Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fase farmakokinetik berkaitan dengan masuknya zat aktif ke dalam


tubuh permukaan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan fenomena
fisikokimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase farmakokinetik
ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil keberadaan
zat aktif pada tingkat biofase dan selanjutnya menentukan aktivitas terapeutik
obat.

Tanpa ada farmakokinetik, kadar obat dalam plasma hamper tidak


berguna untuk penyesuaian dosis. Dari data tersebut dapat diperkirakan model
farmakokinetik yang kemudian diuji kebenarannya da selanjutnya diperoleh
parameter-parameter farmakokinetiknya.

Model farmakokinetik sendiri dapat memberikan penafsiran yang lebih


teliti tentang hubungan kadar obat dalam plasma dan respons farmakologik.
Model kompartemen satu terbuka menganggap bahwa berbagai perubahan
kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan
kadar obat dalam jaringan. Tetapi model ini tidak menganggap bahwa
konsentrasi obat dalam tiap jaringan tersebut adalah sama dengan berbagai
waktu.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari farmakokinetik?
2. Bagaimanakah mekanisme dari farmakokinetik?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian dari farmakokinetik.
2. Untuk mengetahui mekanisme dari farmakokinetik.

1
1.4 Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami pengertian dari
farmakokinetik.
2. Mahasiswa diharapkan mengerti dan memahami mekanisme dari
farmakokinetik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Farmakokinetik

Farmakokinetik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata


“Farmako yang artinya obat” dan “Kinetik yang artinya perjalanan”.
Farmakokinetik menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan suatu zat di
dalam organisme, misalnya bagaimana perjalanan obat dalam tubuh.
Farmakokinetik atau kinetik obat adalah reaksi obat dalam tubuh atau efek
tubuh terhadap obat. Farmakokinetik suatu obat adalah proses absorpsi,
distribusi, biotransformasi atau metabolisme, dan eliminasi atau ekskresi.
Dalam farmakokinetik, suatu organisme dipandang sebagai sistim terbuka
atau sistim mengalir dengan ruang di luar organisme senantiasa terjadi
pertukaran zat dan energi.

2.2 Mekanisme Farmakokinetik


1. Absorpsi
Absorpsi suatu obat adalah pengambilan obat dari permukaan
tubuh (termasuk mukosa saluran cerna) atau dari tempat-tempat
tertentu dalam organ ke dalam aliran darah atau ke dalam sistem
pembuluh limfe. Dari darah atau sistem pembuluh limfe obat
terdistribusi ke dalam organism keselurahan. Setelah pemberian obat,
obat harus diabsorpsi dari ruang di luar ke dalam organism, untuk
selanjutnya (dalam kebanyakan kasus) didistribusikan oleh darah ke
tempat kerjanya. Pada proses ini membrane sel harus dilewati
(permeasi). Struktur membran sel (model cairan-mosaik), suatu lapisan
lemak ganda dengan protein di atasnnya atau di dalamnya yang
menentukan apakah suatu zat dapat menembus membran atau tidak.

Mekanisme absorpsi lewat membran sel yang terpenting adalah:

3
 Difusi bebas tanpa bantuan carrier (transport pasif murni)
 Difusi yang dipermudah (dengan perantaraan carrier)
(pasif)
 Transpor aktif
 Pinositosis, fagositosis, dan persorpsi (pada persorpsi
partikel-partikel padat mencapai tubuh secara interseluler)

Kebanyakan zat berkhasiat melewati membran sel secara difusi


bebas tanpa perantaraan carrier. Cara ini mempunyai cirri-ciri:

 Berlangsung searah dengan tingkat konsentrasi, yaitu dari


luar ke dalam sel
 Pada cara transport ini, energy dalam bentuk ATP tidak
digunakan (pasif murni)
 Tidak terjadi hambatan kompetitif di antara berbagai zat
 Transport ini tidak dapat jenuh

a. Metode absorpsi
 Transport pasif, tidak memerlukan energy, sebab hanya
dengan proses difusi obat dapat berpindah dari daerah
dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan
konsentrasi rendah. Transport pasif terjadi selama molekul-
molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membrane dan
berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membrane
seimbang.
 Transport aktif, membutuhkan energy untuk menggerakkan
obat dari daerah dengan konsentrasi obat rendah ke daerah
denga konsentrasi obat tinggi.
b. Kecepatan absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sistemik hanya
sedikit sel. Absorpsi terjadi cepat dan obat segera mencapai level
pengobatan dalam tubuh.

4
- Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
- Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
- Lambat sekali, berjam-jam/berhari-hari:per rectal/sustained
frelease
1. Diperlambat oleh nyeri dan stress
Nyeri dan stress mengurangi aliran darah,
mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi gaster.
2. Makanan tinggi lemak

Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat


pengosongan lambung dan memperlambat waktu absorpsi
obat

3. Faktor bentuk obat


Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul,
cairan, sustained release, dll
4. Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat denga obat lain dapat meningkatkan atau
memperlambat tergantung jenis obat
c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan
1. Aliran darah ke tempat absorpsi
2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
3. Waktu kontak permukaan absorpsi

Absorpsi obat
Absorpsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi.
Kecepatan absorpsi dan kuosien absorpsi (hubungan bagian yang
diabsorpsi terhadap jumlah yang diberikan) bergantung kepada banyak
faktor. Di antaranya yang terpenting ialah:
1. Sifat fisikokimia bahan obat, terutama sifat stereokimia dan
kelarutannya
2. Besar partikel

5
3. Bentuk sediaan obat
4. Dosis
5. Rute pemberian dan tempat pemberian
6. Waktu kontak dengan permukaan absorpsi
7. Besarnya luas permukaan yang mengabsorpsi
8. Nilai pH dalam darah yang mengabsorpsi
9. Integritas membran
10. Aliran darah organ yang mengabsorpsi

Untuk dapat diabsorpsi, bahan obat harus berada dalam bentuk


terlarut. Umumnya, kecepatan larut bahan aktif (misalnya dalam saluran
cerna) menentukan laju absorpsi. Kelarutan ditentukan, selain oleh sifat-
sifat senyawa (seperti misalnya bentuk kristal, besarnya partikel,
solvatasi), ditentuka juga oleh sifat sediaan obat antara lain bahan
pembantu yang digunakan dan bahan penyalut. Pada senyawa yang sukar
larut, kadang-kadang waktu yang disediakan untuk diabsorpsi tidak cukup
untuk melarutka sempurna jumlah zat yang diberikan. Walaupun demikian
melalui pengecilan ukuran partikel zat aktif (mikronisasi) memperbesar
permukaan jenis, dapat dicapai peningkatan kecepatan melarut. Senyawa
yang sangat lipofil seperti vitamin A, praktis tidak larut dalam air, mula-
mula harus dilarutkan sebelum diabsorpsi dalam organism. Suatu
pelarutan demikian dapat terjadi dalam usus halus, khususnya dengan
bantuan garam-garam asam empedu. Senyawa yang sangat lipofil dapat
diabsorpsi juga bersama dengan lipid (seperti misalnya kolesterol) sebagai
kilomikron.

Absorpsi melalui rute bukal atau sublingual. Keuntungan dari


bentuk pemakaian ini ialah munculnya kerja/aksi yang cepat, di samping
tak ada pengaruh cairan pencernaan dari saluran cerna terhadap zat aktif
obat dan bahan obat tidak harus melewati hati segera setelah diabsorpsi
sehingga meminimalkan efek metabolism oleh hati. Karena permukaan
absorpsi yang relative kecil, rute bukal atau sublingual hanya mungkin

6
untuk senyawa yang dapat diabsorpsi dengan mudah dan selain itu tidak
boleh mempunyai rasa tidak enak. Indikasi penting ialah pengobatan
serangan angina pectoris denga nitrogliserol.

Absorpsi melalui rute oral. Pemberian melalui rute oral


merupakan rute pemberian yang termudah dan paling sering digunakan.
Absorpsi dalam saluran cerna dipengaruhi banyak faktor antara lain karena
harga pH sangat asam, dalam lambung diabsorpsi terutama asam-asam
lemah dan zat netral yang lipofil. Di pihak lain dapat juga terjadi lewatnya
senyawa, terutama basa lemah, dari mukosa lambung ke lumen lambung.

Absorpsi pemakaian melalui rectum. Pada pemakaian melalui


rectum efek metabolism oleh hati dapat dihindari, karena bagian yang
diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rectum langsung mencapai vena cava
inferior dan tidak melalui vena porta.

Absorpsi melalui mukosa. Absorpsi pemakaian melalui hidung,


mukosa hidung yang memiliki sifat absorpsi yang baik seperti mukosa
mulut, cocok untuk pemakaian obat menurunkan pembengkakan mukosa
secara topical misalnya pada rinitis.

Absorpsi pemakaian pada mata. Sejauh obat harus menembus


bagian dalam mata, baik struktur lipofil maupun struktur hidrofil harus
ditembusi epitel kornea dan endotel kornea berfungsi sebagai pembatas
lipofil, sedangkan hanya zat-zat hidrofil yang dapat berdifusi melalui
stroma. Dengan demikian kondisi penembusan akan sangat
menguntungkan untuk obat yang menunjukkan sifat lipofil dan hidrofil. Ini
terutama terjadi pada asam lemah dan basa lemah tak terionisasi sehingga
bersifat larut dalam lemak dan sebagian dalam bentuk terionisasi sehingga
bersifat larut dalam air.

Absorpsi melalui paru-paru. Absorpsi melalui paru-paru ialaha


terutama terjadi pada zat dalam bentuk gas. Paru-paru dengan luas
permukaan alveolarnya yang besar (70-100 m2) mampu juga mngabsorpsi

7
cairan dan zat padat. Aerosol berfungsi terutama untuk terapi local dalam
daerah saluran pernapasan, misalnya pengobatan asma bronchus.

Absorpsi pemakaian pada kulit. Kemampuan absorpsi melalui


kulit utuh lebih rendah dibandingkan absorpsi melalui mukosa. Stratum
korneum yang tidak mengandung kapiler dengan kandungan air yang
sangat sedikit (sekitar 10%) merupakan sawar absorpsi dan sekaligus
tendon absorpsi. Absorpsi tertinggi pada pemakaian pada kulit dimiliki
oleh zat yang terutama larut dalam lemak, yang masih menunjukkan
sedikit larut dalam air. Zat hidrofil serta lemak dan minyak hanya sedikit
diabsorpsi oleh kulit. Sejumlah faktor dapat mempengaruhi absorps kulit.

Kenaikan suhu kulit menambah kemampuan penetrasi zat ke dalam


kulit. Pada daerah kulit yang meradang, jumlah absorpsi dipertinggi.
Stratum korneum sebagai sawar absorpsi pada kulit dapat oleh kerusakan
mekanis, kimia atau termal, seperti pada cedera, melepuh atau terbakar.
Pada pemakaian topical dari salep yang mengandung glukokortikoid untuk
eksim anak-anak seharusnya tidak digunakan glukokortikoid yang bekerja
kuat. Demikian juga pada usia tua, ketebalan dari stratum korneum
menjadi rendah. Belakangan ini telah diekmbangkan sediaan dengan
memanfaatkan kulit sebagai tempat pemberian. Hal ini hanya cocok untuk
senyawa obat dengan dosis rendah (dosis harian sampai 10mg),
menunjukkan first pass effect yang tinggi dan/atau memiliki waktu paruh
plasma rendah. Bentuk sediaan ini dikenal sebagai sistem terapi
transdermal. Saat ini sistem demikian dengan nitrogliserol dan skopolamin
sebagai bahan aktif terdapat di perdagangan.

2. Distribusi

Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik


ke jaringan dan cairan tubuh. Setelah absorpsi, obat yang terkait pada protein
plasma dengan tingkat yang berbeda-beda, ditransportasi di dalam darah.

8
Ikatan terutama terjadi pada albumin plasma, yang mempunyai banyak tempat
ikatan untuk obat.

Tempat ikatan tidak spesifik, sehingga pada satu tempat ikatan dapat
terikat beberapa obat yang berbeda. Ini mengakibatka obat-obat dapat saling
mendesak secara kompetitif dari tempat ikatan. Obat yang terdesak tergantung
pada konsentrasi obat tersebut dan afinitas masing-masing terhadap tempat
ikatan yang tidak spesifik. Beberapa jenis obat sudah dapat menjenuhkan
tempat ikatan pada protein plasma dalam konsentrasi plasma terapeutik.

 Makin lipofil suatu obat, makin tinggi ikatan pada protein plasma
 Ikatan pada protein plasma bersifat reversible
 Zat yang terkait pada protein plasma dari ruang intravasal tidak
dapat masuk ke dalam sel. Ini hanya memungkinkan bagi zat yang
tersedia dalam keadaan bebas.
 Zat yang terikat pada protein plasma tidak dapat dimetabolisme,
tidak dapat mencpai tempat kerja dan menjadi efektif, serta tidak
dapat dieliminasi melalui ginjal dan tidak dapat dihemodialisis
 Pada uremia, ikatan protein plasma obat-obatan dapat berkurang

Interaksi obat yang mempunyai relevansi klinis sebagai akibat saling


mendesak dari ikatan protein plasma dapat terjadi, apabila ikatan protein plasma
dari obat-obat yang tersedia jenis melebihi 90% dan obat yang terdesak dari ikatan
ini memiliki lebar terapeutik yang sempit.

Volume distribusi. Besarnya ruang ke dalam suatu zat terdistribusi.


Sebagai contoh, seluruh organism sebagai satu ruang distribusi (model satu
kompartemen), maka didapat volume distribusi pada pemberian i.v. secara cepat
(injeksi bolus) yakni kuosien dari dosis (D) yang diberikan dan konsentrasi awal
yang fiktif C0 : V=D/C0 [l]

Volume distribusi dapat identik dengan ruang nyata, mis. Keseluruhan


cairan tubuh, ruang ekstraseluler atau volume plasma, namun lazimnya adalah

9
suatu nilai fiktif, yang dapat jauh melampaui volume keseluruhan cairan tubuh (kl
42 l). hal ini merupakan petunjuk bahwa obat ditimbun di dalam jaringan-jaringan
tertentu, misalnya di dalam jaringan lemak. Seringkali volume distribusi
dinyatakan dalam hubungannya dengan berat badan (BB) yaitu dalam l/kg.

Apabila obat mencapai pembuluh darah, obat akan ditranspor lebih lanjut
bersama aliran darah ke dalam sistem sirkulasi. Karena adanya perbedaan
konsentrasi darah dengan jaringan, bahan aktif obat akan meninggalkan pembuluh
darah dan terdistribusi dalam organism keseluruhan. Penetrasi dari pembuluh
darah ke dalam jaringa (distribusi ke jaringan), seperti halnya absorpsi,
bergantung pada banyak hal, antara lain ukuran molekul, ikatan pada protein
plasma dan protein jaringan, kelarutan dan sifat kimia zat aktif.

Faktor yang mempengaruhi distribusi

1. Pengaruh sifat kelarutan bahan akibat obat dimana senyawa yang larut
baik dalam lemak terkonsentrasi dalam jaringan yang mengandung
banyak lemak. Sedangkan sebaliknya zat hidrofil hamper tidak diambil
oleh jaringan lemak, karena itu ditemukan terutama dalam ekstrasel
(yang bersifat hidrofil).
2. Distribusi sebagian besar ditentukan oleh pasokan darah dari organ dan
jaringan. Obat yang dapat berdifusi ke dalam organ tertentu dari
pembuluh darah makin tinggi apabila pasokan darahnya makin besar.
Ini berarti, bahwa orga yang mempunyai banyak kapiler mengambil
jumlah obat yang lebih besar dibandingkan organ yang pasokan
darahnya kurang. Pada akhir proses distribusi, keseimbangan distribusi
tidak bergantung kepada besarnya pasokan darah.
3. Proses distribusi khusus yang harus dipertimbangkan ialah saluran
cerna. Senyawa yang diekskresi dengan empedu ke dalam usus 12 jari,
sebagian atau seluruhnya dapat direabsorpsi dalam bagian usus yang
lebih dalam (sirkulasi enterohepatik). Senyawa basa sebagian
direabsorpsi dalam usus halus (sirkulasi enterogaster).

10
4. Aliran darah. Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi
ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Orga dengan aliran
darah terbesar adalah jantung, hepar, ginjal. Sedangkan distribusi ke
organ lain seperti kulit, lemak dan otot oleh lambat.
5. Permeabilitas kapiler. Tergantung pada struktur kapiler dan struktur
obat.
6. Ikatan protein. Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak
dengan protein dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak
aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat
memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila > 80%
obat terikat protein.

3. Biotranspormasi

Biotranspormasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan


struktur kimia obat yang etrjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada
proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut
dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi
melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga
biotranspormasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada
obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih toksik. Ada obat
yang merupakan calon obat (produg) yang justru diaktifkan oleh enzim
biotransformas lebih lanjut atau diekskresi sehingga kerjanya pada akhirnya
akan berakhir.

Sebagian besar botransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom


hati, demikian juga biotransformasi asam lemak, hormone steroid, dan
bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat melintasi membrane,
masuk ke dalam reticulum endoplasma, dan berikatan dengan enzim
mikrosom.

11
Dengan jalan biotransformasi, zat yang diabsorpsi diubah sedemikian
rupa sehingga dapat diekskresi. Jadi, biotransformasi sudah merupakan suatu
bentuk eliminasi.

Obat yang lipofil (atau zat asing pada umumnya dan juga bahan
beracun) diubah oleh biotransformasi menjadi produk yang lebih hidrofil,
yang kemudian dapat diekskresi terutama melalui ginjal.

Biotransformasi ditandai oleh dua fase:

 Fase I : perubahan dengan cara oksidasi, reduksi atau hidrolisis


(pemecahan ester dan amida)
 Fase II : perubahan dengan cara konjugasi dengan asam glukuronat,
sulfat, cuka (pembentukkan asetat), glutation (pembentukan
merkapturat), asam amino (terutama glisin), adenosilmetionin
(metilasi)

Reaksi fase II dapat menyusul setelah fase I, tetapi dapat juga terjadi
langsung pada bahan berkhasiat. Aktivitas metabolismezat asing yang
paling tinggi berlangsung di hati, tetapi biotransformasi juga berlangsung
di organ tubuh yang lain seperti usus, ginjal, paru-paru, kulit atau darah.

Reaksi fase I yang paling penting adalah oksidasi zat asing oleh enzim
Sitokrom-P450 (CYP450) adalah monooksigenase yang setelah
mengaktifkan oksigen molekuler (O2) memindahkan satu atom oksigen ke
substrat, da satu atom lagi direduksi menjadi air (H2O).

Pada pokoknya dibedakan 2 golongan induktor enzim:

- Tipe Fenobarbital : mis. Fenobarbital, Fenitoin, Karbamazepin,


Rifampisin, Griseofulvin, DDT (insektisida)
- Tipe 3-metikolantren : mis. Hidrokarbon aromatic polisiklik
(seperti Benz[a]piren), Dioksin seperti 2,3,7,8-TCDD,
kandungan dari asap rokok dan daging bakar.

12
Dalam banyak kasus, biotransformasi mengakibatkan inaktivasi bahan-
bahan obat. Namun, biotransformasi dapat pula menghasilkanproduk yang
mempunyai efek terapi (aktif), contohnya:

Salazosulfapiridin : Asam 5-aminosalisiat

Alopurinol : Oksipurinol

Imipramin : Desipramin

Diazepam : Desmetilidiazepam

Kodein : Morfin

Pada umumnya, biotransformasi merupakan suatu proses penawaran


racun, namun dapat pula mengakibatkan terbentuknya racun. Contoh yang
tipikal: desulfurisasi oksidatif dari Nitrostigmin (Paration, E 605) menjadi
Paraokson.

Obat dapat di biotransformasi/metabolism melalui bebrapa cara:

a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan


b. Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri bisa
dimetabolisme lanjutan.

Beberapa obat diberika dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah


dmetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolism obat terutama
terjadi di hati, yakni di membrane endoplasmic reticulum (mikrosom) dan
di cytosol. Tempat metabolism yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding
usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit juga di lumen kolon (oleh flora
usus). Tujuan metabolism obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak ) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskres melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi
inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau
menjadi toksik.

13
Faktor – faktor yang mempengaruhi metabolisme, yaitu:

a. Kondisi khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, antara
lain. Penyakit hepar seperti sirosis.
b. Pengaruh gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat
memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
c. Pengaruh lingkungan
Lingkungan juga dapat memengaruhi metabolisme, contohnya :
rokok, keadaan stress, penyakit lama, operasi, dan cedera.
d. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme seperti,
metabolisme bayi, remaja, dewasa, lansia itu berbeda.

4. Ekskresi

Ekskresi obat artinya eliminasi atau pembuangan obat dari tubuh.


Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat
juga dapat dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah,
payudara), kulit dan taraktusintestinal. Organ terpenting untuk ekskresi
obat adalah ginjal, obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh
maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk
aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal
melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus, dan
reabsorpsi di tubulus. Untuk filtrasi glomerulus, sifat kelarutan obat tidak
berpengaruh: senyawa yang larut dalam lemak difiltrasi sama baiknya
seperti senyawa yang larut dalam air. Laju filtrasi meningkat pada
kenaikan tekanan darah dalam kapiler glomerulus yang tenang dan pada
pengurangan protein plasma akibat berkurangnya ikatan protein dengan
bahan obat. Pada hipoproteinemia, lama kerja obat yang terikat protein
plasma dapat sangat dipersingkat. Reabsorpsi tubulus, untuk kebanyakan

14
bahan obat merupakan proses difusi pasif. Proses ini bergantung kepada
sifat kelarutan obat, harga pKa-nya dan harga pH urin. Senyawa yang larut
dalam lemak dan diabsorpsi usus dengan baik, juga mudah menembus
epitel tubulus dan direabsorpsi dengan baik. Sebaliknya senyawa hidrofob
yang hamper tidak dapat diabsorpsi melalui usus, sukar berdifusi melalui
tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan
setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting
adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi
melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan,
2009).

Zat- zat dengan berat molekul rendah (BM<15000) mengalami filtrasi


glomerulus, apabila tidak terikat pada protein plasma. Zat-zat yang larut dalam
lemak di dalam sistem tubulus diabsorpsi kembali. Hal ini menghalangi atau
memperlambat ekskresi ginjal. Pada zat-zat yang bereaksi asam atau basa, tingkat
reabsorpsi tergantung pada derajat ionisasinya (disosiasi) dalam urin di tubuli,
yakni pK zat itu dan pH urin di tubuli. Hanya molekul yang tidak terdisosiasi
yang dapat direabsorpsi.

Asam lemah dalam suasana alkalis hamper seluruhnya berada dalam keadaan
terdisosiasi, sehingga dengan alkalisasi urin, reabsorpsi asam lemah (mis.
Asetosal, Barbiturat) dapat dikurangi dengan demikian ekskresi dipercepat.
Makna untuk praktik klinis mis. Pada pelaksanaan diuresis paksa alkalis pada
intoksikasi barbiturate. NaHCO3 diberikan untuk membasakan urin. Sebaliknya,
ekskresi zat-zat yang bereaksi basa dipercepat dengan mengasamkan urin
(pemberian NH4Cl atau Argininhidroklorida). Hal ini penting mis. Pada eliminasi
Wekamin tipe Amfetamin.

Reabsorpsi di tubulus berlangsung pasif (difusi bebas). Sebaliknya, sekresi di


tubulus proksimal adalah proses aktif, bergantung pada carrier. Di sini ada protein
untuk transpor asam organic dan juga untuk basa organik. Zat-zat seperti
Penisilin, Probenesid, Salisilat, Indometasin, Glukuronida, Asam urat, Furosemid,

15
diuretika tiazid disekresi aktif oleh carrier untuk asam organik. Zat-zat seperti
Neostigmin dan Dopamin disekresi aktif oleh carrier untuk basa organik.

 Ikatan pada carrier ini tidak spesifik, artinya apabila zat-zat itu berada
bersama-sama, pendesakan kompetitif akan terjadi pada carrier. Sebagai
contoh, Probenesid mendesak Penisilin dari carrier bersama di tubuli
proksimal. Hal ini mengakibatkan pengurangan ekskresi Penisilin di
ginjal; t1/2 Penisilin diperpanjang.
 Ikatan pada carrier dapat menjadi jenuh.

Jalur lain untuk ekskresi obat:

 Lewat empedu dan usus (dengan feses)


 Lewat paru-paru (terutama anestetik inhalasi)
 Lewat ASI bagi ibu menyusui

Ekskresi lewat empedu terutama terjadi pada zat-zat yang memiliki


BM>400 atau yang mengalami lewat proses metabolisme (mis. Konjugasi
asam glukuronat).

Seperti halnya biotransformasi, ekskresi suatu obat dan metabolitnya


menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh.
Ekskresi dapat terjadi, bergantung kepada sifat fisikokimia (bobot
molekul, harga pKa, kelarutan) senyawa obat diekskresi, melalui:

1. Ginjal (dengan urin)


2. Empedu dan usus (dengan feses)
3. Pom-pant (dengan udara ekspirasi)

Ekskresi obat melalui kulit, tidak begitu penting. Sebaliknya pada ibu yang
menyusui, eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat
menyebabkan introksikasi yang membahayakan pada bayi.

16
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Farmakokinetik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata


“Farmako yang artinya obat” dan “Kinetik yang artinya perjalanan”.
Farmakokinetik menjelaskan tentang apa yang terjadi dengan suatu zat
di dalam organisme, misalnya bagaimana perjalanan obat dalam tubuh.
Farmakokinetik suatu obat adalah proses absorpsi, distribusi,
biotransformasi atau metabolisme, dan eliminasi atau ekskresi.

1. Absorpsi kebanyakan obat terjadi secara pasif melalui difusi.


Kecepatan absorpsi dan kuosien absorpsi (hubungan bagian
yang diabsorpsi terhadap jumlah yang diberikan) bergantung
kepada banyak faktor.
2. Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi
sistemik ke jaringan dan cairan tubuh. Setelah absorpsi, obat
yang terkait pada protein plasma dengan tingkat yang berbeda-
beda, ditransportasi di dalam darah.
3. Biotranspormasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis
oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih
polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut
dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal.
4. Ekskresi obat artinya eliminasi atau pembuangan obat dari
tubuh. Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal, obat
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif
merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal.

17
3.2 Saran

Diharapkan pembaca lebih memahami dan mendalami materi


farmakokinetik yang sangat penting bagi kehidupan terutama tenaga
kesehatan seperti perawat agar dapat menjadi tenaga kesehatan yang
baik.

18
DAFTAR PUSTAKA

Chaerunisaa, Anis Yohan, dkk. 2009. Farmasetika Dasar Konsep Teoritis dan
Aplikasi Pembuatan Obat. Bandung: Widya Padjajaran.

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta:


Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Schmitz, Gery, dkk. 2009. Farmakologi dan Toksikologi Edisi 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai