Etiologi
Mola hidatidosa dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi, pasien termuda
yang pernah dilaporkan berusia 12 tahun dan tertua 57 tahun.2,3
Di samping umur, faktor gizi juga dianggap berpengaruh terhadap kejadian mola
hidatidosa, Acosta Sison, menganggap bahwa mola hidatidosa adalah suatu kehamilan patologis,
sedangkan faktor yang menyebabkan ovum patologis ini adalah defisiensi protein kualitas tinggi
(highclass protein). Acosta Sison mengaitkan dengan kenyataan bahwa di Asia banyak sekali
ditemukan mola hidatidosa, yang penduduknya sebagian termasuk golongan sosioekonomi
rendah yang kurang mengkonsumsi protein.1,4
Reynold mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara hari ke-13 dan ke-21,
mengalami asam folat dan histidine akan mengalami gangguan pembentukan thymidine, yang
merupakan bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan menyebabkan kematian
embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan mengalami perubahan
hidrofobik.3
Laporan dari Amerika Serikat (1970–1977) mengatakan bahwa insidensi mola hidatidosa
pada kulit hitam hanya setengahnya dari wanita kulit lainnya. Menurut Teoh, di Singapura,
insidensi mola hidatidosa pada wanita Euroasian, dua kali lebih tinggi dari China, Melayu dan
India. Di Indonesia yang terdiri dari berpuluh-puluh etnis, sampai sekarang belum ada yang
melaporkan adanya perbedaan insidensi antar suku bangsa.
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil penelitian Kajii et al dan
Lawler et al, menunjuakn bahwa pada kasus mola hidatidosa lebih banyak ditemukan kelainan
Balance translocation dibandingkan dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada
kemungkinan pada wanita dengan kelainan sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami
gangguan proses meosis berupa nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang
kosong atau yang intinya tidak aktif.3,4