Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Vaginosis bakterial (bacterial vaginosis/BV) adalah penyebab paling umum


gejala duh tubuh vagina pada wanita usia reproduktif. BV merupakan sindrom klinis
akibat pergantian Lactobacillus spp. penghasil hidrogen peroksidase (H2O2) dalam
vagina normal dengan bakteri anaerob konsentrasi tinggi, contohnya yaitu Bacteroides
spp., Mobiluncus spp., Gardnerella vaginalis (G.Vaginalis), dan Mycoplasma hominis
(M.hominis).1,2,3 Hal itu menyebabkan penurunan konsentrasi H2O2 yang umumnya
ditandai dengan produksi duh tubuh vagina yang banyak, berwarna abu-abu hingga
kuning, tipis, homogen, berbau amis, dan terdapat peningkatan pH vagina.2

Pada tahun 2001-2004 di Amerika Serikat dilakukan National Health and


Nutrition Examination Survey (NHANES) dan didapatkan hasil prevalensi BV sebesar
29,2% yang setara dengan 21 juta wanita.4 Penelitian kohort yang dilakukan oleh
Bradshaw et al. (2013) di 29 pusat pelayanan kesehatan di 3 negara bagian di Australia
mendapatkan hasil 11,8% wanita dengan BV dan 17,2% wanita dengan kondisi flora
abnormal. Prevalensi BV pada wanita Indonesia secara nasional belum pernah
dilaporkan. Penelitian yang dilakukan oleh Ocviyanti et al., (2009, 2010) di Puskesmas
Kabupaten Karawang, Balai Kesehatan Batalyon 201 Cijantung, FKUI dan Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo mendapatkan prevalensi BV pada wanita sebesar 30,7%.
Sedangkan penelitian yang dilakukan 3 oleh Joesoef et al. (2001) pada tahun 1999 di
Klinik Keluarga Berencana di Manado menemukan 32,5% wanita dengan BV.

Berbagai penelitian yang sudah dilakukan menemukan fakta bahwa dampak dari
BV selama masa kehamilan dapat memberikan komplikasi yang serius khususnya pada
kehamilan, diantaranya adalah persalinan preterm dan bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR), infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. BV juga dapat
meningkatkan resiko penyakit inflamasi pelvis dan kejadian infeksi pasca persalinan
cesarean.5,6 Tingginya prevalensi dan komplikasi yang serius dari BV membuat penyakit
ini merupakan masalah bagi kesehatan.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Vaginosis bakterial merupakan salah satu keadaan yang berkaitan dengan adanya
keputihan yang tidak normal pada wanita usia reproduksi. BV merupakan sindrom
polimikroba, yang mana laktobasilus vagina normal, khususnya yang menghasilkan
hidrogen peroksidase digantikan oleh berbagai bakteri anaerob dan mikoplasma. Bakteri
yang sering ada pada BV adalah G. vaginalis, Mobiluncus sp, Bacteroides sp dan M.
hominis.1,2,3

2.2 Epidemiologi

Infeksi BV adalah penyebab paling umum dari gejala-gejala yang terjadi pada
vagina wanita, namun sampai saat ini belum jelas bagaimana peran aktivitas
diperkembangan infeksi BV. Prevalensi di Amerika Serikat diperkirakan 21,2 juta
(29,2%) diantara wanita usia 14-49 tahun, didasarkan pada sampel perwakilan nasional
dari wanita yang berpartisipasi dalam NHANES 2001-2004. Sebagian besar wanita
dengan infeksi BV (84%) melaporkan tidak merasakan adanya gejala. Wanita yang
belum melakukan hubungan seks vaginal, oral, atau anal masih bisa terinfeksi BV
(18,8%), demikian pula pada wanita hamil (25%), dan wanita yang sudah pernah hamil
(31,7%). Prevalensi infeksi BV meningkat berdasarkan jumlah pasangan seksual seumur
hidup. Perempuan bukan kulit putih memiliki prevalensi yang lebih tinggi (Afrika-
Amerika 51%, Amerika Meksiko 32%) daripada wanita kulit putih (23%).

Dari beberapa penelitian, 13.747 wanita hamil pada 23 hingga 26 minggu


kehamilan menjalani evaluasi untuk infeksi BV dengan menggunakan kriteria
pengecatan gram sekret vagina. Walaupun 16,3% wanita memiliki infeksi BV, prevalensi
terjadinya infeksi BV bervariasi luas dari segi etnis, 6,1% pada wanita Asia, 8,8% dari
wanita Kaukasia, 15,9% Hispanik, dan 22,7% dari wanita keturunan Afrika-Amerika.
Studi-studi lain telah menemukan prevalensi infeksi BV antenatal dari wanita dengan
gejala yang asimtomatik, 5% di Italia, 12% Helshinki, 21% di London, 14% di Jepang,
16% di Thailand, dan 17% di Jakarta. Aggarawati dalam penelitiannya mendapatkan

2
prevalensi infeksi BV pada ibu hamil sebesar 43,3% dari 60 wanita hamil yang
memenuhi kriteria inklusi.

2.3 Etiologi

Ekosistem vagina normal sangat komplek, laktobasilus merupakan spesies bakteri


yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi ada juga bakteri lain
yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada saat BV muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan
dari beberapa spesies bakteri, dimana dalam keadaan normal ditemukan dalam
konsentrasi rendah. Oleh karena itu BV dikategorikan sebagai salah satu infeksi endogen
saluran reproduksi wanita. Diketahui ada 4 kategori dari bakteri vagina yang berkaitan
dengan BV, yaitu : G.vaginalis, bakteri anaerob, M. hominis dan mikroorganisme
lainnya.2,3

1. Gardnerella vaginalis

G. vaginalis merupakan bakteri berbentuk batang gram negatif, tidak


berkapsul dan nonmotile. Selama 30 tahun terakhir, berbagai literatur
menyatakan G. vaginalis berkaitan dengan BV. Dengan media kultur yang
lebih sensitif G. vaginalis dapat diisolasi pada wanita tanpa tanda- tanda
infeksi vagina. G. vaginalis diisolasi sekitar >90 % pada wanita dengan BV.
Saat ini dipercaya G. vaginalis berinteraksi dengan bakteri anaerob dan M.
hominis menyebabkan BV. Gardner dan Duke juga mengisolasi organisme
lain dan berkesimpulan bahwa G. vaginalis bukan merupakan penyebab satu
– satunya BV.

2. Bakteri Anaerob
Kuman batang dan kokus anaerob pertama kali diisolasi dari vagina
pada tahun 1897 dan dianggap berkaitan dengan sekret vagina oleh Curtis.
Pada tahun 1980, Spiegel menganalisis cairan vagina dari 53 wanita dengan
BV menggunakan kultur kuantitatif anaerob dan gas liquid chromatografi
untuk mendeteksi metabolisme asam organik rantai pendek dari flora vagina.
Ditemukan Bacteroides sp (sekarang disebut provotella dan prophyromonas)
sebesar 75% dan peptococcus (sekarang peptostreptococcus) sebesar 36%
dari wanita dengan BV. Penemuan spesies anaerob berkaitan langsung
dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada cairan
3
vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa mikroorganisme anaerob berinteraksi
dengan G. vaginalis dalam menyebabkan BV. Mikroorganisme anaerob lain
yang dikatakan juga memiliki peranan dalam BV adalah Mobiluncus.
Mobiluncus selalu terdapat bersamaan dengan mikroorganisme lain yang
berhubungan dengan BV.

3. Mycoplasma genital
Tylor – Robinson dan McCormack (1980) yang pertama kali
berpendapat bahwa M. hominis berperan pada BV, bersimbiosis dengan G.
vaginalis maupun organisme patogen lainnya. Pheifer dan dan kawan –
kawan mendukung hipotesis ini dengan penemuan M. hominis pada 63 %
wanita dengan BV dan 10 % pada wanita normal. Paavonen (1982) juga
melaporkan hubungan dari BV dengan M. hominis dan G. vaginalis pada
cairan vagina.

4. Mikroorganisme lainnya
Wanita dengan BV tidak mempunyai peningkatan streptokokus grup
B, stafilokokus koagulase negatif, tetapi mempunyai peningkatan yang
bermakna dari bakteri yang merupakan karier vagina yaitu kelompok spesies
Streptococcus viridians, Streptococcus asidominimus, dan Stresptocccus
morbilorum. Suatu analisis multivariat menemukan hubungan antara BV
dengan empat kategori bakteri vagina yaitu ; Mobiluncus spesies, kuman
batang gram negatif anaerob, G.vaginalis dan M.hominis. Prevalensi masing –
masing mikroorganisme meningkat pada wanita dengan BV. Selain itu
organisme – organisme tersebut ditemukan pada konsentrasi 100 – 1000 lebih
besar pada wanita dengan BV dibandingkan pada wanita normal, sedangkan
konsentrasi laktobasilus menurun pada wanita pasien BV.

4
2.4 Faktor Resiko

Beberapa faktor diketahui merupakan faktor resiko terjadinya VB, yaitu :4,7

1. Aktivitas seksual
Dikatakan BV lebih jarang pada wanita paska pubertas tanpa
pengalaman seksual dibandingkan yang mempunyai pengalaman seksual.
Amsel dan kawan- kawan menemukan pada wanita tanpa pengalaman seksual
tidak menderita BV dari 18 orang yang diperiksa, sedangkan pada wanita
yang mempunyai pengalaman seksual didapatkan sebanyak 69 (24%)
menderita BV. Studi kohort longitudinal memberikan bukti bahwa wanita
yang memiliki banyak pasangan seksual pria pasangan seksual pria dalam 12
bulan terakhir berkaitan dengan terjadinya vaginosis bacterial.
BV juga meningkat pada wanita yang melakukan hubungan seksual
dengan wanita (women sex women/WSW ) dan berkaitan dengan wanita yang
memiliki satu atau lebih pasangan seksual wanita dalam 12 bulan terakhir
Studi pada lesbian memberikan bukti lebih jauh tentang peranan hubungan
seksual dalam penularan BV. Sekitar 101 lesbian yang mengunjungi klinik
ginekologi sebesar 29 % menderita BV begitu juga pasangan seksualnya.
Kemungkinan wanita menderita BV hampir 20 kali, jika pasangannya juga
menderita BV.
Patogenesis terjadinya BV pada WSW ini masih belum jelas. Salah
satu penjelasan yang mungkin adalah adanya persamaan antara bakteri
anaerob yang berkaitan dengan gingivitis dan BV. Kebiasaan seksual melalui
anus dikatakan juga memegang peranan dalam terjadinya BV, transfer
perineal atau bakteri pada rektum ke vagina, telah diketahui menjadi
konsekuensi pada hubungan seksual melalui anal. Bakteri yang sering, yaitu
Echerria coli dan Streptococcus , dan hal ini memungkinkan bahwa BV dapat
ditimbulkan atau dicetuskan oleh hubungan seksual yang tidak terlindungi ,
sehingga terjadi translokasi bakteri dari rektum ke vagina.
2. Douching
Faktor epidemiologi lain juga penting dalam terjadinya BV. Studi
kohort terbaru dari 182 wanita menunjukkan terjadinya BV tidak hanya
berhubungan dengan pasangan seksual baru, tetapi juga berhubungan dengan

5
penggunaan douching vagina. Pemakaian douching vagina yang merupakan
produk untuk menjaga hygiene wanita bisa menyebabkan BV. Kebiasaan
douching dikatakan dapat merubah ekologi vagina, penelitian yang dilakukan
oleh Onderdonk dan kawan – kawan menyatakan douches yang mengandung
povidon iodine lebih mepunyai efek penghambatan terhadap laktobasilus
vagina dibandingkan yang mengandung air garam atau asam asetat.
3. Merokok
Merokok dikatakan berkaitan dengan BV dan penyakit IMS lainnya,
dari penelitian yang dilakukan di Inggris dan Swedia, dikatakan merokok
dapat menekan sistem imun, sehingga memudahkan terjadinya infeksi serta
dapat menekan pertumbuhan laktobasilus yang menghasilkan hidrogen
peroksidase. Mekanisme lain yang menghubungkan antara merokok dan BV
adalah, dikatakan rokok mengandung berbagai zat kimia, nikotin, kotinin, dan
benzopirenediolepoxide, yang mana zat – zat kimia ini ada pada cairan
mukosa servik perokok dan secara langsung dapat merubah mikroflora vagina
atau merusak sel langerhan pada epitel servik yang menyebabkan terjadinya
imunosupresi lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Smart dan kawan – kawan (2003)
menyatakan resiko terjadinya BV sebanding dengan jumlah rokok yang
dihisap tiap hari, yang mana jika jumlah rokok yang dihisap makin banyak (>
20 batang/perhari) maka resiko terkena BV juga makin besar
4. Penggunaan AKDR
Amsel dkk, dan Holst dkk menemukan BV lebih sering ditemukan
pada wanita yang menggunakan AKDR dibandingkan yang tidak
menggunakannya (18,8 % vs 5,4% dengan p <0,0001 dan 35 % vs 16 %
dengan p <0,03). Pada studi retrospektif yang dilakukan oleh Avonts dan
kawan –kawan melaporkan BV meningkat diantara pengguna AKDR
dibandingkan kontrasepsi oral hal ini mungkin disebabkan oleh bagian ekor
dari AKDR yang ada pada endoservik atau vagina menyebabkan lingkungan
untuk berkembangnya bakteri anaerob dan G.vaginalis, yang mungkin
memegang peranan dalam terjadinya BV pada wanita yang menggunakan
AKDR.

6
2.5 Patogenesis

Sekelompok kuman harus bekerja secara sinergistik untuk menimbulkan kejadian


vaginosis. Flora campuran kuman anaerob dapat tumbuh secara berlebihan sebagai
akibat adanya peningkatan substrat, peningkatan pH, dan hilangnya dominasi flora
normal laktobasili yang menghambat pertumbuhan kuman lain. Pada wanita normal
dijumpai kolonisasi strain Laktobasili yang mampu memproduksi H2O2, sedangkan pada
penderita vaginosis terjadi penurunan jumlah populasi laktobasili secara menyeluruh,
sementara populasi yang tersisa tidak mampu menghasilkan H2O2. Diketahui bahwa
H2O2 dapat menghambat pertumbuhan kuman-kuman yang terlibat dalam vaginosis,
yaitu oleh terbentuknya H2O-halida karena pengaruh peroksidase alamiah yang berasal
dari serviks. Dengan meningkatnya pertumbuhan kuman, produksi senyawa amin oleh
kuman anaerob juga bertambah, yaitu berkat adanya dekarboksilase mikrobial. Senyawa
amin yang terdapat pada cairan vagina yaitu putresin, kadaverin, metilamin,
isobutilamin, fenetilamin, histamin, dan tiramin.10

Bakteri anaerob dan enzim yang bukan diproduksi oleh Gardnerella dalam
suasana pH vagina yang meningkat akan mudah menguap dan menimbulkan bau amis,
bau serupa juga dapat tercium jika pada sekret vagina yang diteteskan KOH 10%.
Senyawa amin aromatik yang berkaitan dengan timbulnya bau amis tersebut adalah
trimetilamin, suatu senyawa amin abnormal yang dominan pada BV. Bakteri anaerob
akan memproduksi aminopeptida yang akan memecah protein menjadi asam amino dan
selanjutnya menjadi proses dekarboksilasi yang akan mengubah asam amino dan
senyawa lain menjadi amin, yaitu dekarboksilasi ornitin (metabolit arginin) akan
menghasilkan putresin, dekarboksilasi lisin akan menghasilkan kadaverin dan
dekarboksilasi betain (metabolit kolin) akan menghasilkan trimetilamin. Poliamin asal
bakteri ini bersamaan dengan asam organik yang terdapat dalam vagina penderita infeksi
BV, yaitu asam asetat dan suksinat, bersifat sitotoksik dan menyebabkan eksfoliasi epitel
vagina. Hasil eksfoliasi yang terkumpul membentuk sekret vagina. Dalam pH yang
alkalis Gardnerella vaginalis melekat erat pada sel epitel vagina yang lepas dan
membentuk clue cells. Secara mikroskopik clue cells nampak sebagai sel epitel yang
sarat dengan kuman, terlihat granular dengan pinggiran sel yang hampir tidak tampak.10

7
2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klasik dari BV adalah bau yang biasanya dideskripsikan sebagai fishy odor
yang disebabkan oleh produksi amin (trimetalamin, putresin dan kadaverin ) oleh bakteri
anaerob. Volatilasi amin ini meningkat dengan peningkatan pH , sehingga pasien sering
merasa keluhan ini makin memburuk jika terjadi peningkatan alkanin, misalnya setelah
berhubungan seksual ( karena adanya cairan sperma) atau selama menstruasi.

Hampir semua wanita dengan BV memiliki ph vagina >4,5 jika diukur


menggunakan kertas indikator pH. Meskipun pemeriksaan pH ini membantu dalam
pemeriksaan klinis tetapi tidak spesifik untuk BV. Peningkatan sekret vagina sering
tetapi bukan merupakan gejala yang spesifik pada BV. Keluhan ini ditemukan sekitar 73
– 92% pada pasien BV. Pemeriksaan mikroskopis cairan vagina ( dengan pembesaran
400 x) memperlihatkan clue cells pada 81% pasien BV dibandingkan bukan pasien BV
sebesar 6%. Clue cells merupakan sel epitel yang ditempeli oleh bakteri sehingga tepinya
tidak rata. Pada pasien BV tidak tampak inflamasi vulva atau vagina.

2.7 Diagnosis

Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas
ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbaudengan
pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T .vaginalis, kemungkinan besar menderita bakterial
vaginosis. WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar ditemukannya
clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan adanya G. vaginalis
sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus. Balckwell (1982) menegakkan
diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang berbau amis dan ditemukannya clue
cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif serta pH vagina yang tinggi akan
memperkuat diagnosis.5,8

Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis,
oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut
sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala,
yaitu :5,8,10

1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
vagina dan abnormal

8
2. pH vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yang mana sekret vagina yang berbau amis sebelum
atau setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)

Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Gejala yang khas adalah cairan vagina yang abnormal (terutama setelah
melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau amis/bau
ikan (fishy odor). Pasien sering mengeluh rasa gatal, iritasi, dan rasa terbakar. Biasanya
kemerahan dan edema pada vulva.

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret vagina
normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang memberikan
gambaran bergerombol.

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

2.7.3.1 Pemeriksaan Preparat Basah

Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret
vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan cover slip. Dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue
cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama
Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas 60% dan
spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial
vaginosis.

9
Gambar 1. Clue cells (sumber: http://mediastore.com)

2.7.3.2 Whiff Test

Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan
penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai akibat
pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff test positif
menunjukkan bakterial vaginosis.

2.7.3.3 Tes Lakmus

Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas


dibandingkan dengan warna standar pH vagina normal (3,8 - 4,2). Pada 80-90% bakterial
vaginosis ditemukan pH > 4,5.

2.7.3.4 Pewarnaan Gram Sekret Vagina

Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan


Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella vaginalis
dan atau Mobilincus sp. dan bakteri anaerob lainnya.

2.7.3.5 Kultur Vagina

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bacterial


vaginosis. Gardnerella vaginalis dapat ditemukan pada hampir seluruh penderita
bakterial vaginosis, tapi juga dapat ditemukan lebih dari 58% pada perempuan tanpa
bakterial vaginosis.

10
2.7.4 Kriteria Spiegel

Metode pemeriksaan Spiegel merupakan penilaian yang berdasar pada jumlah


kuman Lactobacillus, Gardnerella dan flora campuran dalam menegakkan diagnosis
apakah seseorang terdiagnosis BV atau tidak. Kriteria Spiegel bersifat lebih tegas karena
hanya terdapat 2 kriteria aja, yaitu normal dan BV positif, sehingga lebih memudahkan
dalam menentukan perlu atau tidaknya dilakukan terapi.

Jika pada pengecatan gram menunjukkan predominasi (3+ - 4+) Lactobacillus,


dengan atau tanpa morfotipe Gardnerella, diinterpretasikan normal. Jika pada
pengecatan gram menunjukkan flora campuran meliputi bakteri gram positif, bakteri
gram negatif, atau bakteri gram variabel dan morfotipe Lactobacillus menurun atau tidak
ada (0-2+), diinterpretasikan infeksi BV. Setiap morfotipe bakteri diamati pada
pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100 kali kemudian
dijumlahkan (darirerata 10 lapangan pandang). Skoring untuk morfotipe kuman terdiri
atas 4 kelas, yaitu 1+ jika ditemukan sebanyak < 1 per lapangan pandang; 2+ jika
ditemukansebanyak 1-5 per lapangan pandang; 3+ jika ditemukan sebanyak 6-30 per
lapangan pandang; dan 4+ jika ditemukan sebanyak >30 per lapangan pandang.

2.7.5 Kriteria Nugent

Kriteria Nugent atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode
diagnosis infeksi BV dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada sekret
vagina. Kriteria Nugent merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam penghitungan
jumlah kuman pada preparat basah sekret vagina.

Kriteria Nugent dinilai dengan adanya gambaran Lactobacillus, Gardnerella


vaginalis dan Mobiluncus sp. (skor dari 0 sampai 4 tergantung pada ada atau tidaknya
pada preparat). Kuman batang gram negatif/gram variable kecil (Gardnerella vaginalis)
jika lebih dari 30 bakteri per lapangan minyak imersi (oif) diberi skor 4; 6-30 bakteri per
oif diberi skor 3; 1-5 bakteri per oif diberi skor 2; kurang dari 1 per oif diberi skor 1; dan
jika tidak ada diberi skor 0. Kuman batang gram-positif besar (Lactobacillus) skor
terbalik, jika tidak ditemukan kuman tersebut pada preparat diberi skor 4; kurang dari 1
per oif diberi skor 3; 1-5 per oif diberi skor 2; 6-30 per oif diberi skor 1; dan lebih dari
30 per oif diberi skor 0. Kuman batang gram berlekuk-variabel (Mobiluncus sp.) , jika
terdapat lima atau lebih bakteri diberi skor 2 , kurang dari 5 diberi skor 1 , dan jika tidak
11
adanya bakteri diberi skor 0. Semua skor dijumlahkan hingga nantinya menghasilkan
nilai akhir dari 0 sampai 7 atau lebih. Kriteria untuk infeksi BV adalah nilai 7 atau lebih
tinggi; skor 4-6 dianggap sebagai intermediate, dan skor 0-3 dianggap normal.

2.7.6 Diagnosis Banding

1. Trikomoniasis
Pada pemeriksaan apusan vagina, trikomoniasis sering sangat menyerupai
penampakan pemeriksaan hapusan bakterial vaginosis, Tapi Mobiluncus dan clue
cells tidak pernah ditemukan pada trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopik tampak
peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah ditemukan
protozoa untuk diagnostik. Whiff test dapat positif dan pH vagina 5 pada
trikomoniasis.
2. Kandidiasis
Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna
untuk mendeteksi hifa dan spora kandida. Keluhan yang paling sering pada
kandidiasis adalah gatal dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal,
tanpa bau dan PH normal.

2.8 Tatalaksana

Karena penyakit bakterial vaginosis merupakan vaginitis yang cukup banyak


ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi, jenis obat yang digunakan
hendaknya tidak membahayakan, dan sedikit efek sampingnya.

Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan pengobatan,


termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial vaginosis dengan
wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca partus, maka penting untuk
mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis
biasanya menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati
bakterial vaginosis.

1. Terapi Sistemik10
a. Metronidazol 400-500 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Dilaporkan efektif
dengan kesembuhan 84-96%. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan
urin menjadi gelap. Konsumsi alkohol seharusnya dihindari selama

12
pengobatan dan 48 jam setelah terapi oleh karena dapat terjadi reaksi
disulfiram. Metronidazol 200-250 mg, 3x sehari selama 7 hari untuk
wanita hamil. Metronidazol 2 gram dosis tunggal kurang efektif dari pada
terapi 7 hari untuk pengobatan vaginosis bacterial oleh karena angka
rekurensi lebih tinggi.
b. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka
kesembuhan 94%.
c. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari
selama 7 hari.
d. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari
e. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari
f. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari
2. Terapi Topikal10
a. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.
b. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.
3. Pengobatan BV Pada Masa Kehamilan10
Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat
muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama
kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus.
Dosis yang lebih rendah dianjurkan selama kehamilan untuk
mengurangi efek samping (Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7
hari untuk wanita hamil). Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi
ampisilin dan amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol
pada wanita tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut member angka
kesembuhan yang rendah.
Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena
klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II
dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai
gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim. Selain itu, amoklav cukup
efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap metronidazol.

13
4. Pengobatan BV Rekuren10
Vaginosis bakterial yang rekuren dapat diobati ulang dengan:
a. Rejimen terapi
Metronidazol 500 mg 2x sehari selama 7 hari. Merupakan obat yang
paling efektif saat ini dengan kesembuhan 95%. Penderita dinasehatkan
untuk menghindari alkohol selama terapi dan 24 jam sesudahnya.
b. Rejimen alternative
I. Metronidazole oral 2 gram dosis tunggal
- Kurang efektif bika dibandingkan rejimen 7 hari; kesembuhan
84%
- Mempunyai aktivitas sedang terhadap Granerella vaginalis,
tetapi sangat aktif terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya
berhubungan dengan inhibisi anaerob.
II. Metronidazole gel 0,75% intravaginal, aplikator penuh (5gr), 2
kali sehari untuk 5 hari
III. Klindamisin krim 2% intravaginal, aplikator penuh (5gr), dipakai
saat akan tidur untuk 7 hari atau 2 kali sehari untuk 5 hari
IV. Klindamisin 300 mg 2 kali sehari untuk 7 hari
V. Augmentin oral (500 mg amoksisilin + 125 mg asam clavulanat) 3
kali sehari selama 7 hari
VI. Sefaleksin 500 mg 4 kali sehari selama 7 hari
Jika cara ini tidak berhasil untuk vaginosis bacterial rekuren, maka
dilakukan pengobatan selama seminggu sebelum permulaan
menstruasi dan begitupun pada menstruasi berikutnya, dengan
pengobatan selama 3-5 hari dengan metronidazole oral dan anti
jamur yaitu clotrimazole intravaginal atau flukonazol.

2.9 Komplikasi

Infeksi BV yang tidak mendapat penanganan yang baik dapat menyebabkan


komplikasi, antara lain, endometritis, penyakit radang panggul, sepsis paska aborsi,
infeksi paska bedah, infeksi paska histerektomi, peningkatan risiko penularan HIV dan
IMS lain. Infeksi BV merupakan faktor risiko potensial untuk penularan HIV karena pH
vagina meningkat dan faktor biokimia lain yang diduga merusak mekanisme pertahanan

14
host. Penelitian dari seluruh dunia mengenai BV langsung tertuju kepada sejumlah
komplikasi obstetrik yaitu keguguran, lahir mati, perdarahan, kelahiran prematur,
persalinan prematur, ketuban pecah dini, infeksi cairan ketuban, endometritis paska
persalinan dan kejadian infeksi daerah operasi (IDO).

2.10 Prognosis

Prognosis bakterial vaginosis baik, dilaporkan perbaikan spontan pada lebih


sepertiga kasus. Dengan pengobatan metronidazole dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%). Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali
pada 20-30% wanita walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan
antibiotik yang sama dapat dipakai.

15
BAB III

KESIMPULAN

Bakterial vaginosis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (Bacteroides sp.,
Mobilincus sp., Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis) menggantikan flora normal
vagina (Lactobacillus sp) yang menghasilkan hidrogen peroksida sehingga vagina yang
tadinya bersifat asam (pH normal vagina 3,8 – 4,2) berubah menjadi bersifat basa.
Menurut Amsel, untuk menegakkan diagnosa dengan ditemukannya tiga dari empat
gejala, yakni : sekret vagina yang homogen, tipis, putih dan melekat, pH vagina > 4,5, tes
amin yang positif; adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20% dari seluruh
epitel) yang merupakan penanda bakterial vaginosis. Pengobatan bakterial vaginosis
biasanya menggunakan antibiotik seperti metronidazol dan klindamisin. Untuk keputihan
yang ditularkan melalui hubungan seksual terapi juga diberikan kepada pasangan seksual
dan dianjurkan tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan. Pada penderita
bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan komplikasi antara lain :
kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir rendah, dan endometritis post
partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan agar semua wanita hamil yang
sebelumnya melahirkan bayi prematur agar memeriksakan diri untuk screening vaginosis
bakterial, walaupun tidak menunjukkan gejala sama sekali.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Koumans EH, Stenberg M, Bruce C, McQuillan G, Kendrick J. The prevalence of


bacterial vaginosis in the United States, 2001-2004: Associations with symptoms,
sexual behaviors, and reproductive health. Sex Transm Dis 2007; 34:864–9.
2. Sharon H, Jeanne M, Holmes KK. Bacterial vaginosis. In: Holmes KK, Sparling PF,
Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN,Corey L, et al., editors. Sexually transmitted
disease. 4th ed. New York: McGraw Hill; 2008. p.737-68.
3. Rosen T. Gonorrhea, mycoplasma, and vaginosis. In: Wolf K, Goldsmith L, Katz S,
Gilcherst B, Paller A, Leffell O, editors. Fritzpatrick’s dermatology general
medicine. 8 th edition. New York: McGrawHill; 2013. p.4739-42
4. Koumans, E.H., Sternberg, M., Bruce, C., McQuillan, G., Kendrick, J., Sutton, M, &
Markowitz, L.E., (2007) The Prevalence of Bacterial Vaginosis in the United States,
2001-2004; Association With Symptoms, Sexual Behaviors, and Reproductive
Health. Sexually Transmitted Diseases, 34(11), pp.864-869.
5. Myziuk, L., Romanowski, B. & Johnson, S.C., (2003) BVBlue Test for Diagnosis of
Bacterial Vaginosis. Journal of Clinical Microbiology, 41(5), pp.1925– 1928.
6. Van Os, S., (2004) Bacterial vaginosis in pregnancy. Canadian Journal of Midwifery
Research and Practice, 3(2), pp.13–15
7. CDC&Prevention, (2010) Bacterial Vaginosis, Available from:
http://www.cdc.gov/std/bv/STDFact-Bacterial-Vaginosis.htm.
8. Peterson, E.D. and Petz, K.: Diagnosis and therapy of non specific vaginitis. Scand.
J. Infect. Dis. Suppl. 40: 97-99 (1983).
9. Plot, P.: Bacterial vaginosis. An evaluation of treatment. Per- Anders Mardh and
David Taylon- Robinson’s. Bacterial vaginosis. Pp. 229-234 (Almovist & Wiksell
international, Stockholm 1984).
10. Adam AM, Zainuddin A, Maskur Z, Makalew HL. Vaginosis Bakterial. Dalam: Daili
SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual. Edisi Keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2009.h.116-122

17

Anda mungkin juga menyukai