AnalisisPotensiBencanaAlam KLH PDF
AnalisisPotensiBencanaAlam KLH PDF
LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
Laporan Akhir
1
1 Pendahuluan
Potensi bencana alam yang tinggi pada dasarnya tidak lebih dari sekedar refleksi fenomena alam
yang secara geografis sangat khas untuk wilayah tanah air kita. Indonesia merupakan Negara
kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar dunia bertemu, yaitu: lempeng Indo-Australia, Eurasia
dan Pasifik. Interaksi antar lempeng-lempeng tersebut lebih lanjut menempatkan Indonesia sebagai
wilayah yang memiliki aktivitas kegunungapian dan kegempaan yang cukup tinggi. Lebih dari itu,
proses dinamika lempeng yang cukup intensif juga telah membentuk relief permukaan bumi yang
khas dan cukup bervariasi, dari wilayah pegunungan dengan lereng-lerengnya yang curam dan
seakan menyiratkan potensi longsor yang tinggi hingga wilayah yang landai sepanjang pantai dengan
potensi ancaman banjir, penurunan tanah dan tsunaminya (Sadisun, 2005-2006). Berbagai potensi
bencana alam yang mungkin timbul sudah sebaiknya harus kita kenal agar karakter bahaya alam
tersebut dapat kita minimalkan dampaknya.
Selain itu, potensi bencana alam ini telah diperparah oleh beberapa permasalahan lain yang muncul
di tanah air kita yang memicu peningkatan kerentanannya. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat
tinggi merupakan salah satu contoh nyata, sehingga akan banyak membutuhkan kawasan-kawasan
hunian baru yang pada akhirnya kawasan hunian tersebut akan terus berkembang dan menyebar
hingga mencapai wilayah-wilayah marginal yang tidak selayaknya dihuni. Tidak tertib dan tepatnya
perencanaan tata guna lahan, sebagai inti dari permasalahan ini merupakan faktor utama yang
menyebabkan adanya peningkatan kerentanan. Peningkatan kerentanan ini akan lebih diperparah
bila masyarakat sama sekali tidak menyadari dan tanggap terhadap adanya potensi bencana alam di
daerahnya. Pengalaman memperlihatkan bahwa kejadian-kejadian bencana alam selama ini telah
banyak menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan
bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya yang
komprehensif untuk mengurangi resiko bencana alam, antara lain yaitu dengan melakukan kegiatan
migitasi.
Bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas komponen bahaya (hazard) yang
berupa fenomena alam/buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak
lain. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kapasitas/kemampuan yang lebih rendah
dibanding dengan tingkat bahaya yang mungkin terjadi padanya. Misalnya, letusan G. Merapi dan
bahaya lainnya gempa bumi, banjir, gerakan tanah, dan lainnya tidak akan sertamerta menjadi
bencana apabila komunitas memiliki kapasitas mengelola bahaya.
Bencana cenderung terjadi pada komunitas yang rentan, dan akan membuat komunitas semakin
rentan. Kerentanan komunitas diawali oleh kondisi lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi yang tidak
aman (unsave conditions) yang melekat padanya. Kondisi tidak aman tersebut terjadi oleh tekanan
dinamis internal maupun eksternal (dynamic pressures), misalnya di komunitas institusi lokal tidak
berkembang dan ketrampilan tepat guna tidak dimiliki. Tekanan dinamis terjadi karena terdapat akar
permasalahan (root causes) yang menyertainya. Akar permasalahan internal umumnya karena
komunitas tidak mempunyai akses sumberdaya, struktur dan kekuasaan, sedang secara eksternal
karena sistem politik dan ekonomi yang tidak tepat. Oleh karenanya penanganan bencana perlu
dilakukan secara menyeluruh dengan meningkatkan kapasitas dan menangani akar permasalahan
untuk mereduksi resiko secara total.
Siklus penanggulangan bencana yang perlu dilakukan secara utuh. Upaya pencegahan (prevention)
terhadap munculnya dampak adalah perlakuan utama. Tsunami tidak dapat dicegah. Pencegahan
dapat dilakukan pada bahaya yang manusia terlibat langsung maupun tidak langsung. Pada tsunami
misalnya. Pencegahan dapat dilakukan rakyat dengan membuat bendung penahan ombak, bangunan
panggung tahan ombak, penataan ruang dan sebagainya. Agar tidak terjadi jebolnya tanggul, maka
perlu disusun save procedure dan kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah
dilakukan, sementara peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi
2
(mitigation), yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Ada 2
bentuk mitigasi yang lazim dilakukan yaitu mitigasi struktural berupa pembuatan infrastruktur
pendorong minimalisasi dampak, serta mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-
peraturan, pengelolaan tata ruang dan pelatihan.
Dalam kaitannya dengan pekerjaan ini, jenis bencana yang akan dilakukan analisis potensi hanya
terbatas kepada beberapa bencana alam yang sifat destruktif nya sangat besar dan sangat berdampak
terhadap kehidupan masyarakat dan memiliki potensi sering terjadi. Jenis bencana alam tersebut
adalah:
1. Tanah Longsor
2. Banjir
3. Gempa Bumi
4. Tsunami
Untuk mengetahui potensi dari setiap bencana tersebut, pendekatan yang digunakan haruslah
berdasarkan sifat dan karakteristiknya. Setiap jenis bencana mempunyai pemicu yang berbeda-beda,
untuk itu dalam melakukan analisis potensi haruslah berdasarkan variabel-variabel yang memiliki
pengaruh terhadap bencana tersebut.
3
2 Tinjaun Umum
Secara umum, analisis potensi bencana alam dilakukan pada daerah Papua dan Maluku sebagai
wilayah kajian, yang terdiri dari 4 (empat) Provinsi, yaitu:
1. Provinsi Maluku Utara
2. Provinsi Maluku
3. Provinsi Irian Jaya Barat, dan
4. Provinsi Papua
Berikut dijabarkan berupa tinjauan umum kondisi masing-masing provinsi tersebut.
6
3 Potensi Tanah Longsor
Longsor merupakan gejala alam untuk mencapai kondisi kestabilan kawasan. Seperti halnya banjir,
sebenarnya gerakan tanah merupakan bencana alam yang dapat diramalkan kedatangannya, karena
berhubungan dengan besar curah hujan. Dan lagi, secara alamiah telah nampak, bahwa suatu
kawasan memiliki tatanan geologis lebih mudah longsor dibanding daerah lain. Batuan yang mudah
desintegrasi, pola patahan batuan, perlapisan batuan, ketebalan tanah lapuk, kemiringan curam,
kandungan air tinggi dan getaran gempa merupakan sifat geologis yang mempengaruhi proses
longsoran, manusia dapat sebagai faktor pemacu proses longsoran, misalnya secara sengaja
melakukan penambahan beban, penambahan kadar air, penambahan sudut lereng. Karena faktor
kadar air merupakan hal yang cukup dominan, maka longsor sering terjadi di musim hujan. Kawasan
Temanggung Utara, Wangon, Wonosobo, Sukabumi, Sumedang, Padalarang, Bogor merupakan
daerah potensi di Jawa. Daerah potensi longsor pada umumnya merupakan daerah di tepi
pegunungan terjal.
3.1 METODOLOGI
Secara umum, diagram alur yang digunakan dalam menghasilkan pemodelan tanah longsor ini
diperlihatkan berikut ini.
DEM
Pit FillDem
Contributing Area
Lokasi Kejadian
Longsor
Spatial Model -
Fuzzy Logic
Potensi Tanah
Longsor
7
3.1.1 Sumber Data
Jenis data yang digunakan untuk kebutuhan analisis potensi tanah longsor ini adalah:
1. DEM (Digital Elevation Model), menggunakan DEM dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission)
yang memiliki resolusi 90 m.
2. Tutupan Lahan, sumber: Departemen Kehutanan & penyesuaian dengan hasil interpretasi citra
Landsat tahun 2000 – 2003.
3. Litologi (Jenis batuan) sekala 1:250.000.
4. Curah Hujan, sumber: Badan Meteorologi & Geofisika dari tahun 1996 – 2001.
Sumber: A Stability Index Approach to Terrain Stability Hazard Mapping, Utah State University et al
Secara umum, kondisi tingkat kestabilan secara morfologi pada suatau wilayah akan dapat diketahui
tingkatannya. Pada tahap ini, pemodelan stability index mapping ini merupakan tahap untuk mengukur
indikator awal dari kestabilan sebuah lereng sesuai dengan kemiringannya. Pemodelan terhadap
lereng ini juga akan mengikut sertakan variabel-variabel dari model hidrologi berupa flow direction, flow
accumulation pada unit DAS (Daerah Aliran Sungai), dengan asumsi bahwa tingkat kestabilitasan
sebuah lereng sangat dipengaruhi oleh daur hidrologi yang kita temui setiap hari. Model ini juga akan
lebih akurat jika disertai dengan adanya data yang berupa lokasi-lokasi yang pernah terjadi longsoran
sebelumnya untuk mengetahui karakteristik stablitas lereng pada daerah tertentu.
Berikut dijabarkan beberapa metode yang diikutsertakan dalan penentuan nilai stability index untuk
wilayah sampel studi seperti diperlihatkan pada gambar berikut.
8
1. Pit filling correction; melakukan koreksi terhadap kemungkinan adanya lubang-lubang pada nilai
elevasi yang tinggi dari sebuah dem. Seperti terlihat pada gambar berikut.
2. Slope dan Flow Direction; penurunan data dem menjadi lereng (slope) dalam satuan tertentu dan
penurunan data arah aliran (flow direction) untuk mengetahui arah aliran air pada sebuah topografis.
3. Contributing Area; penurunan untuk membuat deliniasi dari wilayah yang memiliki kontribusi
(contributing area) terhadap daur hidrologis pada daerah lainnya.
9
4. Saturation; untuk mengethaui tingkat kebasahan pada daur hidrologis.
5. Stability Index; model akhir untuk mengetahui tingkat kestabilan sebuah topografis berdasarkan
daur hidrologis tertentu.
Hasil dari nilai Stability Index ini pada wilayah kajian diperlihatkan pada peta berikut ini.
10
Secara umum, model Stability Index ini jika dibandingkan pengaruhnya pada sebuah lereng di luasan
daerah tertentu diperlihatkan pada grafik berikut ini.
Sumber: A Stability Index Approach to Terrain Stability Hazard Mapping, Utah State University et al
SumTotal = 1 – Sum1,2,3..j;
Sum1,2,3..j = Sum1•Sum2•Sum3•…Sumj;
Sum1 = 1 – Peta1; Peta2 = 1 – Peta2; Peta3 = 1 – Peta3; Peta(x) = 1 – Peta(x);
Product = Peta1•Peta2•Peta3•…Petax;
11
Model alir dari formula Fuzzy Logic tersebut diperlihatkan berikut ini.
Map 3
Map 2
Map 1
Dalam hubungannya dengan nilai fuzzy logic ini, nilai klasifikasi stability index sebelumnya akan
dilakukan konversi ke nilai fuzzy logic ini, seperti terlihat berikut;
Sehingga hasilnya akan berupa peta potensi tanah longsor dalam format grid berdasarkan tingkat
klasifikasi potensinya (tinggi, sedang, rendah, dll). Berikut digambarkan bagan alir dalam melakukan
pemodelan tanah longsor.
12
Nilai Fuzzy Variabel
1. Fuzzy Stability Index
13
4. Fuzzy Curah Hujan
Untuk mendapatkan klasifikasi dari potensi tanah longsor nilai fuzzy logic tersebut, digunakan
kategori klasifikasi Natural Breaks (Jenks) dalam 4 (empat) kelas, yaitu;
0 = Tidak Berpotensi
0 – 0.588 = Potensi Rendah
0.588 – 0.693 = Potensi Sedang
0.693 – 0.903 = Potensi Tinggi
Seperti terlihat pada Peta berikut ini.
14
3.2 HASIL ANALISIS
Hasil analisis menunjukkan bahwa sebaran potensi tanah longsor di keempat Provinsi tersebut pada
umumnya yang tersebar di bagian tengah pada daerah perbukitan dan pegunungan yang memiliki
karakteristik berlereng terjal dengan karakteristik penggunaan tanah lebih didominasi oleh
penggunaan tanah pertambangan, tanah terbuka, pemukiman, transmigrasi dan airport.
Berikut diperlihatkan distribusi Potensi Tanah Longsor yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelas
potensi, yaitu; Rendah, Sedang dan Tinggi dengan potensi total berkisar antara 21 s/d 28 % dari
masing-masing luas total Provinsinya (Lihat Tabel Berikut dan Peta 8-Potensi Tanah Longsor). Pada
tingkat klasifikasi Sedang merupakan persentase tertinggi yang berada di 3 (tiga) provinsi, yaitu;
Maluku Utara, Maluku dan Irian Jaya Barat. Sedangkan untuk Provinsi Papua, tingkat potensi
Tinggi merupakan persentase tertinggi yang terdistribusi pada daerah pegunungan tengah.
POTENSI TANAH LONGSOR TOTAL
LUAS TOTAL RENDAH SEDANG TINGGI POTENSI
No PROVINSI PADA UNIT TANAH
ANALISIS (Ha) LONGSOR
(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (%)
Maluku
1 Utara 3,131,176.00 171,763.77 5.49% 407,369.19 13.01% 302,554.76 9.66% 28.16%
Irian Jaya
3 Barat 9,651,955.64 319,467.78 3.31% 962,585.19 9.97% 845,765.25 8.76% 22.05%
15
Pengaruh kegiatan industri besar juga memberikan kontribusi terhadap adanya potensi tanah
longsor, seperti kegiatan pertambangan besar yang mampu merubah bentuk topografis serta
penggunaan tanah. Berikut diperlihatkan wilayah potensi tanah longsor pada salah satu kegiatan
Pertambangan di pegunungan tengah.
Pada gambar di atas, terlihat daerah kerja dari sebuah pertambangan besar dengan tipe Open-Pit
dengan struktur pit melingkar dan berlereng curam. Terlihat dominasi potensi tanah longsor yang
tinggi pada daerah ini.
16
4 Potensi Rawan Bencana banjir
Meningkatnya banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia, sering dikaitkan dengan
pembabatan hutan di kawasan hulu dari sistim daerah aliran sungai (DAS). Banjir, sebenarnya
merupakan bencana alam paling dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan besar curah
hujan. Secara klasik, walaupun tidak tepat betul, yang dituduh sebagai biang keladi banjir adalah
petani, yang menebang hutan di bagian hulu DAS. Penebangan dan pengelolaan hutan yang
terbatas, tidak begitu saja dapat mempengaruhi sistim pengaturan air maupun pembudidayaan hutan
menjadi ladang, lahan pertanian atau pemukiman. Apalagi jika disertai dengan pemadatan tanah dan
erosi yang berat. Penebangan hutan dan pemadatan tanah tidak memberikan kesempatan air hujan
untuk meresap ke tanah. Sebagian besar menjadi aliran permukaan dengan pelumpuran. Apalagi
didukung oleh sungai yang semakin dangkal dan menyempit, bantaran sungai yang penuh dengan
penghuni, serta penyumbatan saluran air. Padahal, sekali kawasan terkena banjir, berikutnya akan
mudah banjir lagi. Karena pori permukaan tanah tertutup sehingga air sama sekali tidak dapat
meresap. Banjir umumnya terjadi di dataran, hilir dari suatu DAS yang memiliki pola aliran rapat.
Dataran yang menjadi langganan banjir umumnya memiliki kepadatan pendudukan tinggi. Secara
geologis, berupa lembah atau bentuk cekungan bumi lainnya dengan porositas rendah. Umumnya
berupa delta maupun alluvial. Selain pantai utara Jawa, dataran Bengawan Solo, dataran Sungai
Citarum dan Sungai Brantas, Tinggi Bandung, dataran Sumatera Utara, Kalimantan Timur,
merupakan kawasan potensi banjir.
Untuk mengetahui pontensi banjir pada suatu wilayah, unit analisis yang digunakan adalah dalam
satuan DAS (Daerah Aliran Sungai), sehingga diperlukan suatu pemodelan spasial hidrologi dalam
menentukan batas-batas DAS tersebut.
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah satuan wilayah berupa sistem lahan dengan tutupan vegetasinya
yang dibatasi oleh batas-batas topografi alami (seperti punggung-punggung bukit) yang menerima
curah hujan sebagai masukan DAS, mengumpulkan dan menyimpan air, sedimen dan unsur hara
lain, serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai untuk akhirnya keluar melalui satu sungai utama
ke laut atau ke danau (Pawitan, 2001). Tahapan yang dilakukan dalam pembuatan wilayah potensi
banjir ini adalah sebagai berikut:
4.1 METODOLOGI
17
4.1.2 Pemodelan Spasial Daerah Aliran Sungai
Tahapan yang dilakukan pada tahap ini adalah dititikberatkan kepada penurunan algoritma tentang
hidrologi dan geomorfologi yang berupa:
1. Sink; merupakan bagian yang sering terdapat pada lembah yang sempit di mana lebar lembah
tersebut lebih kecil dari ukuran sel
2. Flow Direction; merupakan arah di mana air mengalir ke luar dari sebuah sel dem (Meijerink et al.,
1994). Seperti terlihat pada gambar berikut.
3. Flow Accumulation; untuk mengetahui ke mana arah air akan mengalir, sehingga dapat
digambarkan daerah apa yang mempunyai kelebihan air yang mengalir melaluinya dibandingkan
dengan daerah lain. Seperti terlihat pada gambar berikut.
4. Stream Channel.
5. Stream Link Seperti terlihat pada gambar berikut.
18
6. Pembuatan Watershed. Seperti terlihat pada gambar berikut.
Proses penurunan model hidrologis tersebut diatas diperlihatkan bagan alir berikut ini.
DEM
Sink
Ada
Tidak
Hilangkan
Flow Direction
19
Salah satu metode untuk menduga aliran permukaan ini yaitu metode Soil Conservation Service (SCS)
yang mengembangkan indeks yang disebut Runoff Curve Number atau CN (nilai kurva limpasan).
CN ini berkisar antara 0 – 100 dan menyatakan pengaruh terhadap tanah, keadaan hidrologi, dan
kandungan air sebelumnya pada kondisi II (Bras, 1990; Wanielista, 1990; Arsyad, 2000).
Pada wilayah studi, nilai CN yang dihasilkan diperlihatkan pada tabel berikut.
KELOMPOK
No TUTUPAN LAHAN HIDROLOGI TANAH
A B C D
1 Airport 79 86 90 92
2 Belukar Rawa 100 100 100 100
3 Hutan Lahan Kering Primer 25 55 70 77
4 Hutan Lahan Kering Sekunder 25 55 70 77
5 Hutan Mangrove Primer 100 100 100 100
6 Hutan Mangrove Sekunder 100 100 100 100
7 Hutan Rawa Primer 100 100 100 100
8 Hutan Rawa Sekunder 100 100 100 100
9 Hutan Tanaman Keras 25 55 70 77
10 Pemukiman 79 86 90 92
11 Perkebunan 62 71 78 81
12 Pertambangan 62 71 78 81
13 Pertanian Lahan Kering 51 67 76 80
14 Pertanian Lahan Kering Campur 51 67 76 80
15 Rawa 100 100 100 100
16 Savana 30 58 71 78
17 Sawah 59 70 78 81
18 Semak/Belukar 29 57 70 77
19 Tambak 59 70 78 81
20 Tanah Terbuka 30 58 71 78
21 Transmigrasi 59 74 82 86
22 Tubuh Air 100 100 100 100
Untuk mendapatkan kriteria kelompok hidrologi tanah, digunakan peta jenis batuan dengan
pertimbangan bahwa tema jenis batuan ini sebagai batuan induk penyusunnya. Kriteria kelompok
hidrologi tanah ini lebih dititikberatkan untuk mengetahui tingkat infiltrasi maupun runoff. Arti dari
klasifikasi tersebut adalah:
1. Kelompok A: Infiltrasi Tinggi [Runoff Rendah]
2. Kelompok B: Infiltrasi Sedang [Runoff Sedang]
3. Kelompok C: Infiltrasi Rendah [Runoff Sedang sampai Tinggi]
4. Kelompok D: Infiltrasi Sangat Rendah [Runoff Sangat Tinggi]
Hasil dari kelompok hidrologi tanah dan Nilai Kurva Limpasan (CN) pada peta diperlihatkan
berikut ini.
20
1. Peta Kelompok Hidrologi Tanah
21
Adapun persamaan SCS untuk menduga aliran permukaan, yaitu:
di mana,
Q = aliran permukaan (mm)
P = presipitasi atau curah hujan (mm)
CN = nilai atau bilangan kurva aliran permukaan
Untuk menduga volume limpasan permukaan ini, minimal diperlukan 2 jenis peta yaitu peta curah
hujan dan peta CN. Setiap peta dalam bentuk raster ini dapat ’dimasukan’ persamaan SCS yang
menghasilkan peta atau layer yang menunjukkan ketersediaan air untuk aliran permukaan pada setiap
lokasi dalam DAS. Selanjutnya perintah akumulasi aliran dengan peta aliran permukaan sebagai
pembobotnya akan mengakumulasikan nilai aliran permukaan pada masing-masing piksel.
Dengan asumsi bahwa perubahan lahan (terutama ke arah negatif atau degradasi lahan)
menghasilkan aliran permukaan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya, maka dapat dibuat
beberapa skenario perubahan lahan.
Hasil peta Q (Aliran Permukaan) diperlihatkan berikut ini.
Dari skenario ini diharapkan suatu hasil yang dapat menggambarkan hubungan antara
kerusakan/degradasi yang terjadi dengan akumulasi aliran pada titik-titik konsentrasi aliran terutama
pada outlet DAS. Diagram alir tahap ini dapat dilihat pada gambar berikut dengan menganggap
tidak terjadi perubahan pada CH dan kondisi tanah (kelompok hidrologi tanah).
22
Grup
Hidrologi
Tanah
Nilai Kurva
Combine Lim pasan
(CN)
Penutupan/
Penggunaan
Lahan
C u ra h
H u ja n
Ketersediaan
DTM
Air untuk
Limpasan
Akumulasi
Filled DTM A ra h Ketersediaan
(Sink dihilangkan) A lira n Air untuk
Limpasan
Peta dari Akumulasi Ketersediaan Air Untuk Limpasan diperlihatkan berikut ini.
23
Wetness Index (Indeks Kebasahan)
Wetness Index (WI) adalah indeks kebasahan yang dapat digunakan sebagai indikator dari suatu
kawasan yang mempunyai potensi banjir. Indeks ini diturunkan dari peubah-peubah permukaan,
sehingga untuk mengetahui jumlah limpasan air yang tersedia ataupun tinggi suatu genangan air
dalam tiap sel/area maka diperlukan informasi dari perhitungan limpasan permukaan. Wetness index
dihitung dengan persamaan berikut :
Wi = ln(As / tan B)
dimana :
As = Luas Area, jika dilakukan pendekatan raster maka As adalah Akumulasi Ketersediaan Air Untuk
Limpasan / flow accumulation
B = Kemiringan lahan (dalam derajat)
Alur dalam “Model Builder” untuk mendapatkan nilai Wetness Index diperlihatkan berikut.
24
Potensi Banjir
Peta Potensi Banjir diperoleh perdasarkan hasil re-klasifikasi nilai dari peta Wetness Index tersebut di
atas. Klasifikasi yang digunakan adalah menggunakan metode Quantile yang menggambarkan tingkat
potensi banjir dan dibagi kedalam 4 (empat) kelas, yaitu:
0.00 – 13.57 = Tidak Berpotensi
13.57 – 15.63 = Potensi Rendah
15.63 – 17.27 = Potensi Sedang
17.27 – 34.40 = Potensi Tinggi
Seperti yang terlihat pada peta berikut ini.
25
POTENSI BANJIR TOTAL
LUAS TOTAL
RENDAH SEDANG TINGGI POTENSI
No PROVINSI PADA UNIT
BANJIR
ANALISIS (Ha)
(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (%)
Maluku
1 Utara 3,131,176.00 1,222,555.44 39.04% 572,728.56 18.29% 209,016.42 6.68% 64.01%
Maluku
2 4,658,664.00 1,376,568.73 29.55% 993,876.26 21.33% 482,089.89 10.35% 61.23%
Irian Jaya
3 Barat 9,651,955.64 3,036,607.76 31.46% 2,523,212.55 26.14% 1,755,427.15 18.19% 75.79%
Papua
4 31,710,148.48 5,589,941.90 17.63% 5,469,711.81 17.25% 6,711,459.32 21.17% 56.04%
Secara geomorfologi, potensi banjir Tinggi di Provinsi Papua merupakan persentase tertinggi yang
terdistribusi pada dataran rendah bagian selatan yang secara geomorfologi berupa Alluvial Plain.
Sedangkan di Provinsi Irian Jaya Barat potensi Tinggi lebih banyak terdapat pada wilayah Teras-teras
rendah yang berlereng 2-8% yang berupa dan juga terdistribusi pada Lembah Alluvial, Dataran
Alluvial dan Dataran. Sedangkan di Provinsi Maluku Utara dan Maluku, Potensi Banjir yang tinggi
terdistribusi pada wilayah Dataran Rendah, Dataran Alluvial serta Lembah Alluvial
26
5 Potensi Bahaya Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran di permukaan bumi/tanah yang terjadi karena pelepasan energi secara
tiba-tiba oleh batuan yang berada di bawah permukaan atau seperti diterangkan di atas karena
batuan mengalami pematahan atau pensesaran. Gempa bumi dengan magnitude cukup besar (mb >
5,9 skala Richter) mampu merusakkan bangunan. Gempa bumi bisa merusak melalui dua cara, yaitu
langsung dari getarannya yang memberikan efek gaya horisontal, dan secara tidak langsung melalui
liquefaction (Chandler, 1977).
Magnitudo/besaran gempa bumi adalah energi yang dilepaskan saat gempa bumi, biasanya diukur
dari rekaman gelombang seismik. Skala Richter dipergunakan untuk menentukan besaran gempa
menengah yang episentrumnya kurang/sama dengan 100 km dari seismograf (ML). Semakin besar
magnitudo gempa bumi, semakin luas dan semakin lama orang merasakannya. Gempa bumi adalah
suatu peristiwa yang kompleks, sehingga untuk menilainya pun diperlukan cara lain yaitu: mb (body
wave) menggunakan gelombang P yang berperiode 1-10 detik; MS (surface wave) menggunakan
gelombang Rayleigh yang berperide 18-22 detik. Jika dibandingkan dengan sesar yang terbentuk
maka yang dipakai adalah momen seismik (MO) dan masih ada lagi untuk gempa bumi berskala
besar yaitu MW (moment magnitude scale) = 2/3 log10 (MO) – 6.
Ada tiga kelompok pembagian gempa bumi yang lazim kita kenal, yaitu;
Gempa tektonik, yaitu yang berkaitan erat dengan pembentukan patahan (fault), sebagai akibat
langsung dari tumbukan antar lempeng pembentuk kulit bumi.
Gempa vulkanik, yaitu gempa berkaitan dengan aktivitas gunung api.
Terban yang muncul akibat longsoran / terban dan merupakan gempa kecil. Kekuatan gempa mungkin
sangat kecil sehingga yang muncul tidak terasa, berupa tremor dan hanya terdeteksi oleh seismograf.
Patahan-patahan besar juga merupakan penyebab gempa yang dahsyat. Misalnya patahan Semangko
yang membujur membelah pulau Sumatera, patahan Palu-Koro di Sulawesi, patahan berarah Laut-
Barat Daya dan Barat Laut – Tenggara yang merajam Jawa dan juga patahan Sorong di Kepala
Burung Irian. Patahan-patahan tersebut merupakan zona lemah yang mudah oleh gempa tektonik.
Pusat gempa itu sendiri begitu banyak dan mengerombol. Menyebabkan Indonesia ini banyak
memiliki potensi bencana gempa. Antara lain Aceh, Padang, Bengkulu, Sukabumi, Wonosobo,
Maluku dan Irian Jaya.
Adapaun Skala Richter untuk magnitudo gempa bumi adalah sebagai berikut.
<2 Secara umum getaran tak terasa tetapi terekam oleh seismograf
2 – 2,9 Getaran hampir terasa oleh sebagian kecil orang
3 – 3,9 Getaran terasa oleh sebagian kecil orang
4 – 4,9 Getaran terasa oleh hampir semua orang
5 – 5,9 Getaran mulai menimbulkan kerusakan bangunan
6 – 6,9 Getaran menimbulkan kerusakan
7 – 7,9 Gempa skala besar, getaran kuat, menimbulkan kerusakan besar
8 – 9,0 Gempa dahsyat, getaran sangat kuat dan meluluh lantakkan bangunan
Pada wilayah penelitian, gempa tektonik merupakan potensi besar yang mungkin terjadi setiap saat.
Hal ini diperkuat oleh adanya patahan-patahan aktif di dasar laut yang menjadi tempat pertemuan
lempeng Australia di bagian selatan dan Pasifik di sebelah utara. Adanya patahan-patahan ataupun
Trench pada zone subduksi tersebut menunjukkan bahwa pergerakan dari pertemuan lempeng pada
wilayah ini selalu aktif sepanjang tahun. Patahan-patahan yang terdapat pada wilayah ini adalah
berupa Trench (New Guinea Trench, Manokwari – South New Guinea, Seram, Talaud Trench,
27
Phillipine Trench, Java Trench) dan Transform Fault (Sorong Fault) menyebabkan instensitas
gempa tektonik yang terjadi sangat tinggi, sehingga wilayah ini sangat berpotensi berada dalam
tingkat bahaya kegempaan yang sangat tinggi.
Maluku
Jalur tabrakan lempeng benua dari Timor menerus dan melengkung berlawanan arah jarum jam
melingkari Laut Maluku. Di jalur batas lempeng ini sudah terjadi sebanyak 10x gempa berpotensi
tsunami dalm seratus tahun terakhir dengan kekuatan M>7.5. Lebih jauh lagi, catatan sejarah kuno
menyebutkan bahwa pada tahun 1674 di wilayah Pulau Buru-Seram terjadi gempa sangat besar
disertai tsunami sangat dahsyat dengan ketinggian gelombang maximum mencapai 70 meter!.
Melihat frekuensi yang tinggi dan rata-rata kekuatan gempa yang besar tersebut di wilayah Maluku
maka sangat penting untuk mengkaji dengan seksama potensi bencana gempa dan tsunaminya di
masa depan (Danny Hilman).
Irian Jaya
Wilayah Irian Jaya didominasi oleh tiga jalur besar gempa bumi, yakni: Zona konvergensi lempeng
Pasifik dan Pulau Papua New Guinea yang kompleks, jalur Sesar Sorong, dan Jalur Sesar Aiduna-
Tarairua (Lihat Gambar di bawah). Dengan kecepatan gerak relatif lempeng Pasifik yang sekitar 120
mm/tahun, maka bisa diterka bahwa wilayah ini mempunyai potensi bencana gempa sekitar dua-kali
lipat lebih besar dibandingkan wilayah Sumatra-Jawa yang pergerakan lempengnya hanya 50 - 70
mm/tahun. Faktanya, sudah sangat sering gempa-gempa besar terjadi di masa lalu, misalnya gempa-
tsunami di Biak (Mw8.3) yang memakan korban ribuan jiwa dan gempa yang tiga kali terjadi di
wilayah Nabire tahun 2004 dengan kekuatan Mw7.1 sampai Mw7.6. Memang sekarang ini populasi
penduduk di wilayah Irian Jaya masih sedikit demikian juga infrastrukturnya masih terbelakang
sehingga walaupun hazard-nya paling tinggi di wilayah Indonesia tapi risk-nya masih tidak terlalu
tinggi. Namun perlu dingat bahwa faktor resiko bencana ini akan terus naik sejalan dengan laju
populasi dan pembangunan, yang kalau tidak mengindahkan faktor bencana akan terus mengisi
daerah-daerah yang rawan bencana (Danny Hilman)
Peta tektonik aktif dan sejarah gempa bumi dari wilayah Indonesia Timur
28
5.1 METODOLOGI
Hasil yang diharapkan pada kajian kegempaan disini lebih dititikberatkan untuk mengetahui wilayah-
wilayah yang memiliki potensi tingkat bahaya yang tinggi dari pergerakan tanah yang dihasilkan pada
saat gempa terjadi.
5.1.2 Seismisitas
Peta seismisitas adalah peta yang menunjukkan aktifitas gempa bumi. Aktifitas gempa bumi bisa
ditinjau dari bermacam cara, diantaranya adalah dengan peta distribusi gempa bumi. Setiap gempa
bumi melepaskan energi gelombang seismik, sehingga kumpulan gempa bumi pada periode tertentu
pada suatu area juga suatu cara untuk menggambarkan konsentrasi aktifitas gempa bumi
Dalam kaitannya pada penelitian ini, untuk mengetahui potensi gempa bumi di Papua dan Maluku
dilakukan dengan menggunakan data gempa bumi yang berasal dari katalog gempa NEIC USGS
(United State Geological Survey) di daerah studi pada kurun waktu periode tertentu. Data gempa bumi
dipilih dengan magnitudo >= 5 skala Richter. Karena memang pada sekala ini dampak yang
ditimbulkan mulai terasa.
Pada wilayah penelitian, jumlah kejadian gempa yang terekam dari tahun 1973 s/d Agustus 2007
tercatat 18.504 kejadian dengan rentang kekuatan berkisar antara 2.9 – 8.3 M. Pada rentang tahun ini
pernah terjadi 2 (dua) kali gempa dengan kategori sangat kuat, yaitu diatas 8 M seperti terlihat pada
gambar berikut ini.
Sedangkan peta seismisitas yang menggambarkan distribusi gempa dari tahun 1973 – 2007
diperlihatkan berikut ini.
29
Distribusi episentrum gempa bumi yang terjadi pada kurun waktu tersebut penyebarannya bisa
dikatakan mengelompok. Berikut diperlihatkan Peta Kepadatan episentrum dalam satuam mB/Km2.
Hasil dari perhitungan Pattern Analysis dengan menggunakan metode Average Nearest Neighbor,
sebaran episentrum tersebut berada pada Z Score = -86.662684 dan Nearest Neighbor Ratio =
0.654407, sehingga dapat disimpulkan bahwa tipe dari sebaran episentrum tersebut adalah
Mengelompok. Seperti diperlihatkan pada ilustrasi berikut.
30
Berikut diperlihatkan Peta Kepadatan Episentrum dalam Magnitude/Km 2.
31
5.1.4 Percepatan Tanah Maksimum / Peak Ground Acceleration (PGA)
Perpindahan materi biasa disebut displacement. Jika kita lihat waktu yang diperlukan untuk
perpindahan tersebut, maka kita bisa tahu kecepatan materi tersebut. Sedangkan percepatan adalah
parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan
tertentu. Pada bangunan yang berdiri di atas tanah memerlukan kestabilan tanah tersebut agar
bangunan tetap stabil. Percepatan gelombang gempa yang sampai di permukaan bumi disebut juga
percepatan tanah, merupakan gangguan yang perlu dikaji untuk setiap gempa bumi, kemudian
dipilih percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) untuk dipetakan agar bisa
memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi. Efek primer
gempa bumi adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa gedung perumahan rakyat,
gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan dan infrastruktur lainnya, yang diakibatkan
oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi
tergantung dari kekuatan dan kualitas bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan,
dan percepatan tanah di lokasi bangunan akibat dari getaran suatu gempa bumi. Faktor yang
merupakan sumber kerusakan dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data PGA
akibat getaran gempa bumi pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko
gempa bumi di suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai PGA yang pernah terjadi di suatu tempat,
semakin besar resiko gempa bumi yang mungkin terjadi.
Formula yang digunakan dalam menghitung nilai PGA adalah menggunakan Formula Murphy –
O’Brein, yaitu:
32
dimana;
PGA = Peak Ground Acceleration
I = Intensitas standard MMI
M = Magnitude gempabumi
d = jarak antara lokasi dengan sumber gempabumi
Peta jarak antara lokasi dengan sumber gempa bumi terdekat diperlihatkan berikut ini.
Perhitungan nilai PGA akan menghasilkan Peta Potensi Bahaya Gempa Bumi seperti terlihat berikut
ini. Peta PGA itu sendiri merupakan hasil dari 10% kemungkinan kejadian dalam 50 tahun dan 475
tahun periode ulang gempa. Peta PGA yang dihasilkan tersebut merupakan modifikasi dari peta
Global Seismic Hazard Map oleh Global Seismic Hazard Assessment Program (GSHAP).
Penyesuaian yang dilakukan adalah melakukan interpolasi pada grid yang lebih kecil (resolusi lebih
tinggi) menjadi 500 x 500 m yang disesuaikan dengan ukuran wilayah penelitian. Nilai PGA yang
dihasilkan akan dikategorikan menjadi tingkat bahaya kegempaan dengan mengikuti standar
klasifikasi dari GSHAP yang dikelompokkan kedalam 4 (empat) kelas, yaitu; Rendah – Sedang –
Tinggi – Sangat Tinggi, seperti diperlihatkan pada peta berikut ini.
33
5.2 HASIL ANALISIS
Kalau dihitung secara persentase bahwa pada wilayah ini, provinsi Papua memiliki potensi tingkat
bahaya yang lebih tinggi dari Provinsi lainnya (kategori Sangat Tinggi), terutama di wilayah bagian
utara di Kabupaten Sarmi. Sedangkan di Provinsi Papua Barat, sebagian besar wilayahnya memiliki
tingkat potensi yang Tinggi, terutama di Manokwari, Sorong, Telukbintuni, Nabire dan Kaimana.
Sedangkan di wilayah Maluku, Potensi dengan tingkat bahaya Sangat Tinggi berada di Provinsi
Maluku, terutama di Kabupaten Seram Bagian Barat dan sebagian besar Maluku Tengah. Sedangkan
wilayah Kabupaten lain; Kabuten Buru dan Seram Bagian Barat memiliki Potensi yang Tinggi. Lihat
Tabel berikut ini.
Maluku
2 4,611,411 230,572 5.00% 1,439,528 31.22% 1,957,714 42.45% 983,598 21.33% 100%
Irian Jaya
3 Barat 9,597,242 - - 2,425,120 25.27% 7,172,121 74.73% - - 100%
Papua
4 31,679,016 4,446,172 14.04% 16,244,257 51.28% 9,747,358 30.77% 1,241,229 3.92% 100%
34
Lihat peta berikut untuk mengetahui Tingkat Bahaya Kegempaan yang ditumpangtindihkan dengan
administrasi Kabupaten.
35
6 Potensi Rawan Tsunami
Tsunami (gelombang pasang) umumnya menerjang pantai landai. Asal-usul kejadiannya dapat
dihubungkan dengan adanya tektonik (selanjutnya disebut gempa) dan letusan gunung api. Tsunami
yang berhubungan dengan gempa dan letusan gunung api merupakan bencana alam lain yang
kedatangannya tidak dapat diramal. Gempa-gempa dalam, umumnya tidak berpotensi langsung
terhadap terjadinya tsunami. Gempa yang berpengaruh langsung menimbulkan tsunami umumnya
merupakan gempa dangkal. Umumnya, gempa hanya bertindak sebagai pemicu munculnya
terjadinya sobekan patahan-patahan.
Tsunami ditimbulkan oleh adanya deformasi (perubahan bentuk) pada dasar lautan, terutama
perubahan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar lautan tersebut akan
diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan timbulnya penjalaran gelombang
air laut secara serentak tersebar ke seluruh penjuru mata-angin. Kecepatan rambat penjalaran
tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga ribuan km/jam, dan berkurang pada saat
menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin dangkal. Walaupun tinggi gelombang tsunami di
sumbernya kurang dari satu meter, tetapi pada saat menghempas pantai, tinggi gelombang tsunami
bisa mencapai lebih dari 5 meter. Hal ini disebabkan berkurangnya kecepatan merambat gelombang
tsunami karena semakin dangkalnya kedalaman laut menuju pantai, tetapi tinggi gelombangnya
menjadi lebih besar, karena harus sesuai dengan hukum kekekalan energi. Penelitian menunjukkan
bahwa tsunami dapat timbul bila kondisi tersebut di bawah ini terpenuhi :
Gempabumi dengan pusat di tengah lautan
Gempabumi dengan magnitude lebih besar dari 6.0 skala Ricter
Gempabumi dengan pusat gempa dangkal, kurang dari 33 Km
Gempa bumi dengan pola mekanisme dominan adalah sesar naik atau sesar turun
Lokasi sesar (rupture area) di lautan yang dalam (kolom air dalam).
Morfologi (bentuk) pantai biasanya pantai terbuka dan landai atau berbentuk teluk.
Secara umum, peta rawan tsunami ini menggambarkan pantai-pantai di daerah studi (Papua dan
Maluku) yang rawan terhadap bahaya tsunami. Kerawanan terhadap tsunami disusun berdasarkan
peta tektonik Indonesia, dimana zona-zona subduksi dan zona busur dalam (back arc thrust)
merupakan sumber gempa bumi dangkal di laut. Dengan demikian pantai yang menghadap kedua
kondisi tektonik tersebut merupakan pantai yang rawan tsunami.
6.1 METODOLOGI
36
6.1.2 Kriteria Penentuan Bahaya Tsunami
Tabel berikut memperlihatkan kriteria penentuan bahaya tsunami berdasarkan parameter elevasi dan
pengelompokan morfologi pantai.
BAHAYA
ZONE DESKRIPSI Tinggi Sedang Rendah Tidak
Beresiko
Open Coast Dalam radius 2 km dari 0–3m 3 – 10 m 10 – 30 m > 30 m
garis pantai
Costal Wilayah bertopografi datar 0 – 1,5 m 1,5 – 6 m 6 – 15 m > 15 m
Estuary dan rendah dari lembah &
dasar sungai
Bay Wilayah yang berbentuk 0 – 1,5 m 1,5 – 3 m 3–5m >5m
teluk
Uplands Wilayah pedalaman dan Semua
jauh dari pantai terbuka Ketinggian
Sumber: GIS based relative tsunami hazard maps, Humboldt State University Geology Dept.
Melihat kejadian Mega Tsunami yang melanda Aceh dan Nias pada tanggal 26 Desember 2004
dengan kekuatan gempa 9.0 M, dari beberapa hasil penelitian di daerah tersebut, diperoleh
kesimpulan wilayah-wilayah dengan tingkat kerusakan tertentu, seperti diperlihatkan pada table
berikut ini
Sumber: Tsunami Effect in Nanggroe Aceh Darussalam and North Sumatra Provinces, Indonesia, BPPT 2005
Dari kedua variabel tersebut di atas, maka dibuat kriteria khusus untuk wilayah kajian ini yang
disesuaikan dengan unit analisis tingkat Propinsi. Tabel kriteria tersebut adalah sebagai berikut.
BAHAYA
RADIUS
TINGGI SEDANG RENDAH TIDAK
BERESIKO
≤ 2 km 0–5m 5 – 10 m 10 – 35 m > 35 m
> 5 km - - - Semua
Ketinggian
37
6.1.3 Zonasi Bahaya Tsunami
Berikut diperlihatkan bagan alir dalam melakukan analisis untuk mendapatkan zonasi bahaya
tsunami.
38
6.2.2 Simulasi Model Tsunami
Untuk mendapatkan garis pantai yang berpotensi terkena dampak tsunami, dilakukan pembuatan
simulasi model gelombang tsunami pada lokasi-lokasi gempa tertentu yang mewakili wilayah
penelitian. Model tsunami yang dihasilkan menggunakan SiTProS (Siam Tsunami Propagation
Simulator). Lokasi dari sampel yang digunakan diperlihatkan pada peta berikut ini.
39
Berikut diperlihatkan hasil simulasi gelombang Tsunami pada sampel-sampel tersebut serta garis
pantai yang terkena gelombang tersebut.
1. Biak
Tahun: 1996 Depth: 33 km Magnitude: 8.2
Lokasi T = 0 menit T = 20
T = 40 T = 60 T = 80
2. Manokwari
Tahun: 1864 Depth: - km Magnitude: 7.8
Lokasi T = 0 menit T = 20
T = 40 T = 60 T = 80
40
3. Japen
Tahun: 1914 Depth: 60 km Magnitude: 7.9
Lokasi T = 0 menit T = 10
T = 20 T = 40 T = 60
4. Papua Barat
Tahun: 1978 Depth: 33 km Magnitude: 6.1
Lokasi T = 0 menit T = 20
T = 30 T = 60 T = 60
41
5. Halmahera
Tahun: 1994 Depth: 17 km Magnitude: 6.8
Lokasi T = 0 menit T = 10
T = 20 T = 40 T = 60
T = 20 T = 40 T = 60
42
7. Seram
Tahun: 1977 Depth: 33 km Magnitude: 6
Lokasi T = 0 menit T = 10
T = 20 T = 40 T = 60
8. Omba-Papua
Tahun: 1995 Depth: 22 km Magnitude: 6.8
Lokasi T = 0 menit T = 10
T = 20 T = 40 T = 60
43
9. Kepulauan Aru
Tahun: 1988 Depth: 27 km Magnitude: 6.9
Lokasi T = 0 menit T = 10
T = 20 T = 40 T = 60
T = 10 T =30 T = 60
Dari hasil simulasi tersebut di atas, maka diperoleh segmen garis pantai yang terkena dampak
tsunami pada wilayah penelitian. Seperti diperlihatkan berikut ini.
44
Dengan perhitungan panjang segmen garis pantai yang terkena tsunami tersebut adalah sebagai
berikut:
Propinsi Maluku: 5.947 Km
Propinsi Maluku Utara: 6.782 Km
Propinsi Irian Jaya Barat: 7.696 Km
Propinsi Papua: 3.312 Km
45
Sedangkan tingkat bahaya yang terjadi pada wilayah genangan tersebut dikelompokkan ke dalam 3
(tiga) kelas, yaitu; Rendah – Sedang – Tinggi, seperti terlihat pada peta berikut ini.
46
Luas dan persentase tingkat bahaya genangan terhadap luas setiap Provinsi tersebut diperlihatkan
pada table berikut ini.
TINGKAT BAHAYA TOTAL
LUAS TOTAL
RENDAH SEDANG TINGGI POTENSI
No PROVINSI PADA UNIT
GENANGAN
ANALISIS (Ha)
(%)
(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%)
Maluku
1 Utara 3,131,176.00 264,401 8.44% 51,363 1.64% 6,242 0.20% 10.28%
Maluku
2 4,658,664.00 399,420 8.57% 123,424 2.65% 22,482 0.48% 11.71%
Irian Jaya
3 Barat 9,651,955.64 334,310 3.46% 38,183 0.40% 11,244 0.12% 3.98%
Papua
4 31,710,148.48 372,668 1.18% 62,593 0.20% 9,626 0.03% 1.40%
47
7 Potensi Bencana Alam
Dari peta-peta potensi masing-masing bencana alam yang telah dihasilkan di atas (Potensi Rawan
Tanah Longsor, Potensi Rawan Banjir, Potensi Bahaya Gempa Bumi dan Putensi Genangan Akibat Tsunami)
maka disusun peta yang bersifat umum berupa total Potensi Bencana Alam. Peta ini dihasilkan
dengan mengintegrasikan ke empat peta potensi tersebut menggunakan metode penjumlahan linear.
Tingkat Bahaya = [Rawan Longsor] + [Rawan Banjir] + [Rawan Gempa] + [Bahaya Tsunami]
menggunakan metode fuzzy logic untuk mendapatkan gambaran nilai potensi yang bersifat lebih
objektif, seperti terlihat pada alur berikut ini.
Sum
48
LUAS TOTAL TINGKAT BAHAYA TOTAL
No PROVINSI PADA UNIT RENDAH SEDANG TINGGI BAHAYA
ANALISIS (Ha) (%)
(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%)
Maluku
1 Utara 2,996,511.78 1,368,533 45.67% 1,380,593 46.07% 247,386 8.26% 100.00%
Maluku
2 4,001,548.65 1,075,245 26.87% 2,179,191 54.46% 747,113 18.67% 100.00%
Irian Jaya
3 Barat 9,423,466.95 2,124,021 22.54% 4,496,484 47.72% 2,802,962 29.74% 100.00%
Papua
4 31,539,050.00 12,152,100 38.53% 15,708,300 49.81% 3,678,650 11.66% 100.00%
49
8 Analisis Arah Pemanfaatan Ruang Berdasarkan Tingkat Bahaya
Bencana Alam
Kebijakan Pokok Pemanfaatan Ruang
Rencana tata ruang berisi kebijakan pokok pemanfaatan ruang berupa struktur dan pola
pemanfaatan ruang dalam kurun waktu tertentu. Pola pemanfaatan ruang disusun untuk
mewujudkan keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang bagi kegiatan budidaya dan non
budidaya (lindung). Sedangkan struktur ruang dibentuk untuk mewujudkan susunan dan tatanan
pusat-pusat permukiman yang secara hirarkis dan fungsional saling berhubungan. Pemanfaatan
ruang diwujudkan melalui program pembangunan, dan pola pemanfaatan ruang yang mengacu pada
rencana tata ruang akan menciptakan terwujudnya kelestarian lingkungan.
Berdasarkan kebijakan pokok pemanfaatan ruang di atas, batasan penelitian yang dilakukan hanya
sebatas mengeluarkan informasi/fakta dari hasil tumpang tindih peta Rencana Umum Tata Ruang
Nasional/Provinsi (RUTR) dengan peta-peta potensi bencana alam. Informasi tersebut bisa berupa:
Persentase & luasan pemanfaatan ruang yang telah digariskan terhadap potensi bencana alam dalam
bentuk tabel & grafik
Peta rawan bencana alam pada tata ruang yang telah ada, dengan tujuan sebagai bahan untuk
memberikan informasi kepada para pengambil kebijakan agar bisa memperhatikan kembali
pemanfaatan ruang yang telah ada sehingga bisa dikendalikan pemanfaatan ruangnya pada kawasan
rawan bencana alam tersebut.
Peta Potensi
Bencana Alam
RUTR Overlay
Prosentase pemanfaatan
ruang existing terhadap
kawasan rawan bencana
alam
51
Kawasan Hutan Produksi
Kawasan Pertanian Tanaman Tahunan/Perkebunan
Kawasan Pertanian Tanaman Pangan
Kawasan Peternakan
Kawasan Perikanan Darat, Sungai, dan Laut
2. Kawasan Budidaya non Pertanian, antara lain yaitu:
Kawasan Permukiman (perkotaan dan pedesaan)
Kawasan Industri
Kawasan Pertambangan
Kawasan Pariwisata
Kawasan Khusus
2) Rencana Pengelolaan Kawasan Perkotaan, Pedesaan dan Kawasan Khusus
Rencana tersebut memberikan arahan lebih lanjut mengenai pemanfaatan ruang wilayah
berdasarkan perbedaan karakteristik dan fungsi kegiatan yang ada, yaitu perkotaan dan pedesaan.
Disamping itu juga memberikan arahan untuk pengembangan kawasan khusus atau kawasan
tertentu dalam wilayah di Tanah Papua yang perlu mendapatkan prioritas.
3) Rencana Pembangunan dan Pusat-Pusat Pelayanan
Dalam kaitan dengan adanya perbedaan karakteristik kegiatan wilayah di Tanah Papua akan
dikembangkan dalam beberapa wilayah pengembangan. Wilayah pengembangan tersebut perlu
ditunjang dengan pusat-pusat pengembangan yang melayaninya.
4) Rencana Sistem Prasarana Wilayah
Rencana ini mencakup arahan pengembangan jaringan prasarana utama dalam wilayah di Tanah
Papua dalam menunjang berbagai kegiatan yang akan dikembangkan, yang mencakup antara lain
yaitu:
o Sistem Prasarana Transportasi (Darat, Laut, Udara, Sungai)
o Sistem Prasarana Energi Listrik
o Sistem Prasaranan Telekomunikasi
5) Kebijakan Penatagunaan Tanah, Air, dan Penatagunaan Sumberdaya Alam
Berikut diperlihatkan Peta Rencana Tata Ruang (RTR) Tahun 2007 s/d 2027 di tanah Papua,
52
8.3 HASIL ANALISIS
Dari hasil analisis overlay antara Tingkat Bahaya Bencana Alam dengan RTR diperoleh gambaran
bahwa di Provinsi Irian Jaya Barat, Rencana Tata Ruang untuk Pertanian Lahan Basah
menduduki persentase tertinggi sebesar 77.91% pada kategori tingkat bahaya Sedang begitu juga
halnya yang terjadi di Provinsi Papua, tata ruang jenih ini memiliki persentase yang tinggi sebesar
61.91% akan tetapi berada pada kategori tingkat bahaya yang Rendah.
Jika ditinjau hanya pada kategori tingkat bahaya Tinggi, Agroforestry memiliki persentase yang
tinggi (42.18%) di Provinsi Irian Jaya Barat, sedangkat di Provinsi Papua, RTR untuk Pertambangan
berada pada persentase tertinggi yaitu sebesar 30.55% yang tentunya berada pada bahaya Tanah
Longsor.
Berikut diperlihatkan rekapitulasi luas dan persentase dari Tingkat Bahaya Bencana Alam terhadap
masing-masing polygon Rencana Tata Ruang.
53
TINGKAT BAHAYA BENCANA ALAM TERHADAP MASING-MASING RTR TOTAL LUAS PADA
PROVINSI / RTR Rendah Sedang Tinggi UNIT ANALISIS
(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%)
Irian Jaya Barat 2,089,811 22.25% 4,506,749 47.97% 2,797,668 29.78% 9,394,228 100.00%
1 Agroforestry 264,838 15.67% 712,643 42.15% 713,093 42.18% 1,690,575 18.00%
2 Hutan Lindung 5,441 63.88% 3,015 35.40% 62 0.73% 8,518 0.09%
3 Hutan Produksi Biasa 332,693 35.26% 478,892 50.75% 132,022 13.99% 943,607 10.04%
Hutan Produksi
4 Terbatas 361,907 15.50% 1,205,915 51.64% 767,322 32.86% 2,335,144 24.86%
5 Kawasan Konservasi 396,832 22.02% 712,831 39.55% 692,856 38.44% 1,802,519 19.19%
6 Perkebunan 436,846 37.08% 559,612 47.50% 181,714 15.42% 1,178,172 12.54%
7 Pertambangan 53,065 39.16% 45,198 33.35% 37,248 27.49% 135,511 1.44%
Pertanian Lahan
8 Basah 2,356 7.57% 24,239 77.91% 4,517 14.52% 31,112 0.33%
Pertanian Lahan
9 Kering 235,832 18.58% 764,404 60.23% 268,835 21.18% 1,269,071 13.51%
Papua 12,009,641 38.11% 15,853,968 50.31% 3,648,924 11.58% 31,512,533 100.00%
1 Agroforestry 2,374,349 30.84% 3,712,914 48.23% 1,610,620 20.92% 7,697,883 24.43%
2 Hutan Lindung 8,843 29.59% 17,602 58.90% 3,441 11.51% 29,886 0.09%
3 Hutan Produksi Biasa 2,867,960 46.94% 3,069,669 50.24% 172,362 2.82% 6,109,991 19.39%
Hutan Produksi
4 Terbatas 1,203,155 34.33% 1,798,733 51.33% 502,532 14.34% 3,504,420 11.12%
5 Kawasan Konservasi 2,933,162 42.43% 3,117,320 45.10% 861,689 12.47% 6,912,171 21.93%
6 Perkebunan 1,942,375 46.13% 2,019,621 47.96% 249,073 5.91% 4,211,069 13.36%
7 Pertambangan 84,805 21.69% 186,712 47.76% 119,413 30.55% 390,930 1.24%
Pertanian Lahan
8 Basah 327,438 61.91% 182,642 34.53% 18,836 3.56% 528,916 1.68%
Pertanian Lahan
9 Kering 267,555 12.58% 1,748,755 82.21% 110,959 5.22% 2,127,268 6.75%
54
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Meteorologi dan Geofisika. 2006. Aplikasi Sistem Informasi Untuk Peta Bencana Alam Indonesia.
Jakarta
2. BAPPEDA Provinsi Papua, 2006-200. Laporan Akhir Sementara Rencana Tata Ruang (RTR) di Tanah Papua
2007 - 2026
3. Chapman, Martin. 2006. Prediction and GIS Mapping of Ground Motion and Site Response in Charleston, SC
and Two Neighboring Counties. USGS
4. Handika Putra, Erwin. 2006. Estimasi Daerah Rawan Bencana Banjir Menggunakan Metode Pendekatan
Topographic Wetness Index. Manado
5. Hilman, Danny. 2007. Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan Sumber Gempa dan Tsunami. LIPI
6. Irsyam, Masyhur et al. Usulan Revisi Peta Hazard Kegempaan Wilayah Indonesia. Bandung
7. Latief, Hamzah. 2005. Tsunami Aceh 2004. Tsunami Research Group, Institut Teknologi Bandung. Bandung
8. Long, B.G., Hamdani, Agustiar., Andrews, G., Courboules, J., Ibros, Z., Sinaga, M., Scott, P.J.B, Siregar, A., and
Mansyur, K. 2006. Aceh Nearshore Atlas and Draft Marine Zonation Plan. Marine and Coastal Resources
Management Project [Asian Development Bank Loan No. 1770-INO (SF)] Department of Fisheries, Jl M.T.
Haryono Kav. 52-53, Jakarta Selatan, INDONESIA
9. Maidment. R, David et al. Hydrologic Modelling. Center for Research in Water Resources University of Texas at
Austin
10. Najoan, Th.F., Soeroso, D. dan Rukhijat, S. 1996. Peta Zona Gempa Dan Cara Penggunaannya Sebagai
Usulan Dalam Perencanaan Bangunan Pengairan Tahan Gempa. Jurn. Litbang Air, no. 36, Th.II-KW1 (1996).
11. R.T. Pack, Terratech Consulting Ltd. A Stability Index Approach to Terrain Stability Hazard Mapping, SINMAP
User’s Manual. Utah State University.
12. Risdiyanto, Idung. Aplikasi SIG dan RS Untuk Pemodelan Hidrologi
13. Sadisun. A, Imam. 2004. Manajemen Bencana: Strategi Hidup di Wilayah Berpotensi Bencana. Departemen
Teknik Geologi, ITN. Bandung
14. Sadisun. A, Imam. 2007. Peta Rawan Bencana: Suatu Informasi Fundamental Dalam Program Pengurangan
Resiko Bencana. Pusat Migitasi Bencana, ITB. Bandung
15. Sadisun. A, Imam. 2005. Usaha Pemahaman Terhadap Stabilitas Lereng dan Longsoran Sebagai Langkah
Awal Dalam Mitigasi Bencana Longsoran. Workshop Penanganan Bencana Gerakan Tanah. Bandung
16. Shofiyati, Rizatus. Dimyati Dewanti, Ratih. Kristijono, Agus. Wahyunto. 2005. Tsunami Effect in Nanggroe Aceh
Darussalam and North Sumatra Province Indonesia. Published in Asian Journal of Geoinformatics, Volume 5,
No. 2
17. Zbinden, Andreas. Ruettener, Erik. Geissbuehler, Peter. Spranger, Michael. 2003. Probabilistic Hazard Modeling
With ArcGIS: A Competitive Approach. Paper # 1055. Zurich
55
56