TESIS
DINA NURDIANA
0906565330
i
IIALAMAN PER}IYATAAII ORISINALITAS
NPM
Tanda Tangan
Tanggal
HALAMAN PENGESAHAN
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I : Prof. dr. Bambang Hermani, Sp.THT-KL(K)
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 16 Januari2015
III
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, karunia
dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu
tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam
menyelesaikan pendidikan spesialis dan tersusunnya tesis ini.
Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr. Ratna Sitompul,
SpM, dan kepada Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, Sp.PD-K.Ger, M.Epid,
FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat Negeri Dr.
Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM), saya ucapkan terima kasih atas izin dan
kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan
pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher (THT-KL) FKUI/ RSUPN-CM.
Pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya
kepada Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL (K) sebagai Ketua Departemen THT-KL
FKUI/ RSUPN-CM telah memberi kesempatan kepada saya untuk belajar di
Departemen ini, serta atas didikan, bimbingan, nasehat, dorongan, dan teladan
yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini. Terima kasih yang
sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Dr. Nina Irawati, Sp.THT-KL (K) sebagai
Ketua Program Studi Departemen Ilmu Penyakit THT FKUI/ RSUPN-CM atas
bimbingan, arahan, nasihat, dukungan serta kemudahan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan ke pada Dr. dr.
Susyana Tamin, SpTHT-KL(K) sebagai Koordinator Penelitian dan
iv
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
Pengembangan Departemen THT FKUI/ RSUPN-CM yang telah memberikan
dukungan dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah dan telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk mengembangkan diri. Kepada dr. Ronny Suwento,
SpTHT-KL(K) sebagai Koordinator Pelayanan Masyarakat Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM, saya ucapkan terima kasih atas nasihat, bimbingan dan
dukungan yang telah diberikan selama pendidikan.
Kepada para Ketua Divisi THT-KL FKUI/RSUPN-CM dr. Zanil Musa, SpTHT-
KL(K), dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL(K), dr. Umar Said Dharmabakti,
SpTHT-KL(K), dr. Syahrial M. Hutauruk, SpTHT-KL(K), dr. Ronny Suwento,
SpTHT-KL(K), dr. Widayat Alviandi, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Dini Widiarni,
SpTHT-KL(K), dr. Nina Irawati, SpTHT-KL(K) dan Dr. dr. Susyana Tamin,
SpTHT-KL(K), saya sampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya.
Saya sampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen THT-KL
FKUI/RSUPN-CM, dr. Endang CH Mangunkusumo, SpTHT-KL(K), dr. Umar
Said Dharmabakti, SpTHT-KL(K), dr. Alfian Farid Hafil, SpTHT-KL(K), Prof.
Dr. dr. Jenny Bashiruddin, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Trimartani, SpTHT-KL(K), dr.
Armiyanto, SpTHT-KL(K), dr. Zanil Musa, SpTHT-KL(K), DR. dr. Dini
Widiarni, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Semiramis Zizlavsky, SpTHT-KL(K), Dr. dr.
Susyana Tamin, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Ratna D Restuti, SpTHT-KL(K), dr.
Widayat Alviandi, SpTHT-KL(K), Dr. dr. Retno S Wardani, SpTHT-KL(K), dr.
Syahrial MH, SpTHT-KL(K), dr. Marlinda Adham Y, SpTHT-KL(K), dr. Arie
Cahyono, SpTHT-KL(K), dr. Brastho Bramantyo, SpTHT-KL(K), dr. Rusdian
Utama, SpTHT-KL, dr. Niken Lestari, SpTHT-KL, dr. Elvie Zulka, SpTHT-KL,
v
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
dr. Tri Juda Airlangga, SpTHT-KL, Dr. dr. Mirta Hediyati, SpTHT-KL(K), dr.
Fauziah Fardizza, SpTHT-KL, dr. Rahmanofa Yunizaf, SpTHT-KL, dr. Harim
Priyono, SpTHT-KL, dr. Fikry Hamdan Yasin, SpTHT-KL, dr. Ika Dewi
Mayangsari, SpTHT-KL, dr. Febriyani Endiyarti, SpTHT-KL dan dr. Ashadi
Budi, SpTHT-KL atas segala bimbingan dan dukungan yang telah diberikan
selama saya menjalani pendidikan ini.
Kepada Kepala Departemen THT RSUP Fatmawati dr. Syafrudin, Sp. THT-KL
serta seluruh staf pengajar dr. Sri Susilawati, Sp. THT-KL, dr. Sita A. Rasad, Sp.
THT-KL, dr. Zainal Adhim, Sp. THT-KL,PhD, dr. Heditya, Sp. THT-KL, dr.
Diana Rosalina, Sp. THT-KL, dr. Vicky Riyadi, Sp. THT-KL, dan Dr. Rully
Hardiansyah, Sp. THT-KL atas bimbingan, arahan dan nasihat pada saat saya
menjalani pendidikan di RSUP Fatmawati, demikian juga seluruh paramedis dan
karyawan-karyawati khususnya di bagian THT RSUP Fatmawati.
Dalam menghimpun dan menyelesaikan karya ilmiah akhir ini, dengan tulus dan
rasa hormat saya ucapkan terima kasih kepada seluruh pembimbing penelitian
saya Prof. dr. Bambang Hermani, SpTHT-KL(K), dr. Syahrial M. Hutauruk,
SpTHT-KL(K), Dr. dr. Saptawati Bardosono, MSc. yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing, memberi arahan dan dukungan dalam menyelesaikan tugas
akhir ini. Rasa terima kasih yang mendalam saya haturkan kepada DR. dr.
Semiramis Zizlavsky, SpTHT-KL(K) dan dr. Fauziah Fardizza, SpTHT-KL yang
vi
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
membantu dan memberikan masukan sangat berarti dalam penyelesaian karya
ilmiah ini. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada ibu Hermi dan bapak
Endy di Unit Pelayanan Rekam Medis dan Administrasi Pasien Rawat Inap
RSCM untuk bantuannya dalam pengumpulan data.
Ucapan terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada mentor saya Dr. dr. Dini
Widiarni, SpTHT-KL(K) yang telah membimbing, memberi dukungan dan
semangat hingga saya menyelesaikan pendidikan ini.
Rasa hormat dan ucapkan terima kasih saya haturkan kepada Bp. Asep Awaludin,
Bp. Momod, Bp. Richard(Alm), Ibu Siti, Mba Ririn, Mba Sarah, Mba Emi, Mas
Heru dan rekan-rekan karyawan yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang
telah memberi kontribusi yang sangat besar terhadap penelitian dan dalam
menyelesaikan masa pendidikan saya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada seluruh paramedis IGD RSUPN-CM, perawat THT Public Wing lantai 7,
perawat IBP RSUPN-CM atas bantuan kerjasama yang telah diberikan kepada
saya dalam melaksanakan tugas sehari-hari selama masa pendidikan ini.
Terima kasih pada sahabat-sahabat saya, dr Duhita Yassi, dr Hastuti Rahmi, dr.
Afrina Yanti, Sp. THT-KL, dr Yadita Wira Pasra, Sp. THT-KL, dr Sakina Umar,
Sp.THT-KL, dr. Dwi Agustawan, Sp.THT-KL, dr Gustav Syukrinto, Sp. THT-
KL, dr. Riski Satria P. dan seluruh teman sejawat peserta Program Studi
Departemen THT-KL FKUI/RSUPN-CM yang tidak dapat saya sebutkan satu
persatu, terima kasih atas bantuan, kebersamaan, kerjasama, pengorbanan,
dukungan serta persahabatan dalam suka dan duka yang telah terjalin dalam
mengikuti pendidikan ini.
Karya ilmiah ini saya persembahkan untuk yang saya cintai dan selalu
memberikan dukungan, doa, pengertian, pengorbanan, dan kasih sayang selama
saya menyelesaikan pendidikan. Terima kasih dan rasa sayang yang tak terhingga
untuk mamah dan papah tercinta Tjutju Subardiah dan Ir. Dachlan R. Suhadi atas
cinta dan kasih sayang sepanjang masa, doa yang terlantun dan tidak pernah putus
vii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
dalam membesarkan, mendidik dan mendukung saya hingga saat ini. Semoga
Allah SWT memberikan kesembuhan dan kesehatan. Untuk kakakku tercinta, dr.
Mira Roziati Dachlan, MARS yang selalu memberikan dukungan, doa, semangat
dan kebahagian saya ucapkan rasa sayang dan terimakasih saya.
Akhir kata, izinkanlah saya memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan
dan kekhilafan yang telah saya perbuat selama masa pendidikan ini. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan rahmat, berkah dan magfirah-Nya kepada kita
semua. Semoga ilmu yang saya dapatkan bermanfaat bagi masyarakat. Amin yaa
Robbal Alamin.
Dina Nurdiana
viii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
HALAMAN PER}IYATAAII PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTTJK KEPENTINGAN AKADEMIS
NPM 0906565330
Program Studi Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher
Fakultas Kedokteran
lx
x
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
ABSTRACT
xi
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS……………………………….....ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………..iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
BAB I …………………………………………………………………………........1
1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………….1
1.2 MASALAH PENELITIAN………………………………………………….4
1.3 TUJUAN PENELITIAN ............................................................................... 4
1.3.1. Tujuan umum ........................................................................................ 4
1.3.2. Tujuan khusus ....................................................................................... 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN ........................................................................... 5
1.4.1. Bagi pelayanan masyarakat ................................................................... 5
1.4.2. Bagi institusi ......................................................................................... 5
1.4.3. Bidang akademik ................................................................................... 5
BAB 2 ..................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6
2.1 DEFINISI ...................................................................................................... 6
2.2 KEKERAPAN .............................................................................................. 7
2.3 ANATOMI .................................................................................................... 8
2.4 INDIKASI TRAKEOSTOMI ..................................................................... 11
2.4.1 Sumbatan jalan napas atas .................................................................... 12
2.5 KLASIFIKASI TRAKEOSTOMI .............................................................. 14
2.6 TEKNIK TRAKEOSTOMI ........................................................................ 15
2.7 JENIS KANUL TRAKEOSTOMI........................................................... 18
2.8 KOMPLIKASI TRAKEOSTOMI ........................................................... 19
2.8.1 Komplikasi Intraoperatif .................................................................. 21
2.8.1.1 Perdarahan Intraoperatif ................................................................ 21
xii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
2.8.1.2 Cedera laring dan trakea................................................................ 23
2.8.1.3 Fistel trakeoesofagus intraoperatif ................................................ 23
2.8.1.4 Pneumotorak ................................................................................. 24
2.8.1.5 Pneumomediastinum……………………………………………...26
2.8.1.5 Emboli udara ................................................................................. 27
2.8.1.6 Cardiopulmonary Arrest ............................................................... 28
2.8.1.7 Kebakaran Intraoperatif ................................................................ 29
2.8.2 Komplikasi Dini Pascaoperatif ........................................................ 31
2.8.2.1 Perubahan posisi kanul trakeostomi .............................................. 31
2.8.2.2 Sumbatan kanul trakeostomi ......................................................... 32
2.8.2.3 Perdarahan pascaoperatif .............................................................. 33
2.8.2.4 Infeksi ........................................................................................... 35
2.8.2.5 Emfisema subkutis ........................................................................ 37
2.8.2.6 Edema paru pascasumbatan jalan napas ....................................... 38
2.8.2.7 Gangguan menelan……………………………………………......38
2.8.3 Komplikasi Lambat Pascaoperatif ................................................... 38
2.8.3.1 Jaringan granulasi pada stoma ...................................................... 39
2.8.3.2 Fistel trakeoesofageal lambat ........................................................ 40
2.8.3.3 Fistel trakeokutan .......................................................................... 40
2.8.3.4 Stenosis sublotis dan trakea .......................................................... 42
2.10 PERAWATAN PASCATRAKEOSTOMI ............................................. 42
2.11 DEKANULASI ....................................................................................... 44
2.12 FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KOMPLIKASITRAKEOSTOMI ………………………………………45
2.13 KERANGKA TEORI …………………………………………………..47
BAB 3 ................................................................................................................... 49
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 49
3.1 JENIS PENELITIAN .................................................................................. 49
3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN .................................................... 49
3.3 POPULASI DAN SUBJEK ....................................................................... 49
3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................................... 49
3.3.2 Subjek Penelitian ................................................................................. 49
xiii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
3.4 BESAR MINIMAL SUBJEK ..................................................................... 49
3.5 TEKNIK SAMPLING ............................................................................... 50
3.6 KRITERIA PENERIMAAN DAN PENOLAKAN .................................... 50
3.6.1 Kriteria Penerimaan ............................................................................ 50
3.6.2 Kriteria Penolakan ............................................................................... 50
3.7 PROSEDUR PENELITIAN ....................................................................... 50
3.7.1 Alat ...................................................................................................... 50
3.7.2 Alur Penelitian .................................................................................... 50
3.7.3 Manajemen dan Analisa Data .............................................................. 51
3.8 DEFINISI OPERASIONAL ...................................................................... 52
3.9 HAMBATAN PENELITIAN .................................................................... 58
3.10 ETIKA PENELITIAN ............................................................................. 58
3.11 ORGANISASI PENELITIAN ................................................................. 59
BAB 4 .................................................................................................................. 60
HASIL PENELITIAN………………………………………………………….....60
4.1 Hasil Analisis Univariat ............................................................................. 60
4.1.1 Karakteristik subjek penelitian ................................................................. 60
4.1.2 Sebaran jenis komplikasi trakeostomi...................................................... 63
4.1.2.1 Sebaran jenis komplikasi intraoperatif .............................................. 63
4.1.2.2 Sebaran jenis komplikasi pascaoperatif ............................................ 64
4.2 Hasil Analisis Bivariat ............................................................................... 64
4.2.1 Hubungan karakteristik subjek trakeostomi terhadap komplikasi ....... 64
4.3 Analisis Multivariat .................................................................................... 66
BAB 5 .................................................................................................................. 68
PEMBAHASAN ................................................................................................... 68
5.1 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 68
5.2 Karakteristik Subjek Penelitian .................................................................. 68
5.3 Sebaran Jenis Komplikasi Trakeostomi ...................................................... 71
5.4 Hubungan Karakteristik Subjek Trakeostomi terhadap Komplikasi .......... 73
BAB 6 .................................................................................................................. 76
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 76
6.1 Kesimpulan ................................................................................................ 76
xiv
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
6.2 Saran ........................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79
LAMPIRAN ......................................................................................................... 83
xv
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
xvi
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR TABEL
xvii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
xviii
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada prosedur trakeostomi dapat timbul berbagai komplikasi yang terjadi selama
operasi berlangsung maupun pascaoperatif. Komplikasi berdasarkan waktu dibagi
menjadi tiga yaitu komplikasi intraoperatif, komplikasi dini pasca operatif dan
komplikasi lambat pascaoperatif. Komplikasi intraoperatif di antaranya adalah
perdarahan, cedera laring dan trakea, udem paru. Komplikasi dini pasca operatif
seperti emfisema subkutis, perubahan posisi kanul trakeostomi, sumbatan kanul
trakeostomi, perdarahan pasca trakeostomi, infeksi dan Pneumomediastinum.
Komplikasi lambat pascaoperatif seperti jaringan granulasi, stenosis subglotik dan
fistel. Komplikasi trakeostomi bervariasi dari skala ringan hingga berat.
Komplikasi dikatakan berat karena dapat menyebabkan kematian. Komplikasi
skala berat seperti pneumomediastinum berat, perdarahan pada pembuluh darah
besar dan cardiopulmonary arrest. Komplikasi trakeostomi tersebut dapat terjadi
pada trakeostomi darurat maupun elektif.4, 5
1 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
2
Gilyoma dkk.9 pada tahun 2011 melakukan penelitian pada suatu institusi di
Tanzania. Penelitian tersebut melaporkan komplikasi trakeostomi pada 293 pasien
dalam kurun waktu 10 tahun. Rasio antara pria lebih besar dibandingkan wanita
yaitu 3,1:1. Usia pasien mayoritas adalah dekade ketiga. Indikasi trakeostomi
terbanyak adalah sumbatan jalan napas atas sekunder akibat trauma (55,1%),
disusul sumbatan jalan napas atas akibat keganasan (39,3%). Tindakan
trakeostomi terbanyak adalah trakeostomi darurat (80,4%). Komplikasi
pascatrakeostomi adalah 21,5%. Pada penelitian ini juga didapatkan kasus
komplikasi trakeostomi darurat (80,4%) lebih tinggi dibandingkan elektif. Angka
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
3
Halum dkk.10 pada tahun 2011 melaporkan komplikasi trakeostomi pada 1.175
pasien pada 8 institusi di Amerika Serikat dalam kurun waktu 2 tahun. Tindakan
trakeostomi tersebut dilakukan oleh dokter THT-KL sebanyak 66,2% dan
selebihnya dilakukan oleh bedah umum, bedah torak, bedah plastik dan lain-lain.
Angka komplikasi intra operatif termasuk jarang (1,4%) dibandingkan komplikasi
dini pascaoperatif (5,6%) dan komplikasi lambat pascaoperatif (7,1%). Angka
kematian pasien trakeostomi saat dirawat di rumah sakit cukup tinggi sebesar
22%, namun dari kasus kematian tersebut hanya 10 kasus (0,85%) berhubungan
dengan komplikasi trakeostomi. komplikasi tersebut adalah lima kasus
intraoperatif, 5 kasus pascaoperatif (4 kasus akibat mucus plug dan satu kasus
accidental decanulation). Dari 5 kasus kematian intraoperatif tidak satupun yang
dilakukan oleh ahli THT. Komplikasi dini pascaoperatif terbanyak adalah
perdarahan (2,6%) sedangkan komplikasi lambat pascaoperatif terbanyak adalah
stenosis jalan napas (1,7%). Penggunaan kanul endotrakea ukuran besar (>7,5)
dan obesitas merupakan faktor risiko terbesar terjadinya stenosis jalan napas.
Pada tahun 1984, Abdullah11 melakukan penelitian tentang aspek THT penderita
penyakit difteri pada periode Januari 1979 sampai Desember 1981 di Departemen
THT RSCM. Pengambilan sampel diambil dari data sekunder yaitu rekam medis.
Dari 538 penderita difteri, trakeostomi dilakukan pada 333 penderita (61,9%)
yang seluruhnya dengan indikasi sumbatan jalan napas atas. Trakeostomi
terbanyak dilakukan pada kelompok usia 2-4 tahun sebesar 152 penderita.
Komplikasi trakeostomi yang ditemukan adalah 44 kasus bronkopneumonia, 25
kasus apneu dan henti jantung, 12 kasus pneumonia aspirasi, 13 kasus sumbatan
kanul, 8 kasus pneumomediastinum, 4 kasus emfisema subkutis, 3 kasus
perdarahan pascatrakeostomi dan 2 kasus stenosis trakea.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
4
Sejak itu belum ada data mengenai komplikasi trakeostomi di Departemen THT-
KL RS Cipto Mangunkusumo (40 tahun). Pada periode Januari 2011 sampai
Desember 2013 di Departemen THT-KL RSCM didapatkan kasus trakeostomi
sebesar 175 kasus. Dari kasus trakeostomi tersebut peneliti ingin mendapatkan
data proporsi komplikasi, sebaran jenis komplikasi dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan komplikasi trakeostomi pada kurun waktu 3 tahun tersebut.
Dengan adanya data tersebut diharapkan dapat menjadi acuan para ahli THT-KL
dan ahli lain sebagai pertimbangan operator untuk menghindari terjadinya
komplikasi.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
5
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Trakeostomi adalah pembuatan lubang pada dinding anterior trakea untuk
memintas jalan napas atas.1, 2
McClelland yang dikutip oleh Goldenberg8
menyatakan kata trakeotomi berasal dari dua kata Yunani yang artinya memotong
trakea. Tindakan trakeotomi dulu disebut dengan beberapa istilah, antara lain
laringotomi, bronkotomi hingga istilah trakeotomi diperkenalkan oleh Heister
pada tahun 1718.
Pada awalnya trakeostomi sering dilakukan dengan indikasi sumbatan jalan napas
atas, namun saat ini sejalan dengan kemajuan unit perawatan intensif, trakeostomi
lebih sering dilakukan atas indikasi intubasi lama (prolonged intubation) dan
penggunaan mesin ventilasi dalam jangka waktu lama.1, 15
6 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
7
2.2 KEKERAPAN
Prevalensi komplikasi trakeostomi berkisar 5%-65%. Peningkatan komplikasi
trakeostomi terjadi pada kelompok pasien anak, pasca cedera kepala, obesitas dan
luka bakar. 5
Streatmans dkk.16 pada penelitiannya menjelaskan bahwa dari 295 pasien yang
menjalani prosedur trakeostomi, 193 pasien adalah laki-laki (63,7%). Trakeostomi
dilakukan di unit perawatan intensif pada 241 pasien (81,7%) dengan
menggunakan mesin ventilator dengan rata-rata usia pasien adalah 57,8 tahun dan
dengan kisaran usia 15-96 tahun. Seratus enam puluh pasien (57,7%) berusia
antara 50-70 tahun. Total komplikasi yang terjadi sebanyak 94 orang (31%).
Delapan puluh enam pasien (28,4%) mengalami komplikasi ringan seperti
perdarahan intra operatif, kerusakan jaringan lunak, emfisema subkutis dan
pneumomediastinum; sedangkan 8 pasien (2,6%) mengalami komplikasi berat
berupa perdarahan yang hebat dan fistel pada trakea.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
8
rumah sakit. Pada penelitian didapatkan bahwa 150 pasien (60,2%) lebih muda
dari 1 tahun dengan indikasi utama adalah ventilasi lama (n=156; 62,6%), stenosis
subglotis (n = 34; 13,6%), kelainan cranio-fasial kongenital atau didapat (n=25,
10%) dan kelainan kongenital saluran napas (n=24; 9,6%). Penyakit primer yang
paling sering adalah penyakit saraf (n=126; 50,6%) dan penyakit pernapasan
(n=98; 39,3%). Komplikasi terjadi pada 117 pasien (46,9%). Kematian yang
berkaitan dengan penyakit yang mendasarinya sebesar 12,5%, sedangkan yang
terkait langsung dengan trakeostomi hanya 3,2%.
2.3 ANATOMI
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring,
laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus yang dilapisi oleh membran mukosa
bersilia.18
Laring merupakan pintu masuk jalan napas atas yang berfungsi untuk proteksi,
batuk, respirasi, sirkulasi, menelan serta fonasi (gambar 2.1). Fungsi laring untuk
proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
9
dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan. Terjadinya
penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat kontraksi
otot-otot ekstrinsik laring supra hyoid dan menutupnya pita suara akibat gerakan
otot-otot intrinsik laring. Menutupnya pita suara terjadi akibat kartilago aritenoid
bergerak ke depan akibat kontraksi muskulus arytenoid tranversa dan muskulus
krikoaritenoid lateral. Muskulus Ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.2
Trakea terletak di tengah dari leher namun makin ke distal bergeser ke arah kanan
kemudian masuk ke rongga mediastinum di belakang manubrium sterni. Trakea
sangat elastis, panjang dan letaknya berubah-ubah tergantung pada posisi kepala
dan leher. Ekstensi maksimal dari leher akan menambah panjang trakea
supraklavikula (gambar 2.2).2 Lumen trakea ditunjang oleh kira-kira 18 sampai 22
cincin tulang rawan yang bagian posteriornya tidak bertemu.20 Di antara kartilago
krikoid dengan fossa sternalis terdapat 11 cincin trakea dan panjang leher antara
kartilago krikoid dengan fossa sternalis sekitar 6,9-8,2cm (gambar 2.3).21 Trakea
berbentuk pipa yang terdiri dari kartilago dan membran dengan panjang 11 cm.
Batas atas trakea adalah kartilago krikoid dan batas bawah trakea adalah karina
yaitu cincin trakea yang paling bawah meluas ke inferior dan posterior di sebelah
dalam, di antara bronkus utama kanan dan kiri, membentuk sekat yang lancip.
Dinding belakang terdiri dari membran, dinding anterior dan lateral dibentuk oleh
cincin kartilago semisirkular.3 Panjang trakea sekitar 12 cm pada pria dan 10 cm
pada wanita. Diameter anterior posterior rata-rata 13 mm, sedangkan diameter
tranversal rata-rata 18 mm.2
Pada kelompok usia anak, ukuran trakea lebih kecil dan letaknya pun lebih dalam
dibandingkan kelompok usia dewasa. Posisi percabangan trakea juga lebih tinggi
dan sudut karina akan lebih besar dibandingkan kelompok dewasa sehingga apek
paru akan lebih tinggi di level leher jika dibandingkan dengan kelompok dewasa.
Hal tersebut akan terjadi sampai usia sekitar 10-12 tahun.22
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
10
Anterior trakea diliputi oleh kulit, fasia superfisial, fasia profunda dan otot strap
muscles (sternohioid dan sternotiroid). Ismus tiroid umumnya terletak setinggi
cincin trakea 2 dan 3. Hubungan anterior trakea pada leher bagian bawah dan pada
superior mediastinum adalah vena tiroid inferior, arteri tiroid ima dan timus.3
Arteri brakiosefalika yang juga dikenal dengan arteri inominata adalah cabang
terbesar dari arkus aorta. Pembuluh darah tersebut berjalan ke arah posterior ke
sentral manubrium sterni, menyebrangi trakea dari kiri ke kanan, menempel di
depan trakea dan kemudian ke arah kanan. Hal ini membagi pada level sendi
sternoklavikular tepat ke karotis kanan dan arteri subklavia kanan.23 Vena
brakiosefalika kiri dapat memproyeksi ke atas menuju leher ke anterior trakea
sehingga berisiko cedera saat trakeostomi. Struktur paratrakeal rentan terhadap
cedera termasuk nervus laringeus rekuren dan selubung karotis.3
Bagian anterior trakea diliputi kulit, jaringan subkutan, muskulus platisma, fasia
pretrakea dan kelenjar tiroid. Fasia servikalis dan profunda dibagi menjadi tiga
lapisan, yaitu lapisan selubung, lapisan pretrakea dan lapisan prevertebra. Fasia
pretrakea dan fasia prevertebra berisi faring bagian bawah, laring, trakea, esofagus
servikal, kelenjar tiroid dan pembuluh darah besar. Bagian bawah ruangan ini
berhubungan dengan mediastinum superior. Insisi fasia pretrakeal menyebabkan
terjadinya hubungan antara dunia luar dan rongga mediastinum. Bagian anterior
trakea sangat tipis sedangkan bagian lateral sangat tebal dan diselubungi oleh
selubung karotis.2
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
11
Trakeostomi pada anak dan dewasa umumnya berbeda dalam hal indikasi. Pada
kelompok anak, intubasi lama adalah indikasi yang paling sering (n = 45, 84.9%).
Penyebab utama intubasi adalah gagal napas (n = 24, 45.3%), penyakit
neuromuskuler (n = 11, 20,8%), periode pasca operasi besar (n = 8, 15,1%) dan
penyakit yang berhubungan dengan infeksi/ sepsis (n = 2, 3,8%). Trakeostomi
dilakukan pada sumbatan jalan napas atas pada 8 anak (15,1%). Penyebab paling
sering sumbatan jalan napas atas adalah anomali kraniofasial.24
Pada kelompok dewasa, indikasi yang paling umum untuk trakeostomi adalah
sumbatan saluran napas atas. Keganasan kepala dan leher adalah penyebab paling
sering untuk sumbatan jalan napas (32,5%) diikuti oleh stenosis laryngotracheal
(12%), parese pita suara bilateral (8,4%), dan kelainan kraniofasial (1,2%).24
Trakeostomi untuk terapi perlu dilakukan pada tiap kasus insufisiensi pernapasan
yang disebabkan oleh hipoventilasi alveolus untuk memintas sumbatan akibat
sumbatan laring, mengeluarkan sekret atau untuk tujuan penggunaan pernapasan
buatan secara mekanis.2
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
12
Sumbatan jalan napas atas berdasarkan onset dibagi menjadi 2 yaitu akut (sering
timbul dalam beberapa jam) dan kronis (timbul lebih dari 1 hari).26
Gambaran analisis darah pada sumbatan jalan napas atas akut adalah pH <7,30,
PCO2 >48 mmHg, PO2 <60 mmHg, HCO3 dan BE normal), sedangkan gambaran
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
13
analisis gas darah pada sumbatan jalan napas kronis adalah pH antara 7,40-7,50,
PCO2 >48 mmHg, PO2 <60 mmHg, HCO3 dan BE diatas batas normal.
Pasien yang sadar dan menderita sumbatan jalan napas atas, biasanya
menunjukkan tanda hipoksemia akut, antara lain denyut nadi dan frekuensi napas
bertambah, gelisah, bingung dan udara yang masuk berkurang. Pada keadaan
demikian pasien akan kelelahan untuk mempertahankan kadar gas darah yang
adekuat sebelum terjadi desaturasi oksigen dalam arteri, yaitu pO2 turun sampai
40mmHg. Saat terjadi desaturasi, timbul dekompensasi sirkulasi dan pernapasan
menjadi cepat dan jika berlanjut akan segera mengakibatkan kematian. Tanda-
tanda desaturasi seperti sianosis, koma dan hipotensi merupakan tanda insufisiensi
lanjut. Pasien dengan sumbatan jalan napas atas akan timbul hipoksemia berat
sehingga harus segera dilakukan trakeostomi.2
Pada sumbatan jalan napas atas yang terjadi kronis, tanda hipoksemia ringan dan
manifestasi hiperkapnia lebih jelas. Sakit kepala, pusing, berkeringat dan muka
kemerahan merupakan tanda awal. Kemudian timbul kedutan, delirium, dan
koma. Pemberian oksigen akan memperbaiki kondisi sementara, namun
memperburuk retensi CO2. Oleh karena itu, dalam keadaan ini pemeriksaan gas
darah berulang sangat membantu menentukan perlunya bantuan ventilasi. Pada
umumnya, bila pasien tidak dapat mempertahankan saturasi O2 sebesar 85% atau
mengurangi pCO2 di bawah 50mmHg sewaktu menghirup 50% O2, trakeostomi
harus dilakukan.2
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
14
tampak sangat ketakutan dan sianosis. Jika keadaan ini berlangsung terus maka
pasien akan kehabisan tenaga, hiperkapneu sehingga pusat pernapasan paralitik.
Jika tidak segera ditangani pasien menjadi lemah dan penurunan kesadaran,
akhirnya meninggal karena asfiksia.
Jackson27 mengatakan terdapat kondisi ancaman sumbatan jalan napas atas yang
disebut juga impending asphyxia. Kondisi ini akibat kurangnya kadar oksigen
pada jaringan serta kadar karbondioksida pada darah secara bersamaan yang akan
menyebabkan terjadinya asfiksia. Beberapa contoh kasus yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut adalah hilangnya reflex batuk, benda asing di
saluran napas (termasuk retensi sputum), inhalasi karbonmonoksida dan gas
beracun lain, jatuhnya pangkal lidah akibat penurunan kesadaran serta trauma
laring.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
15
Saat persiapan tindakan, pastikan balon kanul trakeostomi dalam keadaan baik
dengan cara menggembungkan balon dengan udara sekitar 5-10cc kemudian
kempeskan kembali. Pada trakeostomi dengan teknik pembedahan, pasien
diposisikan terlentang dengan bahu disanggah gulungan kain atau bantalan
sehingga leher ekstensi terhadap bahu. Posisi ini dapat membuat trakea lebih
menonjol sehingga memudahkan operator mengakses trakea dari anterior leher.28
Ekstensi leher tidak dapat dilakukan jika terdapat kelainan di tulang belakang
bagian servikal. Pasien sumbatan jalan napas sesak berat juga tidak dapat kita
lakukan posisi ekstensi leher tersebut sehingga harus dilakukan trakeostomi dalam
posisi duduk atau setengah duduk. Prosedur trakeostomi dilakukan dalam kondisi
steril. Daerah leher dan sekitarnya dibersihkan dengan povidone-iodine. Prosedur
ini dapat dilakukan dalam anastesia lokal maupun anestesi umum. Penanda yang
harus diidentifikasi umumnya adalah adam’s apple/ thyroid notch, kartilago
krikoid dan fossa suprasternal. Lokasi insisi ditandai pada pertengahan antara
kartilago krikoid dan fossa suprasternal. Jika direncanakan insisi kulit secara
horizontal maka penanda yang harus diidentifikasi adalah segitiga Jackson/
Jackson’s triangle yaitu kartilago tiroid, fossa suprasternal dan medial
sternokledomastoid. Insisi kulit horizontal dilakukan 1 cm di atas fossa
suprasternal dan batas lateralnya adalah medial sternokleidomastoid.3, 27
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
16
Gambar 2.5.a. Posisi leher ekstensi terhadap bahu. b dan c. Identifikasi segitiga jackson.5
Panjang insisi pada kulit secara vertikal dilakukan sekitar 2-3cm sedangkan secara
horizontal sekitar 4-6cm diantara fossa sternalis dan kartilago tiroid (kira-kira
setinggi cincin trakea kedua).30 Kirchner yang dikutip oleh Vallamkondu3
menyarankan menggunakan insisi vertikal pada pasien sadar untuk membantu
mobilisasi kanul trakeostomi. Insisi vertikal juga disarankan pada trakeostomi
bayi dan anak-anak. Pada kelompok usia anak, apeks pleura dapat meluas secara
superior ke arah leher sehingga insisi kulit vertikal meminimalkan diseksi ke arah
lateral trakea sehingga dapat mengurangi risiko pneumotoraks.3
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
17
pada cincin trakea dua dan tiga atau tiga dan empat.28, 30
Trakeostomi di atas
cincin trakea pertama harus dihindari karena berisiko terjadinya stenosis subglotis.
Kateter penghisap dapat dimasukkan dahulu untuk membersihkan sekitar insisi
trakea dan sebagai penuntun insersi kanul trakeostomi. Pada anak-anak umumnya
dilakukan insisi trakea secara vertikal dan dilanjutkan dengan penjahitan pada
kedua sisi lateral insisi sebagai traksi.3, 32
Jika trakeostomi dalam intubasi setelah dilakukan tindakan maka pipa endotrakea
dikeluarkan perlahan-lahan sampai ujung pipa endotrakeal tepat di atas batas
superior dari luka insisi. Selanjutnya dilakukan insersi kanul trakeostomi dengan
bantuan dilator trakea atau hak krikoid. Setelah kanul masuk, segera keluarkan
obturator dan masukkan kanul dalam. Kembungkan balon kanul dengan udara
sekitar 5-7cc. Jika luka insisi kulit terlalu lebar dapat dilakukan penjahitan.
Selanjutnya fiksasi kanul trakeostomi dengan tali pengikat atau dilakukan
penjahitan kanul ke kulit. Letakkan kassa disekitar stoma.3
Pada teknik PDT, tindakan trakeostomi dilakukan dengan insisi kulit yang kecil
kemudian dilanjutkan dengan dilatasi kulit. Mandren digunakan untuk menembus
trakea dan dilanjutkan dengan insersi kanul trakeostomi.2 Teknik ini lebih sering
dilakukan oleh ahli anestesi dan intensifis pada pasien perawatan intesif.28
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
18
Kanul trakeostomi dapat terbuat dari plastik (polyvinyl chloride atau silikon) atau
logam (perak atau stainless steel). Berbagai jenis kanul meliputi kanul trakeostomi
dengan balon (cuffed), tanpa balon (uncuffed), dengan lubang (fenestrated), tanpa
lubang (non fenestrated), variasi panjang kanul, lumen tunggal dan lumen ganda
(dengan kanul dalam). Semua kanul trakeostomi dilengkapi dengan obturator
untuk membantu insersi kanul trakeostomi.3
Kanul trakeostomi tersedia dengan kanul dalam (kanul ganda) dan tanpa kanul
dalam. Kanul ganda memiliki kanul dalam yang dapat menjaga kanul luar tetap
bersih sehingga mencegah sumbatan kanul total. Kekurangan kanul ganda adalah
diameter kanulnya yang lebih kecil sehingga dapat meningkatkan kerja
pernapasan dan dapat meningkatkan sekret yang terperangkap.3
Ukuran kanul harus disesuaikan dengan perkiraan ukuran trakea sesuai umur atau
berat badan. Bila kanul terlalu besar, sulit untuk memasukkannya ke dalam lumen
dan ujung kanul akan menekan mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis dinding
trakea. Panjang kanul harus disesuaikan dengan kebutuhan. Bila terlalu pendek
akan mudah keluar lumen trakea dan masuk ke dalam jaringan subkutis sehingga
timbul emfisema kulit dan lumen kanul tertutup sehingga menimbulkan asfiksia.
Bila kanul terlalu panjang maka mukosa trakea dapat teriritasi dan mudah timbul
jaringan granulasi. 32, 33
Kanul trakeostomi dibagi menjadi 2 bahan yaitu bahan plastik dan bahan metal.
Secara umum, kanul trakeostomi yang terbuat dari bahan plastik lebih disukai
dibandingkan bahan bahan logam. Hal ini disebabkan bahan plastik lebih fleksibel
dan nyaman serta sedikit traumatik ke jaringan sekitarnya.33
Kanul dengan balon/ cuff umumnya digunakan untuk beberapa hari pertama
pascatrakeostomi. Kanul dengan balon mengurangi aspirasi sekresi orotrakeal.
Balon umumnya bertekanan rendah dan bervolume tinggi sehingga
memungkinkan distribusi yang lebih luas dari tekanan pada trakea dan
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
19
mengurangi insiden ulserasi dan stenosis pada trakea. Komplikasi dari kanul
dengan balon adalah terjadi gangguan menelan akibat penekanan balon pada
laring. Balon yang bertekanan tinggi dapat mengurangi aliran darah pada kapiler
dan menyebabkan iskemia mukosa untuk menilai tekanan pada balon dapat
digunakan manometer. Myers dkk yang dikutip oleh Vallamkondu3 menyarankan
agar tekanan balon harus tetap optimal yaitu kisaran 15-25 cmH20 (10-18 mmHg)
untuk meminimalisir ulserasi dan stenosis pada trakea.3
Suslu dkk24 mengatakan bahwa komplikasi trakeostomi pada anak dan dewasa
hampir sama. Komplikasi yg terjadi dibagi menjadi dini dan lanjut. Pada
kelompok anak, komplikasi dini dan komplikasi lanjut adalah 22,6% dan 5,7%
sedangkan dewasa 19,3% dan 7,2%. Accidental decannulation adalah komplikasi
dini yang paling sering pada anak (13,2%) sedangkan kasus komplikasi lanjut
hanya fistel trakeokutaneous yang terjadi pada 3 anak. Pada kelompok dewasa
komplikasi dini dan komplikasi lanjut adalah 19,3% dan 7,2%. Komplikasi dini
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
20
yang paling sering (9,6%). Komplikasi lanjut hanya fistel trakeokutaneous dan
terjadi pada 4 pasien dewasa (4,8%). Peneliti menemukan bahwa pada kelompok
dewasa terdapat penurunan tingkat komplikasi dini dan lanjut, analisis statistik
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,636).24 Hal ini juga sesuai
dengan penelitian oleh Caro17, pada tahun 2012 di Spanyol dimana didapatkan
frekuensi komplikasi trakeostomi pada kelompok anak lebih tinggi dari dewasa
sebesar 46,9%.
Dalam sebuah survei multisenter, 22% dari dokter bedah anak melaporkan
komplikasi perioperatif selama trakeostomi yang menyebabkan perubahan dalam
prosedur sebesar 58% dari mereka. Sebuah studi dari 54 pasien dengan home
mechanical ventilation (45 via trakeostomi dan 9 via masker hidung) melaporkan
bahwa 66% dari kedaruratan dari pasien berhubungan dengan trakeostomi
tersebut. Infeksi dilaporkan menjadi komplikasi utama sebesar 90% dalam
beberapa senter. Persentase yang berbeda telah dilaporkan untuk endotrakeal
granulasi dalam kelompok anak bekisar antara 12,3% sampai 56%. Granulasi
menjadi komplikasi jika menimbulkan gejala dan memerlukan intervensi (8,4%).
Komplikasi yang paling mengancam jiwa pada penelitiannya adalah sumbatan
total pada kanul akibat plug lendir (29,3%) dan accidental decannulation (15,2%).
Komplikasi lain yang mengancam jiwa adalah pneumotoraks, emfisema subkutis
atau fistel arteri trakeoinomina.17
Komplikasi yang timbul akibat trakeostomi dapat bervariasi dari skala ringan
(misalnya jaringan granulasi) hingga fatal, yang dapat menyebabkan kematian
(fistula trakeoinominata, sumbatan jalan napas). Komplikasi trakeostomi juga
dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu komplikasi intraoperatif (immediate/
intraoperative complications), komplikasi dini pascaoperatif (early postoperative
complications), komplikasi lanjut pascaoperatif (late postoperative
complications). Komplikasi intraoperatif seperti perdarahan, cedera laring &
trakea, fistel trakeoesofagus intraoperatif, pneumotorak, emboli udara,
cardiopulmonary arrest, kebakaran intraoperatif. Komplikasi dini pascaoperatif
terjadi pada minggu pertama seperti perubahan posisi kanul, sumbatan kanul,
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
21
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
22
dan diperkirakan hingga 40% kasus.5 Friedman dkk yang dikutip oleh Regan
dkk.39 membagi jenis perdarahan berdasarkan volumenya menjadi tiga kelompok,
yaitu: 1) Perdarahan kecil (25-100ml), 2) perdarahan sedang (100-250 ml) dan 3)
perdarahan berat (lebih dari 250ml).39
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
23
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
24
fistel antara dinding posterior trakea dan dinding anterior esophagus yang disebut
fistel trakeoesofagus intraoperatif/ Intraoperative Tracheoesophageal Fistula
(TEF).31
2.8.1.4 Pneumotorak
Pada pasien dewasa, komplikasi pneumotorak umumnya timbul pada trakeostomi
darurat akibat rupturnya pulmonary bleb pada pasien sesak berat yang sedang
berusaha kuat untuk bernapas, gasping atau batuk-batuk kuat selama prosedur
dengan anestesi lokal. Pneumotorak juga dapat terjadi karena cedera langsung
pada pleura, akibat kontak langsung dengan pisau saat insisi dan akibat
pendorongan yang berlebihan saat insersi kanul trakeostomi sehingga salah jalur,
yaitu kanul trakeostomi masuk di antara dinding anterior trakea dan jaringan lunak
anterior mediastinum. Pneumotorak sering timbul pada pasien anak karena letak
apek pleura di leher lebih tingggi pada anak dibandingkan pada dewasa sehingga
mudah cedera dan lebih rentan lagi pada trakeostomi letak rendah. Tokur dkk.41
menyatakan bahwa kejadian pneumotoraks pada dewasa selama trakeostomi
dilaporkan sekitar 0-4%, sedangkan pada anak sekitar 10-17%. Kumar dkk.42
menyatakan bahwa komplikasi pneumotorak terjadi 17% pada anak usia >12
bulan, >4% pada bayi, >28% pada bayi prematur dan bayi baru lahir. Dispneu
pasien dengan komplikasi pneumotorak umumnya tidak membaik setelah
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
25
trakeostomi dan PaO2 tetap rendah. Rontgen torak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. 31, 42
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
26
2.8.1.5 Pneumomediastinum
Pneumomediastinum adalah akumulasi udara pada rongga mediastinum.
Komplikasi ini cukup sering terjadi pascatrakeostomi terutama pada pasien anak-
anak.31 Dilaporkan sebanyak 43% terjadi pada anak di atas 1 tahun dan 28%
terjadi pada anak di bawah 1 tahun.31, 45 Komplikasi pneumomediastinum dapat
timbul akibat penekanan udara ke mediastinum pada pasien dengan sumbatan
jalan napas yang sedang berusaha keras. Pneumomediastinum juga dapat terjadi
saat insisi kulit dan fasia pada daerah servikal yang menembus sampai ke rongga
mediastinum. Penyebab lain adalah adanya batuk yang terus menerus dan kuat
sehingga menyebabkan tekanan udara dari luka insisi pada stoma ke lapisan
jaringan yang lebih dalam pada leher. Gejala klinis umumnya timbul batuk, sesak
napas dan nyeri dada. Diagnosis komplikasi ditegakkan dengan pemeriksaan
rontgen torak.5
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
27
masuk cukup banyak dan sampai menimbulkan gejala klinis maka diperlukan
pemasangan pipa drainase di toraks (chest tube).31
Untuk mencegah terjadinya emboli udara, seluruh pembuluh darah vena harus
dikontrol secara menyeluruh untuk dapat menghindari potensi terjadinya
komplikasi yang mematikan. Trakeostomi disarankan dengan mempertahankan
diseksi tetap di garis tengah leher (midline) dan di atas ismus tiroid untuk
meminimalkan cedera pada vena sehingga meminimalkan pembengkakan vena
yang signifikan.3, 5
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
28
diletakkan dengan posisi trendelenburg dan posisi miring ke kiri. Maneuver ini
dapat mengeluarkan udara yang terperangkap dalam apeks ventrikel dan
mencegah udara masuk ke dalam sistem arteri pulmonal dan untuk
mempertahankan output ventrikel kanan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah
resusitasi cairan untuk mempertahankan tekanan arteri sistemik dan penggunaan
vasopresor/ obat beta adrenergik bila diperlukan. Hiperbarik juga dapat
dipertimbangkan untuk menekan terjadinya gelembung-gelembung udara,
meningkatkan oksigenasi ke jaringan iskemik dan menurunkan tekanan intra
kranial. Emboli paru yang berlanjut dengan gagal sirkulasi diatasi dengan
resusitasi jantung-paru.5
Henti jantung dan henti napas dapat diminimalisir dengan melakukan prosedur
trakeostomi dengan pendampingan anestesiologi untuk memonitor pasien.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
29
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencegah timbulnya kebakaran pada
saluran napas adalah seluruh anggota tim operasi harus mengetahui dan
menyadari adanya bahaya kebakaran pada saluran napas yang dapat terjadi
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
30
Jika terjadi kebakaran, segera putuskan pasien dari mesin anestesi, matikan aliran
gas anestesi, lepaskan pipa gas dan ventilasi menggunakan udara ruangan dan
ambu bag. Gunakan filter saluran napas jika terdapat asap di ruang operasi dan
padamkan api. Pembilasan bagian bawah pipa endotrakea untuk memadamkan api
intraluminal dapat dipertimbangkan. Penggantian pipa endotrakea dapat
dipertimbangkan untuk meminimalkan efek toksik dari hasil produk pembakaran
dan menghindari penyebaran api ke dalam saluran napas lebih lanjut kecuali
pasien riwayat sulit intubasi atau jalan napas menjadi udem.5
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
31
Saluran dikatakan matur sekitar 10 sampai 14 hari.31, 52 Jika saluran belum matur,
jaringan akan dengan mudah tertutup kembali saat terjadi perubahan posisi kanul
sehingga dapat menimbulkan sumbatan total saluran napas yang mengakibatkan
gagal napas dan kematian. Gejala akibat perubahan posisi kanul trakeostomi
kadang tidak timbul segera, terutama pada kasus yang tidak total menutup jalan
napas dan tidak tergantung ventilator.5, 31
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
32
Bronkoskopi serat lentur dapat digunakan untuk memastikan posisi kanul. Kanul
trakeostomi difiksasi dengan pengikatan tali kanul yang cukup ketat yaitu dapat
masuk sekitar satu jari antara tali kanul dengan kulit leher sebelum diletakkan
kassa atau dapat dilakukan penjahitan kanul ke kulit. Lakukan evaluasi kanul
trakeostomi secara berkala pada pasien pasca trakeostomi. Ventilator dan pipa
penghubung oksigen diposisikan tidak memberikan tegangan pada kanul
trakeostomi. Minimalisir transport dan mobilisasi pasien.31
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
33
lumen kanul. Perawatan kanul dan penghisapan berkala harus dilakukan cukup
sering karena pada kanul trakeostomi anak umumnya tidak ada kanul dalam.5, 31
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk pasien dengan sesak napas akibat
sumbatan kanul trakeostomi adalah dengan mencabut kanul dalam. Jika terdapat
sumbatan tampak pada kanul dalam, pasien akan bernapas dengan baik setelah
pencabutan. Jika kanul dalam ternyata dalam keadaan bersih, maka mucus plugs
mungkin terletak pada saluran napas lebih dalam. Segera lakukan penghisapan
dengan kateter suction sampai melewati ujung kanul trakeostomi. Jika mucus
plugs tidak dapat diangkat dengan penghisapan, dapat dilakukan humidifikasi dan
pemberian garam fisiologis kurang lebih 5ml untuk mengencerkan sekret kering
kemudian dilanjutkan dengan penghisapan. Jika stoma diperkirakan telah matur
maka kanul trakeostomi dapat dilepas dan dilakukan penghisapan langsung dari
stoma. Bronkoskopi dapat dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengambil
mucus plugs.5, 15, 31
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
34
Perdarahan saat trakeostomi dapat terjadi juga akibat erosi pada arteri
brakiosefalika, vena brakiosefalika, arteri karotis dan arkus aorta. Hal ini dapat
terjadi pada trakeostomi letak rendah. Fistel trakeoarteri pasca trakeostomi
menyebabkan perdarahan masif yang jarang terjadi namun dapat serius dan sering
fatal. Trunkus brakiosefalika umumnya berisiko erosi karena berdekatan dengan
trakea. Faktor-faktor yang mempengaruhi adanya fistula adalah adanya tekanan
dari gesekan kanul pada trakea dan pembuluh darah yang berdekatan, infeksi,
invasi keganasan ke pembuluh darah yang berdekatan dengan trakea dan pada
trakeostomi letak rendah.23
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
35
tabung trakeostomi dari 90° sampai 60° ternyata dapat mengurangi kejadian
erosi.23
Jika terjadi perdarahan yang cukup hebat, dapat dilakukan operasi untuk
eksplorasi sumber perdarahan dan atasi perdarahan dengan kauter atau ligasi
sumber perdarahan. Perdarahan yang minimal dapat diatasi dengan penekanan
pada sumber perdarahan dengan kasa atau dengan menggunakan balon cuff kanul
trakeostomi. Perdarahan yang berkelanjutan dapat terjadi akibat gangguan dalam
sistem hemostasis pasien. Kanul trakeostomi yang tampak bergerak pulsatif dapat
dicurigai menekan arteri inominata sehingga disarankan untuk dilakukan
trakeostomi di atas posisi trakeostomi sebelumnya. 5, 31
2.8.2.4 Infeksi
Infeksi pada stoma dapat terjadi terutama pada trakeostomi darurat dengan
sterilitas operasi yang rendah. Penggunaan kassa dan desinfektan ternyata juga
dapat menjadi penyebab infeksi pada stoma karena dapat memicu timbulnya
cedera pada stoma dan mengganggu proses penyembuhan. Stauffer yang dikutip
oleh Bove melaporkan proporsi infeksi pada stoma sebanyak 36% dari seluruh
kasus trakeostomi. Kejadian selulitis dan purulensi dilaporkan terjadi sebanyak 3-
8%. Infeksi stoma dapat bermanifestasi sebagai infeksi yang ringan, selulitis
ringan atau jaringan granulasi. Infeksi yang serius pada stoma mencakup
mediastinitis, fasitis, abses dan osteomielitis pada klavikula. Jika infeksi berlanjut
maka dapat mengakibatkan trakeitis, perikondritis, stenosis trakea, hilangnya
jaringan trakea, kebocoran pada trakea dan perdarahan. Area peristoma dapat
dengan cepat terbentuk kolonisasi kuman dan ditemukan kuman pseudomonas
sekitar 85%.3, 5
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
36
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
37
Sebagian besar kasus emfisema subkutis dapat diserap secara spontan oleh tubuh
dalam beberapa hari. Jika dilakukan penjahitan pada kulit maka benang harus
dilepas. Jika luka tertutup kassa maka kassa tersebut harus dilepas. Kanul
trakeostomi yang digunakan sebaiknya kanul dengan balon yang dikembangkan.
Pemasangan drain subkutis cukup efektif untuk mengatasi dekompresi dan
resolusi emfisema subkutis. Cara lain adalah dengan memasukkan kateter ukuran
sedang sampai besar atau melakukan banyak insisi untuk dekompresi udara yang
terperangkap di jaringan subkutan. Emfisema subkutis jika ditangani dengan baik
akan mengalami resolusi setelah 10 hari. 5, 31
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
38
Belum ada cara yang efektif untuk mencegah edema paru pasca sumbatan jalan
napas. Terapi yang dapat diberikan adalah oksigenasi yang adekuat, positive end-
expiratory pressure (PEEP) melalui ventilator dan diuretik.5
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
39
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
40
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
41
waktu lama.3 Insiden fistel trakeokutan terjadi sekitar 70% pada pasien yang
dilakukan dekanulasi setelah 16 minggu pasca trakeostomi sedangkan pada pasien
yang dilakukan dekanulasi sebelum 16 minggu pasca trakeostomi terjadi fistel
trakeokutan. Insiden terjadinya fistel trakeokutan pasca trakeostomi sekitar 3,3-
42%.31 Pada kasus trakeostomi anak, insiden terjadinya fistel trakeokutan cukup
tinggi pada pasien yang dilakukan insisi trakea dengan teknik starplasy.31 Fistel
trakeokutan sering ditemukan dengan jaringan parut disekitarnya. Jaringan parut
melekat sampai ke trakea, ditandai dengan ikut bergeraknya jaringan parut saat
menelan. Penurunan berat badan yang signifikan diikuti dengan penggunaan
kortikosteroid juga akan meningkatkan terjadinya fistel trakeokutaneus karena
berkurangnya jaringan subkutan di leher yang menyebabkan kulit semakin dekat
ke trakea. Fistel trakeokutan yang terus menerus dapat mengakibatkan aspirasi,
infeksi, batuk hebat, iritasi kulit dan masalah dari segi kosmetik.31
Fistel trakeokutaneus yang tidak menutup secara spontan setelah 6 bulan pasca
dekanulasi perlu dilakukan tindakan penutupan fistel. Penatalaksanaan fistel
trakeokutan dapat dengan melakukan eksisi epitel di seluruh tepi fistel dilanjutkan
dengan mendekatkan tepi fistel sampai fistel menutup sempurna karena terjadinya
proses penyembuhan luka. Hal ini sering digunakan pada kasus trakeostomi anak
karena teknik ini tidak banyak melakukan manipulasi pada trakea. Teknik ini
sering menimbulkan jaringan parut kembali sehingga perlu dilakukan revisi pada
kemudian hari. Myers yang dikutip oleh Walvekar31 menjelaskan bahwa teknik
penutupan fistel trakeokutan adalah dengan mengeksisi fistel dan merevisi
jaringan parut dalam satu tahap. Prosedur dilakukan dengan melakukan insisi
elips, kemudian jaringan parut antara kulit dan fistel dibebaskan. Jaringan epitel
skuamosa pada fistel ditinggalkan pada trakea dan dibalikkan ke dalam stoma
sebagai trap-door flap sehingga trakea tertutup oleh epitel skuamosa. Kulit bagian
superior dan inferior di sekitar fistel dipisahkan. Strap muscles biasanya terpisah
dari jaringan parut dan menempel ke sisi trakea. Strap muscles dibebaskan dan
didekatkan kembali di tengah fistel. Dilakukan penjahitan strap muscles dengan
mengisi daerah bekas jaringan parut dan memisahkan trakea dari kulit sehingga
mencegah timbulnya jaringan parut kembali. Penutupan jaringan subkutan dan
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
42
kulit tidak boleh ada tekanan dan menggunakan benang yang mudah di serap.
Pada permukaan kulit dapat dilekatkan perekat seperti Steri-Strips.3, 31
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
43
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
44
Kanul trakeostomi yang terpasang dianggap benda asing pada trakea sehingga
meningkatkan sekret yang kental di sekitar kanul. Jika sekret dibiarkan akan
meningkatkan risiko sumbatan pada kanul trakeostomi. Selain humidifikasi,
diperlukan pengisapan sekret secara berkala untuk menurunkan risiko tersebut.
Sebaiknya pengisapan dilakukan secara steril. Pada hari-hari pertama dapat
dilakukan setiap 1-2 jam dengan waktu 5-10 menit. Kemudian dilakukan
pengisapan sekret sesuai dengan interval yang dibutuhkan.3, 5
Diameter kateter
penghisap tidak boleh lebih dari setengah dari diameter interna kanul trakeostomi
yang digunakan. Penentuan ukuran kateter penghisap dapat digunakan rumus: 2 x
(ukuran kanul trakeostomi – 2). Panjang kateter penghisap yang dimasukkan ke
dalam kanul berkisar 10-15 cm sebelum dilakukan penghisapan. Penghisapan
tidak boleh lebih dari 10 detik. Jika pada penghisapan terjadi hambatan maka kita
harus curiga adanya sumbatan kanul atau perubahan kanul trakeostomi.61
Pada penggunaan kanul trakeostomi yang memiliki kanul dalam harus dilakukan
pelepasan kanul dalam, pembersihan serta pemasukkan kembali ke kanul luar
trakeostomi. Frekuensi pembersihan kanul dalam tergantung dari banyaknya
sekret serta kekentalan dari sekret tersebut.61
Pada sekitar stoma sering timbul banyak sekret. Hal ini dapat memicu terjadinya
eskoriasis pada kulit dan infeksi luka operasi sehingga perlu diletakkan kassa di
sekitar stoma untuk menyerap sekret dan menghalangi kanul bersentuhan
langsung dengan kulit.61 Kassa umumnya diganti sehari sekali namun dapat lebih
dari sekali jika kassa telah terlihat basah.5
2.11 DEKANULASI
Suslu24 memaparkan bahwa hasil penelitian dari subyek anak-anak yang
berjumlah 18 orang (34,6%) dan dewasa yang berjumlah 33 orang (40,2%)
didapatkan perbedaan penentuan waktu dekanulasi antara kasus trakeostomi
dewasa dan anak. Nilai tengah/ mean waktu dekanulasi pasca trakeostomi pada
kasus anak adalah 317 hari sedangkan pada kasus dewasa adalah 69 hari.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
45
Dekanulasi hanya dilakukan jika pasien dalam kondisi klinis yang stabil, yaitu
tidak ada sumbatan jalan napas atas, tidak memerlukan lagi alat bantu napas
seperti ventilator dan tidak ada bahaya retensi sputum yaitu telah mampu
mengeluarkan dahaknya sendiri.32
Proses dekanulasi memerlukan waktu yang lebih lama pada kasus pasien dengan
penggunaan kanul trakeostomi dalam jangka waktu lama. Setelah dilakukan
dekanulasi, stoma ditutup dengan kassa steril. Penutupan stoma umumnya akan
terjadi setelah 7 sampai 10 hari pasca dekanulasi.3
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
46
Halum dkk.10 pada tahun 2011 melaporkan komplikasi trakeostomi yang dialami
1.175 pasien pada 8 institusi di Amerika Serikat dalam kurun waktu 2 tahun.
Penggunaan kanul endotrakea ukuran besar (>7,5) dan obesitas merupakan faktor
risiko terbesar terjadinya stenosis jalan napas (p< 0,05).
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
47
Kebakaran
Komplikasi intraoperatif
intraoperatif
Prosedur
Perubahan posisi
Indikasi kanul trakeostomi
Emfisema
Jenis Subkutis
Kelamin
Pneumomediastinum
usia Faktor yang
berhubungan
Penyakit Edema paru pasca
Primer sumbatan jalan
napas
Anatomi Perdarahan
Jalan pascaoperatif
Napa
Komplikasi
Perawatan lambat
kanul pascaopertif
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
48
Kebakaran
Komplikasi intraoperatif
intraoperatif
Prosedur
Perubahan posisi
Indikasi kanul trakeostomi
Emfisema
Jenis Subkutis
Kelamin
Pneumomediastinum
usia Faktor yang
berhubungan
Penyakit Edema paru pasca
Primer sumbatan jalan
napas
Anatomi Perdarahan
Jalan pascaoperatif
Napa
Komplikasi
Perawatan lambat
kanul pascaopertif
Keterangan gambar:
Variabel yang diteliti
Stenosis Fistel Fistel Jaringan
subglotis trakeokutan Trakeoesofageal Granulasi
dan trakea lambat pada stoma
Variabel yang tidak diteliti
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
49
BAB 3
METODE PENELITIAN
49 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
50
Komplikasi (P = 0,5)
Q = (1-P)
d = delta atau effect size, perbedaan hasil yang diamati (0,10)
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
51
Pencatatan dilakukan terhadap jenis kelamin dan usia pasien, penyakit primer,
indikasi trakeostomi, status intubasi, onset sumbatan, stadium sumbatan, kelainan
anatomi jalan napas serta komplikasi yang terjadi akibat trakeostomi.
Data yang sudah ada kemudian akan dimasukkan ke dalam program SPSS versi
11,5 untuk selanjutnya dilakukan pengolahan data untuk melihat sebaran data dan
distribusi frekuensi. Kemudian akan dibuat sebuah laporan tertulis dari hasil
pengolahan data tersebut yang akan disajikan dalam sebuah sidang ilmiah.
Analisis
Laporan
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
52
menggunakan SPSS versi 11,5 sesuai dengan tujuan penelitian. Data akan
disajikan berupa teks, tabel atau grafik. Data yang diperoleh dibuat distribusi
frekuensi berupa n dan persen (%) serta akan dilakukan uji Chi-square.
2. Usia
Definisi : Umur pada saat pasien dilakukan trakeostomi
berdasarkan tahun kelahiran yang tertulis
pada rekam medik (pembulatan ke atas
apabila lebih dari 6 bulan)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Kelompok anak (1-11 tahun), dewasa muda
(12-59 tahun), dewasa tua (>60 tahun)
Skala ukur : Kategorik
4. Penyakit Primer
Definisi : Penyakit dasar yang menyebabkan pasien
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
53
5. Indikasi trakeostomi
Definisi : Penyebab pasien dilakukan trakeostomi
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Sumbatan jalan napas atas, intubasi lama,
akses jalan napas operasi terencana, retensi
sputum, ancaman jalan napas atas
Skala ukur : Kategorik
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
54
8. Status intubasi
Definisi : Status intubasi pasien saat dilakukan
trakeostomi
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Terintubasi, tidak terintubasi
Skala ukur : Kategorik
9. Leher Pendek
Definisi : Panjang leher antara kartilago krikoid dengan
fossa sternalis (normal sekitar 6,9-8,2cm)
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Leher pendek, leher tidak pendek
Skala ukur : Kategorik
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
55
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
56
18. Perdarahan
Definisi : Perdarahan yang terjadi >25ml
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Perdarahan, tidak perdarahan
Skala ukur : Kategorik
19. Pneumotorak
Definisi : Udara terperangkap pada rongga pleura
ditandai dengan adanya gambaran
pneumotorak pada hasil rontgen toraks.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
57
21. Pneumomediastinum
Definisi : Udara terperangkap pada rongga
mediastinum ditandai dengan adanya
gambaran pneumomediastinum pada hasil
rontgen toraks.
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Pneumomediastinum, tidak ada
pneumomediastinum
Skala ukur : Kategorik
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
58
23. Infeksi
Definisi : Terjadi tanda-tanda infeksi pada
stoma berupa hiperemis dan atau pus
Alat ukur : Rekam medik
Hasil ukur : Infeksi, tidak infeksi
Skala ukur : Kategorik
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
59
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
60
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang diambil dari data sekunder
untuk mendapatkan proporsi komplikasi trakeostomi dan hubungannya dengan
karakteristik klinis dan demografis.
60 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
61
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
62
Dari semua subjek yang dilakukan trakeostomi, laki-laki lebih banyak yaitu
sebesar 94 (75,2%) subjek dibandingkan perempuan dan lebih banyak dilakukan
pada usia dewasa muda sebesar 75 (60,0%) subjek dibandingkan anak-anak dan
dewasa tua.
Dari semua subjek yang mengalami sumbatan jalan napas atas, onset kronis lebih
banyak (75,9%) dibandingkan onset akut (24,1%) dan sumbatan jalan napas atas
stadium I lebih banyak dari stadium lainnya (56,1%). Penyakit primer terbanyak
adalah tumor kepala leher (74,4%). Kelompok subjek yang mengalami kelainan
anatomi jalan napas lebih banyak (50,4%) daripada kelompok normal (49,6%).
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
63
Kelainan anatomi jalan napas terbanyak adalah massa leher (85,7%) diikuti
dengan pendorongan trakea sebesar 22,2%. Subjek yang tidak terintubasi lebih
banyak (74,4%) dibandingkan yang terintubasi (25,6%). Dari 36 subjek penelitian
yang terdata, insisi letak rendah lebih banyak (20 subjek) dibandingkan letak
tinggi dan standar. Jenis insisi trakea dengan bjork flap lebih banyak (91,2%)
dibandingkan jenis insisi vertikal (8,8%). Lokasi tindakan trakeostomi tersering
adalah di IGD yaitu sebesar 63,2%. Subjek tidak gemuk lebih banyak (91,0%)
dibandingkan yang gemuk. Durasi tindakan trakeostomi lebih dari 30 menit lebih
banyak (52,8%) dibandingkan durasi ≤30 menit.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
64
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
65
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
66
atas sebesar 37,5%. Pasien dengan indikasi trakeostomi sumbatan jalan napas atas
lebih mudah terjadi komplikasi trakeostomi.
Jenis insisi trakea (p=0,041) dengan proporsi kelompok bjork flap sebesar 47,4%
dan kelompok vertikal sebesar 11,1%. Pasien dengan jenis insisi bjork flap lebih
mudah mengalami komplikasi trakeostomi.
Terdapat juga hubungan yang bermakna secara klinis antara durasi trakeostomi
dengan terjadinya komplikasi trakeostomi dengan proporsi kelompok durasi >30
menit 50,8% dan kelompok durasi ≤30 menit sebesar 39,7%.
Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin,
penyakit primer, anatomi jalan napas, status intubasi, lokasi tindakan, serta durasi
trakeostomi terhadap terjadinya komplikasi trakeostomi.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
67
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
68
BAB 5
PEMBAHASAN
Bias lainnya adalah disain pada penelitian ini. Disain penelitian ini adalah potong
lintang yang hanya dapat melakukan eksplorasi data. Akan lebih baik penelitian
menggunakan disain kasus kontrol. Peneliti selain melakukan analisis bivariat
juga melakukan analisis lanjut berupa analisis multivariat untuk mengurangi bias
tersebut.
68 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
69
Pada 54 subjek yang mengalami sumbatan jalan napas atas, kasus terbanyak
adalah dengan onset kronik sebesar 75,9%. Hal ini karena ketidaktahuan
masyarakat dan dokter di layanan primer akan sumbatan jalan napas atas.
Penyakit primer tersering pada kasus trakeostomi adalah tumor kepala leher
sebesar 93 (74,4%) subjek, diikuti dengan penyakit infeksi sebesar 11 (8,8%)
4
subjek. Peneliti Shah dkk di Amerika serikat memaparkan bahwa penyakit
primer terbanyak adalah pneumonia (44,7%) diikuti oleh gagal jantung kronis
(27,1%) dan penyakit paru obstruktif kronis (25,4%). Perbedaan mayoritas
penyakit primer kemungkinan karena adanya perbedaan kesadaran akan kesehatan
antara mereka sebagai negara maju dengan kita sebagai negara berkembang
sehingga kasus tumor kepala leher di negara maju datang dengan stadium dini
sehingga belum memyebabkan sumbatan jalan napas atas.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
70
Pada kelompok yang ditemukan massa leher, tidak terintubasi dan tidak gemuk
terbanyak karena kasus yang lebih sering didapat adalah tumor kepala leher
dengan stadium lanjut.
Pada kelainan anatomi tidak didapatkan data tentang leher pendek. Dari 125
subjek, tidak satupun yang menulis ada tidaknya leher pendek. Diperlukan status
khusus trakeostomi berupa check list setiap dilakukan trakeostomi untuk
mempermudah operator dalam mendokumentasi faktor yang diduga berisiko
timbulnya komplikasi seperti faktor kelainan leher pendek.
Jenis insisi trakea lebih banyak dilakukan bjork flap sebesar 114 (91,2%) subjek,
diikuti dengan insisi vertikal sebesar 9 (7,2%) subjek. Hal ini terjadi karena subjek
penelitian mayoritas adalah kelompok dewasa yang seluruhnya dilakukan insisi
Bjork flap.
Insisi kulit terbagi menjadi dua jenis yaitu insisi vertikal dan horizontal. Pada
kasus trakeostomi darurat disarankan menggunakan insisi kulit jenis vertikal
karena insisi hanya terkonsentrasi di daerah tengah leher/ midline sehingga risiko
cedera organ disekitar trakea lebih kecil dibandingkan insisi horizontal. Insisi kulit
vertikal juga sejalan dengan arah diseksi tumpul sehingga lebih mudah
menemukan trakea dibandingkan menggunakan insisi horizontal. Insisi kulit
horizontal memilki keunggulan dalam hal estetik karena arah insisi sesuai dengan
garis lange. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengumpulan data mengenai jenis
insisi kulit sehingga perlu penelitian prospektif lebih lanjut mengenai insisi kulit
sehingga mendapatkan
Tindakan trakeostomi lebih banyak yang dilakukan dengan durasi lebih dari 30
menit. Gulsen dkk62 melakukan penelitian pada 40 kadaver. Rerata durasi
trakeostomi pada penelitian tersebut adalah 155 detik atau sekitar 2,6 menit. Hasil
penelitian ini dapat terjadi akibat ditemukannya banyak penyulit pada saat
tindakan dilakukan seperti pasien sumbatan jalan napas atas dengan massa leher.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
71
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
72
dipengaruhi oleh faktor sterilitas alat trakeostomi namun juga dipengaruhi oleh
infeksi akibat penyakit primernya. Saat ini lebih banyak emfisema subkutis karena
mayoritas penyakit primenya adalah tumor kepala leher yang lebih mudah terjadi
kerusakan jaringan saat dilakukan trakeostomi. Penyebab lain adalah akibat
penggunaan kanul yang tidak sesuai karena umumnya tumor kepala leher lebih
banyak dengan massa leher yang cukup besar sehingga udara mudah keluar dari
trakea dan masuk ke dalam jaringan subkutis sehingga menimbulkan emfisema
subkutis. Diperlukan pemilihan kanul yang sesuai yaitu kanul yang lebih panjang
(extended canule) yang harus disediakan jika sewaktu-waktu diperlukan.
Kasus pneumotoraks yang tampak pada hasil rontgen toraks sering ditemukan
tanpa gejala klinis sehingga termasuk kasus pneumotoraks ringan yang tidak
memerlukan tindakan lebih lanjut. Dari 6 kasus pneumotoraks hanya 1 subjek
yang dilakukan tindakan drainase interkostal dengan insersi pipa pada torak. Pada
11 kasus pneumomediastinum yang terdiagnosis dari rontgen toraks tidak satupun
yang diikuti dengan gejala klinis sehingga diputuskan hanya dilakukan observasi
tanpa dilakukan tindakan lebih lanjut. Bove dkk5 mengatakan bahwa
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
73
Dari semua karakteristik yang ada, indikasi trakeostomi sumbatan jalan napas atas
ternyata menjadi faktor yang paling kuat hubungannya terhadap terjadinya
komplikasi trakeostomi. Pada pasien yang mengalami sumbatan jalan napas atas
sendiri telah memiliki risiko untuk terjadinya komplikasi trakeostomi di samping
risiko dari operator sehingga operator harus lebih berhati-hati dalam menghadapi
kasus sumbatan jalan napas atas. Goldenberg dkk8 menyatakan bahwa teknik
trakeostomi secara prosedural dapat dilakukan dengan mudah namun menjadi sulit
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
74
jika tindakan dilakukan secara cepat seperti saat melakukan tindakan trakeostomi
darurat sehingga seringkali menimbulkan komplikasi.
Proporsi komplikasi antara subjek yang tidak terintubasi dengan yang terintubasi
secara statistik tidak bermakna, namun secara klinis terdapat perbedaan proporsi
komplikasi lebih dari 10% pada pasien trakeostomi yang tidak terintubasi
dibandingkan dengan pasien yang terintubasi. Di Departemen THT-KL RSCM,
tindakan trakeostomi terintubasi umumnya dilakukan oleh PPDS tahap awal
sehingga tingkat kemahirannya sangat bervariasi.
Tindakan trakeostomi dengan durasi lebih dari 30 menit secara klinis lebih mudah
terjadi komplikasi dibandingkan dengan durasi kurang dari atau sama dengan 30
menit namun secara statistik pada penelitian ini tidak bermakna.
Ketidakbermaknaan ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya
tindakan trakeostomi darurat harus dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin
tetapi pada akhirnya terjadi komplikasi atau sebaliknya durasi yang panjang
memang dibutuhkan untuk tindakan trakeostomi terintubasi dengan kasus sulit
tanpa mengurangi tingkat kehati-hatian.
Pada hasil penelitian ini, terlihat potret selama kurun waktu 3 tahun (periode
Januari 2011 sampai Desember 2013) komplikasi trakeostomi lebih mudah terjadi
pada subjek dengan jenis insisi bjork flap dibandingkan jenis insisi vertikal.
Belum ditemukan literatur yang membandingkan antara jenis insisi trakea Bjork
flap dengan insisi vertikal namun Malata dkk63 melakukan penelitian pada 95
subjek yang dilakukan insisi bjork flap. Hasil penelitian tersebut ternyata
menyimpulkan jenis insisi bjork flap aman dilakukan pada kasus tumor kepala
leher pada kelompok dewasa karena jenis insisi tersebut dapat dilakukan dengan
cepat dan termasuk jenis insisi yang dapat mempertahankan jalan napas dengan
baik pascaoperatif. Hasil penelitian tidak sesuai dengan literatur diduga karena
mayoritas subjek penelitian adalah kelompok dewasa yang seluruhnya dilakukan
insisi trakea jenis bjork flap dan insisi vertikal hanya dilakukan pada kelompok
anak saja sehingga sebaran subjek tidak merata pada kedua kelompok tersebut.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
75
Hal ini terbukti saat dilakukan analisis lanjut, berupa analisis multivariat, faktor
tersebut tidak keluar sebagai faktor yang bermakna. Diperlukan penelitian lebih
lanjut dengan disain kasus kontrol untuk menilai jenis insisi trakea. Jumlah subjek
juga diharapkan seimbang antara kedua jenis insisi tersebut. Penelitian juga
sebaiknya tidak menggabungkan antara jenis kelompok anak dan dewasa agar
terdapat keseragaman populasi pada penelitian tersebut.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
76
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Karakteristik subjek yang dilakukan trakeostomi di Departemen THT-KL
RSCM adalah lebih sering pada laki-laki usia dewasa muda tidak gemuk
dengan indikasi terbanyak sumbatan jalan napas atas. Penyakit primer
terbanyak tumor kepala leher dengan kelainan pada leher terbanyak massa
leher. Tindakan trakeostomi lebih sering dilakukan di IGD
(kegawatdaruratan) dalam keadaan tanpa intubasi. Prosedur trakeostomi
yang sering dilakukan adalah pembuatan stoma letak rendah dengan insisi
trakea jenis bjork flap dan lebih sering dilakukan dalam waktu lebih dari
30 menit.
2. Proporsi komplikasi trakeostomi di Departemen THT-KL RSCM sebesar
44,8%.
3. Komplikasi yang terjadi pada kasus trakeostomi di Departemen THT-KL
RSCM terbanyak adalah komplikasi dini pascaoperatif (60,7%) berupa
emfisema subkutis (82,4%). Sebaran jenis komplikasi intraoperatif sebesar
8,9%, komplikasi dini pasca operatif sebesar 60,7% dan yang mengalami
komplikasi keduanya sebesar 30,4%. Pada jenis komplikasi intraoperatif,
dari 23 kasus terdapat 11 kasus pneumomediastinum, 6 kasus
pneumotorak, 4 kasus cardiopulmonary arrest dan 2 kasus perdarahan.
Sebaran jenis komplikasi dini pascaoperatif adalah emfisema subkutis
sebesar 42 subjek (82,4%), sumbatan kanul sebesar 11,8%, perdarahan
sebanyak 3 kasus (5,9%) dan lepasnya kanul trakeostomi sebanyak 2 kasus
(3,9%).
4. Hubungan karakteristik klinis dan demografis pada kasus trakeostomi di
Departemen THT-KL RSCM dari analisis bivariat, didapatkan bahwa usia
dewasa tua (p=0,035), indikasi sumbatan jalan napas (p=0,048) secara
statistik bermakna meningkatkan terjadinya komplikasi trakeostomi. Pada
analisis multivariat, indikasi sumbatan jalan napas atas adalah faktor yang
paling kuat .
76 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
77
6.2 Saran
1. Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan trakeostomi sebelumnya
dilakukan pengecekan adanya faktor yang diduga berpotensi menimbulkan
komplikasi sehingga diharapkan operator akan lebih hati-hati dalam
mengerjakannya.
2. Diperlukan status khusus trakeostomi berupa check list setiap dilakukan
trakeostomi untuk mempermudah operator dalam mendokumentasi faktor
yang diduga berisiko timbulnya komplikasi sebelum dilakukan tindakan
serta memastikan ada tidaknya komplikasi yang berpotensi terjadi. Faktor-
faktor risiko yang dicantumkan dalam check list adalah faktor yang
ditemukan pada penelitian ini. Beberapa faktor risiko yang tidak
didapatkan pada penelitian namun dirasakan penting untuk diketahui juga
dimasukkan sebagai faktor yang berisiko timbulnya komplikasi seperti
leher pendek, lokasi stoma dan operator.
3. Tindakan trakeostomi dengan indikasi sumbatan jalan napas atas harus
dilakukan secara hati-hati karena lebih berpotensi terjadi komplikasi
dibandingkan dengan indikasi lain. Salah satu cara untuk meminimalisir
komplikasi tersebut adalah dengan mengusahakan melakukan trakeostomi
dilakukan dalam keadaan terintubasi. Cara lain adalah dengan melakukan
persiapan dan pemilihan kanul yang sesuai karena mayoritas kasus
trakeostomi dengan tumor kepala leher yang memerlukan kanul lebih
panjang. Selain itu diperlukan juga kerja sama yang baik dengan ahli
anestesi untuk memberikan informasi yang rinci mengenai kondisi klinis
pasien yang akan dilakukan trakeostomi.
4. Angka kejadian komplikasi pada kasus sumbatan jalan napas cukup
banyak. Hal ini secara tidak langsung menjadi tantangan untuk operator,
dalam hal ini PPDS, agar lebih meningkatkan pengetahuan dan
keterampilannya dalam teknik trakeostomi sehingga komplikasi dapat
dihindari atau diminimalisir dengan melakukan tindakan trakeostomi
secara hati-hati. Frekuensi pelatihan dengan kadaver (silent mentor) harus
dilakukan lebih sering. Pelatihan tersebut juga diharapkan tidak hanya
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
78
diberikan pada PPDS tahap awal saja namun diberikan juga pada tahap
lanjut. Target pelatihan tahap awal adalah untuk melatih teknik
trakeostomi sehingga dapat melakukan trakeostomi dengan baik pada
pasien terintubasi. Target pelatihan PPDS tahap lanjut adalah melatih
kecepatan dalam melakukan trakeostomi sehingga dapat melakukan
trakeostomi dengan baik pada kasus trakeostomi darurat.
5. Pencatatan data rekam medis preoperatif, intraoperatif maupun
pascaoperatif harus ditulis dengan lengkap dan rinci sehingga data yang
diperlukan untuk penelitian selanjutnya lebih mudah didapat.
6. Penelitian prospektif tentang komplikasi trakeostomi perlu dilakukan.
Penelitian tersebut untuk menambahkan data tentang beberapa faktor yang
tidak didapat di penelitian ini. Faktor-faktor tersebut seperti faktor
operator dan leher pendek. Penelitian khusus pada kelompok usia anak
juga perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran komplikasi
trakeostomi pada kasus anak karena pada penelitian ini tindakan
trakeostomi mayoritas dilakukan pada kelompok usia dewasa sehingga
tidak dapat mewakili kelompok usia anak.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
79
DAFTAR PUSTAKA
79 Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
80
17. Caro EP-RP, Perez-Frias J, Cols M, Barrio I, Torrent A, Garcia MA, et al.
Paediatric Patients with A Tracheostomy. Spanish Multi-centre
Epidemiological Study. Eur Respir J. 2012;40(6):1502-7.
18. Wilson LM. Fungsi Pernafasan Normal. In: Price SA, Wilson LM, editors.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 4 ed. Jakarta: EGC;
1994. p. 646-7.
19. Dhillon RS, East CA. Ear, Nose and Throat: Head and Neck Surgery. 2 ed.
London: Harcourt Publishers; 2000.
20. Rowshan HH, Baur DA. Surgical Tracheotomy. Atlas Oral Maxillofacial Surg
Clin N Am. 2010(18):39-50.
21. Gulsen S, Unal M, Dinc AH, Altinors N. Clinically Correlated Anatomical
Basis of Cricothyrotomy and Tracheostomy. J Korean Neurosurg Soc
2010;47:174-9.
22. Tewfik TL. Tracheal Anatomy. 2013 [cited 2015 January]; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1949391.
23. Praveen C, Martin A. A Rare Case of Fatal Haemorrhage After Tracheostomy.
Ann R Coll Surg Engl. 2007;89(8):6-8.
24. Suslu N, Ermutlu G, Akyol U. Pediatric Tracheotomy: Comparison of
Indications and Complications between Children and Adults. Turkish J Ped.
2012;54:497-5.
25. Speech E. Tracheostomy and Ventilator Dependent Patients. 2009 [cited 2014
July]; Available from: http://everythingspeech.com.
26. Drake AF, Ferguson MO. Controversies in Upper Airway Obstruction. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery -
Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
p. 803-13.
27. Jackson C, Jackson CL. Obstructive Laryngotracheal Disease.
Bronchoesophagology. Philadelphia: W. B. Saunders Company; 1958. p. 111-
51.
28. Noerdin S. Tracheostomy. Kuantan: ENT Clinic, Hospital Tengku Ampuan
Afzan.
29. Yoo DB, Schiff BA, Martz S, Fraioli RE, Smith RV, Kvetan V, et al. Open
Bedside Tracheotomy: Impact on Patient Care and Patient Safety.
Laryngoscope. 2011;121:515-20.
30. Lore JM. The Trachea and Mediastinum. In: Gaertner RS, Chappelle A,
editors. An Atlas of Head & Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier
Saunders; Jesus E. Medina. p. 1015-24.
31. Walvekar RR, Myers EN. Tehcnique and Complications of Tracheostomy in
Adults. In: Myers EN, Johnson JT, editors. Tracheotomy: Airway
Management, Communication and Swollowing. 2nd ed. San Diego: Plural
Publishing; 2008. p. 35-67.
32. Engels PT, Bagshaw SM, Meier M, Brindley PG. Tracheostomy: from
Insertion to Decannulation. Can J Surg. 2009;52(5):427-33.
33. Sherman JM, Davis S, Petrick SA, Chatburn R, Fitton C, Green C, et al. Care
of The Child with a Chronic Tracheostomy. Am J Respir Crit Care Med.
2000;16(1):297-308.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
81
34. Behl S, Watt JWH. Prediction of tracheostomy tube size for paediatric long-
term ventilation: an audit of children with spinal cord injury. Br J An.
2005;94(1):88-91.
35. Heffner JE. Management of the chronically ventilated patient with a
tracheostomy. Chronic Respiratory Disease. 2005; 2:151-61.
36. Neema PK, Manikandan S. Tracheostomy and Its Variants. Indian J Anaesth.
2005;49(4):323-7.
37. Singh N, Fung A, Cole IE. Innominate Artery Hemorrhage Following
Tracheostomy. Otolaryngol Head Neck Surg. 2007;136(48):68-72.
38. Freeman BD, Isabella K, Lin N, Buchman TG. A Meta-analysis of
Prospective Trials Comparing Percutaneus and Sugical Tracheostomy in
Critically Ill Patients. CHEST. 2000;118:1412-8.
39. Regan GD, Minambres E, Ruiz A, Gonzalez-Herrera S, Holanda-Pen M,
Lopez-Espadas F. Safety and Complications of Percutaneous Tracheostomy in
a Cohort of 800 Mixed ICU Patients. Anaesthesia. 2008;63:1198-203.
40. Grant CA, Dempsey G, Harrison J, Jones T. Tracheo-innominate artery fistula
after percutaneous tracheostomy: three case reports and a clinical review. Br J
Anaesth. 2006;96 (1):127-31.
41. Tokur M, Kurkcuoglu IC, Kurul C, Demircan S. Synchronous Bilateral
Pneumothorax as a Complication of Tracheostomy. Turkish Respir J.
2006;7(2):84-5.
42. Kumar KS, Nampoothiri PM, Suma R, Renu P. Pneumothorax Following
Tracheostomy and Its Management. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg.
2002;54(3):236-7.
43. Blaivas AJ. Pneumothorax. New Jersey: A.D.A.M., Inc.; 2002 [updated 2012].
44. Smith DK, Grillone GA, Fuleihan N. Use of postoperative chest x-ray after
elective adult tracheotomy. Otolaryngol Head Neck Surg. 1999;120:848-51.
45. Kremer B, Botos-Kremer AI, Eckel HE, Schlondorff G. Indications,
Complications, and Surgical Techniques for Pediatric Tracheostomies—An
Update. J Pediatr Surg 37:1556-1562. 2002;37:1556-62.
46. Agarwal SS, Kumar L, Chavali KH, Mestri SC. Fatal Venous Air Embolism
Following Intravenous Infusion. J Forensic Science. 2009;54(3):682-4.
47. Daane SP, Toth BA. Fire in the Operating Room: Principles and Prevention.
Plast Reconstr Surg. 2005;115:73-5.
48. Rogers M, Nickalls R, Brackenbury E, Salamal F, Beattie M, Perks A. Airway
fire during tracheostomy: prevention strategies for surgeons and anaesthetists.
Ann R Coll Surg Engl. 2001;83:376-80.
49. Rinder CS. Fire safety in the Operating Room. Current Opinion Anaesth.
2008;21(6):790-5.
50. Thompson JW, Colin W, Snowden T, Hengesteg A, Stocks RMS, Watson SP.
Fire in the Operating Room During Tracheostomy. Shoutern Med J.
1998;91(3):243-7.
51. Casserly P, Lang E, Fenton JE, Walsh M. Assessment of healthcare
professionals’ knowledge of managing emergency complications in patients
with a tracheostomy. British J Anaesth. 2007;99(3):380-3.
52. Rajendram R, McGuire N. Repositioning a displaced tracheostomy tube with
an Aintree intubation catheter mounted on a fibre-optic bronchoscope. Br J
Anaesth. 2006;97(4):576-9.
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
82
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
Komite Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran U niversitas lndonesia
Rumah Sakit CiPto,Mangunkusumo '
ETHICAL APPROVAL
Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam upaya
melin$ungi hak asasi dan kesejahteriuur subyek penelitian ke(pk{eran, telah mengkaji
dengan teliti protokol berjudul: '
The Ethics Com,mittee of the Faculty of Medicine, (lniversity of Indonesia, with regards of
the Protection of humun rigtts and welfare
I
in rnedical research, has carefully reviewed the
researchprotocol entitted:
,'Proporsi Komplikasi Trakeostomi dan Faktor-faktor yang Berhubungan
91
Departemen THT-KL Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Sejak Januari 2011
Sampai Desember 2013".
"i
*--"*
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
84
LAMPIRAN 2
STATUS PENELITIAN
No Subjek :
No Rekam medik :
Nama :
Tanggal lahir/ Usia :
Jenis Kelamin : Laki-laki/ Perempuan
Lokasi tindakan : (IBP/ IGD/ICU/ HCU)
Jam tindakan :
Durasi tindakan :
1. Indikasi Trakeostomi
Sumbatan Jalan Napas atas 1
Intubasi lama 2
Akses Jalan napas 3
Retensi sputum 4
Lain-lain: ………………………. 5
4. Penyakit primer
Kardiovaskuler 1
Trauma 3
Tumor kepala leher 4
Kelainan kongenital 5
Infeksi 6
Lain-lain: ………………………. 7
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
85
6. Status Intubasi
Terintubasi 1
Tidak Terintubasi 2
8. Status Komplikasi
Komplikasi 1
Jika ya, jenis :
Komplikasi intraoperatif a
Perdarahan intra operatif
Pneumotoraks
Pneumomediastinum
Cardiopulmonary Arrest
Lain-lain:………………………
Komplikasi dini pascaoperatif b
Perdarahan pascaoperatif
Emfisema subkutis
Lepasnya kanul trakeostomi
Sumbatan kanul trakeostomi
Infeksi
Lain-lain:……………………….
Tidak Komplikasi 2
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
86
Lampiran 3
STATUS TRAKEOSTOMI
No Rekam medik :
Nama :
Tanggal lahir/ Usia :
Jenis Kelamin : Laki-laki/ Perempuan
Berat badan :
Tinggi badan :
Anamnesis :
Keputusan rencana trakeostomi (tgl, jam) :
Indikasi tindakan
Sumbatan jalan napas atas (stadium I II III IV)
Ancaman sumbatan jalan napas atas
Intubasi lama
Akses jalan napas saat operasi
Lain-lain:……………………
Penyakit primer
Tumor kepala leher (jenis tumor:………………………)
Infeksi (jenis infeksi:…………………………………....)
Stenosis subglotis
Kelainan kongenital
Trauma
Lain-lain:……………………
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
87
Status komplikasi
Tidak
Ya
Komplikasi Intraoperatif
Perdarahan intraoperatif
Cardiopulmonary arrest
Pneumotorak
Pneumomediastinum
Lain-lain:…………….
Komplikasi Dini Pascaoperatif
Perdarahan pascaoperatif
Sumbatan kanul
Lepas kanul
Emfisema subkutis
Lain-lain:………………
Universitas Indonesia
Proporsi komplikasi…, Dina Nurdiana, FK UI, 2014
88
LAMPIRAN 4
TABEL INDUK
No
Nama
Karakteristik Karakteristik Klinis
Demografis
Indikasi Trakeostomi
Onset obstruksi
Penyakit Primer
Leher pendek
Massa leher
Pendorongan trakea
Status Intubasi
Durasi Tindakan
Lokasi Tindakan
Jenis kelamin
Usia
1 MD 1 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2 2 1 2 2 2
2 IT 2 3 3 1 3 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2
3 TS 1 2 5 4 2 2 2 2 2 1 2 1 2 2 2
4 ML 1 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2
5 AS 1 2 1 2 4 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2
6 JSP 1 2 3 4 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2
7 AHK 1 3 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 2
8 DD 1 2 1 1 4 2 2 2 2 2 1 1 3 1 1 2 2
9 DP 2 2 5 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 1 1
10 AW 1 2 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 2
11 JY 1 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1
12 NH 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2
13 AR 1 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 1 1
14 PR 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 2
15 SD 1 3 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2
16 AR 1 2 5 3 1 2 2 2 2 2 1 3 1 1 2 3
17 NH 2 2 1 2 4 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2 1
18 AY 2 3 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 1
19 TR 2 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 3 1 1 2
20 DG 1 3 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2
21 MSZ 1 3 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 2
22 EM 1 2 5 2 1 2 2 2 2 2 2 3 1 1 1 2
23 JS 1 1 1 2 4 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2
24 SRY 2 2 5 4 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1
25 HDJ 2 2 5 2 2 2 1 2 2 2 2 1 2 2
26 AND 1 2 1 1 2 2 2 2 1 2 2 2 1 1 1 2
27 SPH 2 2 3 2 1 2 2 2 2 2 1 1 1 2 1
28 GM 1 3 1 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 1 2 2
29 SA 1 3 5 2 2 2 1 2 2 2 1 3 2 1
30 IDH 2 2 5 2 1 2 2 2 2 2 2 1 2 1
31 ASM 2 3 3 3 1 2 2 2 2 2 2 1 1 2
32 UDJ 1 2 5 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 1
33 TMG 1 2 1 2 2 2 2 1 1 2 2 2 1 2 2
34 PT 1 3 5 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1
35 MDS 1 3 5 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1
36 SS 1 3 1 1 2 1 2 2 2 2 2 2 1 1 1 2
37 ZA 1 2 1 2 2 1 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2