Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat
merupakan organisme patogen yang saprofit (Price,2005). Penyakit TBC adalah
merupakan suatu penyakit yang tergolong dalam infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja tak terkecuali
pria, pria tua, muda, kaya dan miskin serta dimana saja. Di Indonesia khususnya,
penyakit ini terus berkembang setiap tahunnya dan saat ini mencapai angka 250 juta
baru diantaranya 140.000 menyebabkan kematian. Bahkan Indonesia menduduki
negara terbesar ketiga di dunia dalam masalah penyakit TBC (Syafrudin, 2011).
Penularan penyakit TBC adalah melalui udara yang tercemar oleh Mikobakterium
tuberkulosa yang dilepaskan/dikeluarkan oleh si penderita TBC saat batuk, dimana
biasanya pada anak-anak umumnya sumber infeksi adalah berasal dari orang dewasa
yang menderita TBC (Syafrudin, 2011). Penderita TB BTA positif mengeluarkan
kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu bersin dan
batuk. Droplet yang sangat kecil ini mongering dengan cepat dan menjadi droplet yang
mengandung kuman tuberculosis dan dapat bertahan di udara selama beberapa jam (
Notoatmodjo, 2007). Penderita yang batuk, bersin ataupun tertawa keras dapat
mengeluarkan kuman tuberculosis dalam bentuk droplet yang tersebar di udara, apabila
orang disekitarnya dalam keadaan imun yang rendah maka resiko terhadap penularan
penyakit TB paru akan lebih tinggi.
Menurut Menkes RI (2018) menyatakan bahwa factor resiko penyakit TBC paru
yang disebabkan terjadi ketika daya tahan tubuh menurun. Dalam perspektif
epidemiologi yang melihat kejadian penyakit sebagai hasil interaksi antar tiga
komponen pejamu (host), penyebab (agent), dan lingkungan (environment) dapat
ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul tersebut. Pada sisi pejamu, kerentanan
terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
seseorang pada saat itu. Pengidap HIV AIDS atau orang dengan status gizi yang buruk
lebih mudah untuk terinfeksi dan terjangkit TBC. Menurut Global Tuberculosis Report
(dalam Menkes,2018) menyatakan bahwa situasi di dunia secara global Secara global
pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta – 12, juta) yang
setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus
tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi
insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%)—dimana
Indonesia merupakan salah satu di dalamnya—dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika.
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden
countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-
TBC. Terdapat 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk
dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya.
Indonesia bersama 13 negara lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator
tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit
TBC.
Situasi di Indonesia jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus
pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru
TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali
lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara
lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC
misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan
bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7%
partisipan perempuan yang merokok. Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia
sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA
positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan
survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi.
Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama
dibandingkan kelompok umur di bawahnya. (Menkes,2018)
Menurut Profil Kesehatan Kemenkes RI tahun 2016 (dalam Andini,2018)
menyatakan bahwa Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah total kasus TBC
terbanyak pada tahun 2016, yaitu 52.328 orang dengan rincian 29.429 laki-laki dan
22.899 perempuan. Kemudian disusul oleh Jawa Timur (45.239), Jawa Tengah
(28.842), DKI Jakarta (24.775), dan Sumatera Utara (17.798). Kasus TB paling rendah
dimiliki oleh Provinsi Gorontalo dengan 1.151 kasus.
Menurut Dinkes Jatim, 2016 (dalam Yuni, 2017) menyatakan bahwa Kota Surabaya
merupakan urutan pertama di Provinsi Jawa Timur sebagai kota penyumbang kasus
tuberkulosis terbanyak hingga 4.754 kasus, kemudian kabupaten Jember, Sidoarjo dan
Malang.
Menurut Dinkes Kota Malang (2017) menyatakan bahwa pada tahun 2016 jumlah
kasus baru penyakit TB paru mencapai 573 kasus, dengan penderita laki-laki berjumlah
326 orang dan wanita berjumlah 247 orang. Jumlah penderita TB paru yang sembuh
pada tahun 2016 mencapai 331 orang dari 494 penderita yang diobati, sehingga angka
kesembuhan selama tahun 2016 mencapai 67%. Sedangkan jumlah kematian yang
diakibatkan oleh TB paru selama masa pengobatan pada tahun 2016 mencapai 12
orang, dengan angka kematian per 100.000 penduduk mencapai 1,40. Artinya dalam
100.000 penduduk Kota Malang selama tahun 2016 terjadi 1 hingga 2 kematian yang
diakibatkan oleh penyakit TB paru. Jumlah kasus baru BTA + selama tahun 2016
mencapai 573 kasus. Sedangkan total kasus TB (suspek) adalah 8.304 kasus, termasuk
didalamnya adalah BTA – dan hasil rontgen +. Adapun CNR (case notification rate)
kasus TB paru adalah 66,91. Artinya selama tahun 2016 jumlah pasien baru TB paru
yang ditemukan berkisar antara 66 hingga 67 orang di setiap 100.000 penduduk Kota
Malang.
Berdasarkan data lampiran dari Dinas Kota Malang tahun 2017 penemuan kasus
TBC semua tipe di seluruh wilayah kerja Dinas kesehatan Kota Malang pada tahun
2016 ditemukan 494 kasus, dengan jumlah penderita laki-laki 285 dan perempuan 209.
Tiga kecamatan terbesar yang memiliki kasus TBC yaitu Kecamatan Sukun (165
kasus), Kecamatan Klojen (121 kasus), Kecamatan Kedungkandang (83 kasus). Tiga
wilayah kerja di Kecamatan Sukun yang memiliki kasus TBC terbesar yaitu Rumkit
Tk. II Dr. Soepraoen (58 kasus), wilayah kerja Puskesmas Janti (43 kasus), dan wilayah
kerja Puskesmas Mulyorejo (36 kasus).
Berdasarkan Permenkes RI No. 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa Penanggulangan Tuberkulosis yang
selanjutnya disebut penanggulangan TB adalah segala upaya kesehatan yang
mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan
rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan
angka kesakitan, kecacatan atau kematian, mencegah resistensi obat dan mengurangi
dampak negatif yang ditimbulkan akibat Tuberkulosis. Strategi nasional yang
digunakan dalam penanggulangan TB tertuang dalam pasal 3 ayat 5 yang berbunyi
Strategi nasional Penanggulangan TB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. penguatan kepemimpinan program TB; b. peningkatan akses layanan TB yang
bermutu; c. pengendalian faktor risiko TB; d. peningkatan kemitraan TB; e.
peningkatan kemandirian masyarakat dalam Penanggulangan TB; dan f. penguatan
manajemen program TB. Kegiatan yang diselenggarakan untuk penanggulangan TB
tertuang dalam pasal 6 yaitu Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan: a.
promosi kesehatan; b. surveilans TB; c. pengendalian faktor risiko; d. penemuan dan
penanganan kasus TB; e. pemberian kekebalan; dan f. pemberian obat pencegahan.
Untuk penemuan dan penanganan TB tertuang dalam pasal 11 yaitu (1) Penemuan
kasus TB dilakukan secara aktif dan pasif. (2) Penemuan kasus TB secara aktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. investigasi dan pemeriksaan
kasus kontak; b. skrining secara massal terutama pada kelompok rentan dan kelompok
berisiko; dan c. skrining pada kondisi situasi khusus. (3) Penemuan kasus TB secara
pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan pasien yang
datang ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan. (4) Penemuan kasus TB ditentukan setelah
dilakukan penegakan diagnosis, penetapan klasifikasi dan tipe pasien TB.
Dalam Jurnal Pratiwi, dkk (2017) tentang Peningkatan Kemampuan Kader
Kesehatan Tb Dalam Active Case Finding Untuk Mendukung Case Detection Rate di
Kabupaten Wonosobo, sebuah strategi dalam rangka pengendalian kasus TB berupa
TB Directly Observed Treatment Short course (DOTS) terdiri dari lima komponen,
yaitu komitmen pemerintah untuk menjaga kontrol terhadap TB, deteksi dini kasus TB
di antara orang-orang yang memiliki gejala melalui pemeriksaan dahak, pengobatan
intensif dengan pengawasan selama 6- 8 bulan, penjaminan suply obat TB secara
teratur dan tidak terganggu, serta pelaporan untuk pemantauan dan evaluasi program
pengobatan. (Aditama, 2012).
Menurut Depkes, 2007 (dalam Pratiwi dkk, 2017) menyatakan bahwa DOTS sangat
penting untuk pengendalian TB selama lebih dari satu dekade, dan tetap menjadi
komponen utama dalam strategi pengendalian TB, meskipun hal ini terkait dengan hal-
hal lain yang sangat penting untuk deteksi dini penyakit TB seperti perlunya kerja sama
berbagai sektor lintas terutama masyarakat. Deteksi kasus TB pada strategi DOTS
masih bersifat passive case finding. Proses penjaringan TB hanya dilakukan pada
pasien yang mengunjungi unit pelayanan kesehatan, terutama puskesmas sehingga
orang yang tidak datang tetap potensial sebagai sumber transmisi. Strategi penemuan
kasus pasif kurang maksimal untuk diterapkan terutama pada percepatan penanganan
penyakit TBC yang telah menjadi bahaya global.
Anggota keluarga kasus TB BTA positif merupakan golongan masyarakat yang
paling rentan tertular penyakit TB paru karena sulit menghindari kontak dengan
penderita. (Agung,dkk 2013). Hasil penelitian Guwatudde dkk, (dalam Jurnal Agung,
dkk 2013) di Kampala, Uganda diperoleh hasil bahwa prevalensi TB BTA (+) pada
kontak serumah adalah sebesar 6%. Hasil penelitian Putra tahun 2006 (dalam Jurnal
Agung, dkk 2013) menunjukkan bahwa 95% kontak serumah yang dites dengan uji
tuberkulin menunjukkan hasil baca mantoux melebihi 10 mm, dan 75% balita yang
serumah dengan penderita TB BTA positif menunjukkan hasil baca mantoux yang
lebih dari 10 mm.
Penelitian tentang Rendahnya proporsi kontak yang melakukan deteksi dini
tuberkulosis paru di Puskesmas I Denpasar Selatan tahun 2012 oleh Agung, dkk (2013)
didapatkan kesimpulan bahwa syarat pertama seseorang untuk melakukan deteksi dini
adalah apabila persepsi kerentanannya tinggi. Pada penelitian ini dapat dikatakan
bahwa persepsi kerentanan yang rendah menyebabkan proporsi kontak melakukan
deteksi dini juga rendah. Walau persepsi keseriusan tinggi, persepsi manfaat tinggi, dan
persepsi hambatan rendah jika perasaan tertular sedikit maka cenderung tidak
melakukan pemeriksaan kesehatan. Untuk meningkatkan proporsi kontak yang
melakukan pemeriksaan dahak ke puskesmas, perlu dilakukan promosi yang
menekankan bahwa kontak serumah sangat berisiko tertular kuman TB. Penemuan
kasus secara aktif khusus terhadap kontak serumah sampai saat ini sebaiknya tetap
dilakukan, disamping penemuan secara pasif terhadap pengunjung puskesmas. Survei
uji tuberkulin terhadap seluruh kontak perlu dilakukan sewaktu-waktu untuk
meyakinkan kontak serumah terinfeksi atau tidak.
Berdasarkan pemaparan oleh petugas pengelola program TB di Puskesmas Janti,
Kota Malang didapatkan pasien dengan TB paru sejumlah 45 pasien yang tersebar di
desa wilayah kerja puskesmas. Petugas menyatakan bahwa kebanyakan masalah pada
program TB di wilayah kerja Puskesmas Janti adalah tidak tercapainya penemuan
kasus dari anggota yang kontak serumah dengan penderita TB karena masih enggan
untuk periksa dahak.
Dalam hal ini petugas puskesmas sudah melakukan upaya promosi pada kontak dan
penderita TB, namun tidak semua suspek dan anggota yang kontak dengan penderita
mau periksa dahak ke puskesmas. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk periksa
dahak diduga karena masih rendahnya pengetahuan dan kemauan untuk mengenal
gejala TB sehingga masyarakat tidak menyadari bahwa dirinya atau keluarganya
menderita penyakit TB.
Perilaku kesehatan ditentukan atau dipengaruhi oleh persepsi seseorang terhadap
suatu penyakit atau masalah kesehatan yang dihadapi. Menurut konsep Health Belief
Model (HBM) dijelaskan bahwa syarat pertama yang menentukan seseorang untuk
berperilaku terhadap kesehatannya adalah jika seseorang merasa terancam oleh suatu
penyakit. Perasaan terancam itu timbul apabila adanya kerentanan yang dirasakan dan
keparahan yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut. Jadi kemampuan untuk mengenal
gejala penyakit sangat penting dalam hal ini. (Agung, dkk 2013)
Oleh karena uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian studi kasus tentang
gambaran pengetahuan keluarga dalam deteksi dini penyakit TB Paru di wilayah kerja
Puskesmas X.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan rumusan masalah
penelitian sebagai berikut “Bagaimanakah gambaran tingkat pengetahuan keluarga
dalam deteksi dini penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas X?”

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan keluarga
dalam deteksi dini penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas X.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi Peneliti
Manfaat yang diperoleh peneliti yaitu menambah pengetahuan,
pengalaman, dan wawasan serta memperoleh data langsung terkait
pengetahuan keluarga dalam deteksi dini penyakit TB Paru.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi Keluarga
Manfaat yang diperoleh keluarga dari hasil penelitian ini yaitu dapat
mengetahui tanda dan gejala serta pemeriksaan penyakit TB Paru sebagai
dasar untuk melakukan deteksi dini penyakit TB Paru.
2. Bagi Puskesmas
Manfaat yang didapatkan puskesmas yaitu hasil penelitian ini dapat
memberikan masukan pada puskesmas untuk mendapatkan gambaran
tingkat pengetahuan keluarga dalam deteksi dini penyakit TB Paru dan
sebagai landasan untuk membuat kebijakan program penyakit TB Paru.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat yang didapatkan institusi adalah sebagai bahan informasi tentang
pengetahuan keluarga dalam deteksi dini penyakit TB Paru yang ada di
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai