Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Perwalian

1. Pengertian Perwalian

Pemeliharaan menurut etimologi adalah “proses, cara, perbuatan

memelihara, penjagaan, perawatan, pendidikan, penyelamatan, penjagaan harta

kekayaan.” 3 Menurut Ash-Shan’ani sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan,

menyebutkan bahwa istilah hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum

mampu berdiri sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala

yang membahayakan jiwanya. 4

“Hadhanah itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perwalian

terhadap anak, baik yang menyangkut dengan perkawinan maupun sesuatu yang

menyangkut hartanya”. 5 Hadhanah tersebut adalah semata-mata tentang perkara

anak dalam arti mendidik dan mengasuhnya sehingga memerlukan seseorang

wanita pengasuh untuk merawatnya sehingga ia dewasa.

Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa hadhanah adalah

melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan

atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz (dapat membedakan antara buruk dan

3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 848.
4
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Material Dalam Praktek Peradilan Agama ,
Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2003, hal. 78.
5
Ibid, hal. 78.
baik) tanpa perintah padanya, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya,

menjaga dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani

dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat

memikul tanggung jawabnya. 6

Hadhanah merupakan suatu kewenangan untuk merawat dan mendidik

orang yang belum mumayyiz atau orang yang dewasa tetapi kehilangan akal dan

kecerdasan berpikirnya. Ulamah Fiqih sepakat menyatakan bahwa pengasuhan itu

dimulai sejak anak lahir sampai ia mumayyiz. Tetapi mereka berbeda pendapat

kapan berakhirnya hadhanah tersebut. Kemudian istilah pengembangan hukum

hadhanah adalah perluasan interpretasi dari pengertian menjaga dari segala

sesuatu yang menyakiti dan merusaknya baik jasmani dan rohani dari kebinasaan,

sehingga pengembangan hadhanah kepada orang-orang yang kondisinya lemah

dalam arti luas dan sangat memerlukan perlindungan hukum untuk menghadapi

hidup.7

Masa mulai berlakunya pemeliharaan anak secara umum adalah sejak anak

itu berada dalam kandungan sampai anak itu dewasa atau berdiri sendiri. Batas

usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang

anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai

segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 98 Kompilasi

6
Ibid, hal. 160.
7
Iman Jauhari, Hak-hak Anak Dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal.
48.
Hukum Islam). Tetapi pengertian pemeliharaan anak di sini adalah dalam artian

hadhanah sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq adalah melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan yang sudah

besar tetapi belum tamyiz. Jelasnya ukuran yang dipakai adalah tamyiz, misalnya

sudah bisa makan sendiri, mandi sendiri dan sebagainya. Di kalangan mazhab

Hanafi, masa asuhan ditetapkan tujuh tahu untuk anak laki-laki dan sembilan

tahun untuk wanita. Dalam hal ini Imam Syafii sebagaimana yang diikuti oleh

Muhammad Jawad Mughniyah menjelaskan tidak ada batasan tertentu bagi

hadhanah, akan tetapi tinggal bersama ibunya sampai ia bisa menentukan pilihan

apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Jika si anak memilih tinggal bersama

ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian jika si anak diam (tidak memberikan

pilihan), maka anak tersebut diminta untuk ikut ibunya. 8

Menurut ketentuan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105,

bahwa batasan umur anak dianggap mumayyiz adalah 12 (dua belas) tahun, sesuai

ketentuan bahwa dalam hal terjadinya perceraian:

(a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas)

tahun adalah hak ibunya.

(b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.

8
Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Mazahibil khamsah Terjemahan Afif
Muhammad, Basrie Press, Jakarta, 1994, hal. 136.
Para ahli hukum Islam sepakat bahwa ibu adalah orang yang paling berhak

melakukan hadhanah. Namun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang lain

terutama tentang lamanya masa asuhan ibu, siapa yang paling berhak setelah ibu

dan tentang syarat menjadi pengasuh. Selama tidak ada hal yang menghalangi

untuk memelihara anak, maka ibulah yang harus melaksanakan hadhanah.

Pendapat para ulama tentang lamanya massanya anak berada dalam

pengasuhan ibu. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah bahwa ibu lebih berhak

memelihara anak laki-laki sampai ia besar yakni dapat maka, minum, berpakaian,

berwhudhu dan beristinjak sendiri. Sesudah itu berpindah hak hadhanah kepada

ayah. Anak perempuan lebih berhak dipelihara ibu sehingga sampai umurnya

(dewasa) dengan tidak ditachyirkan. Menurut Imam Malik bahwa anak perempuan

lebih berhak dipelihara ibu, sehingga ia kawin dan didukhuli oleh suaminya, anak

laki-laki hingga sampai umur (mumayyiz). Menurut Imam Ahmad bi Hambali

bahwa anak laki-laki dipelihara ibu sehingga tujuh tahun, sesudah itu

ditachyirkan. Anak perempuan dipelihara terus oleh ibu, tidak ditakhyirkan

sesudah berumur tujuh tahun itu. 9

Masalah hadhanah merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan,

oleh karena itu orang yang melaksanakan hadhanah itu haruslah mempunyai

kecakapan dan kecukupan serta perlu adanya syarat-syarat tertentu yang harus

dipenuhi, diantaranya:

9
TN Hasbi Ash-Shidieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970,
hal. 274.
a. Berakal sehat, orang yang tidak sehat akalnya tidak diperkenankan
merawat anak.
b. Sudah dewasa, maka kecil tidak diperkenankan menjadi hadhanah
sebab ia sendiri masih membutuhkan perawatan orang lain.
c. Mempunyai kemampuan dan keahlian, oleh karenanya orang yang
rabun matanya atau tunanetra, punya penyakit menular, usia lanjut dan
mempunyai tabiat suka marah kepada anak-anak meskipun kepada
kerabat anak kecil itu sendiri dilarang menjadi orang yang
melaksanakan hadhanah.
d. Amanah dan berbudi luhur, orang yang curang tidak aman bagi anak
yang diasuhnya, bukan tidak jarang seorang anak meniru orang yang
curang dalam hidupnya.
e. Beragama Islam, para ulama Mazhab berbeda tentang ini, mazhab
Imamiyah dan Syafi’i tidak memperkenalkan seorang kafir mengasuh
anak-anak yang beragama Islam, sedangkan mazhab lain tidak
mensyaratkan hal itu. Demikian juga para ahli hukum Islam di
kalangan Hanafi berpendapat bahwa kemurtadan wanita ada laki-laki
pengasuh menggugurkan hak asuhnya.
f. Ibunya belum kawin lagi, jika ibu si anak yang diasuh itu kawin dengan
laki-laki lain, maka hak hadhanah yang ada padanya menjadi gugur.
g. Merdeka dan bukan budak, seorang budak biasanya sangat sibuk
dengan urusan-urusan majikannya yang sulit ditinggalkannya. 10

Pemeliharaan anak sama pengertian dan ketentuan-ketentuan yang

mengaturnya dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam. Pemeliharaan anak

sangat utama sekali dalam kehidupan karena ia adalah merupakan gene penerus

bagi kehidupan manusia pada masa yang akan datang.

Pemeliharaan anak atau perwalian terjadi akibat dari pencabutan kekuasaan

orang tua atas diri anak-anak yang belum dewasa dan hal ini yang menjadi sebab

umum mengapa anak yang belum dewasa berada di bawah perwalian. Akan tetapi

bisa juga terjadi jika kedua orang tua cerai atau salah satu dari mereka meninggal

10
Abdul Manan, Op.cit, hal. 80.
dunia. Jadi anak-anak yang belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan

orang tua, berada di bawah perwalian.

Menurut R. Soetojo Prawirohamidjoyo dan Aziz Safioeddin disebutkan

bahwa perwalian ada tiga macam yakni:

a. Perwalian oleh suami istri yang hidup paling lama (langstuvende


echtgenoot) Pasal 345 sampai dengan pasal 354 KUH Perdata.
b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau
akta tersendiri.
c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim. 11

Seorang wali mempunyai tugas yang berat dan tanggung jawab yang besar

atas diri si anak serta kekayaan si anak yang berada di bawah perwaliannya.

Kewajiban menerima perwalian diatur secara umum dalam Pasal 332 KUH

Perdata yang menyebutkan bahwa pada umumnya setiap orang wajib menerima

pengangkatan sebagai wali dan wali sedapatnya diambil dari keluarga anak

tersebut.

Karena itu untuk menjadi wali mempunyai syarat-syarat seperti yang

terdapat dalam Pasal 51 ayat (2) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 yakni harus:

a. Orang yang berpikiran sehat

b. Adil

c. Jujur

d. Berkelakuan baik.

11
. Soetojo Prawirohamidjoyo dan Aziz Safioeddin, Hukum Orang dan Keluarga,
Alumni, Bandung, 1996, hal. 171.
Pada azasnya setiap orang dapat diangkat sebagai wali akan tetapi Pasal

379 KUH Perdata menyebutkan lima golongan orang yang tidak dapat diangkat

menjadi wali yakni:

a. Mereka yang sakit ingatan

b. Mereka yang belum dewasa

c. Mereka yang di bawah pengampuan

d. Mereka yang telah dipecat baik dari kekuasaan orang tua maupun perwalian.

e. Para ketua, ketua pengganti, anggota panitera, juru buku, balai harta

peninggalan kecuali terhadap anak tiri mereka sendiri.

Dalam ketentuan umum Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam huruf h

dikemukakan, perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang

untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan

atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau kedua orang tua

atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Dengan demikian wali adalah orang yang diberi kewenangan untuk melakukan

perbuatan hukum demi kepentingan anak yang tidak memiliki kedua orang

tuanya atau kedua orang tuanya tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Ada

beberapa ayat yang dapat dijadikan rujukan untuk menjelaskan keberadaan wali.

Firman Allah:

Artinya: ...jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah

(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaknya

walinya mengimplakkan dengan juju.... (Al-Baqaah, 2: 282).


Juga Firman-ya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang

belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang

dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian

(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin,

kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara

harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu

makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu tergesa-

gesa membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara

pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta

anak yatim) itu dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakan harta

itu menurut yang patut, kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada

mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi

mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu) (An-Nisa’,

4:6).

Kutipan ayat-ayat di atas menunjukkan dalil dan dasar rukun perwalian

anak yang belum dewasa serta peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak

dan harta yang di bawah perwaliannya. Untuk mengetahui secara rinci, kita

kemukakan penjelasan dari Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam Dalam Bab XI Pasal 54 diatur tentang perwalian.


Pasal 50:

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,

berada di bawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta

bendanya.

Pasal 51 ayat (1) wali dapat ditunjuk oleh satu orang yang menjalankan.

2. Jenis dan Peringkat Wali

Dalam hukum perdata dikenal 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:

a. Perwalian oleh suami atau istri yang hidup terlama

Apabila perkawinan bubar karena kematian salah satu pihak, suami atau

istri maka demi hukum orang tua yang masih hidup bertindak menjadi wali

bagi anak-anaknya yang masih di bawah umur. Artinya bahwa orang tua yang

masih hidup tidak lagi memegang kekuasaannya sebagai orang tua, sebagai

kekuasaannya sebagai orang tua telah berakhir karena bubarnya perkawinan

itu. Ia berstatus menjadi wali bagi anak-anaknya yang masih di bawah umur.

Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan orang tua hanya berlangsung

selama perkawinan masih ada. Dengan demikian jika perkawinan itu bubar

karena meninggalnya salah satu dari suami atau istri maka dengan sendirinya

orang tua yang lain bertindak sebagai wali tanpa permohonan terlebih dahulu

ke pengadilan. Jadi kedudukannya otomatis menjadi wali.


b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta

tersendiri.

Seorang bapak atau ibu pada saat hidupnya dapat mengangkat (menunjuk)

seorang lain menjadi wali bagi anak-anaknya yang belum dewasa yang berlaku

sejak ia meninggal dunia. Penunjukan atau pengangkatan ini dilakukan dengan

surat wasiat atau akta lainnya atau dapat juga dilakukan secara lisan di

hadapan 2 orang saksi.

c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim

Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia, dan orang tua yang hidup

terlama tidak mengangkat (menunjuk) seorang wali untuk anaknya yang masih

di bawah umur sebelumnya, maka bagi anak yang belum dewasa itu dapat

diangkat seorang wali oleh hakim, setelah mendengar terlebih dahulu keluarga

sedarah atau semenda dari anak tersebut. Atau apabila orang tua yang sedang

menjalankan perwalian (wali oleh orang tua yang hidup terlama) tidak mampu

menjalankan tugas perwaliannya maka dalam hal ii hakim dapat mengangkat

seorang wali bagi anak tersebut yang berlaku sampai orang tuanya itu minta

kembali kekuasaannya sebagai wali.

3. Fungsi Perwalian Terhadap Kepentingan Anak

Perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur yang tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak

tersebut di atur oleh undang-undang. Dengan demikian yang dapat ditempatkan di


bawah perwalian adalah anak yang belum dewasa dan tidak berada di bawah

kekuasaan orang tua. Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan

bahwa:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah

kekuasaan wali.

2. Perwalian itu mempunyai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta

bendanya.

Dari keterampilan di atas, dapat dilihat perbedaan pengertian tentang

perwalian yakni bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak menyebut

untuk apa perwalian itu atau dalam perbuatan apa perwalian itu berlangsung.

Sedangkan pada pengertian pertama di atas dapat dilihat bahwa perwalian itu

adalah berupa pengawasan terhadap anak belum dewasa dan pengurusan benda

atau kekayaannya.

Sebenarnya menurut penulis apabila dihubungkan dengan tugas dan

kewajiban seorang wali, maka tidak hanya pengawasan yang dilakukan oleh

seorang wali, namun lebih luas lagi dari itu, yakni mengurus kepentingan si anak

yang berada di bawah perwalian itu, misalnya penyelenggaraan pendidikan si

anak, kesehatan dan sebagainya. Jadi wali dalam hal ii tidak hanya mengawasi

saja, namun aktif berbuat segala sesuatu yang dianggap perlu untuk memenuhi

kepentingan si anak.
Selanjutnya mengenai harta benda si anak wali bertanggungjawab atas

pengurusannya. Pengurusan dalam hal ini adalah menjaga agar anak tidak musnah

ataupun melakukan perbuatan lain yang dianggap perlu dan pantas dilakukan demi

kepentingan barang itu sendiri atau demi kepentingan si anak.

Manakala seorang anak di bawah umur ditempatkan di bawah perwalian,

maka orang yang memegang kuasa untuk mengurus kepentingan si anak dan harta

bendanya itu disebut wali. Dengan perkataan lain, wali adalah orang yang

memegang kekuasaan perwalian atas seorang anak belum dewasa.

Pengertian wali dalam hal ini dibatasi pada wali yang bertindak mengurus
kepentingan pribadi dan harta benda anak belum dewasa yang tidak dalam
hukum Islam sebagai bandingannya dapat disamakan dengan wali
hadhanah, yaitu perempuan yang memelihara pribadi anak yang ditinggal
mati ayahnya atau kedua orang tuanya. 12

Jika barang-barang si anak yang di bawah perwalian ada di luar negeri dan

di sana ditunjuk wali khusus untuk mengurus barang-barang tersebut. Dalam

pengertian ini sebenarnya dapat juga ditafsirkan apabila barang-barang itu sangat

jauh dari domisili si wali, misalnya wali Sumatera tetapi harta benda si anak di

Kalimantan. Hal ini dikarenakan keadaan geografis Indonesia itu sendiri yang

terdiri dari beribu-ribu pulau. Jadi jika timbul masalah seperti ii, maka menurut

penulis berlakulah ketentuan ini, jadi tidak hanya jika barang itu di luar negeri.

Menurut Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam, perwalian hanya terhadap

anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan

12
Saidus Syahrar, Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau
Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1986, hal. 82.
perkawinan. Perwalian tersebut meliputi perwalian terhadap diri dan harta

kekayaannya. Jika seorang wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan

tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang

kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

Untuk menjadi seorang wali maka wali sedapat-dapatnya diambil dari

keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil,

jujur dan berkelakuan baik atau badan hukum.

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan


hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan
kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau
melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali
demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. 13

Mengenai tugas dan kewajiban wali terhadap diri dan harta benda anak

yang di bawah perwaliannya, dijelaskan dalam Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam

yaitu:

a. Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah

perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan

bimbingan agar pendidikan dan keterampilannya untuk masa depan orang yang

berada di bawah perwaliannya.

b. Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang

berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan

bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu

kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.

13
Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 263.
c. Wali bertanggungjawab terhadap harta orang yang berada di bawah

perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesal atau

kelalaiannya.

d. Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut

harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu bulan sekali.

Ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam secara

umum telah diatur dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa

“wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah

kekuasaannya, atau atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan

keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti

kerugian tersebut. 14

Perwalian terjadi akibat dari pencabutan kekuasaan orang tua atas diri

anak-anak yang ditinggalkan belum dewasa (anak yatim piatu) langsung jatuh di

bawah pemeliharaan kerabat dari orang tua lelaki pada masyarakat patrilineal dan

pada kerabat ibu pada masyarakat matrilineal atau pada salah satu kerabat ayah

atau kerabat ibu pada susunan masyarakat parental.

Menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa perwalian hanya terhadap anak

yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan

perkawinan.

14
Ibid, hal. 264.
Perwalian seseorang berakhir, jika anak yang di bawah perwaliannya telah

mencapai umur 21 tahun atau telah kawin. Karena umur 21 tahun atau telah kawin

dianggap telah dapat hidup mandiri.

Pembatasan umur 21 tahun atau telah kawin tersebut ditentukan

berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan kemandirian anak.

Secara metodologis, penentuan batas usia 21 tahun atau telah kawin


didasarkan pada metode istislah atau maslahat mursalah, yaitu kebaikan
anak yang bersangkutan yang hakikatnya sejalan dengan maksud syari’ah
dalam menetapkan hukum. Kendatipun demikian, apabila dalam
kenyataannya usia 21 tahun, anak tersebut belum menunjukkan maka
perwalian dapat diteruskan, demi kepentingan anak. 15

B. Tinjauan Tentang Pencatatan Perkawinan

1. Keharusan Pencatatan Perkawinan

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 5 menjelaskan bahwa:

a. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap

perkawinan harus dicatat.

b. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 jo Undang-

undang Nomor 32 Tahun 1954.

Tentang teknis pelaksanaannya dijelaskan dalam Pasal 6 Kompilasi Hukum

Islam yang menyebutkan:

a. Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 5, setiap perkawinan harus


dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.

15
Ibid, hal. 266.
b. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Rumusan Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi,

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di depan Pegawai Pencatat

Perkawinan.” Kata-katanya jelas, namun konsep dan perumusan yang jelas itu

sepenuhnya berasal dan menurut pola hukum perdata barat. Menurut Hukum Islam

perkawinan hanyalah sah apabila dilakukan setelah syarat dan rukun pernikahan

dipenuhi. Pencatatan perkawinan bukan rukun yang menentukan kesahan

perkawinan, tetapi (memang) sangat berguna untuk kemaslahatan suami-istri dan

untuk kepentingan administrasi perkawinan itu sendiri dalam rangka memelihara

ketertiban umum atau kepentingan suami-istri bersangkutan dan anak-anaknya.

Pencatatan perkawinan, bukan merupakan unsur konstitutif yang menimbulkan

kesahan perkawinan, tetapi unsur yang bersifat deklaratif, sebagai alat bukti yang

menyatakan bahwa mereka (orang-orang itu) memang suami-istri.

Mengenai pencatatan tersebut di atas, perlu dijelaskan bahwa dalam sistem

hukum perkawinan Indonesia sekarang, pencatatan nikah, kendatipun ia bukan

rukun menurut hukum pernikahan Islam klasik, tetapi berdasarkan maslahah

nursalah, pencatatan itu condition sine qua non (syarat mutlak) bagi suami istri

bersangkutan dan anak-anaknya, karena menyangkut masalah kewarisan mereka

nanti. Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia,

kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Hal

ini berarti bahwa negara wajib mengatur dan menjalankan hukum yang berasal
dari ajaran agama. Artinya adalah, negara berkewajiban menjalankan syariat

agama untuk kepentingan pemeluk agama yang bersangkutan. Syariat Islam

mengatur hubungan manusia dengan Tuhan seperti shalat dan puasa, misalnya

adalah kewajiban pribadi pemeluk agama Islam untuk melaksanakannya sendiri.

Namun demikian, perlu segera dicatat, karena keunikan sistem ajaran Islam dan

hukum Islam, ada juga hukum Islam yang termasuk dalam kategori ibadah,

Pemerintah RI wajib membantu penyelenggaraannya dengan menyediakan

fasilitas berupa sarana pengangkutan kesehatan dan alat-alat pembayaran luar

negeri, agar umat Islam Indonesia dapat melakukan syariat Islam mengenai ibadah

haji di Mekkah Arab Saudi, misalnya.

Syariat agama yang mengandung kaidah-kaidah kesusilaan, akhlak atau

moral sangat penting untuk ditegakkan. Menurut Hazairin, negara republik

Indonesia adalah negara yang berdiri atas keinsafan keseimbangan antara hukum

dan moral. Oleh karena itu antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Menurut

Hazairin juga, hukum tanpa kesusilaan adalah kelaziman, kesusilaan tanpa hukum

adalah anarki dan utopi. Pelaksanaan hukum tanpa kesusilaan (moral) akan

menuju keperikebinatangan. Hanya hukum yang didukung oleh atau berakar pada

kesusilaan yang dapat menegakkan perikemanusiaan.

2. Tugas dan Wewenang Pegawai Pencatat Perkawinan

Mengenai tugas dan wewenang Pegawai Pencatat Perkawinan diatur oleh

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pegawai Pencatat Perkawinan yang

menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan harus meneliti


surat-surat yang disebut oleh Pasal 6 apakah syarat-syarat perkawinan yang

ditentukan dalam Bab II Undang-Undang Perkawinan telah benar-benar dipenuhi

dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.

Pegawai Pencatat Perkawinan juga meneliti tentang:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Jika akta

kelahiran ataupun surat kenal lahir tidak ada, Pegawai Pencatat Perkawinan

harus meneliti surat keterangan yang menerangkan umur dan asal usul calon

mempelai yang dikeluarkan oleh Kepala Desa atau pejabat yang setingkat

dengan itu. Jadi jika tidak ada akta kelahiran atau surat keterangan lahir calon

mempelai dapat menggantinya dengan surat keterangan Kepala Desa yang

memuat umur dan asal-usul kelahirannya.

b. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

tinggal orang tua calon mempelai.

c. Izin tertulis:

1) Izin tertulis dari orang tua apabila calon mempelai belum mencapai umur

21 tahun dan jika salah seorang orang tua telah meninggal dunia izin

tersebut diberikan oleh orang tua yang masih hidup.

2) Jika orang tua tidak ada maka izin dimaksud diberikan oleh wali atau oleh

orang yang memelihara ataupun orang yang mempunyai hubungan

kewalian sesuai dengan kekerabatan dalam garis lurus ke atas.

3) Jika diantara orang tua dan wali terdapat perbedaan pendapat, izin untuk

melakukan perkawinan dapat diberikan oleh pengadilan dalam daerah


hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang yang bersangkutan sendiri. Dalam hal yang demikian

Pengadilan dapat memberikan izin setelah mendengar orang-orang yang

tersebut pada Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974.

4) Izin Pengadilan seperti yang dimaksud oleh Pasal 4 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 bagi calon mempelai yang masih mempunyai istri

yaitu bagi seorang suami yang masih beristri dapat melangsungkan

perkawinan dengan istri kedua atau ketiga jika yang bersangkutan telah

memenuhi ketentuan Pasal 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Antara

lain harus mendapat izin dari Pengadilan akan maksud beristri lebih dari

seorang istri. Pengadilan memberikan izin setelah memeriksa adanya

persetujuan dari istri terdahulu. Atau Pengadilan dapat juga memberi izin

tanpa persetujuan istri jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai istri atau oleh karena menjalankan kewajibannya sebagai istri atau

karena dari istri tidak mungkin didapat persetujuan dimaksud.

5) Pegawai Pencatat Perkawinan harus meneliti umur calon mempelai. Karena

perkawinan baru boleh dilangsungkan oleh mereka yang telah mencapai

umur 19 tahun bagi calon mempelai laki-laki dan umur 16 tahun bagi calon

mempelai perempuan sebagaimana telah ditentukan dalam Psal 7 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Tapi Pasal 7 ayat (2) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan kemungkinan bagi Pengadilan


untuk memberi izin perkawinan sekalipun umur calon mempelai atau salah

satu dari mereka belum cukup, mereka dapat meminta dispensasi dan

tentang adanya dispensasi ini harus diteliti oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan apakah dispensasi itu sah atau tidak atau salah satu dari

mereka belum cukup, mereka harus diteliti oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan apakah dispensasi itu sah atau tidak.

6) Pegawai Pencatat Perkawinan juga harus memeriksa surat kematian istri

atau suami yang terdahulu. Jika perkawinan yang terdahulu putus oleh

karena perceraian, Pegawai Pencatat Perkawinan harus memeriksa surat

perceraian itu apakah merupakan perceraian yang pertama atau yang kedua

kalinya atau yang kesekian kalinya.

7) Memeriksa surat kuasa otentik atau surat kuasa di bawah tangan yang

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan apabila salah seorang calon

mempelai ataupun keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan

yang sangat mendesak sekali, mewakilkan pelaksanaan berlangsungnya

perkawinan kepada orang lain. Jika ada halangan bagi calon mempelai

untuk hadir sendiri dapat dikuasakan kepada orang lain dengan jalan

memberi kuasa dengan surat kuasa otentik dan dengan surat kuasa di

bawah tangan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

dituliskan di dalam sebuah daftar yang ditentukan untuk itu.


Jika dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau belum dipenuhi

syarat-syarat dimaksud segera diberitahukan kepada calon mempelai oleh Kantor

Urusan Agama (KUA) atau kepada orang tua mereka ataupun kepada wakilnya.

3. Fungsi Pencatatan Perkawinan

Seperti diketahui bahwa pencatatan perkawinan hanyalah merupakan

tindakan administratif. Jadi pencatatan perkawinan bukan merupakan faktor yang

menentukan sah tidaknya perkawinan.

Dengan demikian jelaslah bahwa manfaat dan fungsi pencatatan

perkawinan itu tidak lain semata-mata untuk kepentingan administratif saja dan

tidak ada hubungannya dengan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Karena

bagaimanapun sahnya suatu perkawinan adalah jika dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sehingga proses pencatatan

hanya merupakan tuntutan administrasi.

K. Wantjik Salah menyebutkan :

Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu berfungsi


untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang
bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca
dalam suatu surat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang dapat
dipergunakan dimana perlu, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis yang
autentik. Dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah
suatu perbuatan lain. 16

16
K. Wantjik Saleh Urusan Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Ichtiar
Baru, Jakarta, 1992, hal. 16.
Dengan demikian pencatatan perkawinan selain merupakan syarat

administratif yang substansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban hukum,

ia mempunyai cakupan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan dan

kelangsungan suatu perkawinan.

Setelah pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan ditempel dan

tidak ada keberatan-keberatan dari pihak-pihak yang terkait dengan rencana calon

mempelai, perkawinan dapat dilangsungkan.

Pada saat-saat akan dilangsungkan perkawinan, Pegawai Pencatat

Perkawinan telah menyiapkan akta nikah dan salinannya dan telah diisi mengenai

hal-hal yang diperlukan seperti yang diatur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975. Akta perkawinan memuat antara lain:

a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat

kediaman suami istri. Jika salah seorang atau keduanya pernah kawin,

disebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

b. Nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman orang tua mereka.

c. Izin kawin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

d. Dispensasi sebagaimana dimaksud dalam Psal 7 ayat (2) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974.

e. Izin Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974.
f. Persetujuan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974.

g. Izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Menhankam/Pangab bagi Angkatan

Bersenjata.

h. Perjanjian kawin apabila ada.

i. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan kediaman para saksi, dan wali

nikah bagi yang beragama Islam.

j. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal kuasa apabila

perkawinan dilakukan melalui seorang kuasa.

Anda mungkin juga menyukai