Meresahkan Warga
29 September 2017 - 7:31 AMolehTugi Widi
Edukasi kesehatan jiwa masyarakat Puskesmas Wonosari I, 18 September 2017.
Dok: Swara/Kandar.
Awal minggu lalu, saya dan teman-teman Imaji diundang untuk mengikuti
edukasi kesehatan jiwa di Balai Desa Karangrejek Wonosari. Acara tersebut
dihadiri para kades, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan Babinkamtibmas
dalam lingkup wilayah kerja Puskesmas Wonosari I. Hadir pula Camat
Wonosari, Kepala dan staf Puskesmas Wonosari I, pejabat dari Dinkes
Gunungkidul, pejabat dari RSUD Wonosari, dan pejabat dari Dinsos
Gunungkidul. Pusrehab Yakkum Yogyakarta menjadi inisiator kegiatan. Acara
edukatif ini merupakan bagian dari program pendampingan psiko-sosio-
ekonomi Pusrehab Yakkum kepada warga penyandang disabilitas mental di
wilayah kerja Puskesmas Wonosari I dan Puskesmas Wonosari II.
Jelas, kegiatan semacam ini bukan acara penuh gebyar seperti pertunjukan
ndangdut atau campursari, yang bisa mendatangkan ratusan atau ribuan peserta
terhipnotis berjoged dan ikut menyanyi. Jelas tidak mungkin. Namun, dengan
jumlah peserta yang terbatas ini ternyata mereka mengikuti setiap sesi dengan
antusias. Minat peserta terhadap topik pertemuan dengan gamblang terlihat dari
pertanyaan, uneg-uneg, dan juga permintaan yang meluap-luap mereka
lontarkan. Ya, meskipun terkadang ada pertanyaan atau uneg-uneg itu terlontar
ungkapan yang rada aneh atau janggal. Itulah pertanda, bahwa masalah
kesehatan jiwa sesungguhnya adalah problematika yang lekat dengan kehidupan
sehari-hari.
Data jumlah penyandang disabilitas fisik dan mental yang tercatat dalam
Gunungkidul Dalam Angka 2015 menunjukkan besaran serupa, bahkan
jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan prakiraan tadi. Pada tahun 2014,
Dinsos GK mencatat ada 2.358 penyandang masalah psikotik dan retardasi
mental. Tercatat wilayah dengan jumlah penyandang terbesar sebanyak 240 ada
di Kecamatan Wonosari dan Kecamatan Semin. Sementara wilayah dengan
penyandang paling sedikit adalah wilayah Kecamatan Tepus sebanyak 52.
Memang masih tercampur antara jumlah penderita gangguan psikotik dan
penderita retardasi mental. Tetapi, melihat data yang hampir 2 kali lipat dari
prakiraan awal tadi, sekali lagi menunjukkan permasalahan kesehatan jiwa tidak
bisa dianggap remeh. Apalagi hanya sebatas dipakai sebagai obrolan diskusi
pemanis pertemuan.
Dari pertemuan minggu lalu itu, saya sempat mencatat beberapa pertanyaan
penting, juga uneg-uneg dan pandangan dari para peserta pertemuan. Pak
Riswanto, perawat jiwa dari Puskesmas Wonosari I menyampaikan pengalaman
menarik, bagaimana upaya yang dilakukan untuk menangani warga yang
mengalami gangguan jiwa. Ada warga rawatan gangguan jiwa yang rajin
berobat, dan bahkan mampu beraktivitas produktif berkarya dengan berjualan
bubur ayam. Sanak-familinya sangat menyayangi dan mendukung proses
kesembuhannya. Kepada Pak Ris, warga tersebut mengaku, kalau tidak
meminum obat rutin sebagaimana anjuran dokter, ia justru malah merasa mumet
dan tidak bisa berkarya.
Pengalaman lain, Pak Ris juga mendapati beberapa warga yang mengalami
kesulitan untuk bisa melakukan pengobatan rutin dan disiplin meminum obat
anjuran dokter. Menurutnya, hal ini menjadikan sering terjadinya kekambuhan
dan kondisi menjadi lebih sulit. Ia juga menuturkan, ada beberapa warga dengan
gangguan jiwa masih kesulitan mendapatkan perawatan medis karena belum
memiliki BPJS/KIS/Jamkesmas. Penyebabnya karena ia tidak memiliki KTP.
Pak Ris juga menyampaikan, pada saat ini warga dengan gangguan jiwa yang
rutin berobat dan mengakses Puskesmas ada 59 warga (Mulo 9, Duwet 6,
Karangrejek 9, Siraman 12, Pulutan 7, Wareng 10, Wunung 10).
Pak Sukardi, Ketua BPD Pulutan dengan berapi-api meminta agar pemerintah
lebih giat mengadakan penyuluhan kesehatan jiwa langsung ke desa-desa.
Menurutnya, itu penting dilakukan agar masyarakat memiliki kesadaran arti
pentingnya kesehatan jiwa dan penanggulangannya apabila menghadapi
masalah kesehatan jiwa. Ia berharap agar para ketua RT/RW dibekali
pemahaman permasalahan kesehatan jiwa. Para ketua RT/RW dilibatkan dalam
upaya penanggulangan, karena mereka adalah ujung tombak sesungguhnya
dalam kehidupan masyarakat di wilayahnya.
Salah satu peserta tokoh masyarakat (nama tidak saya sebut) menyampaikan
uneg-unegnya. Ia merasa tergugah untuk mengatasi warga yang mengalami
gangguan jiwa di lingkungannya, yang menurutnya disebut sebagai
“MERESAHKAN WARGA“. Meresahkan warga, menurutnya karena
masyarakat menjadi resah, masyarakat menjadi takut karena orang itu dianggap
bisa mengamuk dan membahayakan masyarakat. DI sisi lain, kondisi seperti ini
menjadikan warga bingung, harus apa dan bagaimana untuk menanggulanginya.
Ia kemudian menyampaikan data jumlah ODGJ di lingkungannya, gambaran
kondisinya, dan tempat tinggalnya. Yang menarik, dari uneg-uneg bapak tadi
menunjukkan sebuah pernyataan ambigu.
Apabila diasumsikan jumlah gangguan psikotik itu 50% dari data tercatat tahun
2014, maka seandainya dalam setahun penderita melakukan perawatan rutin
bulanan ke RS/puskesmas maka terdapat setidaknya = 1150 penderita x 12 kali
= 13.800 kunjungan ke RS/puskesmas. Apabila perawatan dilakukan masih
bolong-bolong 2 bulan sekali, maka setidaknya terdapat 6.900 kunjungan ke
RS/puskesmas. Sekali lagi, dari studi kasus gangguan psikotik ini menunjukkan,
bahwa problema kesehatan jiwa di Gunungkidul tidak bisa dianggap masalah
sepele. Di luar gangguan psikotik, sesungguhnya juga dikenal gangguan non
psikotik (mulai dari personality disorder, trance, depresi, PTSD, dll.) yang
sesungguhnya juga membutuhkan perhatian dan penanganan pula.
ODGJ atau orang dengan gangguan jiwa dan ODMK atau orang dengan
masalah kejiwaan adalah istilah yang diperkenalkan dalam UU No.18 Tahun
2014. Istilah ODGJ dan ODMK memang bukanlah istilah diagnosis dalam
dunia kedokteran. Namun, istilah tersebut merupakan definisi formal yang
diamanatkan UU Kesehatan Jiwa agar kita mampu “nguwongke uwong”.
Memanusiakan manusia. Kepada sesama kita yang mengalami gangguan
kondisi kesehatan dengan tidak secara mudah men-cap penderita gangguan jiwa
sebagai “orang gila”, “wong edan”, “wong gendeng”, dlsb itu.
Riset membuktikan, bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh berbagai faktor yang
dikelompokkan sebagai: 1) faktor organo-biologik, 2) faktor psiko-
developmental, dan 3) faktor lingkungan. Siapapun pasti paham, tidak ada orang
ingin hidup dalam kondisi mengalami permasalahan atau gangguan jiwa.
Namun, ada sesuatu yang “given” atau “nature” yang memang mau tidak mau
diterima apa adanya sebagai manusia dengan plus-minus sifat bawaannya secara
biologic. Ada sesuatu yang terkait dengan proses tumbuh-kembangnya dari
bayi, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, sampai dewasa. Di sini kita perlu
hati-hati dan memberi perhatian lebih, jangan sampai proses tumbuh kembang
anak kita terganggu. Bullying dan juga pelecehan seksual pada masa anak dan
remaja dapat berakibat fatal pada gangguan kesehatan jiwa. Observasi saya dan
teman-teman di lapangan, kondisi bullying dan seksual abuse pada masa
pembentukan diri ini ada banyak terjadi di Gunungkidul. Kemudian ada pula
faktor-faktor lingkungan yang bisa menjadi pencetus gangguan jiwa. Faktor
lingkungan ini tidak bisa dianggap remeh pula.
Dalam pertemuan itu, kawan saya, mas Sigit Wage melaporkan temuan
permasalahan ODGJ di desanya. Asmah adalah salah satu warga Desa
Karangduwet Paliyan yang mengalami gangguan jiwa. Asmah pernah
berkeluarga dan dikaruniai anak. Barangkali karena stigma ODGJ yang masih
berat itu menjadikan sang suami pendamping hidupnya memilih pergi
meninggalkan Asmah. Saat kurang fit, Asmah terkadang berjalan ke sana ke
mari tak tentu arah. Ia terkadang dianggap mengganggu dan meresahkan
masyarakat. Sesungguhnya yang terjadi, justru ada anggota masyarakat yang
suka mengganggu Asmah.
Kehidupan terus berjalan, suatu hari ada gagasan dari para tokoh, bagaimana
cara menyelamatkan Asmah. Ada yang usul, “piye nek Asmah kui di-KB-ke wae,
ben aman …….” Di sinilah, sesungguhnya kita menjadi
dipahamkan, sakjane apa yang disebut ODGJ, apa yang disebut ODMK, dan
apa yang disebut edan atau gila yang sebenar-benarnya itu.
Menjadi Desa Ramah Sehat Jiwa
Mei 2017 lalu, saya dan teman-teman mendapatkan kesempatan untuk ngangsu
kawruhperihal kesehatan jiwa ke sebuah desa di pelosok tenggara Gunungkidul.
Desa Petir di Kecamatan Rongkop, sebuah desa yang benar-benar
menggambarkan situasi dan kondisi “adoh ratu cedhak watu“. Desa yang jauh
dari pusat ibukota kabupaten. Sulitnya aksesibilitas wilayah karena jarang
hampir tidak ada angkudes yang beroperasi. Bepergian sekali jalan dari Petir ke
Wonosari atau sebaliknya setidaknya mesti merogoh kocek 35-40 ribu rupiah.
Bayangkan, apabila ada warga yang harus rutin bulanan berobat ke RSUD
Wonosari atau ke RS di Kota Yogyakarta.
Tetapi, sungguh menjadi sebuah kebanggaan dan kelegaan di hati, ketika Pak
Sarju sang Kepala Desa menyatakan kami tidak lagi menyebut “gila” atau
“edan” kepada warga kami yang mengalami gangguan jiwa. Kisah lengkapnya
bisa dilihat di video berikut:
“Kami yakin dan percaya, bahwa orang dengan gangguan jiwa itu dapat
disembuhkan dengan pengobatan medis dan dukungan masyarakat. Buktinya
ada, warga kami yang mengalami gangguan jiwa bisa sembuh setelah kami
bersama-sama mengupayakan pengobatan medis dan memberi dukungan di
rumah setelah perawatan di rumah sakit,” ujar pak Kades dengan mantap.
Ada satu pepatah dari Mas Pratama Windarta, pegiat komunitas Lentera Jiwa
Rongkop yang menggugah semangat, “Kami warga desa berusaha bahu-
membahu, sebaya mukti sebaya mati untuk kesehatan jiwa masyarakat.”