Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif

pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya

dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang

harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik

pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari

operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa

anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.

Ca mamae merupakan penyakit neoplasma ganas yang berasal dari parenkim

dimana sel-sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga

mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Salah

satu terapi bedah yang dapat dilakukan pada pasien ca mamae adalah mastektomi

radikal modifikasi (MRM). MRM merupakan teknik bedah dengan mereseksi seluruh

kelenjar mamae dan tetap mempertahankan m.pectoralis mayor dan minor.

Pemilihan jenis anestesi untuk MRM ditentukan berdasarkan usia pasien,

kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter

bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi.

1
BAB II

DASAR TEORI

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Mamae

Payudara wanita dewasa terletak di antara kosta kedua dan keenam dan di

antaratepi sternum dan garis midaxilla. Payudara terdiri dari kulit, jaringan

subkutan, dan jaringan payudara. Jaringan payudara termasuk elemen kedua epitel

dan stroma. Setiap payudara memiliki jaringan kelenjar yang terdiri dari 15 hingga

20 lobus yang di sokong jaringan ikat fibrosa. Ruang antara lobus diisi dengan

jaringan adiposa, dan perbedaan jumlah jaringan adiposa ini yang menyebabkan

perbedaan ukuran payudara. Pasokan darah payudara berasal dari a.mamae interna

dan a.torakal lateral. Drainase limfatik payudara melalui pleksus limfatik superficial

dan pleksus limfatik profunda. Lebih dari 90% drainase limfatik payudara melalui

kelenjar getah bening aksila dengan sisanya melalui kelenjar mamae interna.

2
Payudara normal mengandung jaringan kelenjar, duktus, jaringan otot

penyokong lemak, pembuluh darah, saraf dan pembuluh limfe. Pada adegan lateral

ats kelenjr payudara, jaringan kelenjar ini keluar dari bulatannya kearah aksila,

disebut penonjolan Spence atau ekor payudara. Setiap payudara terdiri atas 12-20

lobulus kelenjar yang masing-masing mempunyai susukan ke papilla mammae, yang

disebut duktus lactiferous. Diantara kelenjar susu dan fasia pectoralis, juga diantara

kulit dan kelenjar tersebut mungkin terdapat jaringan lemak. Diantara lobules

tersebut ada jaringan ikat yang disebut ligamnetum cooper yang memberi rangka

untuk payudara.

Perdarahan payudara terutama berasal dari cabang a. perforantes

anterior dan a. mammaria interna, a. torakalis lateralis yang bercabang dari a.

aksilaris, dan beberapa a. interkostalis.

Persarafan kulit payudara diurus oleh cabang pleksus servikalis dan n.

interkostalis. Jaringan kelenjar payudara sendiri diurus saraf simpatik. Ada beberapa

saraf lagi yang perlu diingat sehubungan dengan penyulit paralisis dan mati rasa

pasca bedah, yakni n. intercostalis dan n. kutaneus brakius medialis yang mengurus

sensibilitas tempat aksila dan adegan medial lengan atas.

2.2. Ca Mamae

Ca mamae merupakan penyakit neoplasma ganas yang berasal dari parenkima

dimana sel-sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga

mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali.

Kanker payudara yaitu sekelompok sel tidak normal pada payudara yang terus

tumbuh berupa ganda. Pada kesannya sel-sel ini menjadi bentuk benjolan di

3
payudara. Jika benjolan kanker tidak terkontrol, sel-sel kanker bias bermestastase

pada bagian-bagian tubuh lain. Metastase bias terjadi pada kelenjar getah bening

ketiak ataupun diatas tulang belikat. Selain itu sel-sel kanker bias bersarang di

tulang, paru-paru, hati, kulit, dan bawah kulit. (Erik T, 2005)

2.3. Pentahapan Ca Mammae (Carsinoma Mammae)/ Kanker Payudara

Pentahapan mencangkup mengklasifikasikan kanker payudara berdasarkan

pada keluasan penyakit. Pentahapan segala bentuk kanker sangat penting

karena hal ini dapat membantu tim perawatan kesehatan merekomendasikan

pengobatan terbaik yang ada, menunjukkan prognosis, dan beberapa

pemeriksaan darah dan prosedur diagnostik dilakukan dalam petahapan

penyakit. Pemeriksaaan dan prosedur ini mencankup rontgen dada,

pemindaian tulang, dan fungsi hepar, pentahapan klinik yang paling banyak

digunakan untuk kanker payudara yaitu sistem pembagian terstruktur

mengenai TNM yang mengevaluasi ukuran tumor, jumlah nodus limfe yang

terkena, dan bukti adanya metastasis yang jauh.

 Tumor primer (T) :

1. Tx : Tumor primer tidak dapat ditentukan

2. T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer

3. Tis : Kanker in situ, paget dis pada papila tanpa teraba tumor

4. T1 :Tumor <>

a) T1a : Tumor <>

b) T1b :Tumor 0,5 – 1 cm

c) T1c :Tumor 1 – 2 cm

4
5. T2 :Tumor 2 – 5 cm

6. T3 : Tumor diatas 5 cm

7. T4 : Tumor tanpa memandang ukuran, penyebaran eksklusif ke dinding

thorax atau kulit :

a) T4a : Melekat pada dinding dada

b) T4b : Edema kulit, ulkus, peau d’orange

c) T4c : T4a dan T4b

d) T4d : Mastitis karsinomatosis

 Nodus limfe regional (N) :

1. Nx : Pembesaran kelenjar regional tidak dapat ditentukan

2. N0 : Tidak teraba kelenjar axila

3. N1 : Teraba pembesaran kelenjar axila homolateral yang tidak melekat

4. N2 : Teraba pembesaran kelenjar axila homolateral yang melekat satu

sama lain atau melekat pada jaringan sekitarnya

5. N3 : Terdapat kelenjar mamaria interna homolateral

 Metastas jauh (M) :

1. Mx : Metastase jauh tidak dapat ditentukan

2. M0 : Tidak ada metastase jauh

3. M1 : Terdapat metastase jauh, termasuk kelenjar subklavikula

 Kanker payudara mempunyai 4 stadium, yaitu:

1. Stadium I

5
Tumor yang berdiameter kurang 2 cm tanpa keterlibatan

limfonodus (LN) dan tanpa penyebaran jauh. Tumor terbatas pada

payudara dan tidak terfiksasi pada kulit dan otot pektoralis.

2. Stadium IIa

Tumor yang berdiameter kurang 2 cm dengan keterlibatan

limfonodus (LN) dan tanpa penyebaran jauh atau tumor yang berdiameter

kurang 5 cm tanpa keterlibatan limfonodus (LN) dan tanpa penyebaran

jauh.

6
3. Stadium IIb

Tumor yang berdiameter kurang 5 cm dengan keterlibatan

limfonodus (LN) dan tanpa penyebaran jauh atau tumor yang berdiameter

lebih 5 cm tanpa keterlibatan limfonodus (LN) dan tanpa penyebaran jauh.

4. Stadium IIIa

Tumor yang berdiameter lebih 5 cm dengan keterlibatan

limfonodus (LN) tanpa penyebaran jauh.

7
5. Stadium IIIb

Tumor yang berdiameter lebih 5 cm dengan keterlibatan

limfonodus (LN) dan terdapat penyebaran jauh berupa metastasis ke

supraklavikula dengan keterlibatan limfonodus (LN) supraklavikula atau

metastasis ke infraklavikula atau menginfiltrasi / menyebar ke kulit atau

dinding toraks atau tumor dengan edema pada tangan.

Tumor telah menyebar ke dinding dada atau menyebabkan

pembengkakan bisa juga luka bernanah di payudara. Didiagnosis sebagai

Inflamatory Breast Cancer. Bisa sudah atau bisa juga belum menyebar ke

pembuluh getah bening di ketiak dan lengan atas, tapi tidak menyebar ke

adegan lain dari organ tubuh

8
6. Stadium IIIc

Ukuran tumor bisa berapa saja dan terdapat metastasis kelenjar

limfe infraklavikular ipsilateral, atau bukti klinis menunjukkan terdapat

metastasis kelenjar limfe mammaria interna dan metastase kelenjar limfe

aksilar, atau metastasis kelenjar limfe supraklavikular ipsilateral

7. Stadium IV

Tumor yang mengalami metastasis jauh, yaitu : tulang, paru-paru,

liver atau tulang rusuk.

9
Status penampilan (performance status) kanker menurut WHO (1979) :

1. 0 : Baik, dapat bekerja normal.

2. 1 : Cukup, tidak dapat bekerja berat namun bekerja ringan bisa.

3. 2 : Lemah, tidak dapat bekerja namun dapat berjalan dan merawat diri

sendiri 50% dari waktu sadar.

4. 3 : Jelek, tidak dapat berjalan, dapat bangkit dan merawat diri sendiri,

perlu tiduran lebih 50% dari waktu sadar.

5. 4 : Jelek sekali, tidak dapat bangkit dan tidak dapat merawat diri sendiri,

hanya tiduran saja.

2.4. Etiologi

Sebab-sebab keganasan pada mammae masih belum diketahui secara pasti14,

namun ada beberapa teori yang menjelaskan perihal penyebab terjadinya Ca

mammae, yaitu:

1. Mekanisme hormonal

Steroid endogen (estradiol & progesterone) apabila mengalami perubahan

dalam lingkungan seluler dapat menghipnotis faktor pertumbuhan bagi ca

mammae.16

2. Virus

Invasi virus yang diduga ada pada air susu ibu menyebabkan adanya massa

abnormal pada sel yang sedang mengalami proliferasi.

3. Genetik

 Ca mammae yang bersifat herediter dapat terjadi karena adanya “linkage

genetic” autosomal mayoritas (Reeder, Martin, 1997).

10
 Penelitian perihal biomolekuler kanker menyatakan delesi kromosom 17

mempunyai peranan penting untuk terjadinya transformasi malignan (Reeder,

Martin, 1997).

 Mutasi gen BRCA 1 dan BRCA 2 biasanya ditemukan pada klien dengan

riwayat keluarga kanker mammae dan ovarium (Robbin & kumar, 1995) serta

mutasi gen supresor tumor p 53 (Murray, 2002).

 Defisiensi imun

Defesiensi imun terutama limfosit T menyebabkan penurunan produksi

interferon yang berfungsi untuk menghambat terjadinya proliferasi sel dan jaringan

kanker dan meningkatkan acara antitumor .

Etiologi kanker payudara tidak diketahui dengan pasti. Namun beberapa

faktor resiko pada pasien diduga berafiliasi dengan kejadian kanker payudara, yaitu :

a) Tinggi melebihi 170 cm

b) Masa reproduksi yang relatif panjang.

c) Faktor Genetik

d) Ca Payudara yang terdahulu

e) Keluarga

Diperkirakan 5 % semua kanker yaitu predisposisi keturunan ini, dikuatkan bila 3

anggota keluarga terkena carsinoma mammae.

f) Kelainan payudara ( benigna )

Kelainan fibrokistik ( benigna ) terutama pada periode fertil, telah ditunjukkan

bahwa wanita yang menderita / pernah menderita yang porliferatif sedikit

meningkat.

11
g) Makanan, berat tubuh dan faktor resiko lain

h) Faktor endokrin dan reproduksi

Graviditas matur kurang dari 20 tahun dan graviditas lebih dari 30 tahun,

Menarche kurang dari 12 tahun

i) Obat anti konseptiva oral

Penggunaan pil anti konsepsi jangka panjang lebih dari 12 tahun mempunyai

resiko lebih besar untuk terkena kanker.

2.5. Faktor Resiko

Beberapa faktor resiko yang memegang peranan penting dalam proses

kejadianca mamae, yaitu :

 Orang tua atau (ibu) yang pernah menderita ca mamae terutama pada

usiarelatif muda

 Anggota keluarga sedarah menderita ca mamae

 Menderita tumor jinak payudara

2.6. Patofisiologi

Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang

disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi :

a. Fase inisiasi

Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang

memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini

disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen yang dapat berupa bahan kimia,

12
virus, radiasi, atau sinar matahari. Kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya

yang disebut promoter menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu karsinogen.

b. Fase promosi

Pada tahap ini suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi

ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh

promosi. Oleh karena itu siperkukan beberapa faktor untuk terjadinyakeganasan.

2.7. Manifestasi Klinis

Ca mamae mempunyai gambaran klinis sebagai berikut :

13
Gejala umum Ca mamae yaitu :

 Teraba adanya massa atau benjolan pada payudara

 Payudara tidak simetris / mengalami perubahan bentuk dan ukuran karena

mulai timbul pembengkakan

 Ada perubahan kulit : penebalan, cekungan, kulit pucat disekitar puting susu,

mengkerut mirip kulit jeruk purut dan adanya ulkus pada payudara

 Ada perubahan suhu pada kulit : hangat, kemerahan , panas

 Ada cairan yang keluar dari puting susu

 Ada perubahan pada puting susu : gatal, ada rasa mirip terbakar, pengikisan

dan terjadi retraksi

 Ada rasa sakit

 Penyebaran ke tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan kadar kalsium darah

meningkat

 Ada pembengkakan didaerah lengan

 Adanya rasa nyeri atau sakit pada payudara.

 Semakin lama benjolan yang tumbuh semakin besar.

 Mulai timbul luka pada payudara dan lama tidak sembuh meskipun sudah

diobati, serta puting susu mirip koreng atau eksim dan tertarik ke dalam.

 Kulit payudara menjadi berkerut mirip kulit jeruk (Peau d' Orange).

 Benjolan mirip bunga kobis dan mudah berdarah.

 Metastase (menyebar) ke kelenjar getah bening sekitar dan alat tubuh lain

14
2.8. Diagnosa

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan labortorium meliputi: Morfologi sel darah, LED, Test fal

marker (CEA) dalam serum/plasma, Pemeriksaan sitologis

b. Test diagnostik lain:

 Non invasive: Mamografi, Ro thorak, USG, MRI, PET

 Invasif : Biopsi, Aspirasi biopsy (FNAB), True cut / Care biopsy, Incisi

biopsy, Eksisi biopsy

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan :

1. Pemeriksaan payudara sendiri

2. Pemeriksaan payudara secara klinis

3. Pemeriksaan manografi

4. Biopsi aspirasi

5. True cut

6. Biopsi terbuka

7. USG Payudara, pemeriksaan darah lengkap, X-ray dada, therapy medis,

pembedahan, terapi radiasi dan kemoterapi.

15
16
2.9. Terapi

1. Pembedahan

a. Mastectomy radikal yang dimodifikasi

Pengangkatan payudara sepanjang nodul limfe axila hingga otot

pectoralis mayor. Lapisan otot pectoralis mayor tidak diangkat namun otot

pectoralis minor bisa jadi diangkat atau tidak diangkat.

b. Mastectomy total

Semua jaringan payudara termasuk puting dan areola dan lapisan otot

pectoralis mayor diangkat. Nodus axila tidak disayat dan lapisan otot dinding

dada tidak diangkat.

c. Lumpectomy/tumor

Pengangkatan tumor dimana lapisan mayor dri payudara tidak turut

diangkat. Exsisi dilakukan dengan sedikitnya 3 cm jaringan payudara normal

yang berada di sekitar tumor tersebut.

d. Wide excision/mastektomy parsial.

Exisisi tumor dengan 12 tepi dari jaringan payudara normal.

e. Ouadranectomy.

Pengangkatan dan payudara dengan kulit yang ada dan lapisan otot

pectoralis mayor.

2. Radiotherapy

17
Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula

merupakan therapi tunggal. Adapun efek samping: kerusakan kulit di sekitarnya,

kelelahan, nyeri karena inflamasi pada nervus atau otot pectoralis, radang

tenggorokan.

3. Chemotherapy

Pemberian obat-obatan anti kanker yang sudah menyebar dalam

pedoman darah. Efek samping: lelah, mual, muntah, hilang nafsu makan,

kerontokan membuat, mudah terserang penyakit.

4. Manipulasi hormonal.

Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk kanker yang sudah

bermetastase. Dapat juga dengan dilakukan bilateral oophorectomy. Dapat juga

digabung dengan therapi endokrin lainnya.

2.10. Komplikasi

Metastase ke jaringan sekitar melalui susukan limfe (limfogen) ke paru,

pleura, tulang dan hati.

Selain itu Komplikasi Ca Mammae yaitu:

a. metastase ke jaringan sekitar melalui susukan limfe dan pembuluh darah kapiler (

penyebaran limfogen dan hematogen), penyebarab hematogen dan limfogen

dapat mengenai hati, paru, tulang, sum-sum tulang ,otak ,syaraf.

b. gangguan neuro varkuler

c. Faktor patologi

d. Fibrosis payudara

e. kematian

18
2.11. Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara

sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen

trias anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot.

Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian

menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan

kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,

hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu

mengetahui stadiu m anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu

dan mencegah terjadinya kelebihan dosis.

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan

utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa

pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang

dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal

antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap

organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil,

cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran

cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan.

Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis

yang aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian

mudah, mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang

19
merugikan. Selain itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan,

mempunyai batas keamanan yang luas.

2.11.1. Macam-macam Teknik Anestesi

a. Open drop method : Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang

menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik

diteteskan pada kapas yang diletakkan di depan hidung penderita

sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan pemakaiannya boros

karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.

b. Semi open drop method : Hampir sama dengan open drop, hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbon

dioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi

hipoksia. Untuk menghindarinya dialirkan volume fresh gasflow yang

tinggi minimal 3x dari minimal volume udara semenit.

c. Semi closed method : Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni

yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer

sehingga kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang

dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi

dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan

hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume freshgas flow kurang

dari 100% kebutuhan.

d. Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara

ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga

udara yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi. Dalam memberikan

20
obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu

diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance,

dan lain-lain.

2.11.2. Persiapan Pra Anestesi

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus

dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan

1-2 hari sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra

anestesi pada pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan

darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun

tujuan kunjungan praanestesi adalah:

a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.

b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai

dengan fisik dan kehendak pasien.

c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society

Anesthesiology):

ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,

biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang

sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka

mortalitas 16%.

ASA III : pasien dengna gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.

Angka mortalitas 38%.

21
ASA IV : pasien dengna gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa tidak

selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina

menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan Operasi hampir tidak

ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi/dengan

operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang tubuhnya akan diambil (Didonorkan) untuk operasi

cito ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan otak,

jantung, paru ibu dan anak.

2.11.3. Pemeriksaan praoperasi anestesi

a. Anamnesis

1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.

2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.

3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit

anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,

pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.

4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang

sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik

seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan

aminoglikosid, dan lain lain.

5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal,

jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca

bedah.

22
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi

seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik

7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.

8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,

kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,

psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

b. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaanfisik : takut, gelisah

2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas

3. Tinggi dan berat badan.

Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta

jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.

4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu

tubuh.

5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,

keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi

ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai

dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah.

Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau

tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:

i. Mallampati

I : palatum molle, uvula, dinding posterior oropharynk, tonsilla

palatina dan tonsilla pharyngeal

23
ii. Mallampati

II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior uvula

iii. Mallampati

III : palatum molle, dasar uvula

iv. Mallampati

IV : palatum durum saja

6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung

7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi

8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda

regurgitasi.

9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis,

adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi

vena atau daerah blok saraf regional

c. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain

1. Lab rutin :

a. Pemeriksaan lab. Darah

b. Urine : protein, sedimen, reduksi

c. Foto rongten ( thoraks )

d. EKG

2. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :

a. EKG pada anak

b. Spirometri pada tumor paru

c. Tes fungsi hati pada ikterus

24
d. Fungsi ginjal pada hipertensi

e. AGD, elektrolit.

2.11.4. Premedikasi Anestesi

Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun

tujuan dari premedikasi antara lain :

a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam

c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam

d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin

e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansetron

f. memperlancar induksi, misal : pethidin

g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium,

sulfasatropin.

i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan

hiosin.

Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang

ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka

pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan

mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan,

riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya,

riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi,

25
perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan

digunakan2

1. Obat-obatan Premedikasi

Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :

a. Sulfas atropine

Atropin dapat mengurangi sekresi dan merupakan obat pilihan utama untuk

mengurangi efek bronkial dan kardial yang berasal dari

perangsangan parasimpatis, baik akibat obat atau anestesikum maupun

tindakan lain dalam operasi. Disamping itu, efek lainnya adalah

melemaskan tonus otot polos organ-organ dan menurunkan spasme

gastrointestinal. Setelah penggunaan obat ini dalam dosis terapetik teradapat

perasaan kering di rongga mulut dan penglihatan kabur. Karena itu

sebaiknya obat ini tidak digunakan untuk anestesi regional. Pemberiannya

harus hati-hati pada penderita dengan suhu diatas normal dan pada

penderita penyakit jantung. Atropin tersedia dalm bentuk atropin sulfat

dalam ampul 0.25 mg dan 0.5 mg. Diberikan secara suntikan

subkutis, intramuskular, atau intravena.

b. Ondensetron

Merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT 3 selektif. Digunakan untuk

mencegah dan mengobati mual dan muntah pasca bedah. Efek samping

obat ini berupa hipotensi, bronkospasme, konstipasi, dan sesak nafas

26
c. Fentanyl

Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan

termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150

mcg/kgBB, termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini

telah ditemukan remifentanil, suatu opioid yang paten dan sangat cepat

onsetnya, telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan

residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat

menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat

mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan

opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut.

Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah

digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam

anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan efek analgesi

perioperatif. Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.

Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding

meperidin. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis

opioid, tetapisecara tidak bermakna diperpanjang masanya atau

diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya

digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan

kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek

opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh

nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi, meski

juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia

27
dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi

tetap dengan droperidol Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone

yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk

menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan

nitrogenoksida memberikan suatu efek yang disedut sebagai

neurolepanestesia.

2.11.5. Induksi

Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya

stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemelihara

ananestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah

induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

a. Propofol

Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan

emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25%
3
glyserol. Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kg BB untuk induksi tanpa premedikasi.

Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena lainnya,

namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat setelah

anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah

postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi.

Propofol digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan

merupakan agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif

dalam menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis.

28
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat

memicu timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan

kemungkinan adanya skuele neurologik. Pemberian propofol (2mg/kg) intravena

menginduksi anestesi secara cepat. Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat

suntikan, tetapi jarang disertai plebitis atau trombosis. Anestesi dapat

dipertahankan dengan infus propofol yang berkesinambungan dengan opiat, N2O

dan/atau anestetik inhalasi lain.

Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti

selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan

venodilatasi. Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek

ini disebabkan karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah

jantung. Tekanan sistemik kembali normal dengan intubasi trakea. Setelah

pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah 2-8

menit, dan waktuparuh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat

dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat dari pada thiopenthal pada tikus. Propofol

diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang

dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih

besar dari pada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme

ekstra hepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat

bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme

obat-obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan

ginjal. Aliran darah ke otak, metabolism otak dan tekanan intrakranial akan

menurun. Keuntungan propofol karenabekerja lebih cepat dari tiopental dan

29
konvulsi pasca operasi yang minimal. Propofol merupakan obat induksi anestesi

cepat. Obat ini didistribusikan cepat dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi

sebagai akibat depresi langsung pada otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler

sistemik. Propofol tidak mempunyai efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental

waktu pulih sadar lebih cepat dan jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang

rendah propofol memiliki efek antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi

pernafasan, apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada system

kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi.

Padasusunan syaraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll.

Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri sehingga saat pemberian dapat

dicampurkan lidokain (20-50 mg)

b. Atrakurium Basylate

Merupakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor

nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi

asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Atrakurium

memiliki struktur benziliso quinolin yang memiliki beberapa keuntungan antara lain

metabolisme di dalam darah melalui suatu reaksi yang disebut eliminasi hoffman

yang tidak tergantung fungsi hati dan gfungsi ginjal, tidak mempunyai efek

akumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan fungsi

kardiovaskuler yang bermakna.

30
2.11.6. Pemeliharaan

a. Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak

berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi

dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang

kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak

larut dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu

pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi

otot. Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada

masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam

ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen

konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya

dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam

anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% :

40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.3

b. Sevoflurane

Seoflurane merupakan suatu cairan yang jernih, tidak berwarna tanpa

stabiliser kimia. Tidak iritasi, stabil disimpan di tempat biasa. Tidak terlihat adanya

degradasi sevoflurane dengan asam kuat maupun panas. Sevoflurane bekerja cepat,

tidak iritasi, induksi lancar dan cepat serta pemulihan yang cepat setelah obat

dihentikan. Daerah otak yang spesifik dipengaruhi oleh obat anestesi inhalasi

termasuk reticulat activating system, cerebral cortex, cuneate nucleus, olfacatory

cortex, dan hippocampus. Obat anestesi inhalasi juga mendepresi transmisi rangsang

31
dispinal cord, terutama pada level dorsal horn interneuron yang bertanggung

jawab terhadap transmissi rasa sakit.

2.11.7. Intubasi Endotrakeal

Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan

nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan

untuk.1

a. Mempermudah pemberian anestesi.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.

c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.

d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.

e. Pemakaian ventilasi yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

2.11.8. Terapi Cairan

Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati

jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan

untuk1

1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang

selama operasi.

2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi

yang diberikan.

32
Pemberian cairan operasi dibagi :

a. Pra operasi

terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi

lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus obstruktif,

perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam

adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan

bertambah 10-15 %.

b. Selama operasi

Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan

pada dewasa untuk operasi :

Ringan = 4 ml/kgBB/jam.

Sedang = 6 ml/kgBB/jam

Berat = 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10

% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan lebih

dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran.

c. Setelah operasi

Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama

operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.

2.3.9. Pemulihan

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan

anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu

ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sada

33
rmerupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih

memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau

anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau

pengaruh anestesinya.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu

dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa

cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan

Steward, dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi

sekarang sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk

regional anestesi digunakan skor Bromage.

34
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. N

Umur : 56 thn

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Alamat : Dsn Tuwi Bunta, Ds Cot Lada, Kec Bubon

No. RM : 30-20-65

B. Anamnesa

1. Keluhan utama :

Terdapat benjolan pada payudara kiri

2. Keluhan tambahan :

Gatal-gatal dan berdarah pada payudara kiri

3. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke rumah sakit ± 1 tahun yang lalu dengan keluhan terdapat

benjolan pada payudara kiri, benjolan tersebut sebesar kelereng dan muncul gatal-

gatal. Awalnya gatal-gatal diabaikan, lama kelamaan gatal-gatal tersebut menjadi

perlukaan yang terus meluas dan mulai berdarah. Puting tidak pernah keluar cairan

maupun darah. Keluhan pertama kali muncul pada tahun 2015, akan tetapi diabaikan.

Pada tahun 2017 pasien baru mulai ke rumah sakit untuk berobat, dan dilakukan

operasi yang pertamakalinya di Rs cut nyak dhien pada tahun 2017 bulan 10, dan

35
pada tahun 2018 dillakukan operasi untuk yang kedua kalinya di Rs cut nyakdhien.

Pasien juga sudah melakukan kemoterapi 6 siklus. Kemudian pasien masuk kembali

ke Rs cut nyak dhien meulaboh untuk dilakukan operasi yang ketiga kalinya pada

tanggal 4-7-2018.

4. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat Hipertensi (+)

Riwayat pembedahan (+)

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama

6. Riwayat Reproduksi

Pasien menarche pertama usia 17 thn, durasi 7 hari dan tiap bulan 2x, pasien

mempunyai anak 2 orang laki-laki dan tidak pernah keguguran.

7. Anamnesis system

 Sistem serebrospinal : pasien sadar dan berorientasi penuh, tidak demam tidak

pusing

 Sistem respiratorius : tidak batuk dan tidak sesak nafas

 System kardiovaskular : tidak berdebar-debar, tidak nyeri dada dan tidak sesak

nafas

 System gastrointestinal : tidak anoreksia, tidak mual, tidak muntah dan BAB

lancer

 System musculoskeletal : gerakan bebas, tidak ada nyeri pada otot

36
Resume anamnesis :

Pasien ♀, umur 56 thn, mengeluhkan benjolan pada payudara kiri dan disertai gatal-

gatal dan berdarah pada payudara kiri, tidak keluar cairan dan tidak bernanah.

C. Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalisata

 Keadaan umum : CM.GCS 15

 Vital Sign : TD 170/100 mmHg, Hr 84x/I, Rr 20x/I, T 36,8°C

 Kepala : mesochepal, simetris, tidak ada deformitas, rambut hitam, rontok (+)

akibat kemoterapi, tidak oedema facial

 Mata : palpebra tidak edema, conjungtiva tidak anemis, sclera tidak

ikterik,pupil reflek cahaya +, isokor

 Telinga : tidak ada otore, tidak deformitas

 Hidung : tidak deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung, tidak

rinore/discharge

 Mulut : bibir tidak sianosis, tidak kering, lidah tidak kotor, tonsil tidak

membesar

 Thorak :

Cor

 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

 Palpasi : ictus cordis teraba di SICV linea mid clavicula sinistra

 Perkusi : kanan atas SIC IV linea mid clavicula sinistra, Kiri atas SIC IV

parasternalis inistra

37
 Auskultasi : Bj I lebih keras dari pada II, regular, tidak ada gallop tidak ada

bising.

 Pulmo

 Inspeksi : simetris, tidak ada retraksi

 Palpasi : tidak ada ketinggalan gerak,fremitus suara D=S

 Perkusi : sonor seluruh lapangan paru kiri dan kanan

 Auskultasi : vesikuler

 Abdomen

 Inspeksi : tidak terlihat darm steifung, tidak terlihat contour, tidak ada

sikatrik

 Auskultasi : peristaltic (+) normal

 Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan diseluruh lapangan perut

 Perkusi : timpani, tidak asites

 Ekstremitas :

 Superior : tidak ada deformitas,tidak sianosis, tidak pucat, tidak edema

 Inferior : tidak ada deformitas,tidak sianosis, tidak pucat, tidak edema

b. Status Lokalis

Regio mamae sinistra

Tidak tampak benjolan dan tidak ada lagi payudara ( mastektomi), warna kulit

sama dengan disekitarnya, tidak ada ulserasi dan tidak terba massa atau benjolan.

D. Diagnosa Kerja

Ca mamae sinistra Mastektomi

38
E. Terapi

Ruangan

 Ivfd Rl 20gtt/i

 Inj. ceftriaxone 1 gr/12 j

 Inj. Ketorolac 1 amp/12 j

 Inj. Ranitidine 1 amp/12 j

Anastesi

 Inj. Prefosol 10 mg

 Inj. Belnium 50 mg

 Inj. Nakoba 0,4 mg

 Inj. Ketorolac

 Inj. Sulfas Atropine

Tindakan

 Endotrakeal tube

39
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan

dibahas masalah yang timbul, baik dari segi bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH

1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.

2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)

Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik

anestesi yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk

mengatasi perdarahan. Pada pasien ini teknik mastektomi yang digunakan

adalah mastektomi radikal modifikasi menggunakan electocauterm dimana

perdahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit karena pemotongan jaringan

maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI

1. Pemeriksaan pra anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :

a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)

b. Pemeriksaan laboratorium darah

Permasalahan yang ada adalah :

 Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum

 Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai

40
Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan :

 Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini

diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai

puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling tidak 6 jam

untuk mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan aspirasi

dapat dihindarkan. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan tujuan terapi, yaitu:

1. Cairan rumatan (maintenance)

Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan

intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas <270 mOsm/kg.

Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 %

2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)

Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water

movement melalui membran sel semipermeabel Tonisitas 275 – 295

mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, Lactate Ringer’s, koloid

3. Cairan khusus

Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air

keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi Tonisitas >295

mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium- bikarbonat, Natrium laktat

hipertonik.

Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik merupakan

jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada pasien ini diberikan resusitasi

cairan berupa Ringer Laktat dengan tujuan untuk memperbaiki volume sirkulasi

41
dan pemilihan cairan ini berdasarkan pertimbangan kompartemen yang

mengalami defisit.

Jenis anestesi yang dipilih adalah anestesi umum karena pada kasus

ini diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko

aspirasi dengan menggunakan premedikasi sulfas atropin , ondensetron. Teknik

anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube.

Selama operasi dipasang ET teknik cepat.

42
BAB V

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap

operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita

mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul

sehingga dapat mengantisipasinya. Pada laporan kasus ini disajikan kasus

penatalaksanaan anestesi umum pada operasi mastektomi pada penderita

perempuan, usia tahun, status fisik ASA II, dengan diagnosis ca mamae Sinistra

yang dilakukan teknik anestesi umum dengan ET.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang

ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi

anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kasus ini selama operasi

berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari

tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi hal yang

memerlukan penanganan serius. Secara umum pelaksanaan operasi dan

penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

43
BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Brash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Cahalan, M.K., Stock, M.C.
2009.Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition.USA : Lippincott
Williams & Wilkins

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi


Intensif,FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

3. Hines, R.L., Marschall, K.E. 2008. Stoelting’s Anesthesia and Co-existing


Disease.5thedition.NY : Elsevier

4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar


untuk Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.

5. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI,
edisike- 4. Jakarta: Gaya baru.

6. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI

7. Singletary, SE., Connoly, James.2006. Breast Cancer Staging. USA. CA


CancerJournal. 56:37-47.

8. American Cancer Society. Breast cancer facts and figures. 2006. World Wide Web.
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta :
EGC

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius

Marilyan, Doenges E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatyan px) Jakarta : EGC

Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions


Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book.

Johnson, Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis
:Mosby Year-Book

44
Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi
10.Jakarta:EGC

Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 .


Edisi 4. Jakarta. EGC

Sjamsulhidayat, R. dan Wim de Jong. 1998. Buku Ajar Imu Bedah, Edisi revisi. EGC
: Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. and Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah : Brunner Suddarth, Vol. 2. EGC : Jakarta.

Sjamsuhidajat. R (1997), Buku latih Ilmu Bedah, EGC, Jakarta

Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2009-
2011, NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd

45

Anda mungkin juga menyukai