Anda di halaman 1dari 10

PEDOMAN MENCIPTAKAN KELUARGA SEJAHTERA

Dalam Perspektif Agama Katolik


Oleh: Antonius Andi Wasianto, SS

PENGANTAR

• Persoalan hidup berkeluarga pada jaman sekarang ini semakin rumit, kompleks dan berat.
Sebab utama mengapa semakin berat adalah karena persoalan hidup juga semakin kompleks.
Arus globalisasi dan modernisasi yang melanda kehidupan saat ini kiranya menjadi alasan
utama terjadinya perubahan hidup manusia, termasuk dalam hidup berkeluarga.

• Ada degradasi moral dan spritualitas dalam hidup berkeluarga. Modernisasi di segala bidang
kehidupan di satu sisi sangat membanggakan dan membantu kemudahan hidup, tetapi di sisi
lain juga menimbulkan kegoncangan dan tantangan yang tidak ringan. Sebagai contoh: sejak
jamn dulu perselingkuhan itu sudah ada, tetapi dengan HP kemungkinan untuk
perselingkuhan itu semakin dimungkinkan.

• Menciptakan keluarga sejahtera tidaklah “taken for granted” (terjadi dengan sendirinya)
artinya: Harus diupayakan terus menerus oleh pasangan keluarga tersebut. Ada berbagai
persoalan yang harus dikomunikasikan terus menerus antar suami istri.

• Perkawinan Katolik pada prinsipnya sama dengan perkawinan-perkawinan dalam agama lain.
Tetapi juga memiliki kekhususan tertentu misalnya; prinsif perceraian, poligami, janji
perkawinan/akad nikah, kawin campur dan sebagainya.

PENGERTIAN KELUARGA

Pengertian Keluarga secara Umum

PERSEKUTUAN HIDUP ANTARA SEORANG PRIA DAN SEORANG WANITA


(Monogam) YANG TERJADI KARENA PERSETUJUAN PRIBADI - YANG TAK DAPAT
DITARIK KEMBALI (tak Terceraikan) YANG HARUS DIARAHKAN KEPADA SALING
MENCINTAI SEBAGAI SUAMI ISTERI - DAN KEPADA PEMBANGUNAN KELUARGA -
DAN OLEH KARENANYA MENUNTUT KESETIAAN YANG SEMPURNA - DAN TIDAK
MUNGKIN DIBATALKAN LAGI OLEH SIAPAPUN, KECUALI OLEH KEMATIAN.

Dari pengertian tersebut ada beberapa hal pokok yang bisa dijabarkan:

a. Persekutuan Hidup
Apa yang pertama-tama kelihatan pada perkawinan Katolik? Jawabnya adalah: Hidup bersama.
Namun, hidup bersama itu masih beranekaragam isinya. Dalam perkawinan Katolik, hidup
bersama itu mewujudkan persekutuan. Jadi, hidup bersama yang bersekutu. Bersekutu
mengisyaratkan adanya semacam kontrak, semacam ikatan tertentu dengan sekutunya. Bersekutu
mengandaikan juga kesediaan pribadi untuk melaksanakan persekutuan itu, dan untuk menjaga
persekutuan itu. Ada kesediaan pribadi untuk mengikatkan diri kepada sekutunya, dan ada
kesediaan pribadi untuk memperkembangkan ikatannya itu supaya menjadi semakin erat.

Ikatan ini tidak mengurangi kebebasannya. Justru ikatan itu mengisi kebebasan orang yang
bersangkutan. Pertama-tama karena para calon mempelai memilih sendiri untuk bersekutu, dan
bebas untuk memilih mau bersekutu dengan siapa, memilih untuk terikat dengan menggunakan
kebebasan sepenuhnya; tetapi juga karena kebebasan itu hanya dapat terlaksana dalam
melaksanakan pilihannya untuk bersekutu ini. Dengan kata lain boleh dikatakan bahwa
persekutuan itu membuat orang sungguh-sungguh bebas karena dapat memperkembangkan
kreatifitas dalam memelihara dan mengembangkan persekutuan itu; bukan dengan
menghadapkan diri pada pilihan-pilihan yang baru lagi. Persekutuan yang dibangun itu menjadi
tugas kehidupan yang harus dihayatinya.

b. Seorang pria dengan seorang wanita


Penekanan pertama di sini adalah seorang pria dengan seorang wanita, bukan seorang pria
dengan dua wanita atau sebaliknya, atau seorang pria dengan seorang pria (homo atau lesbi). Ini
menggambarkan penerimaan terhadap satu pribadi seutuhnya. Yang diterima untuk bersekutu
adalah pribadi, bukan kecantikan, kegantengan, kekayaan atau kepandaiannya saja. Ada
beberapa catatan untuk penerimaan satu pribadi ini: Pertama, menerima pribadi itu berarti
menerima juga seluruh latar belakang dan menerima seluruh masa depannya. Artinya, saya tidak
dapat menerima pribadi itu hanya sebagai satu pribadi yang berdiri sendiri. Saya juga harus
menerima orang tuanya, kakak dan adiknya, saudara-saudaranya, teman-temannya, bahkan juga
bahwa dia pernah berpacaran atau bertunangan dengan orang lain. Lebih jauh lagi, saya juga
harus menerima segala sesuatu yang terjadi padanya di masa mendatang: syukur kalau ia
menjadi semakin baik, tetapi juga kalau ia menjadi semakin buruk karena penyakit, karena
ketuaan, karena halangan-halangan; saya masih tetap harus menerimanya. Yang ke dua,
menerima pribadi berarti menerima dia apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kalau dipikir secara matematis: yang bersekutu itu satu dengan satu; bukan 3/4 + 1/2, atau 1 +
6/8; lebih-lebih lagi, bukan satu dengan satu setengah/satu seperempat/satu tiga perempat/apalagi
dengan dua, tiga, dan seterusnya.

Dengan ungkapan lain lagi: Saya seutuhnya, mau mencintai dia seutuhnya/apa adanya. Ini
berarti, saya mau menerima dia seutuhnya, apa adanya; tetapi juga sekaligus saya mau
menyerahkan diri seutuhnya kepadanya saja. Yang lain sudah tidak mendapat tempat lagi di hati
saya, di pikiran saya. Hanya dia saja. Bahkan, anak-anakpun tidak boleh melebihi dia di hadapan
saya, dalam pelayanan saya. Penekanan ke dua pada seorang pria dengan seorang wanita.Yang
ini kiranya cukup jelas. Hanya yang sungguh-sungguh pria dan yang sungguh-sungguh wanita
yang dapat melaksanakan perkawinan secara katolik.

c. Persetujuan pribadi
Hidup bersekutu itu terjadi karena setuju secara pribadi. Yang harus setuju adalah yang akan
menikah. Dan persetujuan itu dilakukan secara pribadi, tidak tergantung pada siapapun, bahkan
juga pada pasangannya. Maka, rumusannya yang tepat adalah: “Saya setuju untuk
melangsungkan pernikahan ini, tidak peduli orang lain setuju atau tidak, bahkan tidak peduli juga
pasangan saya setuju atau tidak”. “Lalu bagaimana kalau pasangan saya kurang atau bahkan
tidak setuju?. Dia hanya pura-pura setuju”. Kalau demikian, bukankah pihak yang setuju dapat
dirugikan? Ya, inilah resiko cinta sejati. Cinta sejati di sini berarti saya setuju untuk mengikatkan
diri dengan pasangan, saya setuju untuk menyerahkan diri kepada pasangan, saya setuju untuk
menjaminkan diri pada pasangan; juga kalau akhirnya persetujuan saya ini tidak ditanggapi
dengan baik/sesuai dengan kehendak saya. Bagaimana dengan restu atau persetujuan orang tua?
Restu dan persetujuan dari orang tua sangat penting, tetapi tidak menentukan sah dan tidaknya
perkawinan. Perkawinan tetap sah meski tidak mendapat restu dari orang tua. Hanya saja
perkawinan yang tidak mendapat restu orang tua jelas bukan perkawinan yang ideal.

d. Yang tak dapat ditarik kembali


Persetujuan pribadi untuk bersekutu itu nilainya sama dengan sumpah atau janji dan bersifat
mengikat seumur hidup (tidak dapat diceraikan). Sebab persetujuan itu mengikutsertakan seluruh
kehendak, pikiran, kemauan, perasaan. Pokoknya seluruh kepribadian. Maka dinyatakan bahwa
persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali. Sebab, penarikan kembali pertama-tama berarti
pengingkaran terhadap diri sendiri, pengingkaran terhadap kebebasannya sendiri, pengingkaran
terhadap cita-cita dan kehendaknya sendiri. Tetapi, kemudian, juga berarti bahwa pribadinya
sudah tidak menjadi utuh kembali.

e. Yang diarahkan kepada saling mencintai antar suami istri

Tujuan utama dari perkawinan Katolik adalah untuk mengembangkan cinta kasih suami istri.
Semua hal; kekayaan, status sosial, seksualitas, keturunan dan yang lain-lain tertuju dan
terarahkan untuk semakin mengukuhkan cinta kasih suami istri tersebut. Tujuan perkawinan
bukan semata-mata untuk memperoleh anak. Konsekuensinya adalah pasangan yang tidak
memiliki keturunan tidak dapat menjadi alasan untuk perceraian. Anak adalah buah buah cinta
dan pengikat cinta perkawinan, bukan tujuan utama perkawinan.

f. Pembangunan Keluarga (beranak cucu/berketurunan)


Hidup dalam persekutuan sebagai suami-isteri mau tidak mau mewujudkan suatu keluarga.
Harus siap untuk menerima kedatangan anak-anak, harus siap untuk tampil sebagai keluarga,
baik di hadapan saudara-saudara, di hadapan orang tua maupun di hadapan masyarakat pada
umumnya. Maka, membangun hidup sebagai suami-isteri membawa juga kewajiban untuk
mampu menghadapi siapapun sebagai satu kesatuan dengan pasangannya. Mampu bekerjasama
menerima, memelihara dan mendewasakan anak, mampu bekerjasama menerima atau datang
bertamu kepada keluarga-keluarga lain, mampu ikut serta membangun Gereja. Semuanya
dilaksanakan dalam suasana kekeluargaan.

g. Kesetiaan yang sempurna


Setia dalam hal apa? Empat hal yang sudah diuraikan di atas, yakni persekutuan hidup antara
seorang pria dan seorang wanita, memelihara dan memperkembangkan persetujuan pribadi,
membangun saling mencintai sebagai suami isteri, membangun hidup berkeluarga yang sehat.
Tidak melaksanakan salah satunya berarti sudah tidak setia. Apalagi kalau kemudian
mengalihkan perhatiannya kepada sesuatu yang lain: membangun persekutuan yang lain,
membuat persetujuan pribadi yang lain, membangun hubungan saling mencintai sebagai suami
istri dengan orang lain, membangun suasana kekeluargaan dengan orang lain (juga saudara)
dengan menelantarkan pasangannya adalah tidak benar.

h. Tak dapat dipisahkan oleh siapapun (tak terceraikan)


Persekutuan perkawinan terjadi oleh dua pihak, yakni oleh suami dan isteri. Maka, tidak ada
instansi atau siapapun yang akan dapat memutuskan persetujuan pribadi itu. Bahkan suami isteri
itu sendiripun tidak dapat memutuskannya, sebab persekutuan itu dibangun atas dasar kehendak
Tuhan sendiri. Dan Tuhanlah yang merestuinya. Maka, pemutusan persekutuan perkawinan bisa
dipandang sebagai pemotongan kehidupan pribadi suami/isteri. Ini bisa berarti pembunuhan,
karena pribadi itu dihancurkan.

i. Kecuali oleh kematian


Pengecualian ini didengar tidak enak. Namun, nyatanya, misteri kematian tidak terhindarkan.
Karena kematian yang wajar, persetujuan pribadi itu menjadi batal, karena pribadi yang satu
sudah tidak mampu lagi secara manusiawi melaksanakan persetujuannya.

Dasar atau Sumber Ajaran dari Perkawinan Katolik

• Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut gambar dan citra-Nya (Kejadian 1:26-
27)
• Suami istri adalah pasangan hidup yang tidak terpisahkan (Mulieris Dignitatem 7)
• Laki-laki akan meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengang istrinya sehingga mereka
menjadi satu daging (Kejadian 2:24 )
• Yang dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia (Matius 19:2; Markus 10:1; Efesus
5:21-23; 1 korintus 7).
• Kitab Hukum Kanonik 1055:1.Sakramen Perkawinan merupakan tanda dan sarana rahmat
Allah, 2. Janji perkawinan: tetap setia dalam untung dan malang, sakit dan sehat, suka dan
duka.
• Dokumen Konsili Vatikan II, Familiaris Consortio 19: perkawinan katolik merupakan
ungkapan cinta kasih suami-istri yang sejati, penuh dan utuh (total) dan setia sampai mati.

Ciri-ciri Perkawinan Katolik

• Monogami: antara satu pria dengan satu wanita


• Heteroseksual: seorang pria dengan istrinya
• Dinyatakan secara publik: meninggalkan orang tua berarti peristiwa publik, sosial
• Disempurnakan dengan persatuan seksual (satu daging)
• Seumur hidup: tidak boleh diceraikan.
Janji Nikah Katolik

“Dihadapan imam dan para saksi, saya …….. menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa ….
(menyebut nama calon suami atau istrinya) yang hadir di sini mulai sekarang ini menjadi
istri/suami saya. Saya berjanji setia kepadanya dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit
dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah
dan Injil suci ini.

(dilanjutkan dengan saling memberi cicin sebagai kebulatan niat yang tidak berujung)

Hak dan Kewajiban Suami Istri

• Perkawinan berarti membagikan kehidupan kita dengan pasangan kita sampai mati
• Perkawinan berarti memperdalam cinta melalui hubungan yang intim
• Perkawinan berarti mempunyai anak dan memperhatikan mereka seperti yang dikehendaki
Allah.
• Tugas atau kewajiban pokok seorang suami adalah kepala rumah tangga, khususnya mencari
nafkah untuk menghidupi keluarga, sementara tugas seorang istri adalah mendampingi,
mengatur dan melayani anggota keluarga dalam kebutuhan hidup sehari-hari; makanan,
minuman, pakaian, menata suasana menjadi lebih indah dan nyaman dan sebagainya.
• Tugas dan kewajiban suami istri pada prinsipnya sama, hanya berbeda dalam fungsi.
Keduanya harus saling melengkapi dan saling membantu. Istri tidak lebih rendah dari suami.

Pembinaan Keluarga Katolik

 Semakin disadari oleh banyak orang bahwa membangun hidup berkeluarga dewasa ini
semakin tidak mudah karena semakin banyak tantangan di berbagai bidang kehidupan. Oleh
sebab itu pendampingan hidup berkeluarga sudah dimulai sedini mungkin. Sejak masa
pacaran, pertunangan sampai perkawinan. Ada persiapan khusus menjelang perkawinan yang
disebut Kupeper (Kursus Persiapan Perkawinan) bagi pasangan-pasangan yang hendak
melangsungkan perkawinan. Kursus ini wajib diikuti oleh setiap calon pengantin. Pada
umumnya diselenggarakan selama satu minggu, berisi tentang materi-materi yang relevan
dengan hidup berkeluarga (ekonomi, psikologi, kesehatan, pendidikan, hokum dan
sebagainya) yang disampaikan oleh para narasumber yang ahli dibidangnya masih-masih.
 Sesudah perkawinan ada banyak kegiatan gereja (rekoleksi, retret (semacam penataran) dan
seminar, lokakarya dan sebagainya) yang membahas tetang pasutri (pasangan suami istri).
Kegiatan ini biasanya diselenggarakan oleh Komisi Pendamping Keluarga baik ditingkat,
paroki, kevikepan atau keuskupan, baik bersekala local, regiona, nasional sampai
internasional. Selain menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tersebut, komisi penndampingan
keluarga juga banyak menerbitkan buku-buku tentang keluarga.
 Gereja membuat hukum dan aturan-aturan tentang pedoman hidup berkeluarga misalnya;
surat gembala dari Paus atau uskup, ensiklik atau konstitusi (Familiaris Consortio), Ardas
(Arah dasar), dan sebagainya. Surat keputusan atau aturan yang dikeluarkan oleh gembala
Gereja harus ditaati oleh seluruh umat Katolik.
 Ada banyak kegiatan lain yang memfokuskan diri pada pemdampingan keluarga kristiani,
baik secara resmi maupun tidak resmi.
Anak Yang Diinginkan Agama dan Orang tua

• “Beranak cuculah dan bertambah banyak. Penuhilah muka bumi” (Kej 2). Dari kutipan ayat
kitab suci ini dapat disimpulkan bahwa Allah mengehndaki supaya kita beranak cucu dan
berkembang biak. Tidak dibatasi harus punya anak berapa. Hanya masalahnya adalah sesuai
perkembangan jaman seperti sekarang ini di sadari oleh banyak orang bahwa banyak anak
akan banyak masalah. Dengan demikian keluarga-keluarga dengan sendirinya akan membatasi
jumlah anak.
• Berkaitan dengan pembatasan jumlah anak ini, Gereja katolik Indonesia mendukung program
KB. Tetapi tidak semua alat kontrasepsi/KB dibolehkan atau dihalalkan. Misalnya Sterilisasi
tetap baik untuk laki-laki atau perempuan dilarang karena pemandulan tetap berarti menyalahi
hukum kodrat. KB yang dihalalkan oleh Gereja adalah KBA (KB alamiah atau penanggalan
masa subur dan tidak subur), karena itu sesuai dengan kehendak Allah.Prinsip alat KB yang
dihalalkan adalah alat yang fungsi kerjanya belum terjadi pembuahan, misalnya kondom.
• Kesimpulannya adalah karena alasan demi kesejahteraan keluarga, maka membatasi jumlah
anak diijinkan.

Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua

• Bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya, dan tak seorangpun dapat benar-benar
menggantikannya (Gravissimum Educationis). Orang tua apadan pendidik yang pertama dan
utama bagi anak-anaknya. Pendidikan itu bersifat utuh menyeluruh.
• Menciptakan suasana keluarga yang penuh kasih dan ibadah kepada Allah dan sesama.
• Mendidik dan memberi teladan keutamaan-keutamaan hidup, terutama dalam masyarakat.
• Memberi kesaksian tentang nilai-nilai hidup kristen
• Berdoa bersama dan mengambil peran dalam hidup menggereja dan masyarakat.
(ecclesiastica domestica)
• Sementara tugas dan kewajiban anak adalah menghormati dan membantu orang tua seturut
kemampuannya. “Hormatilah ayah dan ibumu” (ada dalam sepuluh perintah Allah). “Hai,
anak-anak, taatilah orangtuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.
Hai, bapa-bapa, jangan sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (Kol 3:20-21)

Kenakalan Remaja

 Masalah kenakalan remaja seperti yang sekarang ini terjadi harus disikapi dengan arif dan
bijaksana. Usia remaja adalah usia akhil balik di mana seseorang tumbuh dan berkembang
mencari identitas atau jati dirinya. Usia Remaja adalah usia transisi dari usia anak-anak ke
usia dewasa atau menjadi kaum muda. Dalam masa transsisi dan upaya mencari jadi diri
itulah kadang terjadi tindakan salah arah yang disebut kenakalan remaja. Oleh sebab itu
masa-masa ini perlu pendampingan khusus baik dari orang tua maupun masyarakat di mana
ia hidup.
 Selain itu masa remaja adalah masa di anak masih kelebihan energi. Mereka cenderung hidup
mengelompok dengan teman-teman dekatnya. Mereka akan mencoba dan merasakan hal-hal
yang dianggap baru. Rasa penasaran dan ingin coba-coba inilah yang sering kali
menjerumuskan anak ke sikap atau tindakan yang kita sebut nakal. Kenakalan tidak sama
dengan kejahatan, tetapi biasanya memang cenderung ke arah kejahatan misalnya memakai
narkoba, sex bebas, mencuri kecil-kecilan, menjaili orang lain dan sebaginya.
 Sikap yang terbaik terhadap masalah ini adalah memberikan kebebasan terbatas kepada anak
tersebut, tetapi juga memberi ketegasan, khususnya dari orang tua. Pola didik orang tua,
khususnya prinsip ketegasan dan kewibawaan orang tua menjadi kontrol bagi anak untuk
berkembang ke arah yang baik. Ketegasan ini tidak sama dengan kekerasan. Orang Jawa
memiliki prinsip mendidik anak yang baik yakni menanamkan rasa wedi asih (ditakuti tetapi
tetap dicintai, bukan takut tapi benci atau dendam).
 Kenakalan remaja bisa dicegah dengan menanamkan nilai-nilai moral dan agama, serta
pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang
mengembangkan seluruh aspek dalam hidup manusia bukan hanya segi kognitif atau
pengetahuan, tetapi juga aspek-aspek yang lain psikomotorik, afektif, psikologis,
spiritualitas, religiusitas dan sebagainya.

Manusia dalam Kehidupan

Berbicara mengenai manusia bearti mengenai atropologi yang dimensinya sangat luas. Tetapi
dalam konteks kesehatan, ada satu pertanyaan yang harus kita jawab; mengapa kita harus
menghargai hidup dan kehidupan atau apa dasat etik sehingga kita harus menghargai hidup.
Jawabnya antara lain:

 Martabat manusia sebagai pribadi yang unik dan tak tergantikan


 Kebersamaan dengan sesama, manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain
 Nilai hidup jasmani, merupakan nilai paling dasar dalam hidup.
 Iman kepercayaan. Hidup manusia milik Tuhan, bukan milik manusia
 Norma Absolut, “jangan membunuh”, tetapi secara etik, tidak semua pembunuhan itu pasti
jahat.Misalnya; hukum mati, perang, membela diri, dll

Jadi, apa itu hidup atau apa artinya kehidupan itu? Hidup merupakan keseluruhan hal yang
melingkupi manusia sebagai mahluk yang dinamis, rasional dan bebas mengembangkan seluruh
eksistensinya.Hidup akan memiliki arti yang sesungguhnya bila dihadapkan dengan pengalaman
sakit, penderitaan dan kematian. Hidup terasa tidak memiliki arti bila kita dalam konsisi sakit
dan menderita, baik sakit fisik, psikis atau dua-duanya.

Kewajiban Merawat Pasien

 Kesehatan merupakan hal yang mendasar dalam hidup manusia. Orang yang tidak sehat akan
menderita dan berusaha untuk sembuh. Oleh sebab itu pada umumnya, apa pun akan
dikorban untuk mencari kesembuhan itu.
 Merawat orang sakit merukapan pekerjaan yang sangat mulia. Mengapa? Karena orang yang
sakit ada dalam kondisi yang tidak berdaya, lemah dan sangat membutuhkan bantuan orang
lain, lebih-lebih bila sakit itu mengancam nyawa (sakit yang berat). Oleh sebab itu secara
moral, membantu orang yang sakit jauh lebih tingggi nilainya dari pada membantu orang
yang sehat.
 Kewajiban merawat pasien atau orang yang sakit merupakan tuntutan kemanusiaan
universal. Artinya bahwa tindakan merawat tersebut harus dilakukan pada siapapun yang
sakit tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, golongan dan perbedaan-perbedaan
lain. Konsekuensinya adalah perawat atau orang yang seharusnya bisa menolong orang yang
sakit tetapi tidak melakukannya berarti dia melanggar hukum kemanusiaan universal
tersebut. Secara sosial ia akan dikatakan tidak berprikemanusiaan dan secara agama akan
disebut berdosa.

Pendampingan dan Bimbingan Bagi Pasien

 Pasien atau orang yang sakit ada dalam kondisi yang tidak normal dan ini menyebabkan pola
pikir, pola rasa, pola bertindak, pola makan dan sebagainya juga tidak normal. Oleh sebab itu
dibutuhkan pendampingan dan bimbingan yang intensif. Mendampingi orang yang “tidak
normal” tentu pekerjaan yang tidak mudah. Dibutuhkan kesabaran ekstra dari para perawat
dan orang-orang disekitarnya.
 Pendampingan dan bimbingan pasien tersebut harus berdasarkan pemahaman bahwa manusia
terdiri dari dua unsur yakni jasmani dan rohani. Jasmani sakit, rohani juga ikut sakit, dan
begitu pula sebaliknya. Maka yang pendampingan secara jasmani dan rohani tidak boleh
dipisahkan.
 Khusus bagi pasien yang sakit berat atau menghadapi kematian, yang harus disadari adalah
bahwa mereka akan mengalami tahap-tahap seperti berikut (E. Kulber Ross);

1. Menyangkal dan menyendiri


2. Marah, protes, cemburu dan dendam
3. Tawar menawar dan memohon pada Tuhan untuk tetap hidup
4. Depresi dan frustasi
5. Menyerah dan pasrah

 Tolok ukur dari seorang perawat yang baik dan tidak dapat dilihat dari bagaimana sikap,
tindakan dan ucapannya dalam mendampingi dan merawat seorang pasien. Kesabaran,
ketelatenan, kepekaaan dan ketulusan hati dalam merawat pasien menjadi prinsip-prinsip
dasar dalam pelayanan.

Perawatan Jenazah

 Gereja Katolik tidak memiliki aturan khusus bagaimana harus merawat jenasah. Prinsipnya
adalah bahwa setiap jenazah harus diperlakukan secara layak. Hal-hal umum yang biasa
dilakukan adalah memandikan jenazah (siapapun boleh ikut memandikannya, dan kalau
sudah dimandikan tidak akan dimandikan lagi), memberikan pakaian sama seperti ketika dia
masih hidup (bisa pakaian baru atau pakaian yang paling ia sukai), meriasnya sama seperti
kalau ia mau berangkat ke gereja atau pesta (dengan pertimbangan bahwa ia akan menghadap
Tuhan) dan membaringkannya dalam peti yang sudah dihias dengan rangkaian bunga dan
wangi-wangian. Sekali lagi pangruptilaya atau perawatan jenazah ini pada umumnya sesuai
dengan adat istiadat setempat.
 Setelah dimandikan dan dibaringkan dalam peti kemudian didoakan oleh sanak saudara,
kerabat dan para pelayat. Siapapun boleh menyentuh dan ikut mendoakannya. Sebelum
diberangkatkan ke kubur dan ketika dimasukkan ke liang lahat, akan didoakan sesuai dengan
ritus agama Katolik yang sudah ada dipimpin oleh Romo atau prodiakon (tokoh umat).
 Dalam tradisi katolik ada upacara mendoakan orang mati mulai dari 3 hari, 7 hari, 40 hari,
100 hari dan seterusnya (hal ini tidak ada dalam tradisi gereja Kristen Protestan). Mengapa
kita mendoakan orang mati? Karena baik orang yang masih hidup maupun yang sudah mati
tetap sama. Bedanya adalah dia tidak punya badan lagi, tetapi roh dan jiwanya tetap sama.
Orang tua saya tetap orang tua saya meskipun dia sudah meninggal, dan mendoakan dia
ketika sudah meninggal sama nilainya dengan mendoakan dia ketika dia masih hidup.
Hubungan kasih antara saya dengan orang tua dan saudara-saudara saya yang sudah
meninggal tidak terputus oleh kematian. Saya akan mendoakan mereka dan mereka akan
mendoakan saya. Berdoa pada Tuhan, bukan berdoa pada ayah ibu saya yang sudah
meninggal. Dan…. Alangkah sedihnya kita besok ketika kita sudah mati dan tidak pernah
didoakan dan diingat lagi.

Alasan lain mengapa gereja Katolik memiliki tradisi mendoakan orang mati 3, 7, 40, dan
seterusnya adalah untuk menghibur dan menguatkan sanak saudara yang ditinggal mati. Doa
bersama adalah kekuatan dan penghiburan yang luar biasa besar artinya bagi mereka yang
baru saja ditinggal pergi oleh orang yang dicintainya.

....oooOOOooo….

Anda mungkin juga menyukai