“Ketahanan Nasional”
OLEH :
1. Lindu Simanullang
2. Rizki Maulidah
3. Sari Devi Aruan
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menngucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kehadirat-Nya, dapat
menyelesaikan tugas Critcal Journal Review sebagai salah satu tuntutan KKNI.
Tugas ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan tugas ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.
Terlepas dari semua itu, menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki tugas ini.
Akhir kata kami berharap semoga tugas Critical Journal Review ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Penulis
BAB I
IDENTITAS JURNAL
Jurnal 1
Jurnal 2
HASIL REVIEW
Banyak negara di dunia yang telah mencapai kemerde- kaan ratusan tahun, tetapi tidak
pernah menjadi negara industri bahkan tetap menyandang predikat sebagai negara berkembang.
Sebaliknya ada negara-negara yang merdeka dalam usia sangat muda tetapi perkembangannya
sangat pesat, dan termasuk negara industri. Pendidikan bagi suatu bangsa tidak dapat dipandang
sepele, sebab melalui pendi- dikan akan terbentuk elemen kehidupan bangsa yang memi- liki nilai
ketahanan. Sebaliknya, kelemahan bidang pendidikan dapat menyebabkan bangsa tersebut menjadi
miskin dan sulit untuk maju.
Kondisi ini makin berat ketika berbagai negara di dunia mengalami krisis moneter dan
ekonomi, kemudian menim- bulkan krisis kepercayaan baik di dalam maupun luar negeri terhadap
pemerintah. Negara bangsa (nation state) yang memiliki pluralitas sangat tinggi seperti Indonesia
tengah ditantang untuk menghadapi persoalan disintegrasi bangsa. Apabila bangsa dan negara tidak
memiliki pemahaman akan wawasan nasional (national outlook), nilai ketahanan nasional yang
mampu untuk menghadapi dan mengatasi dinamika global tersebut, maka dampaknya sangat besar
terhadap upaya menciptakan integrasi nasional.
Kemajuan yang pesat di bidang teknologi informasi telah memungkinkan bangsa-bangsa didunia
lebih mudah bersentuhan dengan dunia luar. Perubahan mendasar yang bergerak dari persoalan
moneter yang telah menimbulkan krisis ekonomi di berbagai negara terma- suk Indonesia, kemudian
menimbulkan krisis kepercayaan kepada pemerintah yang terjadi di dalam maupun luar negeri, telah
menimbulkan persoalan ber- bangsa dan bernegara yang makin berat. Keadaan tersebut .telah
membawa dampak yang tidak kecil terhadap mobilitas gerakan regionalisme dan juga makna
nasionalisme bagi bang- sa-bangsa di dunia. Di satu pi- hak mobilitas tersebut menjadi pemicu
gerakan regionalisme dan menipisnya makna serta cakupan nasionalisme yang pada akhirnya dapat
meng- ganggu atau mengancam integrasi nasional. Kasus yang menimpa Ethiopia, Somalia, Irak,
Libanon, Sri Langka. Bekas negara Yugoslavia dan Uni SoViet serta Ouebec di Kanada merupakan
contoh ketidak- mampuan bangsa dan negara bersangkutan dalam menangani berbagai perbedaan
yang ada dalam masyarakatnya, sehingga telah menimbulkan berbagai ge- jolak dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang berada pada posisi sangat rentan ter- hadap disintegrasi.
Kebhinekaan ras, agama, kul- tur dan etnik sebagai lawan ho- mogenitas dalam suatu negara
biasanya dilihat sebagai faktor negatif yang merugikan negara tersebut. Gejolak sosial dan in-
stabilitas politik yang selama ini ditunjukkan oleh banyak nega- ra di Asia dan Afrika sejak ber-
akhirnya Perang Dunia II seolah-olah telah menjadi kutukan bagi negara tersebut, karena bersamaan
dengan berdirinya negara semacam itu terjadi pe- rang saudara berkepanjangan, kesengsaraan
ekonomi, tragedi politik dan bahkan tidak jarang juga gerakan pembersihan etnis (genocide). Tradisi
dan warisan budaya, agama dan persaingan . wilayah dalam rangka pengua- saan sumber-sumber
ekonomi, serta sentimen etnisitas dan ke- daerahan yang telah melekat kuat semakin menonjolkan
pe- nampilan perbedaan-perbedaan tersebut. Apalagi ketika ideologi kapitalis dan komunis diadopsi
oleh para elit-politik mereka dalam rangka merespon perang dingin yang mendunia, maka
perbedaan dan heterogenitas yang berarti perang saudara dan kekejaman yang berkepanjangan
yang akhirnya memupus sejumlah harapan masa depan masyarakatnya.
Nasionalisme di banyak ne- gara yang baru merdeka, ironisnya justru berkembang dari primordial
attachment yang diikat secara paksa menjadi satu kesatuan oleh pemerintah kolo- nial. Dengan
demikian, nasio- nalisme yang muncul kemudian setelah kemerdekaan melekat Armaidy Armawi,
Pengembangan Wawasan Nusantara Menuju Ketahanan Nasional
pada pluralisme primordial, Pergeseran loyalitas pada nega- ra sebagai perwujudan dari suatu
negara bangsa (nation state) sedikit banyak mengan- dung elemen keharusan sejarah (historical
necessitate) yang mele- kat pada kolonialisme. Jika ke- adaan ini dibiarkan akan meru- pakan bibit
persoalan yang da- pat mengganggu integritas na- sional, seperti merebak dan menguatnya
perasaan tidak puas, kecemburuan sosial, yang memperkuat sentimen sempit seperti rasa kesukuan,
agama, ras dan regionalisme yang pada gilirannya menjadi bibit disintegrasi bangsa dan negara.
Bagi Indonesia yang memiliki pluralitas etnik, agama, budaya, dan lainnya yang sangat tinggi tidak
luput dari sejumlah per- soalan yang mengganggu baik saatini maupun masa depan. Di Indonesia,
kebhinekaan atau heterogenitas merupakan faktor yang sangat diperhitungkan se- jak awal
berdirinya negara. Elemen ini berkaitan dengan apa yang disebut oleh Clifford Geertz sebagai
primordial sentiment se- bagai lawan dari civil politics. Primordial sentiment atau attach- ments
adalah sifat budaya dan tingkah laku politik pada suku (tribe), daerah (region), agama,
kelompok etnik dan pengelom- pokan-pengelompokan sejenis- nya yang bersifat given”. Halini
dalam banyak hal justru telah menjadi dasar yang kuat dari suatu kekuasaan dan identitas karena
mempunyai sifat pasti dan instant. Dalam ikatan-ikatan sosial semacam ini, kehidupan politik
kenegaraan dipandang sebagai persoalan keluarga, se- mentara kekuasaan dan identi- tas pribadi
atau kelompok dilihat sebagai sesuatu yang abstrak dan tidak menentukan. Keadaan ini kontras
sekali dengan civil poli- tics yang memandang kinerja (performances dan prestasi (merit) bukan
hubungan keluar- ga lebih penting sebagai pertim- bangan.
Masyarakat yang sarat de- ngan primordial sentiment menu- rut Geertz memerlukan suatu
integrative revolution yaitu suatu gerak integrasi masyarakat ke dalam ikatan-ikatan kultural yang
lebih luas dan mendukung pemerintahan nasional. Tanpa gerak integrasi ini, bila timbul sedikit saja
kekecewaan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (sara) akan meningkatkan
potensi meledaknya disintegrasi politik. Dalam hal ini, kemampuan ge- rak integrasi suatu bangsa
dapat diartikan sama dengan pema- haman tentang wawasan na- sional, dan semakin tinggi gerak 4
Jurnal Ketahanan Nasional, XIV (3), Desember 2009
integrasinya semakin tinggi pula tingkat pemahaman mengenai wawasan nasional. Dalam kon- teks
kelIndonesiaan wawasan nasional itulah yang disebut de- ngan wawasan Nusantara. Selanjutnya,
integrasi nasio- nal sebagai produk dari tingkat pemahaman wawasan nasional atau wawasan
Nusantara yang tinggi berarti telah terciptanya suatu identitas bersama sebagai suatu bangsa.
Sementara inte- grasi teritorial di bawah satu kesatuan administrasi adalah syarat utama bagi
integrasi na- sional, tetapi ini tidak berarti bah- wa terlaksananya integrasi terri- torial sama dengan
terjaminnya integrasi nasional (politik). Kesenjangan antara integrasi politik dan integrasi teritorial
pada saat-saat tertentu tampak nyata. Suatu masyarakat yang di satu sisi telah menerima ke-
nyataan adanya kekuasaan ad- ministratif negara, di sisi lain masyarakat tersebut tetap eng- gan
memberikan loyalitas terakhirnya (ultimate loyality). Dengan demikian, integrasi nasional yang utuh
dapat diartikan sebagai suatu pergeseran loyali- tas masyarakat ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih
luas yang termanifestasi pada rasa, ikut serta (sharing) memiliki ke- daulatan. Pertalian keluarga atau
kekerabatan (kinship), per- samaan daerah asal (region)
ataupun identitas etnis tidak lagi sebagai sumber utama dari status dan bentuk tertinggi loyali- tas,
melainkan individu-individu anggota masyarakat mulai ber- usaha menemukan kesempatan untuk
dapat loyal pada komuni- tas yang lebih besar yaitu bangsa atau nation. Ini diikuti dengan
munculnya institusi-institusi tertentu sehingga bentuk-bentuk abstrak dari bangsa (nation) berubah
menjadi konkrit dalam bentuk misalnya, institusi pen- . didikan, dewan-dewan perwa- kilan, partai
politik dan tentara nasional. Partisipasi dalam in- stitusi-institusi semacam itu memberikan
kesempatan pada rakyat banyak untuk bekerja bersama mencapai tujuan sosial tertentu yang
biasanya berada di luar kemampuan kerabat atau kelompok etnisnya secara sendi- ri-sendiri.
Meningkatnya aktivi- tas institusi-institusi ini berakibat pada peningkatan kesejahteraan dan
kekayaan nasional, sehing- ga kedaulatan suatu bangsa menjadi realita dalam bentuk maupun
kenyataan. Pemerintah nasional kemudian memiliki se- gala macam otorita dan dana untuk
memaksakan loyalitas dan kemampuan untuk memberi ganjaran dan hadiah bagi mere- ka yang
loyal atau menghukum- nya bagi yang berbuat sebalik- nya. Armaidy Armawi, Pengembangan
Wawasan Nusantara Menuju Ketahanan Nasional.
2.2 Kajian Inti Sari Bab Kajian Pustaka
Menurut Blando, Kelly, Schneider, dan Sleeman (1989) kesalahan terjadi jika siswa
berhadapan dengan tugas yang sukar sehingga menghadapi jalan buntu, kemudian diatasi
dengan memodifikasi prosedur yang diketahui dan diterapkan pada tugas tersebut. Menurut
Matz (1982) kesalahan merupakan gangguan yang dapat berupa mal-rule, kesalahan
sistematik yang merupakan kesalahan umum berkenaan dengan pilihan yang salah atas teknik
ekstrapolasi, pengetahuan dasar yang kurang, dan kesalahan dalam proses pemecahan
masalah. Pengelompokkan kesalahan menurut Sleeman, Kelly, Martinak, Ward, dan Moore
(1989) terdiri atas: (a) kesalahan tetap, (b) kesalahan yang berkenaan dengan perhatian, (c)
mal-rule, dan (d) kesalahan mengingat, kesalahan hitung, serta kesalahan tulis (Sriati, 1994:
4-5).
BAB III