Anda di halaman 1dari 19

Referat

TATALAKSANA NYERI AKUT

Oleh:
Fitria Lasiska 1307101030247
Indika 1407101030174

Pembimbing:
dr. Azwar Risyad, Sp.An

BAGIAN SMF ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH 2015

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
referat yang berjudul ” Tatalaksana Nyeri Akut”. Shalawat dan salam untuk
Rasullullah Muhammad SAW yang telah membawa manusia kealam ilmu
pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan ini untuk
melengkapi tugas kepaniteraan klinik senior Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala.
Penulis menyadari tanpa arahan dan bimbingan dari dokter pembimbing
referat ini tidak akan terselesaikan. Maka pada kesempatan ini penulis sampaikan
terimakasih dengan tulus kepada dr. Azwar Risyad, Sp.An yang telah
membimbing, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengarahkan
penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik yang
membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan yang akan datang.

Banda Aceh, September 2015

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………......i


KATA PENGANTAR ………………………………………………………......ii
DAFTAR ISI.............………………………………………………………….. .iii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………..... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….. 2
2.1 Definisi Nyeri ………………………………………………………...... 2
2.2 Fisiologi Nyeri ………………………….......................………………. 2
2.3 Patofisiologi Nyeri ……………………………………………………...4
2.4 Klasifikasi……………………………………………………….............6
2.5 Faktor yang mempengaruhi.......................................................................7
2.6 pengukuran intensitas nyeri.......................................................................9
2.7 Diagnosis Nyeri.......................................................................................10
2.8 Penatalaksanaan Nyeri ………………………………………………...11
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………. 17
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 18

3
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri
merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan
yang menggambarkan kerusakan jaringan tersebut.1
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang memiliki manfaat yang berupa
mekanisme proteksi, mekanisme defensif dan membantu menegakkan diagnosis
penyakit. Dilain pihak, nyeri tetaplah merupakan derita bagi siapapun, dan
semestinya ditanggulangi karena menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme
dan fungsi sistem organ. Bila tidak teratasi dengan baik, nyeri dapat
mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis
meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan tidur
dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri dapat
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.1,2
Hingga saat ini, nyeri masih merupakan suatu masalah dalam bidang
kedokteran. Nyeri bukan hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem
saraf dan jaringan saja, tetapi juga menyangkut kelainan transmitter yang
berfungsi dalam proses penghantaran inpuls saraf. Dilain pihak, nyeri juga sangat
mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas serta mutu kehidupan.3
Nyeri sering dilukiskan sebagai sesuatu yang berbahaya atau yang tidak
berbahaya, misalnya sentuhaan ringan, tekanan ringan dan sebagainya. Nyeri
dapat dirasakan secara akut ataupun secara kronik oleh penderitanya. Nyeri akut
akan disertai oleh hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan
menghilang sesuai dengan proses penyembuhan. Pemahaman tentang
patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan penanggulangan
nyeri. Bila nyeri akut tidak ditanggulangi dengan baik, maka dapat berkembang
menjadi nyeri kronik.2,4

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang
dan eksistensinya yang diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri,
2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah
pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya
kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi
ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai
penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi
luka.4
Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi noxious akibat trauma, proses suatu
penyakit, atau akibat fungsi otot atau visera yang terganggu. Nyeri tipe ini
berkaitan dengan stress neuroendokrin yang sebanding dengan intensitasnya.
Nyeri akut akan disertai hiperaktifitas saraf otonom dan umumnya mereda dan
hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan.5

2.2 Fisiologi Nyeri


Menurut Torrance & Serginson (2000), ada tiga jenis sel saraf dalam proses
penghantaran nyeri yaitu sel saraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor
atau interneuron dan sel saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel saraf ini
mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan
ke medula spinalis dan otak. Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai
impuls yang merespon perubahan fisik dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang
berespon terhadap stimulus nyeri disebut nosiseptor. Stimulus pada jaringan akan
merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin,
histamin, bradikinin, leukotrien, substansi P, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia
ini akan mensensitisasi ujung saraf dan menyampaikan impuls ke otak.5
Menurut Smeltzer & Bare (2002) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat
dianggap sebagai tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan
serabut traktus sensori asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara

5
sistem neural desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir
pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke
korteks serebri. Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden
harus diaktifkan. Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang
terletak dalam kulit dan organ internal.6
Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan,
menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang
menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut “gerbang”.
Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang
menyakitkan dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan
nyeri. Namun demikian, jika kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan,
akibatnya sistem yang ada akan menutup gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor
sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri dan mencegah transmisi
sensasi nyeri. Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi
interaksi antara stimulus nyeri dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang
mengirim sensasi tidak nyeri memblok transmisi impuls nyeri melalui sirkuit
gerbang penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis medula spinalis
mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri.5,6

Gambar 1. Fisiologi Nyeri

6
2.3 Patofisiologi nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan, akan menghasilkan sel-sel rusak yang akan mengeluarkan zat-zat
kimia bersifat algesik yang berkumpul disekitarnya dan menyebabkan nyeri.6
Tabel 1. Zat-zat yang timbul akibat nyeri
Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen
nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Seroronin Thrombosis ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen +++ Mengaktifkan
plasma
Histramin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam ± Sensistisasi
arakidonat dan
sel rusak
Lekotrien Asam ± Sensistisasi
arakidonat dan
sel rusak
Substansi P Aferen primer ± Sensistisasi
Rangkaian perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang
mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:6,7
1. Tranduksi adalah perubahan ransang nyeri menjadi aktifitas listrik pada
ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor ini banyak dijumpai pada
jaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain.
Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri akan menghasilkan impuls
nyeri.
2. Transmisi yaitu proses perambatan impuls nyeri melalui serat A delta dan C
yang akan diteruskan ke sentral yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di
kornu dorsali. Sel-sel neuron di medula spinalis konue dorsalis yang
berfungsi pada fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada
nyeri akut, sebagian impuls nyeri diteruskan langsung ke sel-sel neuron
yang berada pada kornu anterolateral yang akan menimbulkan penigkatan
aktifitas tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang

7
ditimbulkannya. Sebagian lagi di kornu anterior medula spinalis akan
menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala
akibatnya.
3. Modulasi, merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat Adelta dan C, tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus
spinotalamikus. Di daerah ini akan terjadi interaksi antara impuls yang
masuk dengan sistem inhibisi baik sistem inhibisi endogen maupun
eksogen.
4. Persepsi adalah impuls yang diteruskan ke korteks sensoris akan mengalami
proses yang sangat kompleks termasuk proses interpretasi dan persepsi yang
akhirnya menghasilkan sensibel nyeri.

Gambar 2: Proses elektrofisiologis


Tidak semua impuls nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri, karena ada
suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla spinalis yang dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme seperti7:
a. Stimulasi serat aferen yang memiliki diameter besar dapat menghasilkan
suatu efek berupa aktivasi interneuron inhibisi di kornua dorsalis.
b. Serat inhibisi desendens yang terdiri dari 3 lintasan dari midbrain ke kornua
dorsalis medulla spinalis, yang menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri
neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla spinalis. Ke tiga lintasan ini
akan melepaskan serotonin, norepinefrin, dan cholecystokinin.

8
Periaquaductal gray (PAG) memiliki hubungan dengan ketiga lintasan ini.
PAG kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan
mengaktifkan ke tiga lintasan ini.
c. Betha endorphin adalah zat yang diproduksi di hipotalamus dan disalurkan
ke ventrikulus terius. Zat ini dibawa ke medulla spinalis oleh liquor yang
dapat menyebabkan efek depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.
d. Opioid bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desenden atau
mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.

2.4 Klasifikasi Nyeri


Berdasarkan timbulnya nyeri, nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan
nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan
cidera spesifik, jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik,
nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Secara fisiologis
terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah
perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil.8
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini bersifat dalam,
tumpul, diikuti berbagai macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara
perlahan setelahnya, Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, bersifat
terus-menerus atau intermitten.8
Berdasarkan sumber nyeri, nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar yaitu nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan
subkutan dan membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar,
tajam dan terlokalisasi.
b. Nyeri somatik dalam yaitu nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi
dengan baik akibat ransangan pada otot rangka, tulang, sendi dan jaringan
ikat.
c. Nyeri viseral yaitu nyeri akibat peransangan organ viseral atau membran
yang menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum).
Berdasarkan jenisnya, nyeri diklasifikasikan menjadi:
a. Nyeri nosiseptif yaitu nyeri akibat kerusakan jaringan baik somatik
maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik secara langsung atau tidak

9
langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan,
sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenik yaitu nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau
disfungsi primer pada sistem saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah
rasa panas atau seperti ditusuk-tusuk dan terkadang disertai hilangnya rasa
atau rasa tidak enak pada perabaan.
c. Nyeri psikogenik yaitu nyeri yang berhubungan dengan adanya gangguan
jiwa, misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan
kejiwaan pasien tenang.
Berdasarkan derajatnya, nyeri dikelompokkan menjadi:
a. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul terutama saat beraktivitas
sehari-hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang yaitu nyeri terus-menerus, aktivitas terganggu yang hanya
hilang saat pasien tidur.
c. Nyeri berat yaitu nyeri terus-meerus sepanjang hari yang mengakibatkan
pasien tidak dapat tidur.

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri


Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri.8
a. Usia
Usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak
dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua
kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa
bereaksi terhadap nyeri.
b. Jenis kelamin.
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih
diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam
ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang sama.
Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989) mempelajari kebutuhan
narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima

10
oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap
nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991). Nyeri memiliki makna tersendiri pada
individu dipengaruhi oleh latar belakang budayanya, nyeri biasanya
menghasilkan respon efektif yang diekspresikan berdasarkan latar belakang
budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori
yaitu tenang dan emosi. Pasien tenang umumnya akan diam berkenaan
dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan
pasien yang emosional akan berekspresi secara verbal dan akan
menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan menangis.
d. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan
yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit
mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri
tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu
tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan
yang tidak adekuat. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat
dari banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa
orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti
pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten. Efek yang tidak
diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan
pentingnya kewaspadaan terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan
nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu ini mungkin
lebih sedikit ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu
mentoleransi nyeri dengan baik.

2.6 Pengukuran intensitas nyeri


Nyeri merupakan masalah yang sangat subyektif yang dipengaruhi oleh
psikologis, kebudayaan dan hal lainnya. Akibatnya, mengukur intensitas nyeri
merupakan masalah yang relatif sulit. Beberapa metode yang biasanya digunakan
untuk mengukur intensitas nyeri antara lain8,9:
a. Verbal rating scale (VRSs), metode ini menggunakan suatu word list untuk
mendeskripsikan nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata

11
atau kalimat yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari
word list yang ada. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas
nyeri dari pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini
menjadi beberapa kategori nyeri yaitu: tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri
sedang, nyeri berat dan nyeri sangat berat.
b. Numerical rating scale (NRSs) yaitu metode yang menggunakan angka-
angka untuk menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-
10

c. Visual analague scale (VASs) merupakan metode yang paling sering


digunakan untuk mengukur intensitas nyeri nyeri. Metode ini menggunakan
garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai
nyeri yang sangat berat. Pasien menandai angka pada garis yang
menandakan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri,
mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai
kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak di
bawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan dalam keadaan pasien nyeri
berat.
d. McGill Pain Questionnaire (MPQ) yaitu metode yang menggunakan cek list
untuk mendskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan. Metode ini
menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan
kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari “0” sampai
“3”
e. The face pain scale yaitu metode dengan cara melihat mimik wajah pasien
dan biasanya digunakan untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.

12
2.7 Diagnostik nyeri
Nyeri merupakan suatu keluhan (symptom) maka diagnostik nyeri sesuai
dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Langkah ini terdiri dari
anamnesa, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan terhadap
nyeri harus dilakukan secara seksama yang dilakukan sebelum pengobatan
dimulai, secara teratur setelah pengobatan dimulai, dan setiap saat bila ada laporan
nyeri baru serta selah interval terapi 15-30 menit setelah pemberian parenteral dan
1 jam setelah pemberian peroral.1

2.8 Penatalaksanaan Nyeri Akut


Setelah diagnosis ditegakkan, perencanaan pengobatan harus segera
disusun. Untuk itu, berbagai modalitas tatalaksana nyeri yang beraneka ragam
dapat digolongkan sebagai berikut:1
a. Modalitas fisik : latihan fisik, pijatan, fibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk
jarum perbaikan posisi, imobilisasi, dan mengubah pola hidup.
b. Modalitas kognitif : behafioral, relaksasi, distraksi kognitif, dan pendekatan
spiritual.
c. Modalitas infasiv: pendekatan radioterapi, pembedahan dan tindakan blok
saraf.
d. Modalitas psikoterapi: dilakukan secara terstruktur dan terencana,
khususnya bagi mereka yang mengalami depresi.
e. Modalitas farmakoterafi: mengikuti ” WHO-Three Step Analgesic Ladder”
Farmakoterapi Nyeri
Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk
mengatasi nyeri akut. Hal ini disebabkan karena nyeri akut akan mereda atau
hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit.
Praktik dalam tatalaksana nyeri secara garis besar strategi farmakologi
mengikuti WHO Three step Analgetic ledder yaitu:
1. Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik non opiat seperti
NSAID atau COX 2 spesifik inhibitor.
2. Tahap kedua dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri diberikan obat-
obat seperti tahap satu ditambah opiad secara intermiten.
3. Tahap ketiga dengan memberikan obat pada tahap kedua ditambah opiat
yang lebih kuat.

13
Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri pada proses transduksi
dapat diberikan anastetik lokal dan atau obat antiradang nonsteroid, pada transmisi
inpuls saraf dapat diberikan obat obatan anastetik lokal, pada proses modulasi
diberikan kombinasi anastetik lokal, narkotik dan atau klonidin dan pada persepsi
diberikan anastetik umum, narkotik atau paracetamol. Terapi inisial dapat
diberikan pada dosis yang tinggi dan kemudian diturunkan secara pelan-pelan
hingga sesuai dosis analgetik yang tepat.10

Gambara 3: Tangga dosis obat analgetik7


Pada dasarnya, ada tiga kelompok obat yang mempunyai efek analgetik
yang dapat digunakan untuk menanggulangi nyeri akut
1. Obat analgetik non narkotika
Termasuk obat anti inflamsi non steroid (AINS). Manfaat dan efek samping
dari obat ini wajib dipahami sebelum memberikan obat ini pada penderita. Obat
anti inflamasi non steroid mempunyai titik tangkap kerja dengan mencegah kerja
enzim sikloosigenase untuk mensintesa prostaglandin. Prostaglandin yang sudah
terbentuk tidak terpengaruh terhadap obat ini, obat ini efektif untuk mengatasi
nyeri akut dengan intensitas ringan sampai dengan sedang. Tersedia dalam
kemasan yang diberikan secara oral dan dalam kemasan suntik yang diberikan
secara intamuskular dan secara intravena. Obat ini juga tersedia dalam kemasan
yang dapat diberikan secara supositoria.1
AINS ini memiliki potensi analgesik sedang dan merupakan anti radang.
Efektif untuk bedah mulut dan bedah orthopedi minor, mengurangi kebutuhan
opioid setelah bedah mayor. Obat-oat AINS memiliki mekansisme kerja yang

14
sama jadi tidak disarankan untuk memberikan kombinasi obat AINS yang berbeda
pada waktu yang bersamaan. Obat ini diketahui dapat meningkatkan waktu
perdarahan.1,2
Kontraindikasi AINS:
- Riwayat tukak peptik
- Insufisiensi ginjal atau oliguria
- Hiperkalemia
- Transplantasi ginjal
- Disfungsi hati berat
- Dehidrasi atau hipofolemia
- Terapi dengan furosemid
- Dan riwayat eksaserbasi asma dengan AINS
Gunakan AINS dengan hati-hati pada:
- Pasien diatas 65 tahun
- Penderita diabetes yang mungkin mengidapa nefropati dan atau penyakit
pembuluh darah ginjal
- Pasien dengan penyakit pembuluh darah generalisata
- Penyakit jantung
- Penyakit hepatobilier
- Bedah vaskular mayor
- Pasien yang mendapat eshinibitor, diuretik hemat kalium, siklosforin, atau
metotreksat.
Pemberian AINS dalam jangka lama cenderung menimbulkan efek samping
lebih banyak, menghambat spesifik COX 2 misalnya meloksicam lebih aman
karena efeknya minimal terhadap sistem COX gastrointestinal dan ginjal.
2. Obat Analgetika Narkotik
Obat ini bekerja dengan mengaktifkan reseptor opiod yang banyak terdapat
di daerah susunan saraf pusat. Obat ini terutama untuk menanggulangi nyeri akut
dengan intensitas berat. Obat analgetik narkotika yang digunakan dapat berupa
preparat alkaloidnya atau preparat sintetiknya. Pengguanaan obat ini dapat
menimbulkan efek depresi pusat napas bila dosis yang diberikan relatif tinggi.
Efek samping yang tidak tegantung dosis yang juga dapat terjadi adalah mual
muntah serta pruritus. Pemakaian untuk waktu yang relatif lama dapat diikuti oleh
efek toleransi dan ketergantungan. Obat ini umumnya tersedia dalam kemasan
untuk pemberian secara intravena maupun intramuscular. Pemberian obat
narkotika ini harus disertai dengan pencatatan yang detail dan ketat serta harus

15
ada pelaporan yang rinci tentang pengguanaan obat ini ke instansi pengawasan
penggunaan obat-obat narkotika.2,4
3. Kelompok Obat Anastesia Lokal
Obat ini bekerja pada saraf tepi, dengan mencegah terjadinya fase
depolarisasi pada saraf tepi tersebut. Obat ini dapat di suntikan langsung pada
daerah cedera, didaerah perjalanan saraf tepi yang melayani dermatom sumber
nyeri, di daerah perjalanan plexus saraf dan kedalam ruang epidural atau
intratekal.4,5
Tabel 2. Dosis maksimum aman dari anestesi lokal

Obat anesthesia lokal yang diberikan secara epidural atau intratekal dapat
dikombinasikan dengan opioid. Cara ini dapat menghasilkan efek sinergistik.
Analgesia yang dihasilkan lebih adekuat dan durasi lebih panjang. Obat anesthesia
lokal tidak boleh langsung disuntikan kedalam pembuluh darah.3,4
Komplikasi bisa terjadi:8,9,10
1. Hipotensi pada anestesi epidural karena blok simpatis, dan kelemahan otot
yang menyertai blok saraf besar.
2. Toksisitas sistemik bisa terjadi akibat dosis yang berlebihan atau pemberian
aksidental dari anestesi lokal secara sistemik. Dengan manifestasi mulai dari
kebingungan ringan sampai hilang kesadaran, kejang, aritmia jantung dan
henti jantung.
3. Pemberian obat yang salah merupakan malapetaka pribadi dan medikolegal.
Diperlukan ekstra hati-hati dalam pemberian obat.

Analgesia Balans (multi modal)

16
Analgesia balans merupakan suatu teknik pengolaan nyeri yang
menggunakan pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses
transduksi ditekan dengan AINS, proses transmisi dengan obat anestetik lokal, dan
proses modulasi dengan opiate. Pendekatan ini memberikan penderita obat
analgetika dengan titik tangkap kerja yang berbeda seperti obat analgetika
nonnarkotika, obat analgetika narkotika serta obat ansthesia lokal secara
kombinasi disebut balans analgesia.4,6

Gambar 4. Skema Farmakoterapi pada analgesia balans.4

Analgesia preemtif
Analgesia preemtif adalah tindakan mengobati nyeri sebelum terjadi.
Terutama dilakukan pada pasien sebelum tindakan operasi. Pemberian analgesia
sebelum onset dari ransangan melukai untuk mencegah sensitisasi sentral dan
membatasi pengalaman nyeri selanjutnya. Dengan memberikan analgesia preemtif
nyeri pasca bedah akan sangat menurun. Dalam hal ini dapat diberikan obat
tunggal, misalnya opioid, ketorolak maupun kombinasi antara AINS dengan
opioid. Obat analgesia ini diberikan 20-30 menit sebelum tindakan pembedahan.
Patient control analgesia (PCA)
PCA merupakan situasi dimana pasien dikontrol nyerinya dengan
memberikan obat analgesik dengan memakai alat(pump), dosis diberikan sesuai
dengan nyeri yang dirasakan. PCA dapat diberikan secara ICPCA atau PCEA.10

BAB III
KESIMPULAN

17
Nyeri merupakan suatu hal yang sering kita jumpai dalam dunia praktik
kedokteran, yang sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran.
Nyeri merupakan tanda dari suatu proses yang abnormal yang terjadi didalam
tubuh. Nyeri akut merupakan suatu sensible nyeri yang memiliki manfaat. Bila
pengelolaan nyeri dan penyebab nyeri akut tidak ditatalaksana dengan baik,
makan nyeri dapata berkembang menjadi nyeri kronik. Terdapat beberapa prinsip
dalam mendiagnosis dan memberi tatalaksana nyeri. Diagnostik nyeri sesuai
dengan usaha untuk mencari penyebab terjadinya nyeri. Penyebabnya biasanya
lebih mudah dapat ditentukan, sehingga penanggulangannya biasanya akan lebih
mudah pula. Nyeri akut ini akan mereda dan hilang seiring denan laju prosess
penyembuhan jaringan yang sakit.
Diagnose penyebab nyeri akut harus ditegakan lebih dahulu. Bersamaan
dengan usaha mengatasi penyebab nyeri akut. Pengobatan yang direncanakan
untuk menanggulangi nyeri harus diarahkan kepada proses penyakit yang
medasarinya untuk mengendalikan nyeri tersebut. Semua obat analgetik efektif
untuk menanggulangi nyeri akut.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, G ., Diktat Kumpulan Kuliah Bagian /SMF Anestisiologi dan


Rearimasi. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar,2002.

2. Benzon, et al. The Assesment of Painm in Essential of Pain Medicine and


Regional Anesthesia, 2nd ed,Phila delphia,2005.

3. Avidan,M., Pain Management, In Perioperative Care, Anaesthesia, Pain


Management and Intensive Care, London,2003.

4. Morgan, GE., Pain Managemen, in: Clinical Anesthesiology 2nd ed


Stamford: Appleton and Lange, 1996.

5. Latief, S.A,. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi II Bagian Anestesiologi


dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
2001.

6. Melati, E., Pediatiric Pain Management In Trauma, Bagian/SMF


Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin,
Makasar., 2002.

7. Mangku, G., Nyeri dan Mutu Kehidupan., Buletin IDI., Denpasar, 2005.

8. Sutjahjo, Rita A., Pain Relief In Trauma, Bagian/SMF Anestesiologi dan


Reanimasi Fakultas Kedokteran Airlangga, Surabaya, 2003.

9. Arifin, H., Pengelolaan Nyeri Akut, Bagian/SMF Anestesiologi dan


Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Medan .,2002.

10. Hamill, R.J., The Assesment of Pain, In: Handbook of Critical Care Pain
Management, New York., McGrow-Hill Inc, 1994.

19

Anda mungkin juga menyukai