Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERADILAN AGAMA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas PKN

Disusun Oleh:
Kelas : XI Titl A
Rakes Dwi mahendra
Juli widianto
M Haris prayoga
Irfan setiawan
Ilham galuh pradana
Gustiawan Abdi
M Iqbal tawakal

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN NEGERI


(SMKN) 3 METRO
TAHUN AJARAN 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul “Peradilan Agama”.

Dalam Penyusunan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya
miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat saya harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini saya
menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada bapak/ibu guru yang telah
memberikan tugas dan petunjuk sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini.

Metro, Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 1
C. Tujuan Masalah ........................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3
A. Pengertian Peradilan Agama ....................................................... 3
B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia ............... 3
C. Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim ............................... 4
D. Undang-Undang Peradilan Agama ............................................. 6
BAB III PENUTUP ............................................................................... 9
A. Kesimpulan.................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam membicarakan hukum Islam dan peradilan agama, pusat
perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam system hukum
nasional. System hukum Indonesia sebagai akibat dari perkembangan
sejarahnya bersifat majemuk. Disebut demikian karena sampai sekarang di
negara republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai
corak dan susunan sendiri. Sejak awal kehadiran Islam pada abad ke-7 Masehi
tata hukum Islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan
masyarakat dan peradilan Islam. para era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-
kerajaan Islam, peradilan agama sudah hadir secara formal. Ada yang beranama
peradilan penghulu seperti di Jawa. Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam
di Sumatera, Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak.
Namun sangat disayangkan, walaupun pada masa kesultanan telah
berdiri secara formal peradilan agama serta status ulama memegang peranan
sebagai penasihat dan hakim, belum pernah disusun buku hukum positif yang
sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraks yang ditarik dari kandungan
doktrin fikih. Sehingga dari paparan tersebut penulis tertarik menggali lebih
dalam tentang hukum yang terkandung dalam peradilan agama dalam sebuah
judul makalah yaitu pengembangan hukum material dalam peradilan agama.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka pemakalah akan menyimpulkan
pembahasan ini menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan peradilan agama?
2. Apakah Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia?
3. Apa saja Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim?
4. Bagaimana Undang-Undang Peradilan Agama?

1
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan pemakalah
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian peradilan agama.
2. Untuk Mengetahui Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia.
3. Untuk mengetahui Apa saja Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim.
4. Untuk mengetahui Bagaimana Undang-Undang Peradilan Agama.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Agama


Peradilan Agama adalah salah satu peradilan resmi diantara empat
lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia
dan juga salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia, karena
Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan
tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata
tertentu saja dan hanya untuk orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.

Peradilan Agama secara nyata sudah ada dan tersebar di berbagai daerah
di Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dengan
beraneka ragam sebutan istilahnya, seperti Rapat Ulama, Raad Agama,
Mahkamah Islam, Mahkamah Syara’, Priesterrad, Pengadilan Paderi,
Godsdients Beamte, Mohammedansche Godsdients Beamte, Kerapatan Qadli,
Hof voor Islamietische Zaken, Kerapatan Qadli Besar, Mahkamah Islam
Tinggi, dan sebagainya.

Pada zaman Jepang tidak banyak mengalami perubahan tetapi pada


tahun 1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi Badan Peradilan Agama
yang dibentuk baru dengan sebutan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyyah
dan Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyyah Provinsi.

B. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Peradilan
Agama adalah sebutan resmi yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Akan tetapi, akan timbul pertanyaan apakah Peradilan
Agama yang dimaksud merupakan Peradilan Islam dalam konsepsi universal
atau hanya Peradilan Islam di Indonesia?

Menurut ordonantie Peradilan Agama untuk pulau Jawa dan Madura


yaitu stbl. 1882-152, jis. Stbl 1937-116 dan 610, pasal 2a menjelaskan bahwa
Peradilan Agama berwenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta

3
menyelesaikan perkara-perkara tertentu saja, menurut hukum Islam, antara
orang-orang yang beragama Islam, semata-mata perkara yang bersifat perdata.

Begitu pula jika kita memperhatikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974


jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan dan
pelaksanaannya, yang menyatakan bahwa bagi mereka yang beragama Islam
melalui Peradilan Agama, tetapi tidaklah komplit mencakup perkara nikah
menurut konsepsi Islam yang universal.

Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Peradilan Agama
adalah Peradilan Islam di Indonesia dan belum dapat dikatakan sebagai
peradilan Islam secara universal, karena Peradilan Islam yang universal
merupakan peradilan yang mempunyai prinsip-prinsip kesamaan, sebab hukum
Islam itu tetap satu dan dapat diberlakukan dimanapun bukan hanya untuk suatu
bangsa atau negara tertentu saja. Dirangkainya “Peradilan Islam” dengan kata-
kata “di Indonesia” perlu digarisbawahi, karena Peradilan Agama tersebut
hidup di dalam hukum Negara Indonesia, ia harus mampu menyelaraskan
hukum Islam di satu pihak dengan hukum negara Indonesia di pihak lainnya.

C. Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim


Dalam literatur Fiqih Islam untuk berjalannya peradilan dengan baik dan
normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni:
1. Hakim atau Qadhi
Yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugat menggugat, oleh karena penguasa sendiri tidak dapat
menyelesaikan tugas peradilan.
2. Hukum
Yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.
Hukum ini adakalanya dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata saya
menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada yang
berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan
dasar yang menyakinkan seperti berhaknya seseorang anggota serikat untuk
mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha istiqaq ialah menetapkan sesuatu

4
dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti seorang tetangga
mengajukan hak syuf’ah.
3. Mahkum Bihi
Di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh qadhi si
tergugat harus memenuhinya. Dan didalam qadha tarki ialah menolak
gugatan. Karena demikian maka dapat disimpulkan bahwa mahkum bihi itu
adalah suatu hak.
4. Mahkum Alaih (si terhukum)
Yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-
hak syara’ adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang
diharapkan kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan, seorang ataupun
banyak.
5. Mahkum Lahu
Yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya
atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
6. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan)
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara hanya dalam
suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya dengan
mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu,
sesuatu yang bukan merupakan peristiwa tapi masuk dalam bidang ibadah
tidak masuk dalam bidang peradilan.

Dalam hal pengangkatan seorang hakim dalam literature-literatur fiqih,


para ahli memberikan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi
hakim, walau ada perbedaan dalam syarat-syarat yang mereka berikan, namun
ada pula yang disepakati. Syarat yang dimaksudkan ada enam yaitu:
1. Laki-laki yang merdeka.
2. Berakal (mempunyai kecerdasan)
3. Beragama Islam.
4. Adil.
5. Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya.
6. Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu.

5
D. Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan Agama telah ada sejak agama Islam datang ke Indonesia,
itulah yang kemudian diakui dan dimantapkan kedudukannya di Jawa dan
Madura tahun 1882, di Kalimantan Selatan tahun 1937 dan di luar Jawa,
Madura, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1957, dan namanya sekarang
Pengadilan Agama. Penyatuan nama ini dilakukan dengan keputusan Menteri
Agama No. 6 tahun 1980 (ketika Menteri H. Alamsah Ratu Perwira Negara).
Semuanya berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI dalam
menyelenggarakan peradilan dan pembinaannya.
Semula ada beberapa masalah yang melekat pada peradilan agama
sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya melakukan kekuasaan
kehakiman secara mandiri seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang NO.
14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini tidak berlaku lagi),
tapi kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama berarti telah hilanglah masalah susunan, masalah kekuasaan dan
masalah acara peradilan agama yang selama ini dianggap menjadi
masalah. Waktu itu ketika Undang-Undang Peradilan lainnya telah selesai
dibentuk sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama belum, maka dalam
rangka melaksanakan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (yang sekarang tidak berlaku lagi),
maka Menteri Agama atas nama pemerintahan menyampaikan naskah
Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama kepada DPR untuk
disetujui.
Setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) itu disetujui dan disahkan
oleh presiden tanggal 29 Desember 1989 dengan demikian tercapailah:
1. Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman, terutama yang disebut dalam Pasal 10 ayat 1 dan pasal 12.
2. Terjadi pembaruan hukum dalam makna peningkatan dan penyempurnaan
pembagunan hukum nasional di bidang Peradilan Agama.
3. Peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman akan mampu
melaksanakan sendiri keputusan-keputusannya karena sudah mempunyai

6
kelengkapan hukum acara dan perangkat hukum lainnya. Kini
kedudukannya benar-benar sejajar dan sederajat dengan pengadilan-
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, militer, dan tata usaha
Negara.
4. Kini pengadilan agama telah mempunyai kewenangan yang sama di seluruh
Indonesia kecuali peradilan Islam lainnya.
5. Terciptanya unifikasi hukum acara peradilan agama yang telah digunakan
sebagai pegangan oleh semua pihak. Baik hakim maupun para pihak.
Dengan demikian, berarti telah memungkinkan terwujudnya ketertiban dan
kepastian hukum yang berintika keadilan dalam lingkungan peradilan
agama.
6. Lebih memantapkan usaha penggalian berbagai asas dan kaidah hukum
melalui yurisprudensi dalam hubungan ini termasuk asas-asas dan kaidah
hukum Islam sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan
pembangunan hukum nasional.

Undang-udang Peradilan Agama terdiri dari tujuh bab yakni 108 Pasal
dengan meliputi: Bab I memuat tentang ketentuan-ketentuan umum tentang
pengertian, kedudukan, tempat kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang susunan peradilan
agama dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang kekuasaan
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab IV menyebut soal biaya
perkara yang diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah
Agung berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bab V
menyebut ketentuan-ketentuan lain mengenai administrasi peradilan,
pembagian tugas para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-
masing. Bab VI mengenai ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang
ketentuan penutup. Di sini ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya
Undang-Undang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas)
residensi Kalimantan Selatan dan Timur dan di bagian lain wilayah RI
dinyatakan tidak berlaku lagi.

7
Dari uraian pasal ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya sejak Islam
masuk ke Indonesia, Peradilan Agama telah ada. Tahun 1882 itu adalah tahun
pengakuan Belanda sebagai penjajah terhadap peradilan agama. Dengan
keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, berarti
peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya telah mandiri dalam
melakukan kekuasaan kehakiman.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Dalam literatur Fiqih Islam
untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, diperlukan adanya enam
unsur yaitu Hakim atau Qadha, Hukum, Mahkum Bihi, Mahkum Alaih (si
terhukum), Mahkum Lahu, dan Perkataan atau perbuatan yang menunjuk
kepada hukum (putusan).
Undang-udang Peradilan Agama terdiri dari tujuh bab yakni 108 Pasal
dengan meliputi: Bab I memuat tentang ketentuan-ketentuan umum tentang
pengertian, kedudukan, tempat kedudukan dan pembinaan pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang susunan peradilan agama
dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang kekuasaan pengadilan
dalam lingkungan peradilan agama, Bab IV menyebut soal biaya perkara yang
diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung berdasarkan
asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bab V menyebut ketentuan-
ketentuan lain mengenai administrasi peradilan, pembagian tugas para hakim,
panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI mengenai
ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang ketentuan penutup. Di sini
ditegaskan bahwa pada saat mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan
Agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan
dan Timur dan di bagian lain wilayah RI dinyatakan tidak berlaku lagi.

9
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Prenada Media


Group, 2006.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Cet.
II, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan


Realita), Cet. II, Malang: UIN Malang Press, 2009.

10

Anda mungkin juga menyukai