Anda di halaman 1dari 6

Menerima Perbedaan Kunci Persatuan

Kompas.com - 21/04/2017, 22:45 WIB


KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Franz Magnis Suseno.

SEMARANG, KOMPAS — Kesediaan saling menerima perbedaan menjadi fondasi


utama persatuan sebuah negara majemuk seperti Indonesia. Identitas kebangsaan diperkuat
melalui semangat toleransi dan persatuan agar semakin kokoh menghadapi tantangan di era
global.

Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno dalam seminar
kebinekaan bertema "Strategi Kebudayaan dan Tantangan Nasional Kontemporer", Kamis
(20/4), di Semarang, berpendapat, bangsa Indonesia tengah dihadapkan pada berbagai
tantangan, mulai dari perilaku koruptif, ketegangan antaretnis, hingga kemunculan ideologi
radikal. Tantangan itu dapat dihadapi jika bangsa Indonesia memiliki ketahanan nasional
yang kuat.

"Ketahanan nasional dibentuk atas nilai dasar dan cita-cita bangsa, bukan segelintir individu
atau kelompok tertentu," ujar Franz.

Tanpa ketahanan nasional, kekacauan akan muncul di suatu negara. Menurut Franz, sudah
saatnya bangsa Indonesia, terutama kaum muda, mengingat kembali makna Sumpah Pemuda
1928. Saat itu, ratusan pemuda mempersatukan tekad sebagai bangsa Indonesia yang bersedia
menerima berbagai kekhasan suku, ras, dan agama.

Semangat Sumpah Pemuda itu sejalan dengan hakikat Pancasila. Konsensus dasar Pancasila
adalah kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan. Masyarakat harus menyadari
kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara majemuk membutuhkan bangsa yang dapat saling
menerima dan bekerja sama lintas batas.

Franz mengatakan, penguatan identitas kebangsaan juga tak cukup hanya dengan nilai-nilai
tenggang rasa. Masyarakat harus secara rasional, tenang, dan obyektif membicarakan
perbedaan pandangan. Tujuannya supaya semua entitas bangsa dapat bergotong royong
membangun Indonesia yang sejahtera, adil, damai, dan maju.

Lebih modern

Guru Besar Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Armaidy Armawi mengatakan,
perbedaan suku, ras, dan agama di Indonesia semestinya tidak menjadi persoalan. Salah satu
sebabnya, para pendiri bangsa dahulu dapat merangkul sedikitnya 780 kerajaan untuk
melebur dan mewujudkan negara bernama Indonesia.

Persoalannya kini, negara harus mampu membagi kesejahteraan kepada semua rakyatnya.
Namun, politik kekuasaan dalam negeri sangat tinggi. Pejabat elite menganggap kekuasaan
sebagai sebuah keistimewaan sehingga mengabaikan tugas untuk membagi kesejahteraan.
Kondisi itu secara perlahan menggerus ketahanan nasional.

"Kita membangun konsep negara bangsa yang modern, tetapi rakyatnya tidak modern.
Mereka menganggap kekuasaan untuk dimonopoli diri sendiri," kata Armaidy.
Sementara itu, menurut pengajar Ilmu Hukum Universitas Persatuan Guru Republik
Indonesia, Maryanto, monopoli kekuasaan pejabat elite tecermin dalam beberapa kasus
terakhir, seperti pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, korupsi proyek pengadaan KTP
elektronik, dan perebutan masa jabatan Dewan Perwakilan Daerah. Monopoli kekuasaan
disebabkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Persatuan Sejak Dulu, untuk Selamanya


Oleh Agung Wasita
22 Agustus 2018 15:55 Diperbarui: 22 Agustus 2018 16:13

Sebagai bangsa Indonesia mungkin kita sering mendengar jargon ini : Bersatu kita teguh ,
bercerai kita runtuh. Mungkin kita bosan mendengar jargon itu, tapi kita harus sadar bahwa
itu berharga bagi kita sebagai masyarakat Indonesia. Seperti permata, ia harus dipelihara.

Pemaknaan pentingnya bersatu untuk tujuan bersama , dan jika kita saling menjauh , kita
akan lemah dan tak lama akan menyerah dan kita tak dapat tujuan yang kita kehendaki
bersama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara tujuan bersama itu adalah keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia harus terwujud.

Persatuan tentu tidak hanya penting bagi bangsa Indonesia. Semua negara menghendaki
rakyatnya untuk selalu bersatu. Hanya dengan bersatu dan dalam kondisi aman, negara akan
lebih mudah mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya dengan pemangunan

Percaya atau tidak , pentingnya persatuan sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW,
ketika dia hijrah ke Yatrib (Madinah). Ketika itu Muhammad membuat konstitusi yang
mengatur rakyatnya. Madinah waktu itu belum benar-benar aman karena wilayahnya masih
sering jadi ancaman beberapa pihak luar.

Di sisi lain, di kota Madinah terdiri dari beberapa suku dan berbagai kepercayaan . Akhirnya
beliau membuat piagam Madinah yang mengatur umat muslim , non muslim dan Yahudi.
Piagam ini penting untuk menyatukan pihak-pihak yang berbeda itu. Jika diimplementasikan
pada konteks Indonesia , Piagam Madinah nyaris sama dengan Pancasila.

Piagam Madinah terdiri dari 47 pasal yang berisi aturan bermasyarakat seperti persamaan
perlakuan dalam hal hak dan kewajiban, semua wajib turun tangan soal perlindungan kota
(dari musuh) dan bersama-sama bertanggungjawab soal membiayai perang. Sedangkan
masalah kepercayaan (muslim, non muslim dan Yahudi) bebas menganut agama mereka
masing-masing.

Secara keseluruhan, Piagam Madinah itu berisi 47 pasal yang berisi aturan-aturan yang agak
rinci. Pasal 1, misalnya, menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan: "Innahum
ummatan wahidatan min duuni alnaas" (Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, lain
dari (komunitas) manusia yang lain)43. Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa "Mereka (para
pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota, serta jaminan
keamanan bagi orang-orang untuk bepergian kecuali yang berkhianat.

Dari ilustrasi soal Nabi Muhammad membuat Piagam Madinah demi kota dan masyarakat
Madinah, maka kita bisa paham bahwa kita harus menjaga Indonesia dari segala gempuran
pemecah bangsa. Pancasila wajib jadi topangan berbangsa. Persatuan itu penting dari dulu,
kini sampai ke masa depan.

Mari kita tetap bersatu !

(Sumber: https://www.kompasiana.com/agungsers/5b7d2504bde5751041292a72/persatuan-
sejak-dulu-untuk-selamanya)

Berdampingan Menuju Persatuan Indonesia


Oleh Andi Darpanio
23 Agustus 2018 11:32 Diperbarui: 23 Agustus 2018 11:50

Jika anda pergi ke Jakarta Pusat, disitu kita akan temukan Masjid yang menjadi simbol utama
agama Islam Indonesia yaitu masjid Istiqlal. Seperti telah banyak diketahui, perancang masjid
besar dan megah itu adalah seorang non muslim yang dekat dengan Soekarno yaitu F Silaban.
Di seberang masjid megah itu terdapat gereja Katholik yang sangat fenomenal yaitu gereja
Katedral.

Jika ke sudut Jakarta dan banyak tempat di Indonesia (Cijantung, Solo dll) mungkin dengan
mudah kita mendapatkan pemandangan bahwa gereja bersebelahan dengan masjid atau pura
atau rumah ibadah lain. Di Bali, dua gereja berdekatan dengan Pura Jagatnatha dan berada di
pusat kota.

Semuanya akhirnya'dipotret' dan diwujudkan dalam Taman Mini Indonesia Indah yang di
dalamnya terdapat lima tempat ibadah Indonesia yang saling berdekatan. Rumah ibadah ini
adalah dalam kompleks rumah adat dari 27 provinsi di Indonesia (karena ini dibangun jaman
Soeharto maka masih ada 27 provinsi). Ini menunjukkan bahwa negara dan masyarakatnya
sadar bahwa banyak sekali perbedaan baik adat istiadat, kepercayaan, bahasa dan lain
sebagainya.

Keberadaan perbedaan ini sudah ada sejak Nusantara disatukan oleh patih GajahMada.
Wilayahnya tidak saja Jawa tapi juga Sumatera, Kalimantan, Bali, Nusa sampai Papua dan
kemudian lahir Indonesia. Indonesia dan Pancasila menyatukan perbedaan itu menjadi satu
bangsa besar dan berdaya.
Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, beberapa kejadian konflik antar umat di Indonesia
menggambarkan perkemangan yang terjadi setelah kita bersama-sama sebagai bangsa
melampaui berbagai rintangan menuju Indonesia yang bersatu dan rukun.

Kita mungkin masih ingat beberapa kejadian kekerasan dan ketidakadilan yang berlatar
belakang intoleransi yang terjadi di Tanah Air. Padahal jejak sejarah telah menorehkan
bahwa kuat hubungan antar umat beragama dan beragamnya suku bangsa di Indonesia .
Pancasila telah menjadi pondasi penting untuk harmonisasi bangsa dan itu diakui oleh banyak
bangsa lain.

Seperti kisah bagaimana golongan Islam yang mengakomodasi permintaan kalangan


nasionalis yang meminta penghapusan tujuh kata dalam pembukaan UUD 1945 yang
merupakan bagian dari Piagam Jakarta adalah bukti bagaimana kita punya saling pengertian
yang mendalam satu sama lain di Indonesia.

Karena itu, mari kita bersama mengingat semangat para pelaku kemerdekaan bangsa yang
mengesampingakan kepentingannya atau golongannya sendiri demi kepentingan bangsa dan
negara. Karena seperti masjid Istiqlal yang berdiri megah di dekat gejerja Katedral. Kita pun
mungkin harus belajar bahwa kita juga bisa berdiri dan hidup berdampingan dengan orang
yang berbeda dengan kita.

Indonesia Pasti Bisa !

(sumber: https://www.kompasiana.com/andikyo/5b7e38d443322f7e64187c53/berdampingan-
menuju-persatuan-indonesia)

Anda mungkin juga menyukai