Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Berbagai penelitian yang sudah dilakukan menemukan fakta bahwa dampak dari
BV selama masa kehamilan dapat memberikan komplikasi yang serius khususnya pada
kehamilan, diantaranya adalah persalinan preterm dan bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR), infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. BV juga dapat
meningkatkan resiko penyakit inflamasi pelvis dan kejadian infeksi pasca persalinan
cesarean.5,6 Tingginya prevalensi dan komplikasi yang serius dari BV membuat penyakit
ini merupakan masalah bagi kesehatan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Vaginosis bakterial merupakan salah satu keadaan yang berkaitan dengan adanya
keputihan yang tidak normal pada wanita usia reproduksi. BV merupakan sindrom
polimikroba, yang mana laktobasilus vagina normal, khususnya yang menghasilkan
hidrogen peroksidase digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma. Bakteri
yang sering ada pada BV adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp, Bacteroides sp dan M.
hominis.1,2,3
2.2 Epidemiologi
Infeksi BV adalah penyebab paling umum dari gejala-gejala yang terjadi pada
vagina wanita, namun sampai saat ini belum jelas bagaimana peran aktivitas
diperkembangan infeksi BV. Prevalensi di Amerika Serikat diperkirakan 21,2 juta
(29,2%) diantara wanita usia 14-49 tahun, didasarkan pada sampel perwakilan nasional
dari wanita yang berpartisipasi dalam NHANES 2001-2004. Sebagian besar wanita
dengan infeksi BV (84%) melaporkan tidak merasakan adanya gejala. Wanita yang
belum melakukan hubungan seks vaginal, oral, atau anal masih bisa terinfeksi BV
(18,8%), demikian pula pada wanita hamil (25%), dan wanita yang sudah pernah hamil
(31,7%). Prevalensi infeksi BV meningkat berdasarkan jumlah pasangan seksual seumur
hidup. Perempuan bukan kulit putih memiliki prevalensi yang lebih tinggi (Afrika-
Amerika 51%, Amerika Meksiko 32%) daripada wanita kulit putih (23%).
2
prevalensi infeksi BV pada ibu hamil sebesar 43,3% dari 60 wanita hamil yang
memenuhi kriteria inklusi.
2.3 Etiologi
1. Gardnerella vaginalis
2. Bakteri Anaerob
Kuman batang dan kokus anaerob pertama kali diisolasi dari vagina
pada tahun 1897 dan dianggap berkaitan dengan sekret vagina oleh Curtis.
Pada tahun 1980, Spiegel menganalisis cairan vagina dari 53 wanita dengan
BV menggunakan kultur kuantitatif anaerob dan gas liquid chromatografi
untuk mendeteksi metabolisme asam organik rantai pendek dari flora vagina.
Ditemukan Bacteroides sp (sekarang disebut provotella dan prophyromonas)
sebesar 75% dan peptococcus (sekarang peptostreptococcus) sebesar 36%
dari wanita dengan BV. Penemuan spesies anaerob berkaitan langsung
dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada cairan
3
vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa mikroorganisme anaerob berinteraksi
dengan G. vaginalis dalam menyebabkan BV. Mikroorganisme anaerob lain
yang dikatakan juga memiliki peranan dalam BV adalah Mobiluncus.
Mobiluncus selalu terdapat bersamaan dengan mikroorganisme lain yang
berhubungan dengan BV.
3. Mycoplasma genital
Tylor – Robinson dan McCormack (1980) yang pertama kali
berpendapat bahwa M. hominis berperan pada BV, bersimbiosis dengan G.
vaginalis maupun organisme patogen lainnya. Pheifer dan dan kawan –
kawan mendukung hipotesis ini dengan penemuan M. hominis pada 63 %
wanita dengan BV dan 10 % pada wanita normal. Paavonen (1982) juga
melaporkan hubungan dari BV dengan M. hominis dan G. vaginalis pada
cairan vagina.
4. Mikroorganisme lainnya
Wanita dengan BV tidak mempunyai peningkatan streptokokus grup
B, stafilokokus koagulase negatif, tetapi mempunyai peningkatan yang
bermakna dari bakteri yang merupakan karier vagina yaitu kelompok spesies
Streptococcus viridians, Streptococcus asidominimus, dan Stresptocccus
morbilorum. Suatu analisis multivariat menemukan hubungan antara BV
dengan empat kategori bakteri vagina yaitu ; Mobiluncus spesies, kuman
batang gram negatif anaerob, G.vaginalis dan M.hominis. Prevalensi masing –
masing mikroorganisme meningkat pada wanita dengan BV. Selain itu
organisme – organisme tersebut ditemukan pada konsentrasi 100 – 1000 lebih
besar pada wanita dengan BV dibandingkan pada wanita normal, sedangkan
konsentrasi laktobasilus menurun pada wanita pasien BV.
4
2.4 Faktor Resiko
Beberapa faktor diketahui merupakan faktor resiko terjadinya VB, yaitu :4,7
1. Aktivitas seksual
Dikatakan BV lebih jarang pada wanita paska pubertas tanpa
pengalaman seksual dibandingkan yang mempunyai pengalaman seksual.
Amsel dan kawan- kawan menemukan pada wanita tanpa pengalaman seksual
tidak menderita BV dari 18 orang yang diperiksa, sedangkan pada wanita
yang mempunyai pengalaman seksual didapatkan sebanyak 69 (24%)
menderita BV. Studi kohort longitudinal memberikan bukti bahwa wanita
yang memiliki banyak pasangan seksual pria pasangan seksual pria dalam 12
bulan terakhir berkaitan dengan terjadinya vaginosis bacterial.
BV juga meningkat pada wanita yang melakukan hubungan seksual
dengan wanita (women sex women/WSW ) dan berkaitan dengan wanita yang
memiliki satu atau lebih pasangan seksual wanita dalam 12 bulan terakhir
Studi pada lesbian memberikan bukti lebih jauh tentang peranan hubungan
seksual dalam penularan BV. Sekitar 101 lesbian yang mengunjungi klinik
ginekologi sebesar 29 % menderita BV begitu juga pasangan seksualnya.
Kemungkinan wanita menderita BV hampir 20 kali, jika pasangannya juga
menderita BV.
Patogenesis terjadinya BV pada WSW ini masih belum jelas. Salah
satu penjelasan yang mungkin adalah adanya persamaan antara bakteri
anaerob yang berkaitan dengan gingivitis dan BV. Kebiasaan seksual melalui
anus dikatakan juga memegang peranan dalam terjadinya BV, transfer
perineal atau bakteri pada rektum ke vagina, telah diketahui menjadi
konsekuensi pada hubungan seksual melalui anal. Bakteri yang sering, yaitu
Echerria coli dan Streptococcus , dan hal ini memungkinkan bahwa BV dapat
ditimbulkan atau dicetuskan oleh hubungan seksual yang tidak terlindungi ,
sehingga terjadi translokasi bakteri dari rektum ke vagina.
2. Douching
Faktor epidemiologi lain juga penting dalam terjadinya BV. Studi
kohort terbaru dari 182 wanita menunjukkan terjadinya BV tidak hanya
berhubungan dengan pasangan seksual baru, tetapi juga berhubungan dengan
5
penggunaan douching vagina. Pemakaian douching vagina yang merupakan
produk untuk menjaga hygiene wanita bisa menyebabkan BV. Kebiasaan
douching dikatakan dapat merubah ekologi vagina, penelitian yang dilakukan
oleh Onderdonk dan kawan – kawan menyatakan douches yang mengandung
povidon iodine lebih mepunyai efek penghambatan terhadap laktobasilus
vagina dibandingkan yang mengandung air garam atau asam asetat.
3. Merokok
Merokok dikatakan berkaitan dengan BV dan penyakit IMS lainnya,
dari penelitian yang dilakukan di Inggris dan Swedia, dikatakan merokok
dapat menekan sistem imun, sehingga memudahkan terjadinya infeksi serta
dapat menekan pertumbuhan laktobasilus yang menghasilkan hidrogen
peroksidase. Mekanisme lain yang menghubungkan antara merokok dan BV
adalah, dikatakan rokok mengandung berbagai zat kimia, nikotin, kotinin, dan
benzopirenediolepoxide, yang mana zat – zat kimia ini ada pada cairan
mukosa servik perokok dan secara langsung dapat merubah mikroflora vagina
atau merusak sel langerhan pada epitel servik yang menyebabkan terjadinya
imunosupresi lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Smart dan kawan – kawan (2003)
menyatakan resiko terjadinya BV sebanding dengan jumlah rokok yang
dihisap tiap hari, yang mana jika jumlah rokok yang dihisap makin banyak (>
20 batang/perhari) maka resiko terkena BV juga makin besar
4. Penggunaan AKDR
Amsel dkk, dan Holst dkk menemukan BV lebih sering ditemukan
pada wanita yang menggunakan AKDR dibandingkan yang tidak
menggunakannya (18,8 % vs 5,4% dengan p <0,0001 dan 35 % vs 16 %
dengan p <0,03). Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Avonts dan
kawan –kawan melaporkan BV meningkat diantara pengguna AKDR
dibandingkan kontrasepsi oral hal ini mungkin disebabkan oleh bagian ekor
dari AKDR yang ada pada endoservik atau vagina menyebabkan lingkungan
untuk berkembangnya bakteri anaerob dan G.vaginalis, yang mungkin
memegang peranan dalam terjadinya BV pada wanita yang menggunakan
AKDR.
6
2.5 Patogenesis
Bakteri anaerob dan enzim yang bukan diproduksi oleh Gardnerella dalam
suasana pH vagina yang meningkat akan mudah menguap dan menimbulkan bau amis,
bau serupa juga dapat tercium jika pada sekret vagina yang diteteskan KOH 10%.
Senyawa amin aromatik yang berkaitan dengan timbulnya bau amis tersebut adalah
trimetilamin, suatu senyawa amin abnormal yang dominan pada BV. Bakteri anaerob
akan memproduksi aminopeptida yang akan memecah protein menjadi asam amino dan
selanjutnya menjadi proses dekarboksilasi yang akan mengubah asam amino dan
senyawa lain menjadi amin, yaitu dekarboksilasi ornitin (metabolit arginin) akan
menghasilkan putresin, dekarboksilasi lisin akan menghasilkan kadaverin dan
dekarboksilasi betain (metabolit kolin) akan menghasilkan trimetilamin. Poliamin asal
bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang terdapat dalam vagina penderita infeksi
BV, yaitu asam asetat dan suksinat, bersifat sitotoksik dan menyebabkan eksfoliasi epitel
vagina. Hasil eksfoliasi yang terkumpul membentuk sekret vagina. Dalam pH yang
alkalis Gardnerella vaginalis melekat erat pada sel epitel vagina yang lepas dan
membentuk clue cells. Secara mikroskopik clue cells nampak sebagai sel epitel yang
sarat dengan kuman, terlihat granular dengan pinggiran sel yang hampir tidak tampak.10
7
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klasik dari BV adalah bau yang biasanya dideskripsikan sebagai fishy odor
yang disebabkan oleh produksi amin (trimetalamin, putresin dan kadaverin ) oleh bakteri
anaerob. Volatilasi amin ini meningkat dengan peningkatan pH , sehingga pasien sering
merasa keluhan ini makin memburuk jika terjadi peningkatan alkanin, misalnya setelah
berhubungan seksual ( karena adanya cairan sperma) atau selama menstruasi.
2.7 Diagnosis
Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas
ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbaudengan
pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T .vaginalis, kemungkinan besar menderita bakterial
vaginosis. WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya
clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan adanya G. vaginalis
sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus. Balckwell (1982) menegakkan
diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang berbau amis dan ditemukannya clue
cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif serta pH vagina yang tinggi akan
memperkuat diagnosis.5,8
Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis,
oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut
sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala,
yaitu :5,8,10
1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
vagina dan abnormal
8
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yang mana sekret vagina yang berbau amis sebelum
atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
2.7.1 Anamnesis
Gejala yang khas adalah cairan vagina yang abnormal (terutama setelah
melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau
ikan (fishy odor). Pasien sering mengeluh rasa gatal, iritasi, dan rasa terbakar. Biasanya
kemerahan dan edema pada vulva.
Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina
normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan
gambaran bergerombol.
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret
vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan cover slip. Dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue
cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama
Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan
spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial
vaginosis.
9
Gambar 1. Clue cells (sumber: http://mediastore.com)
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan
penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai akibat
pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif
menunjukkan bakterial vaginosis.
10
2.7.4 Kriteria Spiegel
Kriteria Nugent atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode
diagnosis infeksi BV dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada sekret
vagina. Kriteria Nugent merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam penghitungan
jumlah kuman pada preparat basah sekret vagina.
1. Trikomoniasis
Pada pemeriksaan apusan vagina, trikomoniasis sering sangat menyerupai
penampakan pemeriksaan hapusan bakterial vaginosis, Tapi Mobiluncus dan clue
cells tidak pernah ditemukan pada trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopik tampak
peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah ditemukan
protozoa untuk diagnostik. Whiff test dapat positif dan pH vagina 5 pada
trikomoniasis.
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna
untuk mendeteksi hifa dan spora kandida. Keluhan yang paling sering pada
kandidiasis adalah gatal dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal,
tanpa bau dan PH normal.
2.8 Tatalaksana
1. Terapi Sistemik10
a. Metronidazol 400-500 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Dilaporkan efektif
dengan kesembuhan 84-96%. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan
urin menjadi gelap. Konsumsi alkohol seharusnya dihindari selama
12
pengobatan dan 48 jam setelah terapi oleh karena dapat terjadi reaksi
disulfiram. Metronidazol 200-250 mg, 3x sehari selama 7 hari untuk
wanita hamil. Metronidazol 2 gram dosis tunggal kurang efektif dari pada
terapi 7 hari untuk pengobatan vaginosis bacterial oleh karena angka
rekurensi lebih tinggi.
b. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%.
c. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari
selama 7 hari.
d. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari
e. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari
f. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
2. Terapi Topikal10
a. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
b. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Pengobatan BV Pada Masa Kehamilan10
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus.
Dosis yang lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk
mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7
hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi
ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol
pada wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut member angka
kesembuhan yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II
dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai
gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim. Selain itu, amoklav cukup
efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol.
13
4. Pengobatan BV Rekuren10
Vaginosis bakterial yang rekuren dapat diobati ulang dengan:
a. Rejimen terapi
Metronidazol 500 mg 2x sehari selama 7 hari. Merupakan obat yang
paling efektif saat ini dengan kesembuhan 95%. Penderita dinasehatkan
untuk menghindari alkohol selama terapi dan 24 jam sesudahnya.
b. Rejimen alternative
I. Metronidazole oral 2 gram dosis tunggal
- Kurang efektif bika dibandingkan rejimen 7 hari; kesembuhan
84%
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap Granerella vaginalis,
tetapi sangat aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya
berhubungan dengan inhibisi anaerob.
II. Metronidazole gel 0,75% intravaginal, aplikator penuh (5gr), 2
kali sehari untuk 5 hari
III. Klindamisin krim 2% intravaginal, aplikator penuh (5gr), dipakai
saat akan tidur untuk 7 hari atau 2 kali sehari untuk 5 hari
IV. Klindamisin 300 mg 2 kali sehari untuk 7 hari
V. Augmentin oral (500 mg amoksisilin + 125 mg asam clavulanat) 3
kali sehari selama 7 hari
VI. Sefaleksin 500 mg 4 kali sehari selama 7 hari
Jika cara ini tidak berhasil untuk vaginosis bacterial rekuren, maka
dilakukan pengobatan selama seminggu sebelum permulaan
menstruasi dan begitupun pada menstruasi berikutnya, dengan
pengobatan selama 3-5 hari dengan metronidazole oral dan anti
jamur yaitu clotrimazole intravaginal atau flukonazol.
2.9 Komplikasi
14
host. Penelitian dari seluruh dunia mengenai BV langsung tertuju kepada sejumlah
komplikasi obstetrik yaitu keguguran, lahir mati, perdarahan, kelahiran prematur,
persalinan prematur, ketuban pecah dini, infeksi cairan ketuban, endometritis paska
persalinan dan kejadian infeksi daerah operasi (IDO).
2.10 Prognosis
15
BAB III
KESIMPULAN
Bakterial vaginosis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (Bacteroides sp.,
Mobilincus sp., Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis) menggantikan flora normal
vagina (Lactobacillus sp) yang menghasilkan hidrogen peroksida sehingga vagina yang
tadinya bersifat asam (pH normal vagina 3,8 – 4,2) berubah menjadi bersifat basa.
Menurut Amsel, untuk menegakkan diagnosa dengan ditemukannya tiga dari empat
gejala, yakni : sekret vagina yang homogen, tipis, putih dan melekat, pH vagina > 4,5, tes
amin yang positif; adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20% dari seluruh
epitel) yang merupakan penanda bakterial vaginosis. Pengobatan bakterial vaginosis
biasanya menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin. Untuk keputihan
yang ditularkan melalui hubungan seksual terapi juga diberikan kepada pasangan seksual
dan dianjurkan tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan. Pada penderita
bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan komplikasi antara lain :
kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir rendah, dan endometritis post
partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan agar semua wanita hamil yang
sebelumnya melahirkan bayi prematur agar memeriksakan diri untuk screening vaginosis
bakterial, walaupun tidak menunjukkan gejala sama sekali.
16
DAFTAR PUSTAKA
17