Anda di halaman 1dari 33

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. BBLR
Definisi
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) BBLR masih merupakan penyebab
utama kematian neonatus. BBLR dapat terjadi karena berbagai sebab sehingga
terkadang agak sulit dilakukan pencegahan.BBLR adalah bayi yang lahir
dengan berat lahir kurang dari 2500 gram. Berat lahir adalah berat bayi yang
ditimbang pada saat lahir sampai dengan 24 jam pertama setelah lahir.1
BBLR dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
a. Berat bayi lahir rendah, dengan berat kurang dari 2500 gram
b. Berat bayi lahir sangat rendah, dengan berat 1000-1500 gram
c. Berat bayi lahir amat sangat rendah, dengan berat kurang dari 1000
gram.1
Berdasarkan alasan di atas, maka bayi dengan BBLR dapat dikategorikan
menjadi dua yaitu prematuritas murni dan dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan
(KMK).
1. Prematuritas Murni
Prematuritas murni yaitu neonatus dengan usia kehamilan kurang dari
37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai untuk masa kehamilannya
atau biasa disebut Neonatus Kurang Bulan-Sesuai Masa Kehamilan (NKB-
SMK).4
2. Dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan (KMK)
Yaitu berat bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari semestinya
untuk masa gestasi, dengan batasan dibawah percentil ke 10 dilihat dari
kurva pertumbuhan dan perkembangan yang dapat merupakan bayi
preterm, aterm, atau postterm. Istilah lain yang digunakan adalah Small for
Gestational Age (SGA). Penyebab dismaturitas ialah janin mengalami
gangguan pertumbuhan didalam uterus atau Intra Uterine Growth
Retardation (IUGR) sehingga pertumbuhan janin mengalami hambatan.
KMK dibagi atas :
a. Simetri, adalah janin yang menderita distres yang lama, dimana
gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan sebelum lahir sehingga tampak pertumbuhan otak dan tulang
rangka terganggu dan seringkali berkaitan dengan hasil akhir
perkembangan syaraf yang buruk.
b. Asimetri, terjadi akibat distres sub-akut. Gangguan terjadi beberapa
minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Pertumbuhan
jantung, otak dan tulang rangka tampak paling sedikit terpengaruh,
sedangkan ukuran hati, limpa, timus sangat berkurang dan berat tidak
sesuai dengan masa gestasi.5
Pertumbuhan alat-alat dalam tubuh bayi prematur kurang sempurna,
karena itu bayi sangat peka terhadap gangguan pernapasan, infeksi, trauma
kelahiran, hipotermi dan sebagainya. Sedangkan bayi dismatur dapat lebih
mudah hidup setelah berada di luar rahim karena alat-alat tubuh lebih
berkembang dibandingkan bayi prematur dengan berat badan yang sama.
Dalam jangka panjang bayi BBLR dapat mengalami gangguan pertumbuhan,
perkembangan, penglihatan, pendengaran serta penyakit paru kronik.1

Faktor Risiko BBLR


a. Paritas
Paritas merupakan jumlah persalinan yang pernah dialami ibu sebelum
kehamilan/persalinan tersebut. Pengelompokan paritas terdiri dari 4
kelompok, yaitu golongan nullipara (ibu dengan paritas 0), primipara (ibu
dengan paritas 1), multipara (ibu dengan paritas 2-3) dan grandemultipara
(ibu dengan paritas ≥ 4).5,6
Kejadian BBLR yang tinggi pada kelompok ibu dengan paritas rendah
dihubungkan dengan faktor umur ibu yang masih terlalu muda, dimana
organ-organ reproduksi ibu belum tumbuh secara sempurna dan kondisi
psikis ibu yang belum siap.Sementara pada paritas tinggi, hal yang
mungkin terjadi adalah gangguan kesehatan seperti anemia, kurang gizi
ataupun gangguan pada rahim. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi
pertumbuhan janin sehingga meningkatkan risiko terjadinya BBLR.3,4
b. Umur Kehamilan
Semakin pendek umur kehamilan maka pertumbuhan janin semakin
belum sempurna, baik itu organ reproduksi dan organ pernapasan oleh
karena itu mengalami kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya.Teori
Beck dan Roshental menyatakan bahwa berat badan bayi bertambah
sesuai dengan masa kehamilan. Apabila bayi lahir pada umur kehamilan
yang pendek, maka berat bayi belum mencapai berat badan normal dan
pertumbuhannya belum sempurna.6,7
c. Jarak Kehamilan
Ibu hamil dengan jarak kehamilan dari anak terkecil kurang dari 2
tahun akan meningkatkan risiko terjadinya BBLR. Jarak kehamilan
sebaiknya lebih dari 2 tahun. Jarak kehamilan yang terlalu dekat
menyebabkan ibu punya waktu yang singkat untuk memulihkan kondisi
rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya.6,7
d. Riwayat Kehamilan Terdahulu
Ibu hamil dengan jarak kehamilan dari anak terkecil kurang dari 2 tahun
akan meningkatkan risiko terjadinya BBLR. Jarak kehamilan sebaiknya
lebih dari 2 tahun. Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu
punya waktu yang singkat untuk memulihkan kondisi rahimnya agar bisa
kembali ke kondisi sebelumnya.5
e. Komplikasi Kehamilan
Beberapa komplikasi dari kehamilan yaitu hiperemis gravidarum,
preeklamsi dan eklamsi, kehamilan ektopik, kelainan plasenta previa,
solusio plasenta, oligohidromnion, perdarahan antepartum, ketuban pecah
dini, anemia. Komplikasi pada kehamilan ini dapat mengganggu
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan sehingga
meningkatkan risiko bayi dengan BBLR.6,7
Diagnosis
Menegakkan diagnosa BBLR adalah dengan melakukan anamnesis untuk
mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR,
melakukan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Riwayat yang perlu ditanyakan pada ibu dalam anamesis untuk
menegakkan mencari etiologi dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
terjadinya BBLR:
- Umur ibu
- Riwayat hari pertama haid terakir
- Riwayat persalinan sebelumnya
- Paritas, jarak kelahiran sebelumnya
- Kenaikan berat badan selama hamil
- Aktivitas
- Penyakit yang diderita selama hamil
- Obat-obatan yang diminum selama hamil
2. Pemeriksaan Fisik
Melakukan pemeriksaan APGAR untuk menilai kondisi umum bayi
sesaat setelah kelahiran yang dilakukan pada menit pertama dan kelima pasca
kelahiran dan untuk mengetahui apakah bayi menderita asfiksia atau tidak.
Hal yang dinilai pada skor APGAR adalah usaha napas, warna kulit, denyut
jantung, tonus otot dan reaksi terhadap rangsang. Setiap penilaian diberi
angka 0,1,2. Dari hasi penilaian dapat diketahui apakah bayi normal (7-10),
asfiksia ringan (4-6) atau asfiksia berat (0-3).

Pada pemeriksaan fisik, diketahui dari berat badan bayi < 2500 gram.
Serta dijumpai tanda-tanda prematuritas seperti tulang rawan telinga belum
terbentuk, refleks lemah, jaringan lemak bawah kulit sedikit, kulit tipis, merah
dan transparan atau terdapatnya tandatanda bayi KMK seperti tengkorak
kepala keras, gerakan cukup aktif dan tangisan cukup kuat, daya mengisap
cukup kuat, kulit keriput, lemak bawah kulit tipis.
3. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan skor ballard untuk menentukan usia gestasi bayi baru
lahir melalui penilaian neuromuskular dan fisik.
- Tes kocok (shake test), dianjurkan untuk bayi kurang bulan untuk
melihat ada tidaknya sindrom gawat napas.
- Foto thoraks/baby gram pada bayi baru lahir dengan kehamilan kurang
bulan dimulai pada umur 8 jam atau didapat/diperkirakan terjadi
sindrom gawat napas.
- USG kepala terutama pada bayi dengan kehamilan kurang bulan
dimulai pada umur 2 hari unutk mengetahui adanya hidrosefalus atau
perdarahan intracranial.

Komplikasi BBLR
Masalah yang terjadi pada bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) terutama
yang prematur terjadi karena ketidakmatangan sistem organ pada bayi tersebut.
Masalah pada BBLR yang sering terjadi adalah gangguan pada sistem
pernapasan, susunan syaraf pusat, kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi,
penglihatan, perkemihan.
a. Sistem Pernapasan
Bayi dengan BBLR umumnya mengalami kesulitan untuk bernapas
segera setelah lahir disebabkan oleh jumlah alveoli yang berfungsi masih
sedikit, kekurangan surfaktan (zat di dalam paru yang melapisi bagian
dalam alveoli, sehingga alveoli tidak kolaps pada saat respirasi), lumen
sistem pernapasan yang kecil, kolaps atau obstruksi jalan napas,
insufisiensi kalsifikasi dari tulang thoraks.Hal-hal inilah yang menganggu
usaha bayi untuk bernapas dan sering mengakibatkan gawat napas (distres
pernapasan).Gangguan napas yang sering terjadi adalahSindrom
Gangguang Napas (SGN) dikenal juga sebagai penyakit Membran Hialin
dan Asfiksia.Membran Hialin dapat mengenai bayi dismatur yang preterm,
terutama bila masa gestasinya kurang dari 35 minggu.
b. Sistem Neurologi (Susunan Syaraf Pusat)
Bayi dengan BBLR umumnya mudah sekali terjadi trauma susunan
syaraf pusat yang disebabkan antara lain; perdarahan intracranial karena
pembuluh darah yang rapuh, trauma lahir, perubahan proses koagulasi,
hipoksia dan hipoglikemia. Sementara itu asfiksia berat yang terjadi pada
BBLR juga sangat berpengaruh pada sistem susunan syaraf pusat yang
diakibatkan karena kekurangan oksigen dan kekurangan perfusi/iskemia.
c. Sistem Kardiovaskuler
Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah masalah yang sering terjadi
pada bayi prematur.Sebelum lahir, arteri besar yang disebut ductus
arteriosus memungkinkan darah tidak mengaliri paru-paru bayi.Ductus
biasanya menutup setelah lahir sehingga darah dapat mengalir ke paru-paru
dan mengambil oksigen.Ketika ductus tidak menutup dengan benar dapat
menyebabkan gagal jantung.
d. Sistem Gastrointestinal
Bayi dengan BBLR terutama yang kurang bulan umumnya saluran
pencernaannya belum berfungsi seperti bayi yang cukup bulan. Hal ini
diakibatkan antara lain karena tidak adanya koordinasi mengisap dan
menelan sampai usia gestasi 33-34 minggu, kurangnya cadangan beberapa
nutrisi seperti kurang dapat menyerap lemak dan mencerna protein, jumlah
enzim yang belum mencukupi, waktu pengosongan lambung yang lambat
dan penurunan/tidak adanya motilitas dan meningkatkan risiko EKN
(Enterokolitis Nekrotikans).
e. Sistem Hematologi
Bayi dengan BBLR lebih cenderung mengalami masalah hematologi
yaitu gangguan pada sistem pembentukan darah. Penyebabnya terutama
pada bayi prematur adalah usia sel darah merahnya lebih pendek,
pembentukan sel darah merah yang lambat, pembuluh darah kapiler mudah
rapuh yang dapat menyebabkan terjadinya anemia, hiperbilirubinemia,
Hemmoragic Disease of the Newborn (HDN).

Penatalaksanaan
1. Pengaturan suhu tubuh/Termoregulasi
Bayi BBLR akan cepat mengalami kehilangan panas badan atau suhu
tubuh dan dapat menjadi hipotermia atau hipertermia. Hal ini disebabkan
oleh pusat pengaturan suhu tubuh belum berfungsi dengan baik atau
sistem metabolisme yang rendah. Hipotermia adalah penurunan suhu di
bawah 36,5̊C sedangkan hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh >
37,50C. Suhu tubuh normal terjadi jika ada keseimbangan antara produksi
panas dan hilangnya panas. Suhu tubuh dijaga pada suhu 36,5 – 37,5̊C.
Diperlukannya penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya
hipotermia atau hipertermia serta menjaga suhu tubuh tetap berada dalam
keadaan normal, yaitu dengan cara proteksi termal/warm chain. Jika
sudah terjadi perubahan suhu badan bayi, dilakukan penangan yang lebih
khusus yakni dengan cara penggunaan inkubator, radiant warmer atau
dengan cara metode kangguru.
Cara Petunjuk penggunaan
Kontak kulit  Untuk semua bayi
 Untuk menghangatkan bayi dalam waktu singkat atau
menghangatkan bayi hipotermi (32-36,4 oC) apabila cara
lain tidak mungkin dilakukan.
Pemancar panas  Untuk bayi sakit atau bayi dengan berat 1.500 g atau
lebih.
 Untuk pemeriksaan awal bayi, selama dilakukan
tindakan, atau menghangatkan kembali bayi hipotermi.
Inkubator Penghangatan berkelanjutan bayi dengan berat <1.500 g yang
tidak dapat dilakukan KMC.
Ruangan hangat  Untuk merawat bayi dengan berat <2.500 g yang tidak
memerlukan tindakan diagnostik atau prosedur
pengobatan.
 Tidak untuk bayi sakit berat.

2. Pengaturan makanan/nutrisi
Pemberian makanan terbaik bagi bayi adalah ASI (Air Susu Ibu).
Pemberian makanan secara dini akan mengurangi risiko hipoglikemia,
dehidrasi dan hiperbilirubinemia. Pada bayi dengan masa gestasi 32 minggu
atau kurang atau berat badan kurang dari 1500 gram terlalu lemah untuk bisa
mengisap secara efektif atau tidak mempunyai refleks menelan yang
memadai, ASI dapat diberikan dengan menggunakan sonde lambung.

3. Mencegah infeksi
Bayi BBLR mempunyai daya tahan tubuh yang rendah dan sistem imun
yang belum matang menyebabkan bayi BBLR sangat rentan dengan
infeksi.Hal ini dapat dicegah dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pencegahan infeksi pada bayi seperti mencuci tangan sebelum memegang
bayi, membersihkan tempat tidur bayi, membersihkan kulit dan tali pusat
bayi.

Prognosis BBLR
Kematian perinatal pada bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal.
Prognosis akan lebih buruk bila BB makin rendah, angka kematian sering
disebabkan karena komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi, pneumonia,
perdarahan intrakranial, hipoglikemia. Bila hidup akan dijumpai kerusakan
saraf, gangguan bicara, IQ rendah.
Pencegahan
Pada kasus bayi berat lahir rendah (BBLR) pencegahan/ preventif adalah
langkah yang penting. Hal-hal yang dapat dilakukan :
- Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal 4 kali
selama kurun kehamilan dan dimulai sejak umur kehamilan muda. Ibu
hamil yang diduga berisiko, terutama faktor risiko yang mengarah
melahirkan bayi BBLR harus cepat dilaporkan, dipantau dan dirujuk
pada institusi pelayanan kesehatan yang lebih mampu
- Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin
dalam rahim, tanda tanda bahaya selama kehamilan dan perawatan diri
selama kehamilan agar mereka dapat menjaga kesehatannya dan janin
yang dikandung dengan baik
- Hendaknya ibu dapat merencanakan persalinannya pada kurun umur
reproduksi sehat (20-34 tahun)
- Perlu dukungan sektor lain yang terkait untuk turut berperan dalam
meningkatkan pendidikan ibu dan status ekonomi keluarga agar mereka
dapat meningkatkan akses terhadap pemanfaatan pelayanan antenatal
dan status gizi ibu selama hamil.
2.2. Hiperbilirubinemia
Definisi
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5
mg/dL (86μmol/L). Hiperbilirubinemia sering dijumpai pada minggu-minggu
pertama setelah lahir, sebagian besar ringan dan dapat membaik tanpa
pengobatan. Ikterus atau jaundice adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva,
dan mukosa akibat penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan.
Ikterus pada neonatus akan terlihat bila kadar bilirubin serum >5 mg/dL.
Istilah hiperbilirubinemia sering disalahartikan sebagai ikterus berat yang
membutuhkan terapi segera. Sesungguhnya, hiperbilirubinemia dan
ikterus/jaundice merupakan terminologi yang merujuk pada keadaan yang
sama.
Hiperbilirubinemia fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi
kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis
neonatus. Hiperbilirubinemia patologis disebabkan oleh inkompatibilitas darah
(Rhesus atau ABO), hemolisis, sepsis, kelainan metabolisme, defisiensi enzim
glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD), Sindrom Gulbert dan Sindrom
Crigler-Najjar. Inkompatibiltas ABO dan defisiensi G6PD merupakan penyebab
hiperbilirubinemia terbanyak di Indonesia.
Peningkatan bilirubin secara berlebihan berpotensi menjadi toksik dan
menyebabkan kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada
jangka panjang akan menimbulkan sekuele nerologis.

Epidemiologi
Hiperbilirubinemia merupakan kondisi yang umum ditemukan di seluruh
dunia. Penelitian di Amerika Serikat, sebanyak 65% bayi baru lahir menderita
ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, data epidemiologi
yang ada menunjukkan bahwa kurang dari 50% bayi baru lahir menderita
hiperbilirubinemia yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama
kehidupannya.
Insiden hiperbilirubinemia neonatus pada bayi cukup bulan di beberapa RS
pendidikan antara lain RSCM, RS Dr.sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi
bervariasi dari 13,7% hingga 85%.3 Penelitian di RSCM menemukan 58% kadar
bilirubin >5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin >12 mg/dL. Di RS Dr.
Sardjito, 82% bayi cukup bulan dan 95% bayi kurang bulan mengalami
hiperbilirubinemia fisiologis.

Klasifikasi
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi
baru lahir di minggu pertama kehidupannya disebabkan oleh peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi akibat proses fisiologis pada neonatus. Proses
tersebut antara lain karena penurunan level glukoronil transferase,
tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebih pendek
(80-90 hari), dan belum matangnya fungsi hepar.
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada
neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari,
setelah itu berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi
lebih dini, kadar bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih
tinggi, serta memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, mencapai 2
minggu. Kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat mencapai 10-12
mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa
adanya kelainan tertentu. Kadar bilirubin akan mencapai <2 mg/dL setelah
usia 1 bulan, baik pada bayi cukup bulan maupun prematur. Jika ikterus
fisiologis, maka harus:
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Kadar bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
3. Peningkatan kadar bilirubin < 0,2 mg/dL/jam atau < 5 mg/dL/hari
4. Ikterus tidak menetap > 2 minggu pada bayi cukup bulan
b. Ikterus non fisiologis
Ikterus non fisiologis merujuk kepada keadaan berikut :
1. Ikterus terjadi sebelum usia 24 jam
2. Bilirubin total serum > persentil 95 berdasarkan grafik normogram
3. Peningkatan kadar bilirubin > 0,2 mg/dL/jam atau > 5 mg/dL/hari
4. Kadar bilirubin serum terkonjugasi > 1,5 – 2 mg/dL atau > 10 –
20% dalam bilirubin serum total
5. Ikterus menetap setelah > 2 minggu pada bayi cukup bulan
6. Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,
penurunan berat badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya.
- Hemolitik: terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi,
retikulosit > 6%, hb <13 g/dL. Seperti pada:
 Coombs’ test positif: Rh factor incompatibility, ABO
incompatibility
 Coombs’ test negatif: defek membrane eritrosit (sferositosis,
eliptositosis), defek enzim eritrosit (defisiensi G6PD, defisiensi
piruvat kinase), obat-obatan (contoh: streptomycin, vitamin K),
hemoglobinopati, sepsis, infeksi seperti bakteri, virus, dan
protozoa.
- Non hemolitik: terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi,
retikulosit normal.
 Ekstravaskular: sefalohematoma, perdarahan SSP
 Polisitemia: transfusi fetal-maternal, terlambatnya penjepitan tali
pusat
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi
hepar.
Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit normal.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh:
- Ikterus fisiologis
Peningkatan kadar bilirubin serum pada minggu pertama kehidupan
disebabkan karena:
 Beban bilirubin yang meningkat pada neonatus karena volume eritrosit
meningkat sebagai kompensasi tekanan parsial oksigen yang rendah,
umur eritrosit pendek dan peningkatan resirkulasi bilirubin
enterohepatal.
 Kurangnya uptake hati sebagai dampak penurunan kadar protein
pengikat bilirubin.
 Kurangnya konjugasi karena masih rendahnya aktivitas enzim uridine
diphospate glucuronyl transferase (UDPGT)
- Crigler-Najjar syndrome tipe 1 dan 2: tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase
- Gilbert syndrome
- Hipotiroidisme
- Breast milk jaundice
3. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke
sel otak.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi
atau kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. Terdapat peningkatan bilirubin konjugasi
dan tidak terkonjugasi, Coomb’s tes negative, bilirubin terkonjugasi >2mg/dL
atau >20% dari total serum bilirubin.
- Obstruksi bilier: atresia bilier, choledochal cyst, primary sclerosing
cholangitis, batu empedu, neoplasma, Dubin-Johnson syndrome,
Rotor’s syndrome
- Infeksi: sepsis, ISK, sifilis, toksoplasmosis, tuberculosis, hepatitis,
rubella, herpes
- Gangguan metabolik: cystic fibrosis, galaktosemia, glycogen storage
disease, Gaucher’s disease, hypothyroidism, Wilson’s disease, Niemann-
Pick disease
- Obat-obatan: aspirin, acetaminophen, sulfa, alcohol, rifampisin,
erythromycin, kortikosteroid, tetracycline.

Patofisiologi
Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui
proses oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang
dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oxigenase. Biliverdin
kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis bilirubin berasal dari katabolisme
heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi baru lahir akan memproduksi
bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4
minggu/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan
dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over
sitokrom yang meningkat, dan reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat.

Gambar 1. Metabolisme Degradasi Heme dan Pembentukan Bilirubin22

Faktor Risiko
Faktor Maternal Faktor Neonatal
Blood type ABO or Rh Birth trauma: cephalohematoma, cutaneous
incompatibility bruising, instrumented delivery
Breastfeeding Drugs: sulfisoxazole acetyl with
Drugs: diazepam (Valium), oxytocin erythromycin ethylsuccinate (Pediazole),
(Pitocin) Ethnicity: Asian, Native, chloramphenicol (Chloromycetin)
American Excessive weight loss after birth Infections:
Maternal illness: gestational diabetes TORCH
Infrequent feedings
Male gender
Polycythemia
Prematurity
Previous sibling with hyperbilirubinemia
TORCH = toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex)
viruses.

Manifestasi Klinis
Warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata
terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l. Disamping itu dapat
pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi.Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-
muntah)
2. Pucat. Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan
golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
3. Trauma lahir. Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong tali pusat.
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya.
6. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital,
sepsis atau eritroblastosis.
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan
anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.

Diagnosis
Anamnesis
- Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
o Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonates adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
o Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus
dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian
otot mata dan displasia dentalis).
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-
fosfat dehidrogenase (G6PD).
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit
Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik.
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice.
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus
atau toksoplasma.
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi
dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria).
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan
intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia
neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan.
- Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breast feeding jaundice dan breast-milk
jaundice
 Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan
ASI.Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum
banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat
lahir rendah), hal ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan
lemak coklat, glikogen, dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme
selama 72 jam.Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat
kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu disebabkan oleh
breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan hiperbilirubinemia
fisiologis.
 Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI).
Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi,
kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin
terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI
dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan
kembali, maka bilirubin akan kembali naik tetapi umumnya tidak akan setinggi
sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati
normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat
berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul akibat
terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase
(UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha2-beta-
diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.

Pemeriksaan fisik
Ikterus terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit, mukosa
dan atau sklera bayi tampak kekuningan. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang
dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan
peningkatan kadar bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin
lebih dari 5 mg/dl.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit
dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat
tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisik:
- Prematuritas
- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
- Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah
ekstravaskular
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi
kongenital, atau penyakit hati
- Omfalitis
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid
Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer

Bagian tubuh yang Rata-rata serum bilirubin Bilirubin


Zona kuning indirek ( mol/l) serum total
1. Kepala dan leher 100 5 mg/dL;
2. Pusat-leher 150 10 mg/dL
3. Pusat-paha 200 12 mg/dL
4. Lengan + tungkai 250 13-15mg/dL
5. Tangan + kaki > 250 >15 mg/dL

Pemeriksaan penunjang
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila
ikterus menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi
dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk
mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani
pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test segera setelah
lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin
untuk mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi
kongenital, sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.

Penatalaksanaan
Pencegahan :
American Academy of Pediatric mengeluarkan strategi praktis dalam pencegahan dan
penanganan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir (<35 minggu atau lebih) dengan
tujuan menurunkan insidensi dari neonatal hiperbilirubinemia berat dan ensefalopati
bilirubin serat meminimalkan risiko yang tidak menguntungkan seperti kecemasan
ibu, berkurangnya breast feeding atau terapi yang diperlukan. Pencegahan dititik
beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk
menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal dan
merangsang aktifitas usus halus.
Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia9
1. Pencegahan primer
- Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
untuk beberapa hari pertama.
- Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.
2. Pencegahan sekunder
- Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat, selama periode neonatal.
- Tentang golongan darah: Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah
ABO dan rhesus serta penyaringan serum antibodi isoimun yang tidak biasa
- Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif dilakukan
pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh (D)
darah tali pusat bayi.
- Bila golongan darah ibu O,Rh positif terdapat pilihan untuk dilakukan tes
golongan darah dan tes Coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak
diperlukan jika dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum
keluar rumah sakit (RS) dan tidak lanjut yang memadai.
- Tentang penilaian klinis : Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin
dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap
penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital, terapi tidak
kurang dari setiap 8-12 jam.
- Protokol untuk penilaian ikterus harus melibatkan seluruh staf perawatan yang
dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin secara transkutan atau
memeriksakan bilirubin serum total.
Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat, dan semua perawatan harus menetapkan
protokol untuk menilai resiko ini. Penilaian ini sangat penting untuk bayi yang pulang
sebelum 72 jam.
Pengelolaan bayi dengan ikterus
1. Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI
Berikut ini adalah elemen-elemen kunci yang harus diperhatikan pada
pengelolaan early jaundice pada bayi yang mendapat ASI.
Pengelolaan ikterus dini (early jaudice) pada bayi yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk
merangsang pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24
jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan
pola menyusui
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dl, tingkatkan pemberian
minum, rangsang pengeluaran/ produksi ASI dengan cara
memompa dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang
dikeluarkan AAP
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan
abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu
upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari
atau meningkat diatas 20mg/dl atau ibu memiliki riwayat bayi
sebelumnya terkena kuning

2. Penggunaan Farmakoterapi :
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan
merangsang induksi enzim- enzim hati dan protein pembawa, guna
mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus
halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun. Antara lain :
1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi- bayi dengan Rh
yang berat dan imunokompabilitas ABO untuk menekan hemolisis
isoimun dan menurunkan tindakan tranfusi. IVIG dapat digunakan
dengan dosis 0,5 g- 1g/kgbb (single dose)
2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang
aktifitas, dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan
jumlah tempat ikatan bilirubin. Terjadi peningkatan uptake hepar,
konjugasi dan eksresi bilirubin. Penggunaan fenobarbital setelah lahir
masih kontroversial dan secara umum tidak direkomendasikan.
Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan bermakna,
hal ini membuat pengguaan fototerapi nampak jauh lebih muda.
Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompabilitas Rh untuk
mengurangi jumlah tindakan tranfusi ganti. Penggunaan fenobarbital
profilaksis untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau transfusi ganti
pada bayi dengan defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil.
3. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan
metalloprotoporpirin juga telah diteliti. Zat ini adalah analoq sintesis
heme. Protoporpirin telah terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif sari
heme oksigenase, enzim ini deperlukan untuk katabolisme heme menjadi
biliverdin, dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan
diekskresikan secara utuh didalam empedu.
4. Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan datau
tanpa penyakit hemolitik, tin-protoporpirin (Sn-PP) dan tin- mesoporpirin
(Sn-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi
setelah pemberian Sn-PP berhubungan dnegan timbulnya eritema foto
toksik. Sn- MP kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan
bersamaan dengan fototerapi. Pada penelitian terbaru dnegan penggunaan
Sn-MP maka fototerapi pada bayi cukup bulan tidak diperlukan lagi,
sedangkan pada bayi kurang penggunaannya telah banyak berkurang.
Pemakaian obat ini masih dalam percobaan dan keluaran jangka panjang
belum diketahui, sehingga pemakaian obat ini sebaiknya hanya
digunakan untuk bayi yang mempunyai resiko tinggi tehadap kejadian
hiperbilirubinemia ynag berkembang menjadi disfungsi neurologi dan
juga sebagai klinikal trial.
5. Baru- baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor B Glukoronidase
pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti asam L-
Aspartik dan casein hoidrolisat dalam jumlah kecil (5ml / dosis – 6x
perhari ) dapat meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus
menjadi berkurang dibandingkan dengan bayi kontrol. Kelompok bayi
yang mendapat campuran whey atau kasein (bukan inhibitor B
glukuronidase) Kuningnya juga tampak menurun dibandingkan dengan
kelompok kontrol, hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan ikatan
bilirubin konjugasi yang berakibat pada penurunan jalur enterohepatik.

Jika kadar bilirubin total serum tidak menurun atau meningkat walaupun telah
mendapat fototerapi intensif, kemungkinan telah terjadi hemolisis dan
direkomendasikan untuk menghentikan foto terapi.
Dalam penggunaan petunjuk fototerapi dan transfusi tukar, kadar bilirubin
direk atau konjugasi tidak harus dikurangkan dari bilirubin total. Dalam kondisi
dimana kadar bilirubin direk 50% atau lebih dari bilirubin total , tidak tersedia data
yang baik untuk petunjuk terapi dan direkomendasikan untuk berkonsultasi kepada
ahlinya.
Jika kadar bilirubin total serum berada pada angka untuk rekomendasi
dilakukan transfusi ganti atau jika kadar bilirubin total sebesar 25 mg/dl atau lebih
tinggi pada setiap waktu, hal ini merupakan keadaan emergensi dan bayi harus segera
masuk dan mendapatkan perawatan fototerapi intensif. Bayi-bayi ini tidak harus
dirujuk melalui bagian emergensi karena hal ini dapat menunda terapi.
Transfusi ganti harus dilakukan hanya oleh personal yang terlatih diruangan
NICU dengan observasi ketat dan mampu melakukan resusitasi.
Penyakit isoimun hemolitik, pemberian gama- globulin (0,5-1 gr/Kgbb selama
2 jam) direkomendasikan jika kadar bilirubin total serum meningkat walaupun telah
mendapat fototerapi intensif atau kadar bilirubin total serum berkisar 2-3 mg/dl dari
kadar transfusi ganti. Jika diperlukan dosis ini dapat diulang dalam 12 jam.

Manajemen bayi ikterus pada rawat jalan


Pada bayi yang menyusu yang memerlukan fototerapi, AAP merekomendasikan
bahwa, jika memungkinkan, menyusui harus diteruskan. Juga terdapat pilihan untuk
menghentikan sementara dan menggantinya dengan formula. Hal ini dapat
mengurangi kadar bilirubin dan atau meningkatkan efektifitas fototerapi. Pada bayi
menyusui yang mendapat fototerapi, suplementasi dengan pemberian ASI yang
dipompa atau formula adalah cukup jika asupan bayi tidak adekuat, berat badan turun
berlebihan, atau bayi tampak dehidrasi.

Foto Terapi
Indikasi Fototerapi
- Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total
- Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargis,suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin < 3g/dL
- Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 diperbolehkan untuk melakukan
fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan
untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah
untuk bayi- bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total
serum yang lebih tinggi untuk bayi- bayi yang mendekati usia 37 minggu.
- Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah pada kadar
bilirubin total 2-3 mg/dl dibawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi- bayi
yang memiliki faktor resiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah.

Petunjuk fototerapi (menurut AAP, 2004) tertera pada:


Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam.
1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/dl bayi sakit/BKB
diperlukan transfusi tukar.
2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat
diperlukan transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5
– 1 gr/kg > 2 jam, ulangi dalam 12 jam bila perlu.
3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan
intravena (kristaloid).
4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar,
atau rasio TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.
5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan
setelah pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian
Gambar Pedoman Fototerapi Intensive Neonatus Usia ≥35 Minggu.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah:
 Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk
menghindari turunnya energy yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
 Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
 Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan
kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada
neonatus. Pemantauan iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka
penutup mata.
 Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya
untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototeraphy.
 Pada lampu diatur dengan jarak 20-30cm di atas tubuh bayi, untuk
mendapatkan energi yang optimal.
 Posisi bayi diubah tiap 8 jam , agar tubuh mendapat penyinaran seluas
mungkin.
 Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
 Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses, dan muntah
diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
 Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan.
 Lamanya terapi sinar dicatat.
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin serum barada dalam batas normal,
terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah,
perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif
atau bayi menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, dan gangguan metabolism.
Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek
samping tersebut bersifat sementara, yang dapat di cegah atau dapat ditanggulangi
dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan
pemantauan keadaan bayi secara berkelanjutan.
Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapati terapi sinar adalah :
 Peningkatan kehilangan cairan yang tidak terukur.
 Energi cahaya fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan
menyebabkan peningkatan penguapan melalui kulit. Terutama bayi premature
atau berat lahir sangat rendah. Keadaan ini dapat di antisipasi dengan
pemberian cairan tambahan.
 Frekuensi defekasi meningkat. Meningkatnya bilirubin indirect pada usus
akan meningkatkan pembentukan enzim lactase yang dapat meningkatkan
peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan
mengurangi timbulnya diare.
 Timbul kelainan kulit di daerah muka badan dan ekstremitas, dan akan segera
hilang setelah terapi berhenti. Di laporkan pada beberapa bayi terjadi “bronze
baby syndrome”, hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan
dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara
dan tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
 Peningkatan suhu.
 Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu
tubuh, ini disebabkan karena suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan
pengaturan suhu tubuh bayi.
 Kadang di temukan kelainan, seperti gangguan minum, letargi, dan iritabilitas.
Ini bersifat sementara dan hilang sendirinya.
Mekanisme kerja fototerapi
Efektifitas dari fototerapi tergantung dari penyinaran (energi yang
dikeluarkan) sumber cahaya. Sinar diukur dengan radiometer atau spektroradiometer
dalam satuan W/cm2 atau μW/ cm2/nanometer. Diposisikan 20 cm diatas neonatus
36
dengan gelombang 430 -490 nm Baik sinar biru (400-550 nm), sinar hijau (550-
800nm) maupun sinar putih (300-800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi
bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu atau urine dan tinja.
Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi,
selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang
disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu.
Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar
(fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya
menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar
dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa diekskresikan melalui
empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin.
Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien
yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama
yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried,
1982). Pada pasien hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah
ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada
bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat
lebih karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah
neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan
memperbaiki kondisi anemianya.
Indikasi transfusi tukar berdasarkan TSB (WHO)

Indikasi transfusi tukar pada BBLR (Choherry, 2004)

Indikasi transfusi tukar


1. Gagal dengan intensif fototerapi.
2. Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang
ditandai gejala hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis
melengking.
Darah donor untuk transfusi tukar
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.
3. Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan
harus golongan O dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika
darah dipersiapkan setelah kelahiran, caranya sama, hanya dilakukan cross
match dengan bayinya.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau
Rhesus yang samadengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan
bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa
tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di-cross match terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah
donor terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160
ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan
transfusi tukar, terjadi sekitar sekitar 87%.

Komplikasi
- Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
- Kern icterus, adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh menumpuknya
bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak Kern ikterus merupakan suatu
sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan athetoid cerebral palsy, gangguan
pendengaran hingga ketulian, gangguan penglihatan, dan mental retardasi.

Prognosis
Konsentrasi yang tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati sawar darah
otak dan penetrasi sel otak, sehingga mengakibatkan disfungsi neuron dan kematian.
Mekanisme bilirubin menginduksi kerusakan sel neuron tidak dapat sepenuhnya
dimengerti, namun konsentrasi tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat mengakibatkan
neurotoksik pada sel membran dan homeostasis kalsium intrasel di neuron dan
kegagalan energi mitokondria dalam sel. Faktor yang menentukan toksisitas bilirubin
pada neuron neonatus sangat komplek dan tidak sepenuhnya dimengerti. Konsentrasi
bilirubin yang spesifik pada bayi preterm dengan risiko kernikterus sampai saat ini
tidak teridentifikasi. Insiden kernikterus dalam grup ini tidak diketahui, dan hubungan
antara serum bilirubin dengan perkembangan neuron pada bayi berat badan sangat
rendah masih belum jelas.

Ensefalopati
Ensefalopati bilirubin klinis terdiri dari 2 tahap yaitu fase akut dan fase kronis.
Pada fase awal dan intermediate dari fase akut bersifat reversible (sementara) yang
masih aman jika segera diterapi (transfusi ganti dan foto terapi). Fase lanjut dan
kronis bersifat irreversible (menetap).
Ensefalopati bilirubin kronis dapat mengakibatkan gejala klinis refleks ton ik
leher (tonic-neck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi
gangguan ekstrapiramidal, gangguan visual, pendengaran, defek kognitif,
gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat terjadi. Angka kematian
dapat lebih dari 10 %.

Anda mungkin juga menyukai