan akhlak yang baik juga terdapat dalam hadist Nabi,

ْ ‫ما َ ِم ْن ش َْيءٍ أ َ ثْقَ ُل فِى ِم ْي َزا ِن ا ْلعَ ْب ِد يَ ْو َم ال ِقيا َ َم ِة ِم ْن ُح‬


ِ ُ‫س ِن ال ُخل‬
‫ق‬
Artinya:
”Tiada sesuatu apapun yang paling berat pada timbangan setiap hamba pada
hari kiamat, selain akhlak yang baik”.

2.3 Macam-Macam Akhlaq Mahmudah


1. Ash-Shidqu (Berlaku Benar)

Shiddiq ( ash-sidqu ) artinya benar atau jujur. Lawannya adalah


dusta/bohong ( al-kazib ). Seorang Muslim dituntut selalu berada dalam
keadaan benar lahir dan batin. Benar hati ( shidq al-qalb ) , benar perkataan (
shidq al- hadits ) dan benar perbuatan ( shidq al-amal ). Antara hati,
perkataan , dan perbuatan harus sama.

Rasulullah SAW melarang umatnya berbohong karena kebohongan


akan membawa kepada kejahatan , akan berakhir di neraka.

“Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa


pada kebaikan, dan kebaikan membawa ke Surga. Seseorang yang selalu
jujur dan mencari kejujuran , akan ditulis oleh Allah sebagai seorang yang
jujur ( Shiddiq ) . Dan jauhilah sifat bohong karena kebohongan membawa
kepada kejahatan. Dan kejahatan membawa ke neraka. Orang yang selalu
berbohong dan mencari cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai
pembohong ( kadzdzab.)” ( HR. Bukhari)

 Bentuk-bentuk Shiddiq

Ada lima macam bentuk bentuk Shiddiq :

1. Benar Perkataan ( Shidq al haditz )


2. Benar Pergaulan ( Shidq al-muamalah )
3. Benar Kemauan ( Shidq al-azam )
4. Benar Janji ( Shidq al-wa’ad )
5. Benar Kenyataan ( Shidq al-hal )

 Ciri-ciri Orang yang Bersifat Shiddiq

Orang-orang yang siddiq memiliki beberapa fitur, di antara fitur-fitur


mereka yang Allah gambarkan dalam Al-Quran adalah:

1. Teguh pendiriannya terhadap apa yang dicita-citakan


(diyakininya). Firman Allah SWT: “Diantara orang-orang
mukmin itu ada orang-orang yang menepati (membenarkan) apa
yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka
ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-
nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya). ” (QS Al-
Ahzab: 23)
2. Tidak ragu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah
SWT berfirman dalam Al-Quran: “Sesungguhnya orang-orang
yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka
berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka
itulah orang-orang yang benar. ”(QS Al-Hujurat: 15)

3. Memiliki keimanan kepada Allah SWT, Rasulullah SAW,


bersedekah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji
dan sabar. FirmanNya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan , penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa. ”(QS Al-Baqarah: 177)

4. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam. Firman Allah


SWT: “… barang siapa yang berpegang teguh dengan agama
Allah, maka sungguh ia telah mendapatkan hidayah menuju jalan
yang lurus …”(QS Ali Imran: 101).

 Cara Memcapai Sifat Shiddiq


Setelah kita melihat urgensitas sifat sidiq ini, maka setidaknya
muncul dalam hati kita keinginan untuk melengkapi diri dengan sifat ini.
Karena sifat ini benar-benar merupakan intisari dari kebaikan. Dan sifat
ini pulalah yang dimiliki oleh sahabat yang paling dicintai Rasulullah
SAW yaitu Abu Bakar Asidiq. Penulis melihat ada beberapa cara yang
semoga dapat membantu menumbuhkan sifat ini:
1. Senantiasa memperbaharui keimanan dan keyakinan kita (baca;
ketsiqahan) kepada Allah SWT. Karena pondasi dari sifat sidiq ini
adalah kuatnya keyakinan kepada Allah.
2. Melatih diri untuk bersikap jujur diamana saja dan kapan saja serta
kepada siapa saja. Karena kejujuran merupakan karakter mendasar
sifat sidiq.
3. Melatih diri untuk senantiasa membenarkan sesuatu yang datang
dari Allah (Al-Qur’an dan sunnah) , meskipun hal tersebut terkesan
bertentangan dengan rasio. Karena kebenaran mutlak hanyalah
milik Allah. Sementara ijtihad manusia masih sangat
memungkinkan adanya kesalahan.
4. Senantiasa melatih diri untuk komitmen dengan Islam dalam segala
aspeknya; aqidah, ibadah, akhlaq dan syari’ah. Karena salah satu
ciri siddiqin adalah memiliki komitmen yang tinggi terhadap Islam:
“…barang siapa yang berpegang teguh dengan agama Allah, maka
sungguh dia telah mendapatkan hidayah menuju jalan yang
lurus…”
5. Sering mentadaburi ayat-ayat Allah, hadits-hadits Rasulullah SAW
mengenai sifat sidiq. Karena mentadaburi ayat dan hadits juga
merupakan cara tersendiri yang sangat membekas dalam jiwa
manusia.
6. Senantiasa membuka-buka lembaran-lembaran sejarah kehidupan
salafu shaleh, terutama pada sikap-sikap mereka yang
menunjukkan kesiddiqannya.
7. Memperbanyak dzikir dan amalan-amalan sunnah. Karena dengan
hal-hal tersebut akan menjadikan hati tenang dan tentram. Hati
yang seperti ini akan mudah dihiasi sifat sidiq.

2. Ash-Shabru (Sabar)
Kata sabar berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata sobaro yasbiru,
yang artinya menahan. Sedangkan secara istilah, sabar adalah menahan diri
dari segala macam bentuk kesulitan, kesedihan atau menahan diri dalam
menghadapi segala sesuatu yang tidak disukai dan dibenci. Adapun sabar
secara lebih luas adalah menahanan diri agar tidak mudah marah, berkeluh
kesah, benci, dendam, tidak mudah putus asa, melatih diri dalam
ketaatan dan membentengi diri agar tidak melakukan perbuatan keji dan
maksiat.
Dalam Islam, ada tiga bentuk sabar yakni sabar dalam ketaatan, sabar
dalam menghadapi musibah, dan sabar dalam menjauhi perbuatan maksiat.

a. Sabar dalam ketaatan

Dalam menjalankan ketaatan dan perintah Allah SWT akan


terasa berat sehingga membutuhkan kesabaran yang tinggi. Seperti
contoh sabar dalam menahan diri dari sifat malas agar tetap
istiqomah dalam menjalankan kewajiban sholat tepat pada waktunya,
menjalankan sholat selalu berjamaah, sabar menjalankan puasa
dengan menjaga lisan, hati dan pikiran, sabar dalam menuntut ilmu
dan lain sebagainya.

b. Sabar dalam menghadapi cobaan dan musibah

Orang yang beriman hendaknya bersabar atas segala ujian,


cobaan dan musibah yang datang kepadanya. Percaya bahwa Allah
tidak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuannya. Ketika
mendapatkan cobaan, maka bersabar dan ikhlas dengan apa yang
terjadi. Karena sesungguhnya Allah itu bersama dengan orang-orang
sabar.

c. Sabar dalam kemaksiatan

Segala sesuatu yang haram dan dilarang Allah SWT


hendaknya dijauhi. Segala bentuk maksiat itu menyenangkan, tetapi
Allah melarangnya sehingga orang-orang beriman diharuskan untuk
menjaga dan menahan diri dari segala bentuk maksiat dan hal-hal
yang dilarang oleh Allah SWT.

Berikut ini ada beberapa ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sabar,
diantaranya yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang
sabar“. (QS. Al-Baqarah: 153)

Artinya: “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan


dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa“. (QS. Al-
Baqarah: 177)

3. Al-Haya’u (Malu)

Malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek, kotor, tercela, dan
hina. Sifat malu itu terkadang merupakan sifat bawaan dan juga bisa
merupakan hasil latihan. Namun demikian, untuk menumbuhkan rasa malu
perlu usaha, niat, ilmu serta pembiasaan. Rasa malu merupakan bagian dari
iman karena dapat mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan
mencegahnya dari kemaksiatan. Mari kita perhatikan hadits berikut ini,
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw., beliau bersabda: “Iman adalah
pokoknya, cabangnya ada tujuh puluh lebih, dan malu termasuk cabangnya
iman.” (HR. Muslim)
Hadits di atas menegaskan bahwa malu merupakan salah satu cabang
iman. Seseorang malu untuk mencuri bila ia beriman, malu berdusta bila ia
beriman. Seorang wanita malu membuka atau menunjukkan auratnya jika ia
beriman. Jika sifat malu berkurang dan mulai luntur maka pertahanan diri
dalam menghadapi godaan nafsu mulai menipis.
Malu merupakan salah satu benteng pertahanan seseorang dalam
menghindari perbuatan maksiat. Malu juga merupakan faktor pendorong
bagi seseorang untuk melakukan kebaikan. Selama rasa malu masih
terpelihara dengan baik, maka seseorang akan hidup dalam kebaikan. Ia
akan memiliki kekuatan dalam berbuat kebaikan dan menolak kemaksiatan.
Seorang pejabat yang memiliki rasa malu akan melaksanakan tugasnya
dengan penuh tanggung jawab dan bebas dari korupsi. Seorang pelajar akan
percaya diri dalam mengerjakan soal ulangan tanpa menyontek karena
didasari rasa malu. Seorang pedagang akan malu berbuat curang karena
merasa dilihat Allah Swt.
Seorang polisi akan malu menerima suap dari pelanggar rambu lalu
lintas. Aparat penegak hukum seperti hakim dan jaksa akan malu menerima
suap dari tersangka karena ia takut azab dari Allah Swt. Seorang pria dan
wanita akan berpakaian menutup aurat karena menjaga harga diri dan
kehormatannya. Mereka semua terhindar dari perbuatan dosa dan maksiat
karena adanya rasa malu dalam diri mereka.
Sebaliknya, apabila seseorang tidak lagi memiliki rasa malu maka ia
akan hidup dalam keburukan. Begitu hilang rasa malunya maka hilang pula
kepribadiannya sebagai seorang muslim. Ia akan terbiasa berbuat dosa, baik
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Jika seorang pria maupun
wanita tidak punya rasa malu, ia akan mengumbar auratnya.
Seorang pejabat yang tidak punya rasa malu akan menggunakan
kekuasaanya untuk menindas rakyat guna memperkaya diri. Seorang
pedagang yang tidak punya rasa malu, ia akan membohongi pembelinya,
barang jelek dikatakan bagus, barang murah dikatakan mahal. Jika seorang
pelajar tidak punya sifat malu, ia dengan mudahnya berkata kotor,
menyontek, memperolok-olok teman sendiri. Sungguh, dengan tidak adanya
rasa malu ini maka bencana moral dan kerusakan akhlak akan merajalela.
Rasa malu haruslah dilandasi karena Allah Swt. bukan karena selain-
Nya. Pada saat kita malu berbuat sesuatu tanyalah kepada hati kita: “Apakah
malu ini karena Allah Swt. atau bukan?” Jika bukan karena Allah Swt. bisa
jadi hal itu adalah sifat malas, minder, atau rendah diri. Sifat malas, minder
atau rendah diri merupakan perilaku tercela yang harus dihindari.
Tahukah kita dari mana sebenarnya sumber rasa malu? Malu berasal
dari keimanan dan pengakuan akan keagungan Allah Swt. Rasa malu akan
muncul jika kita beriman dan menghayati betul bahwa Allah Swt. itu Maha
Kuasa atas segala sesuatu. Allah Swt. Maha Melihat, Maha Mengetahui dan
Maha Mendengar. Tidak ada yang bisa kita sembunyikan dari Allah Swt.
Semua aktivitas badan, pikiran dan hati kita semua diketahui oleh Allah Swt.
 Manfaat Sikap Malu.
Ada beberapa manfaat dari sifat malu, di antaranya:
 Mencegah dari perbuatan tercela. Seorang yang memiliki sifat
malu akan berusaha sekuat tenaga menghindari perbuatan
tercela, sebab ia takut kepada Allah Swt.
 Mendorong berbuat kebaikan. Rasa malu kepada Allah Swt.
akan mendorong seseorang berbuat kebaikan. Sebab ia tahu
bahwa setiap perbuatan manusia akan dibalas oleh Allah Swt.
di akhirat kelak.
 Mengantarkan seseorang menuju jalan yang diridai Allah Swt.
Orang-orang yang memiliki rasa malu akan senantiasa
melaksanakan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya.

4. Tawadhu’ (Rendah Hati)

Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian


yang lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai
lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’
adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya
bersumber dari Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka
tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa
lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi
yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat
segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga
keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah.

Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh


menjauhi perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui
orang lain amal kebaikan kita.

Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah
selayaknya kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu
merupakan salah satu akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat
islam. Perhatikan sabda Nabi SAW berikut ini :

Rasulullah SAW bersabda: yang artinya “Tiada berkurang harta


karena sedekah, dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan
melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu’ kepada
Allah, melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah. (HR.
Muslim).

Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW:


“Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: “Bertawadhu’lah
hingga seseorang tidak menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang
tidak menganiaya terhadap lainnya.(HR. Muslim).

Rasulullah SAW bersabda, “Sombong adalah menolak kebenaran


dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan


dalam kitabnya, Madarijus Salikin bahwa tawadhu ialah menunaikan segala
yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan diri kepada
Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak,
bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan
tanpa menganggap dirinya tinggi.

Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin


bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih
sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula
rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin
berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka
bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan
setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat
pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan
mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.. Ini karena orang yang
tawadhu menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari Allah
SWT, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
Perhatikan firman Allah berikut ini : “Ini termasuk kurnia Tuhanku
untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-
Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An Naml: 40).”

Berikut beberapa ayat-ayat Al Quran yang menegaskan perintah Allah


SWT untuk senantiasa bersikap tawadhu’ dan menjauhi sikap sombong,
sebagai berikut :

”Dan janganlah kalian berjalan di atas bumi ini dengan


menyombongkan diri, karena kalian tidak akan mampu menembus bumi atau
menjulang setinggi gunung” (QS al-Isra-37).

Firman Allah SWT lainnya: ”Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di muka bumi dan
kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-
orang yang bertakwa (QS al-Qashshash-83.)

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-


orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang
jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)
keselamatan. (QS. Al Furqaan: 63)

Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang


mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong. (QS: an-Nahl: 23)

Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan


menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi
mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta
masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada
orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS: al-A’raf: 40)

Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”,


bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka
cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu
tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (QS.Al-Baqarah : 206)

Berikut beberapa contoh Ketawadhu’an Rasulullah SAW

a) Anas ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu mengucapkan


salam pada mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal tersebut ia
menjawab: Aku melihat kekasihku Nabi SAW senantiasa berbuat
demikian. (HR Bukhari, Fathul Bari’-6247).
b) Dari Anas ra berkata: Nabi SAW memiliki seekor unta yang diberi nama
al-’adhba` yang tidak terkalahkan larinya, maka datang seorang ‘a’rabiy
dengan untanya dan mampu mengalahkan, maka hati kaum muslimin
terpukul menyaksikan hal tersebut sampai hal itu diketahui oleh nabi
SAW, maka beliau bersabda: Menjadi haq Allah jika ada sesuatu yang
meninggikan diri di dunia pasti akan direndahkan-Nya. HR Bukhari
(Fathul Bari’-2872).
c) Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi SAW,
beliau SAW menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri
untanya, memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat
sandalnya, makan bersama-sama dengan pembantu-pembantunya,
memberi mereka pakaian, membeli sendiri keperluannya di pasar dan
memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang kaya maupun
miskin, orang tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu pada
siapa yang berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun
putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanjang termasuk orang
yang suka shalat.

5. Syaja’ah (Berani)

Keberanian yang didalam Bahasa Arab disebut Asy- Syaja’ah.


Keberanian itu dibagi menjadi dua :
Ø Keberanian Semangat..
Ø Keberaniah hati.
 Keberanian Semangat adalah Keberanian mujahid menghadapi musuh
dimedan perang.
 Orang yang mempunyai keberanian semangat tidak akan pernah
mundur dari medan perang.
 Keberanian budi/Hati adalah berani menyatakan suatu perkara yang di
yakini sendiri kebenarannya walaupun akan dibenci orang.

Didalam Syara’ agama Islam, pekerti yang demikian dinamakan “


Amar Bil Ma’ruf, Nahyi Anil Munkar “ ( menyuruh berbuat baik,mencegah
berbuat jahat ).
Adapun Islam sejak dia dilahirkan adalah pembela dan menegakkan
kebenaran Yang tulen, kebenaran yang tidak bercampur sedikit juga dengan
keraguan. Rasulullah adalah suri tauladan yang patut dan satu-satunya contoh
yang patut di ikuti, terutama keberanian beliau dalam berusaha menyebarkan
Islam, berbagai tantangan beliau lewati, dengan sabar beliau menghadapinya.
Dan berkat kesabaran beliau kita bisa merasakan ni’matnya berIslam sampai
saat ini. Keberanian Rasulullah dibuktikan lewat perang-perang yang beliau
lakukan.
Adapun kiat-kiat untuk menumbuhkan keberanian antara lain :
Ø Menguatkan pelajaran senam ( Sport ) kepada anak muda, sehingga
bbadnnya kuat dan sehat.
Ø Mengajarkan riwayat orang-orang yang berani, terutama kisah-kisah
Shahabiyah dan Rasulullah.
Ø Biasakan berterus terang bercakap-cakap, jangan terlalu benyak ambil
muka, tenggang menenggang, tetapi hendaklah sopan, teguh didalam
keyakinan dan jujur.
Ø Tidak percaya kepada Khurafat, tidak peduli kepada dongeng kuno yang
menimbulkan takut.

Keempat pendidikan ini dikehendaki oleh Islam, malah lebih lagi Islam
mengajarkan pelajaran Tauhid.
Untuk mengalirkan darah perwira, sebagai dikehendaki syarat yang
kedua itu, maka didalam Alqur’an telah disuntingkan Tarikh Perjuangan Nabi-
nabi dan segala kesusahannya, peperangannya, kemenangannya, dan
keteguhan hatinya.
Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan senam kepada pemuda-
pemuda dizaman hidupnya. Sehingga tentara Nabi Muhammad SAW adalah
satu tentara yang berbaris dimedan perang, tak boleh dan tak mmau mundur
selangkah, mundur termasuk kepada tujuh dosa besar.
Nabi SAW bersabda : Diwaktu siang mencari rizki dan penghidupan,
diwaktu perang berbaris bersaf menuju “Syahid”.
Adapun kita mempraktikkan keberanian yang kiat miliki yaitu yang
satu dalam menegakkan kebanaran dimuka bumi, kemudian selain itu menjadi
Jundi-jundi Allah yang siap mati syahid dimedan perang dalam membela
Agamanya Allah.
Dan jika kita sudah menjadi seorang yang pemberani Insya Allah apa
yang kita inginkan akan tercapai. Islam jaya sampai sekarang atau kita tahu
islam itu semua berkat keberanian Rasulullah Nabi muhammad didalam
berda’wah .Seandainya beliau bukan orang yang pemberani mungkin kita
tidak akan tahu atau tidak akan pernah mengecap manisnya memeluk agama
islam.Jadi dalam ke hidupan ini sikap berani sangat dibutuhkan sekali sebagai
penggerak kita untuk meraih yang kita inginkan tentunya disini hal-hal yang
baik saja.Dan selain itu juga indonesia bisa merdeka adalah karena keberanian
pahlawan-pahlawannya dan tak lupa juga karena berkat pertolongan Allah
swt.dan satu-satunya orang yang pantas jadi tauladan kita adalah Nabi
Muhammad SAW.

6. Qana’ah (Merasa Cukup)

Qana’ah menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela, sedangkan


menurut istilah ialah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang
diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan
kurang.
Rasulullah mengajarkan kita untuk ridha dengan apa yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT, baik itu berupa nikmat kesehatan, keamanan,
maupun kebutuhan harian. Qona’ah adalah gudang yang tidak akan habis.
Sebab, Qona’ah adalah kekayaan jiwa. Dan kekayaan jiwa lebih tinggi dan
lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa melahirkan sikap menjaga
kehormatan diri dan menjaga kemuliaan diri, sedangkan kekayaan harta dan
tamak pada harta melahirkan kehinaan diri.
Di antara sebab yang membuat hidup tidak tentram adalah
terperdayanya diri oleh kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang
diperdaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang
dimilikinya. Akibatnya,dalam apa yang dirinya lahir sikap-sikap yang
mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah, Sang
Maha Pemberi Rezeki itu sendiri. Ia justru merasa kenikmatan yang dia
peroleh adalah murni semata hasil keringatnya, tak ada kesertaan Allah.
Orang-orang yang terlalu mencintai kenikmatan dunia akan selalu terdorong
untuk memburu segala keinginannya meski harus menggunakan segala cara
seperti kelicikan, bohong, mengurangi timbangan dan sebaginya. Ia juga tidak
pernah menyadari, sesungguhnya harta hanyalah ujian sebagaimana firman
Allah ;
Artinya ;"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian
apabila Kami berikan kepadanya ni'mat dari Kami ia berkata:"Sesungguhnya
aku diberi ni'mat itu hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah
ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui" (Q.S Azumar; 49)

 Dasar Hukum Qona’ah

Ø Al Qur’an
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan
berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al
Baqarah : 155 )
Ø Hadits
Dari Abu Hurairah R.A berkata, Nabi SAW bersabda: bukannya
kekayaan itu karena banyaknya harta dan benda, tetapi kekayaan yang
sebenarnya ialah kekayaan hati. (Muttafaqun Alaih)
Dari Abdillah bin Amr sesungguhnya Rasulullah saw bersabda;
sungguh beruntung orang yang masuk islam dan rizkinya cukup dan
merasa cukup dengan apa-apa yang pemberian Allah. (HR Muslim)
 Sikap Qona’ah

Sudah dijelaskan bahwa qona’ah merupakan sikap rela menerima


dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri
dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Meski demikian, orang-
orang yang memiliki sikap Qana'ah tidak berarti fatalis dan menerima
nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang hidup Qana'ah bisa saja
memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk
kekayaan. Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-
rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah
melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya,
kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana'ahnya dan
mempertebal rasa syukurnya.
Adapun contoh bersikap qana’ah dalam kehidupan, diantaranya :
o Giat bekerja dan berusaha untuk mencapai hasil terbaik.
o Jika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan,
tidak mudah kecewa dan berputus asa.
o Selalu bersyukur atas apa yang menjadi hasil usahanya, dan tidak
pernah merasa iri atas keberhasilan yang diperoleh orang lain.
o Hidupnya sederhana dan menyesuaikan diri dengan keadaan, tidak
rakus dan tidak tamak.
o Selalu yakin bahwa apa yang didapatnya dan yang ada pada dirinya
merupakan anugerah dari Allah SWT.
Perbuatan Qana’ah yang dapat kita lakukan misalnya puas terhadap
apa yang kita miliki saat ini, Maka hendaklah dalam masalah keduniaan
kita melihat orang yang di bawah kita, dan dalam masalah kehidupan
akhirat kita melihat orang yang di atas kita. Hal ini sebagaimana telah
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadis:
Artinya; “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat
orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian
agar kalian tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada
kalian.” (Muttafaqun Alaih)
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang Qana'ah
menyikapinya sebagai ibadah yang mulia di hadapan Allah yang Maha
kuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong dan mengurangi
timbangan. Ia yakin tanpa menghalalkan segala cara apapun, ia tetap
mendapatkan rizki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari akhir rizki yang
dicarinya tidak akan melebihi tiga hal; menjadi kotoran, barang usang atau
bernilai pahala di hadapan Allah.

Bila kita mampu merenungi dan mengamalkan makna dan


pentingnya qona’ah maka kita akan memperoleh ketenangan dan
ketenteraman hidup. Dan hendaknya diketahui bahwa harta itu akan
ditinggalkan untuk ahli waris.

 Hikmah Qona’ah

Tidak diragukan lagi bahwa qona’ah dapat menenteramkan jiwa


manusia dan merupakan faktor kebahagiaan dalam kehidupan karena
seorang hamba yang qona’ah dan menerima apa yang dipilihkan Alah
untuknya, dia tahu bahwa apa yang dipilihkan Allah untuknya adalah yang
terbaik baginya di segala macam keadaan.
Sikap qona’ah membebaskan pelakunya dari kecemasan dan
memberinya kenyamanan psikologis ketika bergaul dengan manusia.
Dzunnun al-Mashri mengatakan: “Barangsiapa bersikap qona’ah maka ia
bisa merasa nyaman di tengah manusia-manusia sesamanya.”
Sebaliknya, ketiadaan qona’ah dalam hidup akan menyeret
pelakunya pada penuhanan materi sehingga kebebasannya terampas karena
kerakusan dalam mencari harta duniawi yang memaksanya berbuat apapun
untuk mendapatkan harta.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari makalah ini bahwa:
1. Akhlak mahmudah adalah etika perilaku manusia yang mencerminkan sifat
yang terpuji terhadap manusia, Allah SWT maupun terhadap lingkungan
hidup.
2. Shiddiq ( ash-sidqu ) artinya benar atau jujur. Lawannya adalah
dusta/bohong ( al-kazib ).
3. Kata sabar berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata sobaro yasbiru, yang
artinya menahan. Sedangkan secara istilah, sabar adalah menahan diri dari
segala macam bentuk kesulitan, kesedihan atau menahan diri dalam
menghadapi segala sesuatu yang tidak disukai dan dibenci.
4. Malu adalah menahan diri dari perbuatan jelek, kotor, tercela, dan hina. Sifat
malu itu terkadang merupakan sifat bawaan dan juga bisa merupakan hasil
latihan.
5. Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang
lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih
dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah
orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari
Allah SWT.
6. Keberanian yang didalam Bahasa Arab disebut Asy- Syaja’ah.
Keberanian itu dibagi menjadi dua :
Ø Keberanian Semangat..
Ø Keberaniah hati.
7. Qana’ah menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela, sedangkan menurut
istilah ialah sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang
diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan
kurang.
3.2 Saran
Sebagai seorang mahasiswa, alangkah lebih baik jika kita mempelajari
materi tentang akhlak dari berbagai sumber, baik dari buku maupun situs
internet. Agar nantinya kita mudah dalam memahami dan kita akan lebih mudah
dalam penulisan makalah kedepannya. Dalam penulisan makalah ini kami
menyadari banyka kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian maupun
penulisan kalimat. Oleh karena itu,kami sebagai penulis makalah ini meminta
kritik dan saran sehingga kedepannya kami dapat menulis makalah ini dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. “Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Quran”. Jakarta: Amzah.


2007

Alim, Muhammad. “Pendidikan Agama Islam”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


2006

Al-Qosim, Abdul Malik Muhammad. “Ibadah-Ibadah yang Paling Mudah”.


Yogyakarta: Mitra Pustaka. 1999

Nata, Abuddin. “Akhlak Tasawuf”. Jakarta: Rajawali Pers. 2010

Yunus, Mahmud. “Pendidikan Islam”. Jakarta: PT. Hidakarya Agung. 1992

Anda mungkin juga menyukai