TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Perwalian
terhadap anak, baik yang menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang
atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara buruk dan
3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 848.
4
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material Dalam Praktek Peradilan Agama ,
Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hal. 78.
5
Ibid, hal. 78.
baik) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya,
menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani
dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat
orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal dan
dimulai sejak anak lahir sampai ia mumayyiz. Tetapi mereka berbeda pendapat
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya baik jasmani dan rohani dari kebinasaan,
dalam arti luas dan sangat memerlukan perlindungan hukum untuk menghadapi
hidup.7
Masa mulai berlakunya pemeliharaan anak secara umum adalah sejak anak
itu berada dalam kandungan sampai anak itu dewasa atau berdiri sendiri. Batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang
anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
6
Ibid, hal. 160.
7
Iman Jauhari, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal.
48.
Hukum Islam). Tetapi pengertian pemeliharaan anak di sini adalah dalam artian
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan yang sudah
besar tetapi belum tamyiz. Jelasnya ukuran yang dipakai adalah tamyiz, misalnya
sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya. Di kalangan mazhab
Hanafi, masa asuhan ditetapkan tujuh tahu untuk anak laki-laki dan sembilan
tahun untuk wanita. Dalam hal ini Imam Syafii sebagaimana yang diikuti oleh
hadhanah, akan tetapi tinggal bersama ibunya sampai ia bisa menentukan pilihan
apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Jika si anak memilih tinggal bersama
ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian jika si anak diam (tidak memberikan
Menurut ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105,
bahwa batasan umur anak dianggap mumayyiz adalah 12 (dua belas) tahun, sesuai
(a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas)
(b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
8
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Mazahibil khamsah Terjemahan Afif
Muhammad, Basrie Press, Jakarta, 1994, hal. 136.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak
melakukan hadhanah. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang lain
terutama tentang lamanya masa asuhan ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu
dan tentang syarat menjadi pengasuh. Selama tidak ada hal yang menghalangi
pengasuhan ibu. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah bahwa ibu lebih berhak
memelihara anak laki-laki sampai ia besar yakni dapat maka, minum, berpakaian,
berwhudhu dan beristinjak sendiri. Sesudah itu berpindah hak hadhanah kepada
ayah. Anak perempuan lebih berhak dipelihara ibu sehingga sampai umurnya
(dewasa) dengan tidak ditachyirkan. Menurut Imam Malik bahwa anak perempuan
lebih berhak dipelihara ibu, sehingga ia kawin dan didukhuli oleh suaminya, anak
bahwa anak laki-laki dipelihara ibu sehingga tujuh tahun, sesudah itu
oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah mempunyai
kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus
dipenuhi, diantaranya:
9
TN Hasbi Ash-Shidieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970,
hal. 274.
a. Berakal sehat, orang yang tidak sehat akalnya tidak diperkenankan
merawat anak.
b. Sudah dewasa, maka kecil tidak diperkenankan menjadi hadhanah
sebab ia sendiri masih membutuhkan perawatan orang lain.
c. Mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karenanya orang yang
rabun matanya atau tunanetra, punya penyakit menular, usia lanjut dan
mempunyai tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kepada
kerabat anak kecil itu sendiri dilarang menjadi orang yang
melaksanakan hadhanah.
d. Amanah dan berbudi luhur, orang yang curang tidak aman bagi anak
yang diasuhnya, bukan tidak jarang seorang anak meniru orang yang
curang dalam hidupnya.
e. Beragama Islam, para ulama Mazhab berbeda tentang ini, mazhab
Imamiyah dan Syafi’i tidak memperkenalkan seorang kafir mengasuh
anak-anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab lain tidak
mensyaratkan hal itu. Demikian juga para ahli hukum Islam di
kalangan Hanafi berpendapat bahwa kemurtadan wanita ada laki-laki
pengasuh menggugurkan hak asuhnya.
f. Ibunya belum kawin lagi, jika ibu si anak yang diasuh itu kawin dengan
laki-laki lain, maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.
g. Merdeka dan bukan budak, seorang budak biasanya sangat sibuk
dengan urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkannya. 10
sangat utama sekali dalam kehidupan karena ia adalah merupakan gene penerus
orang tua atas diri anak-anak yang belum dewasa dan hal ini yang menjadi sebab
umum mengapa anak yang belum dewasa berada di bawah perwalian. Akan tetapi
bisa juga terjadi jika kedua orang tua cerai atau salah satu dari mereka meninggal
10
Abdul Manan, Op.cit, hal. 80.
dunia. Jadi anak-anak yang belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan
Seorang wali mempunyai tugas yang berat dan tanggung jawab yang besar
atas diri si anak serta kekayaan si anak yang berada di bawah perwaliannya.
Kewajiban menerima perwalian diatur secara umum dalam Pasal 332 KUH
Perdata yang menyebutkan bahwa pada umumnya setiap orang wajib menerima
pengangkatan sebagai wali dan wali sedapatnya diambil dari keluarga anak
tersebut.
b. Adil
c. Jujur
d. Berkelakuan baik.
11
. Soetojo Prawirohamidjoyo dan Aziz Safioeddin, Hukum Orang dan Keluarga,
Alumni, Bandung, 1996, hal. 171.
Pada azasnya setiap orang dapat diangkat sebagai wali akan tetapi Pasal
379 KUH Perdata menyebutkan lima golongan orang yang tidak dapat diangkat
d. Mereka yang telah dipecat baik dari kekuasaan orang tua maupun perwalian.
e. Para ketua, ketua pengganti, anggota panitera, juru buku, balai harta
untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan
atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau kedua orang tua
atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Dengan demikian wali adalah orang yang diberi kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum demi kepentingan anak yang tidak memiliki kedua orang
tuanya atau kedua orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Ada
beberapa ayat yang dapat dijadikan rujukan untuk menjelaskan keberadaan wali.
Firman Allah:
Artinya: ...jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin,
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu tergesa-
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta
anak yatim) itu dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakan harta
itu menurut yang patut, kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada
mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi
mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu) (An-Nisa’,
4:6).
anak yang belum dewasa serta peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak
dan harta yang di bawah perwaliannya. Untuk mengetahui secara rinci, kita
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
Pasal 51 ayat (1) wali dapat ditunjuk oleh satu orang yang menjalankan.
Apabila perkawinan bubar karena kematian salah satu pihak, suami atau
istri maka demi hukum orang tua yang masih hidup bertindak menjadi wali
bagi anak-anaknya yang masih di bawah umur. Artinya bahwa orang tua yang
masih hidup tidak lagi memegang kekuasaannya sebagai orang tua, sebagai
itu. Ia berstatus menjadi wali bagi anak-anaknya yang masih di bawah umur.
selama perkawinan masih ada. Dengan demikian jika perkawinan itu bubar
karena meninggalnya salah satu dari suami atau istri maka dengan sendirinya
orang tua yang lain bertindak sebagai wali tanpa permohonan terlebih dahulu
tersendiri.
Seorang bapak atau ibu pada saat hidupnya dapat mengangkat (menunjuk)
seorang lain menjadi wali bagi anak-anaknya yang belum dewasa yang berlaku
surat wasiat atau akta lainnya atau dapat juga dilakukan secara lisan di
Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, dan orang tua yang hidup
terlama tidak mengangkat (menunjuk) seorang wali untuk anaknya yang masih
di bawah umur sebelumnya, maka bagi anak yang belum dewasa itu dapat
diangkat seorang wali oleh hakim, setelah mendengar terlebih dahulu keluarga
sedarah atau semenda dari anak tersebut. Atau apabila orang tua yang sedang
menjalankan perwalian (wali oleh orang tua yang hidup terlama) tidak mampu
seorang wali bagi anak tersebut yang berlaku sampai orang tuanya itu minta
berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak
bahwa:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah
kekuasaan wali.
bendanya.
untuk apa perwalian itu atau dalam perbuatan apa perwalian itu berlangsung.
Sedangkan pada pengertian pertama di atas dapat dilihat bahwa perwalian itu
adalah berupa pengawasan terhadap anak belum dewasa dan pengurusan benda
atau kekayaannya.
kewajiban seorang wali, maka tidak hanya pengawasan yang dilakukan oleh
seorang wali, namun lebih luas lagi dari itu, yakni mengurus kepentingan si anak
anak, kesehatan dan sebagainya. Jadi wali dalam hal ii tidak hanya mengawasi
saja, namun aktif berbuat segala sesuatu yang dianggap perlu untuk memenuhi
kepentingan si anak.
Selanjutnya mengenai harta benda si anak wali bertanggungjawab atas
pengurusannya. Pengurusan dalam hal ini adalah menjaga agar anak tidak musnah
ataupun melakukan perbuatan lain yang dianggap perlu dan pantas dilakukan demi
maka orang yang memegang kuasa untuk mengurus kepentingan si anak dan harta
bendanya itu disebut wali. Dengan perkataan lain, wali adalah orang yang
Pengertian wali dalam hal ini dibatasi pada wali yang bertindak mengurus
kepentingan pribadi dan harta benda anak belum dewasa yang tidak dalam
hukum Islam sebagai bandingannya dapat disamakan dengan wali
hadhanah, yaitu perempuan yang memelihara pribadi anak yang ditinggal
mati ayahnya atau kedua orang tuanya. 12
Jika barang-barang si anak yang di bawah perwalian ada di luar negeri dan
pengertian ini sebenarnya dapat juga ditafsirkan apabila barang-barang itu sangat
jauh dari domisili si wali, misalnya wali Sumatera tetapi harta benda si anak di
Kalimantan. Hal ini dikarenakan keadaan geografis Indonesia itu sendiri yang
terdiri dari beribu-ribu pulau. Jadi jika timbul masalah seperti ii, maka menurut
penulis berlakulah ketentuan ini, jadi tidak hanya jika barang itu di luar negeri.
anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan
12
Saidus Syahrar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau
Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1986, hal. 82.
perkawinan. Perwalian tersebut meliputi perwalian terhadap diri dan harta
kekayaannya. Jika seorang wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan
keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,
Mengenai tugas dan kewajiban wali terhadap diri dan harta benda anak
yang di bawah perwaliannya, dijelaskan dalam Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam
yaitu:
a. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah
bimbingan agar pendidikan dan keterampilannya untuk masa depan orang yang
13
Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 263.
c. Wali bertanggungjawab terhadap harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesal atau
kelalaiannya.
d. Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4)
harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu bulan sekali.
Ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam secara
umum telah diatur dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa
“wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah
kekuasaannya, atau atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan
kerugian tersebut. 14
Perwalian terjadi akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua atas diri
anak-anak yang ditinggalkan belum dewasa (anak yatim piatu) langsung jatuh di
bawah pemeliharaan kerabat dari orang tua lelaki pada masyarakat patrilineal dan
pada kerabat ibu pada masyarakat matrilineal atau pada salah satu kerabat ayah
yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
14
Ibid, hal. 264.
Perwalian seseorang berakhir, jika anak yang di bawah perwaliannya telah
mencapai umur 21 tahun atau telah kawin. Karena umur 21 tahun atau telah kawin
15
Ibid, hal. 266.
b. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Perkawinan.” Kata-katanya jelas, namun konsep dan perumusan yang jelas itu
sepenuhnya berasal dan menurut pola hukum perdata barat. Menurut Hukum Islam
perkawinan hanyalah sah apabila dilakukan setelah syarat dan rukun pernikahan
kesahan perkawinan, tetapi unsur yang bersifat deklaratif, sebagai alat bukti yang
nursalah, pencatatan itu condition sine qua non (syarat mutlak) bagi suami istri
nanti. Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia,
kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Hal
ini berarti bahwa negara wajib mengatur dan menjalankan hukum yang berasal
dari ajaran agama. Artinya adalah, negara berkewajiban menjalankan syariat
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan seperti shalat dan puasa, misalnya
Namun demikian, perlu segera dicatat, karena keunikan sistem ajaran Islam dan
hukum Islam, ada juga hukum Islam yang termasuk dalam kategori ibadah,
negeri, agar umat Islam Indonesia dapat melakukan syariat Islam mengenai ibadah
Indonesia adalah negara yang berdiri atas keinsafan keseimbangan antara hukum
dan moral. Oleh karena itu antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurut
Hazairin juga, hukum tanpa kesusilaan adalah kelaziman, kesusilaan tanpa hukum
adalah anarki dan utopi. Pelaksanaan hukum tanpa kesusilaan (moral) akan
menuju keperikebinatangan. Hanya hukum yang didukung oleh atau berakar pada
a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Jika akta
kelahiran ataupun surat kenal lahir tidak ada, Pegawai Pencatat Perkawinan
harus meneliti surat keterangan yang menerangkan umur dan asal usul calon
mempelai yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau pejabat yang setingkat
dengan itu. Jadi jika tidak ada akta kelahiran atau surat keterangan lahir calon
c. Izin tertulis:
1) Izin tertulis dari orang tua apabila calon mempelai belum mencapai umur
21 tahun dan jika salah seorang orang tua telah meninggal dunia izin
2) Jika orang tua tidak ada maka izin dimaksud diberikan oleh wali atau oleh
3) Jika diantara orang tua dan wali terdapat perbedaan pendapat, izin untuk
tersebut pada Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974.
Nomor 1 Tahun 1974 bagi calon mempelai yang masih mempunyai istri
perkawinan dengan istri kedua atau ketiga jika yang bersangkutan telah
lain harus mendapat izin dari Pengadilan akan maksud beristri lebih dari
persetujuan dari istri terdahulu. Atau Pengadilan dapat juga memberi izin
sebagai istri atau oleh karena menjalankan kewajibannya sebagai istri atau
umur 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan umur 16 tahun bagi calon
satu dari mereka belum cukup, mereka dapat meminta dispensasi dan
Perkawinan apakah dispensasi itu sah atau tidak atau salah satu dari
atau suami yang terdahulu. Jika perkawinan yang terdahulu putus oleh
perceraian itu apakah merupakan perceraian yang pertama atau yang kedua
7) Memeriksa surat kuasa otentik atau surat kuasa di bawah tangan yang
mempelai ataupun keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan
perkawinan kepada orang lain. Jika ada halangan bagi calon mempelai
untuk hadir sendiri dapat dikuasakan kepada orang lain dengan jalan
memberi kuasa dengan surat kuasa otentik dan dengan surat kuasa di
Urusan Agama (KUA) atau kepada orang tua mereka ataupun kepada wakilnya.
perkawinan itu tidak lain semata-mata untuk kepentingan administratif saja dan
tidak ada hubungannya dengan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Karena
16
K. Wantjik Saleh Urusan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Ichtiar
Baru, Jakarta, 1992, hal. 16.
Dengan demikian pencatatan perkawinan selain merupakan syarat
tidak ada keberatan-keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana calon
Perkawinan telah menyiapkan akta nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai
hal-hal yang diperlukan seperti yang diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah
kediaman suami istri. Jika salah seorang atau keduanya pernah kawin,
c. Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
1 Tahun 1974.
f. Persetujuan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974.
Bersenjata.
i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan wali