Anda di halaman 1dari 5

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pulpitis merupakan inflamasi pulpa gigi yang terjadi dari kelanjutan

proses karies (Widodo, 2005). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007 kasus radang pulpa menduduki peringkat ke-10,

sedangkan pada tahun 2013 hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi

karies masyarakat indonesia meningkat dari 43,4% menjadi 53,2%. Jika

prevalensi karies tinggi maka kemungkinan terjadinya pulpitis akan meningkat,

sehingga hal ini menunjukkan bahwa kasus pulpitis tidak bisa disepelekan begitu

saja.

Secara patofisiologis, pulpitis diklasifikasikan menjadi pulpitis reversibel

dan pulpitis irreversibel (Hamre dkk., 2011). Pulpitis reversibel merupakan

inflamasi pulpa yang tidak parah, jika etiologi dihilangkan inflamasi akan

menghilang dan pulpa akan kembali normal. Pulpitis reversibel dipengaruhi oleh

adanya stimulus, seperti cairan dingin, panas atau bahkan udara dapat

menyebabkan sakit sementara yang tajam. Pulpitis irreversibel merupakan suatu

keadaan yang seringkali terjadi akibat atau perkembangan dari pulpitis reversibel

(Walton dan Torabinejad, 2009).

Pulpitis akan mempengaruhi kondisi komponen pulpa. Respon seluler

dari pulpa gigi yaitu terjadinya infiltrasi sel inflamasi. Sel inflamasi ini akan

melakukan migrasi dari pembuluh darah ke tempat yang mengalami jejas (Shi

dkk., 2014). Peran sel inflamasi ini untuk melakukan fagositosis mikroorganisme

1
2

serta debris-debris dalam upaya mempertahankan jaringan. Salah satu sel yang

berperan dalam pertahanan terhadap jejas yaitu sel makrofag (Teohardi, 2015).

Makrofag merupakan sel imun yang berasal dari monosit berdefferensiasi

ke area jejas. Pada saat mencapai jaringan yang mengalami jejas, makrofag

mampu melakukan fagositosis terhadap mikroorganisme patologis (Krysko dan

Vandenabelee, 2009). Karakteristik morfologi berukuran besar, berwarna biru

keabu-abuan dan memiliki sitoplasma tipis. Sel ini tidak memiliki bentuk dan

ukuran yang tetap, bagian tepi dari sel ini tidak beraturan dan secara konstan

berubah-ubah. Nukleus makrofag juga tidak beraturan ukuran dan bentuknya.

Pada umumnya tampak melipat atau berlobus. Pada kondisi tertentu, sel ini

cenderung untuk berfusi membentuk giant cell multinukleotida (Datta, 2004).

Pada kasus terjadinya pulpitis reversibel, kemunculan makrofag diinduksi oleh

adanya proinflamasi sitokin. Interleukin (IL)-1, Tumor Necrosis Factor (TNF)-α

dan Prostaglandin E2 (PGE2) merupakan proinflamasi sitokin yang berperan

dalam migrasi makrofag ke tempat terjadinya jejas (Ricciotti dan Fitzgerald,

2012).

Perawatan yang dapat dilakukan ketika terjadi kondisi pulpitis reversibel

adalah kaping pulpa. Perawatan ini bertujuan untuk menghilangkan peradangan

yang terjadi pada pulpa, sehingga dengan perawatan tersebut jaringan pulpa akan

tetap vital dan mengalami regenerasi (Hilton, 2009). Perawatan kaping pulpa

dilakukan dengan cara melakukan pembuangan lesi karies yang melibatkan

dentin, kemudian diaplikasikan suatu material, yang bertujuan untuk melindungi

pulpa. Pulpa diharapkan akan mengalami regenerasi melalui pembentukan dentin


3

baru berupa dentin reparatif. Bahan yang biasa diaplikasikan pada perawatan

kaping pulpa adalah kalsium hidroksida (Ca(OH)2) (Walton dan Torabinejad,

2009).

Kalsium hidroksida merupakan material kaping pulpa yang sering

digunakan. Namun pada aplikasinya, kalsium hidroksida Ca(OH)2 memiliki

beberapa kekurangan yaitu mampu mengiritasi jaringan pulpa vital. Kalsium

hidroksida memiliki pH yang tinggi (12,5-12,8), walaupun bersifat antibakteri,

namun dapat menyebabkan iritasi pulpa. Lalu, tidak secara langsung merangsang

dentin reparatif sehingga proses pembentukan dentin (dentinogenesis) berjalan

lambat, dapat terjadi degradasi pada saat perlakuan restorasi yang membutuhkan

etsa asam, apabila dikombinasikan dengan amalgam dapat mengakibatkan

kebocoran tepi yang mampu mempengaruhi terjadinya karies sekunder, jika

proses ini berlanjut akan memperparah dan meluas hingga bagian apikal gigi yang

berkelanjutan dapat menyebabkan periodontitis. Selain itu, kalsium hidroksida

yang diaplikasikan pada gigi desidui akan menyebabkan terjadinya resorpsi

internal karena overstimulasi dari ion Ca2+ (Mustafa dkk., 2012).

Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak dijumpai di

Indonesia. Binatang dari anggota Crustacea ini memiliki kaki sepuluh berasal dari

infraordo Brachyura. Kepiting dikenal mempunyai ekor yang sangat pendek.

Berdasarkan taksonominya kepiting yang termasuk dalam famili Portunidae.

Salah satunya yaitu kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau merupakan

jenis kepiting yang paling banyak diminati (Kanna, 2002). Tubuh kepiting

dilindungi oleh cangkang yang sangat keras dengan kandungan kitin dari hasil
4

deproteinasi. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan kulit limbah kulit kepiting

sebanyak 1000 ton dari hasil ekspor kepiting. Jika limbah tersebut di olah

berpotensi menghasilkan produk kitin yang sangat besar jumlahnya. Ketersediaan

kulit kepiting sebagai limbah banyak ditemukan di daerah Sumatera, Pantura

Jawa, Kalimantan, Sulawesi Selatan (Trisnawati dkk., 2013). Salah satu senyawa

turunan dari kitin yang banyak dikembangkan karena manfaatnya adalah kitosan

(Sanjaya dan Yuanita, 2007).

Kitosan merupakan biopolimer yang dapat diekstrak dari kepiting

(Sanjaya dan Yuanita, 2007). Kitosan memiliki beberapa keunggulan yaitu

mempunyai efek antibakteri, biaya produksi yang murah, dan biokompatibilitas

(Kmiec dkk., 2017). Selain itu dari hasil penelitian yang dilakukan Kmiec dkk.,

(2017) menyatakan bahwa kitosan memiliki aktivitas antiinflamasi. Aktivitas

antiinflamasi kitosan diperankan oleh zat aktifnya berupa glukosamin (Kmiec

dkk., 2017).

B. Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruh aplikasi kitosan dari cangkang kepiting bakau sebagai bahan

kaping pulpa terhadap jumlah infiltrasi sel makrofag pada pulpitis reversibel?

C. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kitosan, sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh

Kmiec dkk., pada tahun 2017. Penelitian tersebut meneliti tentang karateristik dan

potensi kitosan sebagai bahan Kedokteran Gigi. Selain itu penelitian tentang
5

kitosan juga pernah dilakukan oleh Matsunaga dkk., pada tahun 2005. Penelitian

tersebut meneliti tentang monomer kitosan (D-glukosamin hidroklorida) sebagai

bahan medikamen kaping pulpa pada pulpa yang mengalami jejas ditinjau melalui

infiltrasi sel inflamasi. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa

monomer kitosan bersifat medikamen stabil sebagai bahan kaping pulpa.

Penelitian mengenai pengaruh aplikasi kitosan sebagai bahan kaping pulpa pada

kasus pulpitis reversibel dalam mempengaruhi jumlah makrofag, sejauh penulis

ketahui belum pernah dilakukan sebelumnya.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek aplikasi kitosan dari

cangkang kepiting bakau sebagai bahan kaping pulpa terhadap jumlah infiltrasi sel

makrofag pada pulpitis reversibel.

E. Manfaat Penelitian

1. Pengembangan kitosan dari limbah cangkang kepiting yang memiliki potensi

untuk menyembuhkan pulpitis reversibel.

2. Memanfaatkan cangkang kepiting sebagai alternatif bahan kaping pulpa pada

perawatan pulpitis reversibel.

3. Sebagai referensi informasi dalam penelitian lebih lanjut mengenai kitosan

sebagai bahan kaping pulpa pada pulpitis reversibel.

Anda mungkin juga menyukai