Anda di halaman 1dari 4

PCR

PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan suatu prosedur yang efektif untuk melakukan
pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini mirip dengan proses replikasi DNA dalam sel.
Amplifikasi ini menghasilkan lebih dari sejuta kali DNA yang asli. Hasil pelipatgandaan
segmen DNA ini menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi
karena konsentrasinya tinggi. Pendeteksian dilakukan dengan metode pemisahan molekul
berdasarkan berat molekulnya yang disebut dengan elektroforesis menggunakan gel agarosa
(Sudjaji, 2008). Proses pelipatgandaan DNA pada PCR meliputi tiga tahapan utama yaitu
denaturasi, annealing, dan ekstensi. Proses denaturasi bertujuan untuk melepaskan rantai
ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA. Poses denaturasi DNA dilakukan dengan cara
menaikkan suhu sampai 95˚C. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses
denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi rantai
tunggal. Setelah proses denaturasi dilanjutkan dengan proses annealing atau pemasangan 2
rantai primer pada kedua rantai DNA tersebut. Rantai primer berfungsi sebagai pancingan
awal dalam pelipatgandaan segmen DNA. Rantai primer terdiri dari 18-24 deret basa
nukleotida pengode DNA (adenin, guanin, timin, dan sitosin) dan biasanya dapat dipasangkan
dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan
dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya
dengan cara menurunkan suhu antara 37-60˚C. Setelah itu dilanjutkan dengan proses ekstensi
atau perpanjangan. Pada proses ini deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang sebelumnya
telah ditambahkan dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18 sampai 24
deret basa nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di dNTP dan
kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu. Proses ini dibantu oleh
adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja optimum pada suhu 72˚C. dNTP
merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida (A, G, T dan S) yang terikat pada 3 gugus fosfat
dan masing-asing berdiri bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatannya
pada primer. Setelah siklus PCR berakhir, proses final ekstension dilakukan selama 5-15
menit pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal
DNA telah penuh terbentuk. Ketiga proses pada PCR ini dilakukan berulang-ulang sampai
jumlah kelipatan segmen DNA sesuai dengan yang dibutuhkan (Sopian, 2006).

RT-PCR

Pada metode PCR biasa sumber sampel yang digunakan adalah DNA yang diekstrak dari sel
atau jaringan. Sedangkan pada RT-PCR sampel yang digunakan bukan DNA melainkan RNA.

RNA merupakan asam ribonukleat rantai tunggal, sedangkan DNA adalah asam ribonukleat
rantai ganda. Ciri khas RNA adalah tidak terdapat gugus basa timin (T) melainkan diganti
oleh urasil (U). Pada metode RT-PCR hal yang harus dilakukan pertama kali adalah
mengubah RNA menjadi DNA dengan menggunakan enzim reverse transcriptase, yang
disebut dengan komplemen DNA (cDNA). Dalam hal ini disintesis cDNA dari perpasangan
antara gugus basa U dan A, serta G dan C. Dari cDNA inilah dilipatgandakannya segmen
DNA yang mirip urutan basa nukleotidanya dengan RNA, hany U terganti kembali ke T.

Karena adanya penambahan proses sintesis cDNA, maka tahapan pada proses PCR
bertambah pula. Tahap pertama terjadi proses annealing untuk memasangkan primer untuk
memperpanjang segmen cDNA. Setelah terbentuk segmen cDNA ini, baru kemudian masuk
ke proses PCR seperti biasanya (Sopian, 2006).

RT-PCR terbagi atas one step and two step RT-PCR. One step lebih menguntungkan karena
lebih cepat, simpel, dan resiko kontaminasinya rendah dari pada two step RTPCR.

Tahap RT PCR terdiri dari :


1. Manajemen sampel : Sampel dapat diperoleh dari hasil isolasi virus ataupun dari serum
pasien akut. Virus yang akan langsung diperiksa disimpan pada suhu -4˚C atau -8˚C untuk
pemeriksaan kurang dari 24 jam. Namun jika lebih dari 24 jam dilakukan penyimpanan
sampel -70˚C.
2. Ekstraksi RNA : RNA dipisahkan dari dari sampel serum atau isolasi virus dengan
menggunakan suatu kit yang mempunyai carrier dan dapat mengikat RNA sehingga hasil
ekstraksi RNA tersebut dapat digunakan. Ekstraksi RNA yang telah direhidrasi dapat
disimpan pada suhu -70˚C.
3. RT-PCR : Pemeriksaan ini diawali dengan mengubah RNA membentuk cDNA dengan
enzim reverse transkriptase.Terdapat beberapa jenis enzim reverse transkriptase yang
diketahui. Setelah terbentuk cDNA dilakukan PCR dengan langkah denaturasi, annealing
primer dan ekstensi. Dari RNA menjadi cDNA dilakukan pada suhu 50˚C selama 30 menit.
Sedangkan denaturasi pada suhu 94˚C selama 15 menit dilanjutkan dengan anneling pada
suhu 58˚C 1 menit dan ekstensi 58˚C selama 1 menit.
4. Deteksi dan karakterisasi : Untuk mengetahui hasil amplifikasi dilakukan elektroforesis
pada gel agarose 2% dengan menggunakan ethidium bromida dan diperiksa di UV
transluminator untuk dibandingkan dengan marker (Gurukumar, 2009).

Baik PCR konvensional atau Real time RTPCR lebih banyak digunakan yang one step,
karena pada sekali pemeriksaan dapat digunakan untuk mendeteksi 4 jenis serotipe virus
dengue. Selain itu metode ini lebih spesifik dan tidak terjadi reaksi silang antara sesama
flavivirus ataupun dengan alfaviridae (Cristina, 2011)

Elektroforesis

Elektroforesis merupakan teknik pemisahan makromolekul (asam nukleat atau protein) dalam
suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Prinsip kerja elektroforesis yaitu
pergerakan partikel-partikel yang bermuatan berdasarkan kecepatan migrasi partikel tersebut
dalam suatu medan listrik. Partikel tersebut bergerak dari kutub negatif (anion) menuju kutub
positif (kation). Elektroforesis dapat menggunakan gel agarosa, poliakrilamid, atau agarosa
poliakrilamid (Brown, 1999).

Elektroforesis menggunakan gel agarosa merupakan metode standar untuk pemisahan,


identifikasi, dan pemurnian fragmen DNA. Gel garosa dibuat dengan cara melelehkan
agarosa dalam buffer dengan pemanasan yang selanjutnya dituangkan dalam cetakan serta
dibiarkan sampai dingin. Setelah gel mengeras kemudian diberikan medan listrik pada kedua
ujungnya, maka DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak ke anoda.
Molekul DNA yang lebih besar akan bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan yang lebih
besar. Untuk mendeteksi adanya DNA, sebelum dimasukkan dalam gel agarosa,terlebih
dahuludiwarnai dan kemuadian dapat dilihat adanya pita molekul pada gel agarosa jika
diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini menandakan adanya segmen DNA
(Sudjaji, 2006).

Untuk menentukan jenis serotipe virus dengue yang telah diamplifikasi maka dilakukan
elektroforesis. Cara melakukan elektroforesis adalah sebagai berikut :

Gel agarose 2% dibuat dengan cara : 10 ml 1X TAE buffer dicampur dengan 100 ml aquades
(pengenceran 10x), lalu 50 ml larutan 1X TAE buffer tersebut dicampurkan dengan 1 gram
agarose. Kemudian dipanaskan dalam microwave sampai mendidih, selanjutnya ditambahkan
1:1000 SYBER safe-TM dan tuang dalam cetakan agarose gel yang telah disediakan dengan
jumlah sumuran (well) sesuai dengan yang diinginkan. Setelah gel agarose mengeras,
kemudian dimasukkan ke dalam tangki (chamber) elektroforesis yang berisi 1X TAE buffer.
Kemudian 5-10 μl hasil PCR dicampur dengan 1 μl blue juice 2X dan dimasukkan ke dalam
sumur pada gel agarose, lalu dimasukkan secara berturut-turut 10 μl marker, 5-10 μl kontrol
positif dan 5-10 μl kontrol negatif pada sumur-sumur berikutnya. Kontrol positif adalah hasil
amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan RNA virus DEN 1 dan
kontrol negatif adalah hasil amplifikasi PCR yang berisi master mix yang dicampur dengan
nucleus free water.

Power supply kemudian dinyalakan pada posisi 100 V, 400 mA dan waktu 40 menit
selanjutnya DNA akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif.

Setelah dilakukan elektroforesis, gel agarose dimasukkan ke dalam alat gel imaging untuk
melihat hasil amplifikasi RNA virus dengue yang dilakukan dengan teknik RT-PCR. Pita
molekul yang terlihat pada gela garose menandakan adanya segmen DNA, kemudian pita
DNA tersebut dibandingkan dengan pita yang ada pada kontrol positif dari marker.

RT-PCR terbagi atas one step and two step RT-PCR. One step lebih menguntungkan karena
lebih cepat, simpel, dan resiko kontaminasinya rendah dari pada two step RTPCR.

Tahap RT PCR terdiri dari :


1. Manajemen sampel : Sampel dapat diperoleh dari hasil isolasi virus ataupun dari serum
pasien akut. Virus yang akan langsung diperiksa disimpan pada suhu -4˚C atau -8˚C untuk
pemeriksaan kurang dari 24 jam. Namun jika lebih dari 24 jam dilakukan penyimpanan
sampel -70˚C.
2. Ekstraksi RNA : RNA dipisahkan dari dari sampel serum atau isolasi virus dengan
menggunakan suatu kit yang mempunyai carrier dan dapat mengikat RNA sehingga hasil
ekstraksi RNA tersebut dapat digunakan. Ekstraksi RNA yang telah direhidrasi dapat
disimpan pada suhu -70˚C.
3. RT-PCR : Pemeriksaan ini diawali dengan mengubah RNA membentuk cDNA dengan
enzim reverse transkriptase.Terdapat beberapa jenis enzim reverse transkriptase yang
diketahui. Setelah terbentuk cDNA dilakukan PCR dengan langkah denaturasi, annealing
primer dan ekstensi. Dari RNA menjadi cDNA dilakukan pada suhu 50˚C selama 30 menit.
Sedangkan denaturasi pada suhu 94˚C selama 15 menit dilanjutkan dengan anneling pada
suhu 58˚C 1 menit dan ekstensi 58˚C selama 1 menit.
4. Deteksi dan karakterisasi : Untuk mengetahui hasil amplifikasi dilakukan elektroforesis
pada gel agarose 2% dengan menggunakan ethidium bromida dan diperiksa di UV
transluminator untuk dibandingkan dengan marker (Gurukumar, 2009).

Baik PCR konvensional atau Real time RTPCR lebih banyak digunakan yang one step,
karena pada sekali pemeriksaan dapat digunakan untuk mendeteksi 4 jenis serotipe virus
dengue. Selain itu metode ini lebih spesifik dan tidak terjadi reaksi silang antara sesama
flavivirus ataupun dengan alfaviridae (Cristina, 2011)

Gurukumar KR, Priyadarshini D, Patil JA. Metodology : Development real time PCR for
detection dan quantitation of Dengue Virus. Virology Jurnal. 2009.

Cristina D, Pranav P, Sonja L. Molecular Diagnosis of Flavivirruses. Future Virology. 2011

Sudjaji. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta : Kaniskus.

Anda mungkin juga menyukai