Anda di halaman 1dari 3

Senjata Perang “murahan” Pemutar Waktu

Perang tak selamanya melibatkan fisik dan senjata tak selalu meninggalkan darah.
Perang menjadi salah satu cara yang ditempuh sejak zaman dahulu ditempuh manusia dalam
perebutan kekuasaan hingga ekspansi wilayah kekuasaan, catatan sejarah menunjukan
berbagai alasan mengapa manusia berperang seperti perebutan kekuasaan Perang Dunia I, II,
dan III; perang salib yang kental dengan alasan agama, hingga peperangan dinusantara untuk
memperoleh kemerdekaan. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK) peperangan juga terus berkembang dengan dampak yang semakain buruk, iptek
bertanggungjawab atas korban jiwa dan kerusakan infrastruktur dengan bom atom pada
perang dunia II, bom kimia di irak, dan juga aksi terorisme diseluruh dunia. Perkembangan
iptek secara tak langsung menjadi mesin pencipta senjata pencabut nyawa. Era revolusi
industri yang terus berkembang hingga sekarang yang berada pada peralihan dari era digital
(industry 3.0) ke nano teknologi (industry 4.0) telah menghasilkan berbagai produk salah
satunya internet. Internet sebagai produk era revolusi industr 3.0 menciptakan berbagai
kemajuan yang sangat bermanfaat bagi manusia, misalnya Online Shop yang menjual
berbagai macam produk dan jasa dan menciptakan berbagai usaha dan lapangan pekerjaan,
media sosial yang menjadi alat komunikasi dan sumber informasi yang paling cepat dan
aktual dan lain sebagainya.

Menghadapi pesta demokrasi 2019, media sosial menjadi pusat informasi yang
dengan mudah menyentuh semua kalangan, berbagai informassi terbagi lewat media sosial
secara bebasa tanpa tersaring secara baik. Bebas dan muranya akses internet dan media sosial
diindonesia kemudian menjadi rentan terhadap penyalahgunaan berupa penyebaran informasi
bohong (hoaks), ujaran kebencian antar golongan sara dan sebagainya. Kondisi politik yang
“meruncing” menjelang pesta demokrasi 2019 diwarnai oleh sempitnya pemikiran berbagai
golongan yang tidak segan jika secara tidak langsung menciptakan konflik mengadu doba dan
memecah kesatuan bangsa Indonesia. Media sosial yang murah bisa saja memutar waktu ke
masa kelam dimana mudahnya bangsa ini di adu domba untuk kepentingan tertentu.

Media sosial menjadi suatu media informasi zaman modern yang dapat diakses oleh
berbagai lapisan masyarakat, facebook, tweeter, instagram, whatsup, line, path, dan masih
banyak lagi “mengalirkan” informasi dengan begitu deras. Menjelang pesta demokrasi 2019,
salah satu konten yang menjadi bahasan hangat media sosial yaitu politik. Politik menjadi
salahsatu kabar terkini yang paling banyak dibagikan/ di retweet dalam media sosial tweeter
menurut www.maxmanroe.com ; selain itu grup facebook “viktor lerik bebas bicara bicara
bebas” yang beranggota 445.000 anggota pengguna facebook dengan basis masyarakat NTT
menjadi media “mengalir”nya informasi politik. Berbagai pro dan kontra terus disajikan di
atas “panggung” murah dan gratisnya internet; konten-konten dari sudut pandang berbagai
pihak disajikan bagi masyarakat, sayangnya kemudahan media informasi yang ada malah
disalah gunakanm dimana informasi yang ada cenderung berisi pandangan yang bersifat
radikal, pandangan golongan tertentu, bahkan fitnah akibat pro dan kontra terhadap suatu
pihak. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pesta demokrasi bahkan dngan mudah
mengolah informasi bohong (hoaks) untuk dibagikan ke masyarakat yang tak disadari mampu
menimbilkan kontra fisik, dan perpecahan bangsa. Menurut direktur badan intelejen negara
(BIN) Indonesia, konten-konten media sosial di Indonesia ternyata didominasi oleh informasi
bohong (hoaks); dari penelitian yang dilakukan informasi hoaksi di media sosial Indonesia
mencapai 60% dari konten media sosial yang ada. Selain itu penelitian BIN juga
membuktikan bahwa masyarakat indonesia sangat rentan terhadap hoaks dikarenakan
pengguna internet yang mencapai 50% masyarakat Indonesia; BIN menilai bahwa fakta tidak
terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi personal.

Selain lembaga dalam negri media informasi internasional “BBC” World juga membuktikan
dengan hasil penelitian bahwa hampir semua warga di Indonesia yang menjadi responden
jajak pendapat oleh BBC World Service mengaku khawatir dengan makin kaburnya
perbedaan antara hoaks (berita bohong atau berita palsu) dan berita asli yang beredar di
internet. Proporsi responden yang mengaku khawatir tersebut mencapai 90%, salah satu yang
tertinggi dari 18 negara yang disurvei oleh BBC World Service. Hanya Brasil yang mencatat
angka lebih tinggi, yaitu 92%. Yang juga banyak mengaku khawatir dengan sulitnya
menentukan apakah berita di internet asli atau palsu adalah Nigeria dengan angka 88% dan
Kenya, 85%. Wartawan teknologi BBC, Rory Cellan-Jones, mengatakan perkembangan ini
terjadi ketika istilah hoaks dan fake news (berita palsu) makin populer dalam setahun ini di
banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.

Mengacu pada angka-angka hasil penelitian yang ada oleh beberapa pihak diatas
menunjukan bahwa media sosial yang bebas, murah dan tak bertanggung jawab secara tidak
langsung mrnjadi senjata peperangan politik dizaman ini. Indonesia dengan tingkat
kecendurungan yang ada pada data diatas menjadi sangat rentan dan sangat mudah
dipolitisasi dengan berita bohong. Kondisi moral dan mental berbagai pihak yang haus akan
kekuasaan sangat mudah membagi informasi bohong yang dapat memecah bangsa demi
tujuan mereka. Kondisi media sosial ini dilihat sebagai suatu cara ampuh yang mampu
dengan mudah membangun opini publik. Mengingat akan masa kelam dimana bangsa
Indonesia sangat mudah di jatuhkan oleh bangsa penjajah dengan politik adu domba maka
media sosial saat ini bisa saja menjadi senjata murahan pemutar waktu yang merusak bangsa.
Oleh karena itu mahasiswa sebagai masyarakat dan juga sebagai bagian dari institusi
pendidikan marilah kita lebih cermat dalam mengelolah dan menerima informasi yang
beredar dengan begitu mudahnya, dengan pemahaman akan kondisi yang ada, hendaknya kita
menjadi “pnerang” yang terus menjaga kebersatuan bangsa dari politisasi dan senjata
murahan “media sosial”, dengan demikian kita tetap menjagai nilai sumpah pemuda
Indonesia sebagai semangat kebersatuan Bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai