Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol 2 No 3 2011 PDF
Jurnal Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Vol 2 No 3 2011 PDF
JTMGB
Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
Vol. : 2 No. : 3 Desember 2011
Jakarta
JTMGB Vol. 2 No. 3 Hal. 113 - 160 ISSN 2088-7590
Desember 2011
Keterangan gambar cover:
Hasil pemodelan 3 dimensi dari sebuah lapangan minyak di area Natuna, Indonesia, memperlihat-
kan distribusi porositas.
JTMGB Jurnal Teknologi Minyak dan Gas Bumi
Peer Review : Prof. DR. Ir. Pudjo Sukarno (Integrated Production System)
Prof. DR. Ing. Ir. HP Septoratno Siregar, DEA (EOR)
Prof. Ir. Doddy Abdassah, PhD. (Teknik Reservoir)
DR. Ir. Arsegianto (Ekonomi & Regulasi MIGAS)
DR. Ir. Sudjati Rachmat, DEA (Well Stimulation and Hydraulic
Fracturing)
DR. Ir. Sudarmoyo,SE, MT (Penilaian Formasi)
Ir. Aris Buntoro, MT (Teknik Pemboran)
DR. Ir. Ratnayu Sitaresmi, MT (Teknik Reservoir)
Ir. Syamsul Irham, MT (Ekonomi MIGAS)
DR. Ir. Taufiq Fathaddin (EOR/Simulasi)
DR. Ir. Andang Kustamsi (Teknik Pemboran)
Dewan Redaksi
Ketua : DR. Ir. Taufan Marhaendrajana (Engineering Mathematics and
Well Testing/Performances)
Anggota : DR. Ir. Asep K. Permadi (Karakterisasi dan Pemodelan Reservoir)
DR. Ir. Tutuka Ariadji (Production Optimization)
DR. Ir. Bambang Widarsono (Penilaian Formasi)
Redaktur Pelaksana : Ir. IGK. Budiartha
Ir. Elly M.Jusuf, MSc.
Ir. Ana Masbukhin
Sekretariat : Ir. Bambang Pudjianto
Layout Desain : Endy Hadianto, S.Kom
Alief Syahru
Sirkulasi : Abdul Manan
Pengaruh Saturasi Air Formasi Terhadap Efektivitas Resin Epoxy Pada Un-
consolidated Core Model (Studi Laboratorium)
Tulus Imaro, Taufan Marhaendrajana ................................................................ 113 - 126
A Method for Obtaining Inter-well True Resistivity (Rt) from Seismic Data
Bambang Widarsono and Fakhriyadi Saptono .................................................. 127 - 132
Aplikasi Inside Gravel Packing Sebagai Sand Control Pada Sumur X Dengan
Electrical Submersible Pump Sebagai Metode Sembur Buatan
Dwi Hermanto S dan Alvianti Dwi P ................................................................. 147 - 152
Permanent Coil Tubing Gas Lift (PCTGL): A Solution for Developing Oil in
Monobore Well Completion
Ari Taufiq Kramadibrata, Pahala Panjaitan, Sumaryanto .................................. 153 - 160
KATA PENGANTAR
Kembali kami hadir di tengah anda dengan berbagai tulisan dan diskusi menarik sekitar upaya
peningkatan produksi migas kita. Topik ini memang tidak akan ada habisnya karena sifat reservoir
dan aliran fluida yang sangat spesifik dan dinamik. Penurunan produksi yang secara alamiah pasti
akan terjadi dapat diakibatkan karena penurunan tekanan reservoir atau adanya gangguan aliran dari
reservoir ke lubang sumur atau aliran di dalam lubang sumur sendiri.
Tulisan yang menarik diantaranya adalah penemuan dan penerapan korelasi baru untuk me-
nentukan ultimate recovery factor (URF) suatu lapangan dalam kondisi sedang/sudah dilakukan
waterflooding. Dengan diketahui URF ini maka diharapkan kita dapat mengetahui sisa cadangan
yang ada pada saat dilakukan waterflooding maupun sesudahnya, sehingga perhitungan keekonomian
ataupun rencana EOR (enhanced oil recovery) lebih lanjut dapat disusun lebih dini. Tulisan lainnya,
mengenai usaha untuk mengekstrak data yang lebih luas dari data seismik berkaitan dengan data
petrofisika. Tulisan yang masih merupakan awal dari suatu pengembangan yang masih panjang terse-
but diharapkan bisa membantu dalam usaha pembangunan model reservoir secara lebih baik. Dengan
model reservoir yang lebih baik maka pengelolaan lapangan dan pengembangan aset di lapangan
tersebut akan dapat dilaksanakan dengan lebih tepat.
Dari dunia laboratorium juga menurunkan penelitian yang dapat digunakan pada perusa-
haan minyak yang memiliki problem kepasiran di lapangannya. Tulisan ini membahas pengaruh air
formasi terhadap efektifitas penggunaan resin pada unconsolidated sand, yaitu pada saat kita ingin
mengatasi kepasiran dengan menggunakan resin sebagai perekat batupasir unconsolidated di sekitar
lubang sumur. Ternyata bahwa meskipun ada pengaruh air formasi, tetapi pemakaian resin masih
efektif dan tidak mempengaruhi permeabilitas formasi. Dalam tulisan lain, mengatasi masalah yakni
penggunaan inside gravel packing. Cara ini kemudian dikombinasikan dengan metoda pengangkatan
menggunakan ESP (electric sunmersible pump) untuk memaksimalkan produksi, sehingga hasilnya
cukup signifikan.
Masih dalam rangka peningkatan produksi di lapangan tua (mature), kajian dan penerapan
metoda lifting dengan menggunakan permanent coiled tubing gas lift ternyata memberikan hasil yang
maksimal, baik dilihat dari sisi efektifitas (keteknikan) maupun sisi efisiensi (keekonomian). Cara
ini bahkan telah menjadi standar operasi di lapangan Sanga-sanga milik Vico pada sumur monobore.
Sangat bermanfaat untuk dicoba di tempat lain.
Semoga apa yang disajikan JTMGB dalam edisi kali ini benar-benar memberikan manfaat
bagi pembaca, atau bahkan dapat mengembangkan ide dan gagasan yang lebih besar dalam rangka
bersama-sama membangun masa depan dunia migas Indonesia lebih baik.
Salam,
SSA
Pengaruh Saturasi Air Formasi
Terhadap Efektivitas Resin Epoxy
Pada Unconsolidated Core Model (Studi Laboratorium)
Oleh:
Tulus Imaro , Taufan Marhaendrajana(2)
(1)
(1)
Sarjana S1, Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung
(2)
Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Gedung Basic Science Center B Lt. 4, Jl. Ganesa 10 Bandung 40132
Telp. +62222506282, +62816615621 email: tmarhaendrajana@tm.itb.ac.id
Sari
Penggunaan resin dilakukan pada formasi yang tidak terkonsolidasi dengan baik untuk
menangani masalah produksi pasir. Pada saat ini masalah kepasiran kerap muncul pada sumur-sumur
tua (brown fields) sehingga dibutuhkan penerapan teknologi agar sumur bisa tetap berproduksi dengan
penanganan masalah kepasiran, yang mana penggunaan resin merupakan salah satu solusinya. Studi
mengenai penggunaan resin sebelumnya belum memperhatikan adanya pengaruh saturasi air formasi
pada kinerja resin. Tujuan dari makalah ini adalah mengetahui efek adanya saturasi air terhadap
proses konsolidasi pasir (sand consolidation) yang dilakukan oleh resin.
Dalam makalah ini diteliti seberapa besar pengaruh saturasi air formasi terhadap kinerja
resin tersebut. Hasil dari studi ini menunjukkan pengaruh signifikan dari adanya air formasi. Nilai
compressive stress dari core tersaturasi air dan resin menunjukkan peningkatan sebesar 700 - 1300
psi, sedangkan pada core tersaturasi resin (tanpa air formasi) memiliki peningkatan nilai 900 - 1500
psi untuk perendaman core selama 1-7 jam. Untuk durasi perendaman yang sama, core yang dijenuhi
resin, nilai porositas berkurang 48% - 66% dan permeabilitas berkurang 58% - 99%. Sedangkan core
yang dijenuhi oleh air formasi+resin, nilai porositas berkurang 6% - 22% dan permeabilitas berkurang
21% - 65%. Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun adanya air formasi akan menurunkan performa
resin epoxy, proses penggunaan resin masih direkomendasikan untuk digunakan.
Kata kunci: air formasi, resin epoxy, sand consolidation, core sintetik.
Abstract
113
114
melihat pengaruh resin terhadap kekuatan batuan • Analisa hasil data percobaan laboratorium
baik yang dipengaruhi oleh air formasi maupun Pengukuran selisih compressive stress,
tidak. Pada masing-masing perlakuan, dibutuhkan porositas dan permeabilitas dimaksudkan untuk
sejumlah core untuk melihat hasil dari perlakuan mengetahui pengaruh air formasi terhadap
tersebut. Dalam melihat compressive stress penurunan atau kenaikan nilai sifat fisik batuan
core, dibutuhkan 3 (tiga) buah core yang akan (petrofisik). Dari percobaan yang dilakukan
diambil nilai rata-rata sedangkan untuk melihat di laboratorium, hasil akan dibahas pada bab
sifat porositas dan permeabilitasnya hanya selanjutnya.
menggunakan 1 buah core. Nilai compressive
stress yang akan digunakan merupakan nilai rata- III. Hasil dan Pembahasan
rata dari ketiga kekuatan batuan yang dihasilkan Pengujian Kekuatan Batuan (Compressive
oleh ketiga core tersebut. Stress)
Untuk melihat perbedaan hasil perlakuan
pada pengukuran compressive stress, core Pada dasarnya, resin akan meningkatkan
direndam oleh resin dalam waktu (jam) yang kekuatan batuan. Untuk mengetahui seberapa
berbeda-beda. Hal ini memungkinkan untuk besar kinerja resin yang digunakan maka
melihat efek yang terjadi terhadap core oleh dilakukan pengujian terhadap kekuatan ikatan dari
pengaruh resin dan air formasi. Core (baik yang resin tersebut dengan menggunakan alat Single
sudah tersaturasi oleh air formasi maupun tidak
disaturasi) direndam dalam larutan resin di dalam
gelas plastik. Tinggi larutan resin harus mampu
merendam keseluruhan core sehingga pengaruh
resin tersebut bersifat merata. Volume resin
yang digunakan sebanyak 100mL yang terdiri
dari resin 50mL dan aseton sebanyak 50mL,
(epoxy:hardener = 1:1) Gambar 1. Perbandingan compressive stress core yang
disaturasi resin dan core yang disaturasi air formasi +resin
Dalam pengukuran porositas dan
permeabilitas, digunakan jumlah core yang Stage Compressive Test (SST) dengan uniaxial
berbeda. Ketika menggunakan alat porosimeter stress. Alat SST ini memiliki kemampuan untuk
akan dilakukan 3 kali pengukuran pada 1 core menguji triaxial stress dari axial stress (gaya dari
yang mewakili setiap perlakuan, sehingga dapat atas) maupun radial stress (gaya dari samping),
memberikan nilai rata-rata. Sedangkan pada namun pada percobaan ini hanya menggunakan
saat menggunakan alat Hassler permeameter uniaxial stress karena hanya ingin melihat efek
dilakukan 1 kali pengukuran yang menghasilkan dari saturasi air. Grafik di bawah ini menunjukkan
korelasi antara volume dan waktu yang kemudian hasil pengujian compressive stress baik sebelum
diplot sehingga menghasilkan hubungan antara maupun sesudah core diberikan perlakuan.
q (rate) terhadap gradien persamaan dan yang Pada Gambar 1 di atas dapat terlihat bahwa
selanjutnya dapat dihitung nilai permeabilitas core yang mengalami perlakuan saturasi resin saja
core tersebut. memiliki nilai compressive stress yang semakin
Secara garis besar, langkah kerja yang meningkat, namun pada titik tertentu mengalami
dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai penurunan karena sudah melampaui titik optimal
berikut: efektivitas resin. Titik optimal penggunaan resin
• Pembuatan artificial core yaitu pada t=7 jam, jika lebih dari itu maka akan
• Pembuatan resin epoxy terjadi penurunan efektivitas penggunaan resin.
• Pengukuran porositas dan permeabilitas Sedangkan pada core yang tersaturasi air formasi
sebelum core mengalami perlakuan didapatkan nilai yang lebih rendah dibandingkan
• Pengukuran compressive stress setelah core dengan core yang hanya tersaturasi oleh resin.
mengalami perlakuan Berikut Tabel 1 yang menunjukkan
• Pengukuran porositas dan permeabilitas sete- perbedaan nilai compressive stress sebelum dan
lah core mengalami perlakuan setelah perlakuan terhadap core. Pada t (waktu)
117
Tabel 1. Selisih nilai compressive stress core yang yang penggunaan resin dengan adanya air formasi
disaturasi oleh resin (Core R) dan core yang disaturasi oleh atau tidak. Nilai kekuatan batuan dari core yang
air formasi dan resin (Core FR) tidak disaturasi oleh apapun yaitu sebesar 0,7 ton
Waktu Perendaman, Selisih Compressive Stress (1582,59 psi).
jam (Core R – Core FR), Dari Gambar 2 di atas dapat diketahui bahwa nilai
psi core tanpa saturasi masih berada jauh di bawah
1 150,80 nilai kekuatan batuan yang diberikan perlakuan
3 301,52 (baik core yang disaturasi resin saja maupun
5 301,37 core yang sudah tersaturasi oleh air formasi
7 376,82 yang kemudian dijenuhi oleh resin). Selisih nilai
9 150,80 kekuatan batuan antara core yang disaturasi
dengan core yang tidak disaturasi dapat mencapai
700 -1500 psi.
Dari data Tabel 2 di atas dapat disimpulkan
bahwa penggunaan resin di bawah pengaruh air
formasi masih dapat meningkatkan compressive
stress, sehingga pada kondisi dimana batuan
mengandung connate water, resin masih dapat
digunakan. Hanya saja kekuatan batuan yang
didapatkan berkurang 150 sampai 370 psi (Tabel 1).
Gambar 2. Perbandingan ccmpressive stress antara core
yang disaturasi resin dan core tanpa perlakuan.
Tabel 3. Selisih nilai porositas core sebelum perlakuan dan yang dijenuhi oleh air adalah sebesar pengurangan
setelah perlakuan untuk Core R (disaturasi resin). 6% - 22%. Hal ini dimungkinkan karena beberapa
Waktu Porositas Porositas Selisih % hal:
Peren- sebelum setelah Porosi-tas Selisih
daman perlakuan perlakuan % % • Sifat air yang mengganggu hardener resin
jam % sehingga resin tidak bisa mengisi penuh pori-
1 28,28 14,68 13,60 48,09 pori core saat mengeras
3 28,39 15,95 12,43 43,81 • Sifat air yang membasahi permukaan
5 28,15 14,18 13,97 49,64 batuan, sifat wettability, sehingga resin tidak
7 28,59 9,54 19,05 66,63 sepenuhnya menempel ke permukaan batuan
tersebut (air berada diantara permukaan
besar efek yang diberikan oleh resin terhadap batuan dan resin)
sifat fisik batuan yaitu porositas. Saat dilakukan Adanya resistensi dari air ketika resin mencoba
uji kekuatan batuan, nilai compressive stress yang masuk ke dalam pori-pori core. Hal ini disebabkan
dihasilkan oleh core yang tersaturasi oleh resin oleh sifat pendesakan resin dari segala arah,
memiliki nilai yang sangat signifikan. Hal ini sedangkan air sudah berada di dalam pori-pori
serupa juga dengan core yang disaturasi oleh air core tersebut.
formasi terlebih dahulu yang kemudian disaturasi
oleh resin. Pemikiran yang dapat diambil dari Apabila nilai porositas dikaitkan dengan
uji kekuatan batuan tersebut adalah terjadinya nilai compressive stress, akan terdapat suatu
pengurangan porositas pada kedua macam core hubungan. Core yang hanya dijenuhi oleh resin
karena diisi oleh fluida resin yang mengeras. memiliki penurunan nilai porositas yang sangat
Porositas awal dari core akan mengecil setelah signifikan karena pori-pori core tersebut diisi
diberikan perlakuan (saturasi air-resin maupun oleh resin yang telah mengeras. Oleh karena
saturasi resin saja). Sehingga untuk membuktikan resin mengikat/melapisi butir batuan dengan baik
pemikiran tersebut dilakukan pengukuran maka menghasilkan harga compressive stress
porositas core baik sebelum maupun sesudah yang besar.
diberikan perlakuan. Sedangkan pada core yang dijenuhi oleh
Data yang didapat melalui percobaan meng- air formasi terlebih dahulu memiliki penurunan
gunakan gas porosimeter dapat dilihat pada Tabel 3. porositas yang tidak signifikan, tetapi compressive
stress yang didapatkan lebih kecil (daripada core
Pada Tabel 3, core yang hanya disaturasi yang disaturasi oleh resin saja) karena resin tidak
oleh resin memiliki penurunan porositas yang melapisi permukaan batuan atau tidak mengikan
signifikan, dengan rentang pengurangan porositas butir-butir batuan dengan baik.
43-66%. Porositas yang berkurang tersebut diisi
oleh larutan kimia resin yang telah mengeras Hubungan porositas dan compressive
sehingga pori-pori kosong yang tadinya belum stress pada core yang dijenuhi air dan resin
terisi menjadi berkurang. memiliki nilai yang positif. Dengan penurunan
porositas yang kecil (sekitar 6% - 19%) dapat
Di sisi lain, Tabel 4 menunjukkan core memberikan compressive stress sebesar 700 -
yang dijenuhi oleh air terlebih dahulu kemudian 1300 psi.
resin memiliki selisih penurunan porositas yang
kecil. Rentang perubahan porositas pada core Pada pengukuran porositas digunakan gas
porosimeter yang memiliki prinsip pengukuran
Tabel 4. Selisih nilai porositas core sebelum perlakuan porositas melalui ruang pori dengan mengalirkan
dan setelah perlakuan untuk Core FR (disaturasi air
gas inert. Dalam pengukuran permeabilitas
formasi+resin).
absolut digunakan alat Hassler Permeameter
Waktu Porositas Porositas Selisih % Selisih
Peren- sebelum setelah Porosi-tas yang menggunakan fluida cair.
daman perlakuan perlakuan %
jam % %
1 31,48 24,38 7,11 22,57 Penentuan Permeabilitas Absolut dengan
3 29,24 25,79 3,45 11,81 Hassler Permeameter
5 30,04 24,18 5,86 19,51
Permeabilitas merupakan salah satu faktor
7 28,61 26,71 1,90 6,64
119
oleh resin, semakin lama waktu perendaman Core R memiliki rentang permeabilitas, k sebesar
resin maka akan semakin besar penurunan 0,79 – 62 mD sedangkan core FR memiliki
permeabilitas. Pada waktu perendaman resin 7 rentang permeabilitas, k sebesar 51 – 117 mD,
jam dapat dilihat bahwa core hampir tidak dapat rentang nilai tersebut masih termasuk dalam
mengalirkan fluida padahal porositas yang ada kategori permeabilitas yang baik. Sehingga dapat
masih sebesar 26% (masih tergolong bagus). Hal disimpulkan bahwa adanya air formasi tidak
ini bisa saja disebabkan oleh faktor pore-throat menjadi masalah dalam penggunaan resin.
yang kecil sehingga aliran fluida tidak lancar.
Pada core yang dijenuhi oleh air formasi IV. Kesimpulan
(Gambar 6), terdapat kecenderungan yang
Walaupun keberadaan air formasi
sama terhadap masing-masing nilai penurunan
sedikit mengurangi efektifitas kerja resin dalam
permeabilitas dan porositas. Penurunan porositas
memperbaiki compressive stress batuan, namun
yang berkisar antara 6%-22% cenderung
penurunan nilai porositas dan permeabilitas
memberikan penurunan permeabilitas yang
batuan dapat dikurangi (porositas berkurang
bervariasi berkisar 21%-65%. Pada core yang
6-22% dibandingkan berkurang 48-66% un-
direndam oleh resin selama 7 jam menunjukkan
tuk core yang disaturasi resin tanpa ada air
Tabel 6. Nilai permeabilitas dari core tanpa perlakuan formasi, dan permeabilitas berkurang 21-65%
(Core NT), core yang disaturasi resin (Core R), dan core
yang disaturasi air formasi+resin (Core FR).
dibandingkan 58-99% untuk core yang disaturasi
resin tanpa ada air formasi).
Waktu K (mD) Penggunaan resin dalam mengatasi kepasiran
Perendaman, masih dapat digunakan pada lapangan yang
jam
memiliki saturasi air tinggi, yaitu dengan
Core NT - 150,76 meningkatkan compressive stress sebesar 700 –
1 62,86 1300 psi.
3 55,35
Core R Keberadaan air formasi membuat soaking
5 30,77
time dari resin ke dalam batuan lebih lama,
7 0,79
tanpa menutup pori-pori keseluruhan, sehingga
1 117,90 memberikan peluang penetrasi resin kedalam
3 75,14 batuan. Ini disebabkan karena penggumpalan
Core FR
5 72,26 resin menjadi lebih lama.
7 51,62
Acuan
penurunan porositas yang rendah namun Dwijono, M., 2004. Petunjuk Praktis
penurunan permeabilitas yang paling tinggi Menanggulangi Problem Sand Di
diantara core yang lain. Adanya air formasi Lapangan Pertamina dan Meningkatkan
menyebabkan porositas tetap tinggi namun tidak Produksi.
menutup kemungkinan resin dapat memperkecil Kurawle Irfan et al. 2009. Silanol Resin
pore throat maupun meningkatkan turtuosity di consolidation system for deepwater
dalam batuan sehingga permeabilitas mengecil. completions and production optimization:
8th European Formation Damage
Secara umum, hasil yang didapatkan Conference Scheveningen, The
cukup memberikan gambaran tentang kondisi Netherlands 2009.
permeabilitas batuan yang dijenuhi oleh air Mujib, M.E., 2010. Design Lab Apparatus:
formasi maupun tidak. Single Stage Compressive Test (SST)
Hasil penentuan permeabilitas terhadap pada Tekanan dan Temperatur Tinggi:
dua jenis core tersebut menunjukkan hasil Tugas Akhir S1 Perminyakan ITB 2010.
positif dan masih termasuk dalam klasifikasi Purnama, G.W., 2010. Studi Laboratorium:
permeabilitas yang baik. Nilai permeabilitas Analisis Komposisi Resin Untuk
masing-masing core dapat dilihat pada Tabel 6. Menangani Masalah Kepasiran Pada
121
Formasi Gas Yang Tidak Terkonsolidasi: Slagle, D.M. et al. 1969. Control of Sand
Tesis Magister Perminyakan ITB 2010. Production in the Underground Storage
Rasyid, I.F., 2010. Studi Pengembangan Resin of Natural Gas: Journal of Petroleum
Epoxy Dalam Mengatasi Permasalahan Technology, Volume 21, Number 5
Kepasiran: Tugas Akhir S1 Perminyakan 1969.
ITB 2010.
Tabel A1. Core non-treatment (tanpa perlakuan perendaman resin maupun air formasi + resin)
Abstract
Water saturation data throughout an oil or gas field is always desired. This can be materialized if a
means can be established to extract the data from seismic data. This is true since seismic data is the
only widespread source that provides information for inter-well locations. This paper presents a
field trial of a proposed approach that is basically based on the application of artificial intelligence
(artificial neural network, ANN) on well-log and seismic data to extract formation true resistivity (Rt)
data. The method itself, which has been successfully verified through a series of laboratory trials,
includes training of the ANN using relevant well-log data, Rt prediction using the trained ANN,
and blind tests as a means of result validation. An oil field located in East Java is chosen for the
trial. It has been shown that there is a certain correlation between log-derived resistivity and log-
derived acoustic impedance (AI). As the method is applied to map the resistivity and water-saturation,
comparisons between conventional/ deterministic water-saturation map and the corresponding map
resulted from the trial has shown the superiority of the method in presenting inter-well variations
in water-saturation. It is also found that the new method has provided a high level of flexibility in
interpreting and distributing the inter-well Sw values.
Keywords: water saturation, seismic, formation true resistivity, artificial intelligence, water-saturation
map
Sari
Informasi mengenai data saturasi air yang menyeluruh bagi sebuah lapangan minyak atau gas selalu
menjadi hal yang dibutuhkan. Hal ini akan dapat terwujud jika dapat ditemukan suatu cara untuk
mengekstraksikannya dari data seismik yang umumnya tersedia bagi seluruh lokasi di reservoir.
Tulisan ini menyajikan suatu pengujian atas data log sumur dan seismik lapangan dengan bantuan
sistem kecerdasan semu artificial neural network (ANN) dengan tujuan memperoleh data tahanan
jenis formasi (Rt) di keseluruhan lapangan. Metode ini – telah berhasil diterapkan pada skala
laboratorium – mencakup pelatihan atas sistem ANN dengan menggunakan data log sumur, estimasi
Rt dengan menggunakan ANN yang sudah terlatih, dan melaksanakan blind test sebagai suatu cara
untuk validasi model. Untuk pengujian data lapangan, data dari sebuah lapangan yang berlokasi
di Jawa Timur digunakan. Dari pelatihan yang dilakukan atas ANN terlihat jelas adanya korelasi
antara tahanan jenis dan impedansi akustik, yang keduanya diperoleh dari data log sumur. Penerapan
kemudian dari metode ini untuk memetakan data tahanan jenis formasi dan saturasi air menunjukkan
bahwa metode ini bekerja dengan baik. Disamping itu, telah diamati juga bahwa metode baru ini
memberi keleluasaan dalam interpretasi dan pendistribusian harga saturasi air di lokasi-lokasi di
luar sumur.
Kata kunci: saturasi air, seismik, tahanan jenis formasi, kecerdasan semu, peta saturasi air.
127
128
Widarsono et al., 2003). It is shown there that at preventing the ANN to become too “confused”
in spite of differences in the order of influence in learning the data pattern.
imposed by variation in Sw onto Rt, and AI, there By restricting the use of hidden layer to maximum
is essentially a theoretical correlation between Rt, of 5 (five), the training was considered successful
and AI that needs to be further investigated. indicated by the reasonably low training error of
By observing theoretical relationships between ± 0.3 Ω-m. Note that larger number of hidden
water saturation and Rt and AI it can be shown layers used in training will usually improve
that, after some mathematical manipulations over further the training error meaning the ANN have
their basic equations, Rt relates to AI through learned the data pattern to a very detailed level.
But this usually have a risk that the ANN may
aRw “ignore” the data pattern at a more general level.
Rt = n This usually leads to a condition characterized
AI 2 − Ψ (φρ hc − φρ m − ρ w ) m
φ (1) by very low training error but erroneous results
Ψ φ ( ρ w − ρ hc ) when the trained ANN is used for prediction.
To test the training level that has been achieved
where Ψ represents Pd + f(Kf), with by the ANN, as well as to verify the Rt - AI
Pd = dry rock P-wave modulus correlation at well level, a blind test has been
f(Kf ) = function of incompressibility of fluids conducted on EJ - 4. AI data from the tested well
in pore space is input into the trained ANN in order to let the
φ = porosity ANN to predict Rt. The predicted Rt was then
m = rock cementation factor compared to the actual Rt data owned by the well
a = tortuosity (see Figure 3).
n = saturation exponent
The blind test has shown that the ANN has Prediction of Sw distribution map
achieved a fairly good degree of training, and it is In transforming the R data into S Archie equation
also shown that there is indeed a correlation (i.e. (Archie, 1942) of t w
Figure 4. Distribution map of predicted Rt. Figure 6. Distribution map of predicted Sw.
131
Widarsono, B. And Saptono, F. (2004). where S denotes saturation, and the subscript hc
“Resistivity data from a seismic survey? refers to hydrocarbon.
An alternative approach to assist inter-well Rock frame incompressibility, Kd, in Equation
water saturation mapping”, SPE Paper A-2, which is the inverse of compressibility of
87065, SPE Asia Pacific Conference on dry rock, cd, is related to PV compressibility, cp,
Integrated Modeling for Asset Management, by:
Kuala Lumpur, Malaysia, March 29-30. 1 1
Widarsono, B., Saptono, & Atmoko, H. (2003). Kd = = (A-7)
cd f ⋅ c p + cm
“An intelligent approach for obtaining
true resistivity (Rt) from rock acoustic data If acoustic impedance (AI) is defined as AI = Vp .
– a laboratory verification””, Lemigas ρb, then Equation A-1 can be written in the form
Scientific Contributions, no. 1/2003, p: 2 - 7. of
AI 2 = Pd + f ( K f ) ρb (A-8)
Appendix
Gassmann model (Gassmann, 1951) for seismic In Equation A-8 it is obvious that water
primary wave velocity (Vp)in saturated porous saturation (Sw) plays a more important influence
medium can be expressed by: on AI through ρb (see Equations A-4 and A-5)
Pd + f ( K f ) than through Kf (see Equations A-3 and A-6).
2
Vp = Therefore, to simplify matters Sw in Equation A-6
rb (A-1)
is taken as 100% hence reducing Equation A-8
where Pd is the P-wave modulus for the rock into
frame (or dry rock), and f(Kf ) is the function AI 2 = Ψρb (A-9)
of the incompressibility of the fluid in the pore
with Ψ is a constant (for homogeneous reservoir
spaces. The P-wave modulus for the dry rock
rocks) representing [Pd +f(Kf)].
can be expressed, in turn, by:
By substituting Equations A-4 and A-5 into
4 Equation A-9, it can be written in term of water
Pd = K d + Gd (A-2)
3 saturation as
and the function f(Kf ), by: AI 2 −ψ (φρ hc − φρ w + ρ w )
S w = S w( AI ) = (A-10)
K ψ (φρ w − φρ hc )
(1 − d ) 2
Km with Sw(AI) is taken to distinguish from Archie-
f (K f ) = K f based water saturation.
Kf Kf
(1 − )f + ( K m − K d ) By reversing the Archie equation presented in the
Km Km
2
(A-3) text, Equation 2 can be re-written in term of the
in which K is incompressibility (or bulk modulus), true resistivity (Rt) as
G is shear modulus, and the subscript d, f, and m Rt =
aRw
( Sw( Archie) ) φ m
n
refer to the rock frame (or the dry rock,), fluid, (A-11)
and rock matrix, respectively.
and by taking Sw(Archie) = Sw(AI) hence substituting
For rock containing both water and hydrocarbon, Equation A-10 into Equation A-11, the Equation
the bulk density is expressed as: A-11 can take the form of
r b =f ⋅r + (1 − f ) r (A-4) aRw
f m Rt = n
where: AI 2 −ψ (φρ hc − φρ m + ρ w ) m
φ
r f = Sw r w + (1 − S w ) r hc (A-5) ψφ ( ρ w − ρ hc )
and the fluid incompressibility, Kf, which is the which is referred to as Equation 1 in the text.
inverse of compressibility, cf, is given by:
1 1
Kf = =
cf S w c w + (1 − S w )c hc (A-6)
Korelasi Baru Untuk Menentukan Ultimate Recovery Factor
Pada Reservoir Di Bawah Kondisi Waterflooding
Oleh:
Nikka Puspitarini(1), Dedy Irawan(2), Tutuka Ariadji(2)
(1)
PT. Pertamina EP Region Sumatera, Lifting & Completion - Production Engineering
Jl. Jend. Sudirman No. 3 Prabumulih, Sumatera Selatan 31122
Telp. : +62713382929, +6281226262614
email : nikka.puspitarini@pertamina.com, nikka.puspitarini@pep.pertamina.com
(2)
Institut Teknologi Bandung, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
Sari
Estimasi Ultimate Recovery factor (URF) untuk memperkirakan cadangan terambil ataupun
cadangan tersisa adalah sangat penting sebagai langkah awal pengembangan suatu lapangan. Studi
ini menggunakan data lapangan untuk membuat model reservoir dan selanjutnya mengembangkan
analisa sensitivitas pada parameter geologi dan reservoir dalam rangka menghasilkan korelasi recovery
factor baru. Lapangan X merupakan lapangan yang terletak di daerah cekungan Sumatera Selatan
(South Sumatera Basin), yang terdiri dari 31 titik serap dengan 3 sumur produksi yang masih aktif,
dengan reservoir berupa Formasi Talang Akar dan Baturaja. Dengan menggunakan metode simulasi
reservoir, dilakukan prediksi kinerja reservoir jika dilakukan waterflooding untuk meningkatkan
recovery factor.
Korelasi baru yang dikembangkan didasarkan pada metode Guthrie and Greenberger yang
mempertimbangkan beberapa parameter seperti permeabilitas, porositas, saturasi air awal, ketebalan,
dan viskositas minyak. Studi ini bertujuan untuk memperbaiki hasil antara recovery factor yang
ditentukan berdasarkan metode Guthrie and Greenberger dibandingkan dengan recovery factor
yang diperoleh dari korelasi usulan pada kasus waterflooding. Korelasi baru yang dihasilkan dapat
memperbaiki 15,29 %.terhadap korelasi yang ada sebelumnya.
Kata Kunci: Recovery factor, Waterflooding, Metode Guthrie and Greenberger
Abstract
Estimate Ultimate Recovery factor (EUR) to predict recoverable reserves or remaining
reserves is very important as the first step of field development. This study uses field data to make a
reservoir model and to develop sensitivity analysis in geology and reservoir parameter to determine
new recovery factor correlation. Field C is located in South Sumatera Basin that consists of 31 wells
include 3 active production wells which produce oil from Talang Akar and Baturaja Formation. Using
reservoir simulation method, we predict performance of reservoir with waterflooding to increase
recovery factor.
New correlation which develops is based on Guthrie and Greenberger method that consider
some of parameters such as permeability, porosity, initial water saturation, pay zone, and oil viscosity.
The purpose of this study is to correct the result of recovery factor that determined by Guthrie and
Greenberger method compare with recovery factor from propose correlation in waterflooding case.
The new correlation can correct 15.29 % of the old correlation.
Keywords: Recovery factor, Waterflooding, Guthrie and Greenberger Method
133
134
dingan antara produksi hidrokarbon maksimum 2. Rules of thumb dalam mendapatkan rate
(Estimate Ultimate Recovery) terhadap cadangan produksi oil puncak (peak oil production
hidrokarbon mula-mula di tempat. rate), waktu ketika pertama kali produksi,
Penentuan ultimate recovery factor dan penurunan produksi (decline) dari rate
biasanya didasarkan pada bukti keberhasilan produksi puncak
perolehan di reservoir lain yang dipandang Adapun persamaan Guthrie and Greenberger
mempunyai batuan dan cekungan sedimen yang adalah:1
sama sehingga diharapkan mengandung minyak
RF = 0.114 + 0.272 log k + 0.256 S w − 0.136 log m0
dan batuan dengan sifat fisik yang mirip dan
mempunyai mekanisme pendorongan yang sama. −1.538f − 0.00035h
Berdasarkan hal tersebut dikembangkan korelasi (3)
yang menghubungkan recovery factor dengan
sifat fisik batuan dan fluida untuk jenis batuan 2.2 Waterflooding
tertentu pada tekanan abandonment tertentu. Waterflooding merupakan salah satu
Berikut ini adalah korelasi yang digunakan untuk teknik produksi sekunder (secondary recovery)
menghitung nilai recovery factor. yang dilakukan dengan menginjeksikan air untuk
mendorong minyak menuju sumur produksi.
2.1.1 Persamaan Empirik Arps2,3 Asumsi-asumsi yang digunakan dalam metode
ini antara lain:
Perasamaan empirik Arps untuk batuan
1. Pendesakan melibatkan dua fluida yang
sandstone atau karbonat dengan mekanisme
tidak tercampur satu sama lain (immiscible),
pendorongan solution gas drive adalah sebagai
yaitu air dan minyak. Implikasi dari asumsi
berikut:
ini adalah terdapat bidang kontak yang jelas
( )
0.1611
f 1 − Sw k
0.0979
pb
0.1741
Gambar 19. Field oil production rate untuk skenario 3 Gambar 23. Field oil production total untuk skenario 4
optimum (BHP = 800 psia) optimum (BHP = 800 psia)
Gambar 20. Field oil production total untuk skenario 3 Gambar 24. Field reservoir pressure untuk skenario 4
optimum (BHP = 800 psia) optimum (BHP = 800 psia)
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
skenario paling optimum adalah skenario 3 ka-
rena memberikan nilai recovery factor yang
paling besar. Pada skenario 3 ini dapat dilihat
bahwa ketika BHP diturunkan, maka nilai reco-
very factor semakin meningkat sampai pada
titik optimumnya. Untuk nilai optimum terletak
pada control BHP = 800 psia karena pada nilai
tersebut nilai recovery factor memberikan nilai
Gambar 21. Field reservoir pressure untuk skenario 3
optimum (BHP = 800 psia)
yang paling maksimal yaitu 9,55 % dengan total
kumulatif produksi minyak sebesar 4.893.410
Gambar 30. Garfik sensitivity RF vs viskositas minyak. Gambar 32. Grafik hasil sensitivity RF vs ketebalan
143
Tabel 5. Perbandingan RF simulasi dengan RF korelasi Tabel 6. Perbandingan RF simulasi dengan RF Guthrie
34 dan menunjukkan hasil yang cukup baik yaitu pada Lapangan X dapat dilihat pada Tabel 7.
dengan R2=0,87. 4.3. Batasan
Untuk memvalidasi persamaan penentuan
Batasan yang harus dipenuhi untuk
recovery factor di atas, dilakukan dengan
berlakunya persamaan ini adalah cakupan data
memasukkan salah satu data hasil simulasi
yang digunakan untuk input penentuan persamaan
reservoir yang kira-kira data tersebut berada di
tersebut, yaitu:
tengah selang data persamaan. Untuk itu dibuat
suatu model dengan nilai permeabilitas 10 md, 1. Permeabilitas kecil (<50 md)
viskositas minyak 10 cp, porositas 10 % ketebalan 2. Viskositas minyak tidak lebih dari 45 cp
30 ft, dan saturasi air 30 %. Dari perhitungan 3. Reservoir tidak terlalu tebal (<50 ft)
recovery factor dengan menggunakan persamaan 4. Porositas tidak lebih dari 20 %
di atas didapat hasil RF = 2,82 % sedangkan 5. Initial water saturation tidak lebih dari 50 %
dari hasil simulasi didapat RF sebesar 3,02 %. 6. Berlaku pada reservoir dengan waterflooding
Perbedaan yang didapat adalah 7 %. Sedangkan
untuk perbandingan hasil nilai recovery factor 4.4. Perbandingan Recovery Factor Hasil
Tabel 7. Perbandingan Hasil RF Korelasi dan Metode Guthrie and
Greenberger
Dari korelasi baru
yang diperoleh dilakukan
perbandingan nilai recovery
145
Kesimpulan
1. Didapatkan suatu korelasi baru yang lebih
akurat untuk penentuan RF pada reservoir
waterflooding untuk cakupan data yang
digunakan menjadi batasan bagi berlakunya
korelasi tersebut.
2. Pada umumnya perhitungan RF dengan
menggunakan korelasi baru mempunyai nilai
Gambar 35. Perbandingan RF Guthrie vs RF Korelasi yang lebih kecil daripada RF dengan metode
Guthrie and Greenberger.
factor jika dilakukan dengan metode Guthrie
3. Korelasi baru dapat memperbaiki korelasi
and Greenberger dan dengan metode simulasi.
Guthrie and Greenbergur sebesar 15.29 %.
Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5, Tabel 6, dan
4. Korelasi baru tersebut dapat digunakan untuk
Gambar 35.
menentukan nilai RF pada reservoir dengan
Dari gambar dan table tersebut dilihat batasan sebagai berikut:
bahwa nilai recovery factor untuk RF Guthrie a. Permeabilitas kecil (<50 md)
menunjukkan hasil berbeda jika dibandingkan b. Viskositas minyak tidak lebih dari 45 cp
dengan RF Korelasi. Perhitungan RF dengan c. Reservoir tidak terlalu tebal (<50 ft)
metode Guthrie and Greenberger dilakukan d. Porositas tidak lebih dari 20 %
pada reservoir dengan water drive sedangkan e. Initial water saturation tidak lebih dari 50 %
RF korelasi dilakukan pada reservoir dengan f. Berlaku pada reservoir dengan
waterflooding. Perbedaan hasil RF antara kedua waterflooding
metode tersebut diduga karena pada skenario
yang dilakukan pada prediksi, waterflooding Saran
yang dilakukan pada reservoir ini tidak terlalu Perlu dilakukan studi lebih lanjut dengan data
berpengaruh besar dalam usaha meningkatkan hasil simulasi yang lebih banyak agar korelasi
perolehan produksi kumulatif minyak sehingga yang dihasilkan dapat mencakup range data yang
memberikan nilai RF yang lebih kecil dari yang lebih luas.
diharapkan.
Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa pada Acknowledgement
penentuan recovery factor pada lapangan ini,
Penulis mengucapkan rasa syukur dan terima
korelasi baru memberikan hasil yang lebih
kasih kepada Allah SWT, kedua orang tua, dan
mendekati dengan hasil simulasi dibandingkan
keluarga atas doa dan dukungannya. Penulis
dengan metode Guthrie and Greenberger. RF
juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir.
yang dihitung dengan menggunakan persamaan
Tutuka Ariadji selaku dosen pembimbing tugas
Guthrie menghasilkan nilai sebesar 12,76 %,
akhir dan juga kepada Dedy Irawan, ST, MT
sedangkan jika dihitung dengan menggunakan
selaku pembimbing kedua, atas segala bantuan dan
korelasi baru sebesar 7,8 %. Hasil tersebut
bimbingannya selama ini. Terima kasih tak lupa
dibandingkan dengan RF yang diprediksi jika
diucapkan kepada Kosdar Gideon Haro, ST, atas
dilakukan pada model simulasi base case sebesar
segala bantuan dan dukungannya sehingga tugas
9,55 %. Perbedaan nilai RF antara Guthrie dan
akhir ini dapat diselesaikan, Nurriffar Kritia
simulasi sebesar 33,64 %, sedangkan perbedaan
Audhy, sahabat yang selalu mendukung dalam
antara korelasi baru dengan simulasi sebesar
masa-masa sulit, Bapak dan Ibu Tata Usaha
18,36 %. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
Teknik Perminyakan ITB yang selalu memberi
korelasi baru dapat memberikan perbaikan nilai
semangat, dan juga kepada seluruh teman –
RF sebesar 15,29 %.
teman teknik perminyakan ITB angkatan 2005,
teman – teman HMTM PATRA ITB, dan semua
orang yang tidak bisa disebutkan namanya satu
146
Daftar Simbol
Rs = Kadar gas terlarut, SCF/STB
Bo = Faktor volume formasi minyak,
res bbl STB
μo = Viskositas minyak, cp
RF = Recovery factor, %
k = Permeabilitas, md
h = Pay zone, ft
φ = porositas, %
Swi = Saturasi air awal, %
Np = Produksi kumulatif minyak,
STB/D
IOIP = Initial Oil In Place, STB
Daftar Pustaka
Guthrie, R.K., and Greenberg-er, M.H., March,
1955: "Ihe Use of Multiple Correlation
Analyses for Inter-preting Petroleum
Engineering Data," API Paper 901-31-G,
New Orleans, La.
Arps, J. J., and Roberts, T. G.:"The Effect of
the Relative Per-meability Ratio, the
Oil Gravity, and the Solution Gas-Oil
Ratio on the Primary Recovery from a
Depletion Type Reservoir," Trans.AlME
(1955)204,120
Aprs, J.J., 1986: Estimation of Primary Oil
Reserves," Petroleum Transactions, T.P.
4331 Vol. 207.
Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir I.
Bandung.
Permadi, Asep Kurnia. 2004. Teknik Reservoir
II. Bandung.
Carcoana, A. 1992. “Applied Enhanced Oil
Recovery”, Prentice-Hall, Englewood
Cliffs, New Jersey.
Siregar, S. 2000. “Teknik Peningkatan Perolehan”,
Departemen Teknik Perminyakan ITB.
Aplikasi Inside Gravel Packing
Sebagai Sand Control Pada Sumur X Dengan Electrical Submersible Pump
Sebagai Metode Sembur Buatan
Oleh:
Dwi Hermanto S, Alvianti Dwi P
Jurusan Teknik Perminyakan, UPN “Veteran” Yogyakarta,
Jl. SWK 104 Lingkar Utara Condong Catur Yogyakarta 55283
Telp: +6285715480251
email: dwihermanto88@yahoo.com, alvianti_prasetya@yahoo.com
Sari
Abstract
Problems associated with sand and fine particles production often occur in oil field. This
problem caused declining and even losing of production rate in the event of damage to production
equipment and blockage of the perforation area. Effort to minimize sand production by reducing
production rate below sand critical flow rate, will lead to un-optimum production and there is no
guarantee that sand will not be reproduced again if water production increase and reservoir pressure
decrease during production life. Therefore, preventive efforts to overcome sand problem should be
done as early as possible with due regard to the characteristics of the formation.
Inside gravel packing (IGP) is one method of sand control. It can improve stability of the
formation, but the application of the IGP will reduce productivity so electrical submergible pump
(ESP) is applied to improve the well productivity. Production test indicated that application IGP is
effective to prevent sand production and prevent well from damage that would disrupt production
although when ESP is applied as a method of the artificial lift it will increase operating cost.
Keywords: inside gravel packing, sand problem, ESP, optimum production rate
147
148
tersebut diterapkan untuk mendapatkan laju yang menjaga perlapisan dari formasi akan
alir yang maksimum dimana terkadang laju menghilang. Hal tersebut akan meningkatkan
alir produksi aktualnya melebihi nilai dari stress pada formasi tersebut dimana kondisi
sand critical rate (laju alir kritis kepasiran) inisial formasi tersebut mengimbangi
sumur itu sendiri, dimana besar laju alir tekanan overburden dari lapisan diatasnya
kritis dari formasi Talang Akar pada sumur sehingga saat sumur diproduksikan maka
tersebut adalah 2303 BFPD. Nilai tersebut terjadi pengurangan tekanan formasi untuk
didapatkan berdasarkan metode berikut: mengimbangi tekanan overburden tersebut
sehingga stress terhadap formasi tersebut
K Z N Z GZ AZ
QZ = 0 ,025 x10 −6 akan lebih besar daripada sebelumnya
BZ µ Z At ................ (1)
sehigga akan mempengaruhi kestabilan
formasi. Pada saat bersamaan butiran pasir
Dimana: formasi akan pecah dan terlepas dari matrik
atau mungkin hancur, sehingga menyebabkan
Qz : Laju alir tanpa kepasiran, stb/day
fines (partikel kecil) akan ikut terproduksi
Kz : Permeabilitas formasi, mD bersama fluida produksi.
Nz : Jumlah Lubang Perforasi Bila pasir formasi tidak terkontrol dan
Gz : Modulus geser, psi ikut berproduksi maka akan menyebabkan
Bz : FVF, bbl/stb beberapa hal, antara lain:
µz : Viskositas minyak, cp a. Terakumulasinya pasir diperalatan per-
Az : Luas kelengkungan butir pasir mukaan;
saat pengamatan, ft2 b. Terakumulasi pasir dilubang sumur;
c. Erosi pada peralatan dipermukaan dan
At : Luas kelengkungan butir pasir
dibawah permukaan;
saat test, ft2
d. Keruntuhan pada formasi.
Bila laju alir aktual sumur tersebut melebihi
besar laju alir kritisnya maka pasir formasi dan Penerapan IGP dan ESP
partikel kecil formasi akan ikut terproduksi
bersamaan dengan fluida produksi karena Pada sumur X pada awalnya digunakan
besarnya gaya seret yang diterima oleh metode sand consolidation untuk menanggulangi
terjadinya kepasiran pada sumur tersebut.
butir pasir formasi. Hal ini terjadi pada awal
sumur diproduksi karena tidak menerapkan Metode ini diterapkan pada interval formasi
metode untuk mengontrol kepasiran dan laju produktifnya. Metode ini diterapkan untuk
meningkatkan kestabilan dan pengepakan dari
alir aktualnya yang lebih besar dari laju alir
kritisnya. formasi dengan memperbaiki konsolidasi butiran
dan sementasi batuan. Namun metode ini tidak
3. Meningkatnya produksi air:
efektif diterapkan karena hanya tergantung
Bertambahnya produksi air maka akan pada kerekatan resin antara butir-butir pasir,
meningkatkan total fluida produksi untuk sehingga saat sumur diupayakan mendapat
menjaga produksi minyak atau gas sehingga
akan meningkatkan gaya seret yang
melalui pasir sehingga akan mempengaruhi
kestabilan butir pasir formasi dan peningkatan
produksi pasir akan menyebabkan lempung
sebagai penyemen pada pasir formasi
akan mengembang dan melunak sehingga
menyebabkan pasir terlepas.
4. Pengaruh Tekanan Formasi:
Selama masa produksi maka tekanan formasi
akan semakin menurun sehingga tekanan Gambar 1. Laju produksi sumur X saat penerapan sand
consolidation tahun 1977-1978
150
produksi yang besar maka hal tersebut memberikan seragam karena besar nilai d40/d90 kurang dari 5
gaya seret yang besar terhadap kerekatan butir- (berdasarkan Schwartz), sehingga didapatkan
butir pasir. Sehingga menyebabkan butiran pasir ukuran gravel yang akan digunakan adalah 20/40
formasi terlepas sehingga menurunkan kestabilan US Mesh dan ukuran screen yang digunakan
formasi. Metode ini diterapkan pada Agustus yang sesuai dengan komplesi sumur (Gambar 3)
1977 dan gagal pada Juli 1978 karena tidak cukup adalah 0,012 in – 0,016 in dengan diameter luar
kuat untuk menahan butiran pasir saat sumur maksimum adalah 5 1/2 in.
diupayakan untuk mendapatkan laju alir yang Penempatan gravel dilakukan dengan cara
besar, sehingga pasir terakumulasi pada interval crossover. Tujuan utama yang ingin dicapai dari
perforasi dan merusak ESP (Gambar 1). penerapan IGP adalah untuk mencegah runtuhnya
Sehingga untuk menanggulangi masalah formasi, mencegah kerusakan peralatan produksi,
kepasiran pada sumur X maka diterapkan IGP,
karena metode ini merupakan penanggulangan
kepasiran secara mekanis sehingga selain
meningkatkan kestabilan butir-butir formasi juga
lebih stabil terhadap gaya seret yang terjadi antara
fluida dan butir-butir pasir formasi saat diupayakan
mendapatkan laju alir yang lebih besar (diatas
laju alir kepasirannya), meningkatkan kestabilan
formasi dan lebih tahan terhadap gaya seret dari
fluida produksi.
Untuk mendapatkan hasil yang optimum
dari penerapan IGP maka dilakukan analisa
terhadap butir pasir formasi dengan sieve analysis
sehingga didapatkan distribusi pasir formasi
(Tabel 2 dan Gambar 2).
Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa
pemilahan ukuran butir pasir formasi adalah
Tabel 2. Hasil analisa butir pasir formasi sumur X
mencegah ikut terproduksinya pasir setelah hanya seputar penggantian ukuran ESP untuk
terjadinya penurunan tekanan formasi dan mendapatkan laju alir yang optimum tanpa harus
peningkatan produksi air. khawatir ESP akan mengalami kerusakan akibat
Pemasangan IGP sangat berpengaruh kepasiran.
terhadap penurunan produktifitas formasi karena
memperbesar penurunan tekanan yang melalui Diskusi
komplesi tersebut karena terjadi penghambatan Masalah kepasiran pada sumur X
dari formasi menuju lubang sumur (Gambar 4). menyebabkan banyak sekali masalah operasi.
Hal utama yang disebabkan adalah sulitnya
mempertahankan laju alir yang tinggi. Secara
mekanis kepasiran dapat diatasi oleh penerapan
IGP sehingga kekhawatiran terhadap runtuhnya
formasi dapat dihindarkan. IGP tidak mengalami
kerusakan sejak awal diterapkannya 1979 hingga
2010 (akhir analisa), meskipun mengalami
fluktuasi laju alir produksi saat diatas laju
alir kepasirannya tahun 1991-1994. IGP akan
memberikan produktifitas yang lebih baik bila
pada komplesi diterapkan densitas perforasi
yang besar dan penggunaan ESP yang optimum,
Gambar 5. ΔP Komplesi sumur X karena hal ini akan menurunkan penurunan
tekanan didaerah komplesi dan meningkatkan
Sehingga diperlukan pemasangan ESP sebagai produktifitas sumur. Penerapan IGP menyebabkan
metode sembur buatan untuk memperbaiki masa- masa pakai peralatan produksi menjadi lebih
lah itu. Pada awal penerapan IGP diterapkan juga lama dari pada sebelum penerapan IGP dan
ESP G2700-83 stages, 120 HP pada kedalaman memperbaiki kestabilan dari formasi.
4100 MD sehingga didapatkan laju alir optimum
1200 BFPD dengan penurunan tekanan didaerah Kesimpulan
komplesi sebesar 20 psi sehingga tekanan laju
alirnya manjadi 430 psi pada saat water cut 50% 1. Berdasarkan evaluasi dari karakteristik
(Gambar 5). formasinya sumur X berpotensi terjadinya
Sejak awal penerapan IGP, sumur X tidak masalah kepasiran.
2. Hasil analisa butir pasir formasi diketahui
pasir formasi memiliki keseragaman yang
baik, didapatkan ukuran gravel yang
digunakan 20-40 US Mesh dan ukuran celah
screen yang digunakan 0,012 in – 0,016 in/
OD. 5 ½ in.
3. IGP sangat efektif untuk menanggulangi
masalah kepasiran pada sumur X, sejak
1979-2010.
4. Metode IGP lebih tahan terhadap gaya seret
fluida produksi dibandingkan dengan metode
sand consolidation.
5. Setelah penerapan IGP, kepasiran yang terjadi
Gambar 6. Sejarah produksi sumur X
saat laju alir aktual diatas laju alir produksi
pernah mengalami problem akibat kepasiran kritis tidak berdampak kurang baik terhadap
meskipun pada periode 1991-1994 produksi proses produksi.
sumur X diatas laju alir kritis kepasirannya 6. Penerapan IGP menyebabkan terjadinya
(Gambar 6). penurunan tekanan 20 psi dengan laju alir
Pekerjaan perawatan pada sumur X optimum 1200 BFPD.
152
Acuan
Data internal perusahaan.
Economides, M.J., Hill, A.D. and Economides
C.E.,1993. Petroleum Production System.
Prentice Hall PTR, New Jersey, h.119-132.
Kermit E.Brown. et al. 1984. Technology of
Artificial Lift Methods, Vol.4. Tulsa,
Oklahoma. PennWell Books.
Syahrani. dkk. 2001. Aplikasi Slotted Liner
Completion sebagai Sand Control pada
Sumur-sumur Horizontal Dilapangan Attaka
Unocal Indonesia, Proceeding Simposium
Nasional IATMI, Yogyakarta 3-5 Oktober.
Sparlin D.D.1993. Sand Control, Internationnal
Training and Development, Houston.
William K. and Joe D.W. 2003. World Oil-Modern
Sandface Completion Practices Handbook.
2nd Ed. Gulf Publishing, Houston, Texas.
Permanent Coil Tubing Gas Lift (PCTGL): A Solution for
Developing Oil in Monobore Well Completion
Abstract
VICO Indonesia is an oil and gas company that has operated the Sanga-Sanga PSC in East Kalimantan,
Indonesia, since 1968. The continues focus on optimizing production and maximizing reserves
recovery has resulted in opportunities today to further develop the proportionally smaller number
of oil reservoirs. Based on reservoir studies, the oil recovery factor today is in the range of 10-15%
indicating that significant opportunities still remain. To recover the oil zone gas lift system has been
established, one particular challenge of which is how to apply gas lift into monobore wells which
cannot house gas lift mandrel like any other conventional tubing installation. An improvised method
to overcome this challenge has been applied. This method does not require wells to be re-completed
with a rig leading to a significant cost benefit. Within VICO this application is known as “permanent
coil tubing gas lift” or PCTGL. The results up to present date indicate that this method is very
successful in delivering incremental oil production at a much lower cost compared to retrofitting the
tubing with gas lift valves using a work-over rig. As an example, well N-254L was a well not capable
of flowing naturally. However, after PCTGL installation, its production has been re-established at
an initial rate of 345 BOPD. This paper discusses VICO’s PCTGL program and some of its example
result to date including details of design, actions taken to overcome the implementation’s challenges,
and the overall results.
Keywords: permanent coil tubing gas lift, monobore well, absence of mandrel, cost efficiency
Sari
VICO Indonesia adalah perusahaan minyak yang telah beroperasi di Wilayah Kerja Sanga-
Sanga Kalimantan Timur Indonesia sejak 1968. Fokus secara kontinu dalam mengoptimisasi dan
meningkatkan perolehan telah menghasilkan beberapa potensi untuk mengembangkan beberapa
reservoar minyak. Berdasarkan kajian reservoar, tingkat perolehan minyak saat ini masih berada
di angka 10-15% yang mengindikasikan bahwa potensi minyak masih ada. Untuk memperoleh zona
minyak tersebut suatu sistem pengangkatan buatan dengan gas telah dibuat. Salah satu kendala
dalam mengapli-kasikan sistem pengangkatan gas (gas lift) konvensional pada sumur monobore
adalah tidak bisa dipasangnya mandrel seperti di sumur konvensional. Untuk mengatasi hal tersebut
suatu improvisasi pada metode pengangkatan gas konvensional telah diaplikasikan. Metode ini tidak
mengharuskan dilakukannya kerja ulang (workover) dengan menggunakan menara bor sehingga
dapat menghemat biaya. Di VICO metode ini disebut sebagai “permanent coil tubing gas lift” atau
PCTGL. Sebagai hasilnya, metode ini mampu meningkatkan produksi minyak dengan biaya lebih
rendah dibandingkan dengan pemasangan mandrel setelah kerja ulang sumur. Sebagai contoh, sumur
N-254L yang pada awalnya tidak mampu mengalir secara alami, setelah dilakukan pemasangan
PCTGL mampu untuk mengalirkan 345 BOPD. Tulisan ini menyajikan program PCTGL di VICO,
desain secara detail, kiat-kiat yang diambil dalam mengatasi masalah, dan hasil yang didapat secara
keseluruhan.
Kata Kunci: permanent coil tubing gas lift, monobore, ketiadaan mandrel, efisiensi biaya
153
154
Conventional Wells
Conventional wells typically utilize production
tubing of diameter 2-7/8” or 3-1/2”. Within one
casing, two production tubing systems may be
installed, namely the upper (short string) and the
lower (short string) system.
The advantage of using this system is the flexibi-
lity to obtain production from potential zones. In
addition, if in fact the zone turns out to contain oil
with insufficient natural pressure, a side pocket
mandrel (SPM) can be placed through which gas
lift is injected to assist the liquids lifting within
the well.
can be written (Begg, 1991): mandrel in which we can introduce gas lift gas
into the production tubing. Monobore has no
dp dp dp dp annulus to transport gas downward and PCTGL
= + + (Eq. 1) is applied to deliver the lifting gas into the bottom
dL dL el dL f dL acc hole.
dp PCTGL is essentially steel tubing with one inch
Where is the pressure gradient due to ele- in diameter and has a nozzle at the end of its tail.
dL el
A special well head is put through which we can
dp
vation change, is due to viscous shear and inject gas lift into the swab valve and produce the
dL f string through wing valve.
friction loss and dp is due to kinetic energy Figure 2 shows the bottom hole assembly
dL acc (BHA) with PCTGL joint. It consists of nozzle,
change. Assuming there is kinetic energy change, centralizer, check valves, nipple, and coil tubing
Equation 1 can be rewritten: (CT) connector.
Flapper is housed inside check valve to prevent
Cf ρ m ( qL + qg ) (Eq. 2)
2
dp back flow from annulus into coil tubing. A nipple
= ρ L H L + ρ g (1 − H L ) +
dL d2 is placed above check valves where a special tool
There are several factors affecting pressure called ‘dart’ (Figure 3) can be inserted when the
gradient inside tubing; PCTGL is to be pulled out from the wellbore.
Water Cut
Water cut may affect liquid density thus increasing
friction loss.
Liquid Viscosity
Liquid viscosity can increase HL and shearing
stress.
Figure 3. Dart that will be inserted inside nipple for pulling in order to optimize and control the gas lift
out PCTGL (VICO Indonesia, 2010a) operation. Reactivation of N-254 was performed
by these steps:
Well N-254L was chosen as an ideal PCTGL 1. choke wing valve with 11/16 and open
test case due to its distinctive rate history and well to burn pit
completion (VICO Indonesia, 2010b). After 2. Inject PCTGL with gas lift pressure 1,750
perforating D-59 zone, the rate was 3,900 BOPD, psig
0 BWPD, and 4 MMSCFD associated gas. After 3. gradually open the choke, and
5 days of production, water cut increased up to 4. put wing valve back to production
17% after which the well died. Static gradient system
shows column of oil from depth 0 to 12,000 feet Nodal analysis was also made to model the well’s
(Figure 4). After assessing D-59 reserve and IPR and gas lift performance curve (GLPC).
N-254L’s 3.5 inch monobore, it is concluded that After reactivation and put into test production of
performing gas lift is economical. Construction 345 BOPD, 1,610 BWPD (82.3% watercut), 0.3
of 2” gas lift line and installation of PCTGL was MMSCFD of associated gas was obtained after
therefore initialized. injection of 0.9 MMSCFD gas lift gas.
To calculate the injection depth, nodal analysis Optimization is at present still being carried
(Baker Hughes, 2010) was carried out supported on with result of 127 BOPD, 0.2 MMSCFD
by the use of PROSPER™ software package associated gas, and 87% water cut after 4 months
(PROSPER, 2010). Pressure vs. depth plot is of production using PCTGL. Following this
shown in Figure 5. success, VICO plans to add further 15 PCTGL
Well sketch configuration in N-254L is depicted installations, four of them are suited to 4.5’’
in Figure 6 (presented at the end of the paper). monobores.
Coil tubing is inserted into swab valve and
connected into 2’’ gas lift line. The configuration Safety Consideration
of surface can be seen in Figure 7 (presented at To ensure safety operation at the surface
the back of the paper) production system, two ball valves with ANSI
Pressure control valve (PCV) was also installed 1500 and one PCV ANSI 1500 were utilized.
157
Figure 5. Pressure vs. depth plot during unloading and PCTGL operation (PROSPER, 2010)
158
(a)
(b)
Figure 7 (a) Surface configuration of PCTGL consisting of (A) block X-mast tree supports tee-spool; (B) CT hanger; (C)
PCTGL gripped by donut; and (D) CT slip. (b) PCTGL surface picture of well N-254L. (VICO Indonesia, 2010a)
160
d = diameter of pipe
Challenges
The challenge of using PCTGL is that PCTGL REFERENCES
depth must be optimized in terms of liquid level. Baker Hughes (2010). Coil Tubing Solutions,
Declining reservoir pressure may result in lower Baker Hughes Manual Handbook, Houston,
liquid level with a consequence that gas lift Texas.
operation must be set lower. PCTGL can still Beggs, D. (1991). Optimization using Nodal
be retrieved using coil tubing unit. However, Analysis, OGCI and Petroskills Publi-
possibility of scale plugging in the nozzles must cations, Tulsa, Oklahoma.
be taken into consideration in case that there is Prosper (software) (2010), Petroleum Experts,
no pressure communication between PCTGL Edinburgh, United Kingdom.
and annulus. Special attention has to be taken to Vico Indonesia (2010a). Nilam Field Database.
understand the nature of scales in the wellbore Unpublished meterial.
and the most appropriate manner to prevent their Vico Indonesia (2010b). Production Rate Data-
generation. base 2010. Unpublished material.
IV. SUMMARY
1. PCTGL is proven method of gas lifting in
monobore wells. In Nilam case, 345 BOPD
is gained from a dead monobore oil well
and subsequently the well still produced
127 BOPD after four months of PCTGL
installation.
2. Flow restriction occurs when nozzle get
plugged by scale because of which the PCTGL
unit has to be retrieved and serviced/cleaned.
3. Continuous optimization of PCTGL depth has
to be carried out due to continuous decline of
reservoir pressure.
ACKNOWLEDGEMENTS
The authors would like to thank Pak Bambang
Ismanto and Mr. Bill Turnbull from VICO
Indonesia for encouraging the writing of this
paper.
NOMENCLATURE
r L = liquid density
r g = gas density
H L = Hold-up factor
C = Constant
f = friction factor
r m = density of mixture
qL = liquid rate
q g = gas rate
INDEKS
F W
formation true resistivity 127 Waterflooding 133,134,135,137,138,140,
formation water 113,130 141,143,144,145
water saturation 113,127,128,129,130,131,
G 132,133,144,145
Guthrie and Greenberger Method 133 water-saturation map 127,128
I
inside gravel packing 147,150
K
kecerdasan semu 127
kepasiran 113,114,120,147,148,149,150,151
ketiadaan mandrel 153
L
laju alir optimum 147,151
M
Metode Guthrie and Greenberger 133,134,
141,144,145
monobore well 153,154,160
O
optimum production rate 147
P
permanent coil tubing gas lift 153,155
peta saturasi air 127
R
Recovery factor 133,134,135,139,140,141,
142,143,144,145,153
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
PEDOMAN PENULISAN
Naskah makalah ilmiah (selanjutnya disebut ”Naskah”) untuk publikasi di Jurnal Teknologi Minyak
dan Gas Bumi (JTMGB) dapat berupa artikel hasil penelitian atau artikel ulas balik/tinjauan (review) tentang
minyak dan gas bumi, baik sains maupun terapan. Naskah belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dia-
jukan pada majalah/jurnal lain.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang
digunakan. Naskah harus selalu dilengkapi dengan Sari dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa
Inggris. Naskah yang isi dan formatnya tidak sesuai dengan pedoman penulisan JTMGB akan ditolak oleh
redaksi dan redaksi tidak berkewajiban untuk mengembalikan naskah tersebut.
FORMAT
Umum. Seluruh bagian dari naskah termasuk judul sari, judul tabel dan gambar, catatan kaki, dan daftar acuan
diketik satu setengah spasi pada electronic-file dan print-out dalam kertas HVS ukuran A4. Pengetikan dilaku-
kan dengan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 point.
Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman gambar dan tabel. Hasil penelitian atau ulas
balik/tinjauan ditulis minimum 5 halaman dan maksimum sebanyak 15 halaman, di luar gambar dan tabel.
Selanjutnya susunan naskah dibuat sebagai berikut:
Judul. Pada halaman judul tuliskan judul, nama setiap penulis, nama dan alamat institusi masing-masing
penulis, dan catatan kaki, yang berisikan terhadap siapa korespondensi harus ditujukan termasuk nomor tele-
pon dan faks serta alamat e-mail jika ada.
Sari. Sari/abstract ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sari berisi ringkasan
pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah tanpa harus memberikan keterangan terlalu terperinci dari
setiap bab. Sari paling banyak terdiri dari 250 kata. Kata kunci/keywords ditulis di bawah sari/abstract dan
terdiri atas empat hingga enam kata.
Pendahuluan. Bab ini harus memberikan latar belakang yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami
dan dapat mengevaluasi hasil yang dicapai dari penelitian yang dilaksanakan tanpa harus membaca sendiri
publikasi-publikasi sebelumnya, yang berhubungan dengan topik yang bersangkutan. Pendahuluan harus beri-
si latar belakang, maksud dan tujuan, permasalahan, metodologi, serta materi yang diteliti.
Hasil dan Analisis. Hanya berisi hasil-hasil penelitian baik yang disajikan dengan tulisan, tabel, maupun gam-
bar. Hindarkan penggunaan grafik secara berlebihan bila dapat disajikan dengan tulisan secara singkat. Batasi
penggunaan foto, sajikan yang benar-benar mewakili hasil penemuan. Beri nomor gambar dan tabel secara
berurutan. Semua gambar dan tabel yang disajikan harus diacu dalam tulisan.
Pembahasan atau Diskusi. Berisi interpretasi dari hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang
dikaitkan dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan.
Kesimpulan dan Saran. Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam tulisan.
Ucapan Terima Kasih. Dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penelitian dan untuk memberikan
penghargaan kepada beberapa institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian dan atau
penulisan laporan.
Acuan. Acuan ditulis dan disusun menurut abjad. Beberapa contoh penulisan sumber acuan:
Jurnal
JURNAL TEKNOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI
PEDOMAN PENULISAN
Hurst, W., 1934. Unsteady Flow of Fluids in Oil Reservoirs. Physics (Jan. 1934) 5, 20.
Buku
Abramowitz, M and Stegun, I.A., 1972. Handbook of Mathematical Functions. Dover Publications,
Inc., New York.
Bab dalam Buku
Costa, J.E., 1984. Physical geomorphology of debris flow. Di dalam: Costa, J.E. & Fleischer, P.J.
(eds), Developments and Applications of Geomorphology, Springer-Verlag, Berlin, h.268-317.
Sari
Barberi, F., Bigioggero, B., Boriani, A., Cavallini, A., Cioni, R., Eva, C., Gelmini, R., Giorgetti, F.,
Iaccarino, S., Innocenti, F., Marinelli, G., Scotti, A., Slejko, D., Sudradjat, A., dan Villa, A., 1983. Mag-
matic evolution and structural meaning of the island of Sumbawa, Indonesia-Tambora volcano, island
of Sumbawa, Indonesia. Abstract 18th IUGG I, Symposium 01, h.48-49.
Peta
Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo, Suma-
tera. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Prosiding
Marhaendrajana, T. and Blasingame, T.A., 1997. Rigorous and Semi-Rigorous Approaches for the
Evaluation of Average Reservoir Pressure from Pressure Transient Tests. paper SPE 38725 presented at
the SPE Annual Technical Conference and Exhibition, San Antonio, Oct. 5–8.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Marhaendrajana, T., 2000. Modeling and Analysis of Flow Behavior in Single and Multiwell Bound
ed Reservoir. PhD dissertation, Texas A&M University, College Station, TX.
Informasi dari Internet
Cantrell, C., 2006. Sri Lankan’s tsunami drive blossom: Local man’s effort keeps on giving. Http://
www.boston.com/news/local/articles/2006/01/26/sri_lankans_tsunami_drive_blossoms/[26 Jan 2006]
Software
ECLIPSE 100 (software), GeoQuest Reservoir Technologies, Abbingdon, UK, 1997.
PENGIRIMAN
Penulis diminta mengirimkan satu eksemplar naskah asli beserta dokumennya (file) di dalam compact disk
(CD) yang harus disiapkan dengan program Microsoft Word. Pada CD dituliskan nama penulis dan nama
dokumen. Naskah akan ditolak tanpa proses jika persyaratan ini tidak dipenuhi. Naskah agar dikirimkan ke-
pada:
Pengiriman naskah harus disertai dengan surat resmi dari penulis penanggung jawab/korespondensi (corre-
sponding author) yang harus berisikan dengan jelas nama penulis korespondensi, alamat lengkap untuk surat-
menyurat, nomor telepon dan faks, serta alamat e-mail dan telepon genggam jika memiliki. Penulis korespon-
densi bertanggung jawab atas isi naskah dan legalitas pengiriman naskah yang bersangkutan. Naskah juga
sudah harus diketahui dan disetujui oleh seluruh anggota penulis dengan pernyataan secara tertulis.