Iman kepada kitab-kitab Allah merupakan salah satu rukun iman yang wajib diimani oleh setiap
muslim. Bagaimana beriman kepada kitab Allah? Simak pembahasan berikut. Semoga Allah ‘Azza wa
Jalla menunjukkan kepada kita aqidah yang lurus.
Iman kepada kitab yang Allah turunkan merupakan salah satu ushul (landasan) iman dan
merupakan rukun iman yang enam. Iman yang dimaksud adalah pembenaran yang disertai keyakinan
bahwa kitab-kitab Allah haq dan benar. Kitab-kitab tersebut merupakan kalam Allah ‘Azza wa
jalla yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya kepada umat yang turun kepadanya kitab tersebut.
Diturunkanya kitab merupakan di antara bentuk kasih sayang Allah kepada hambanya karena besarnya
kebutuhan hamba terhadap kitab Allah. Akal manusia terbatas, tidak bisa meliputi rincian hal-hal yang
dapat memberikan manfaat dan menimbulkan madharat bagi dirinya.
Pertama: Mengimani bahwa turunnya kitab-kitab Allah benar-benar dari sisi Allah Ta’ala.
Kedua: Mengimani nama-nama kitab yang kita ketahui namanya seeprti Al Quran yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa ‘alaihis salaam, Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam, dan Zabur yang
diturunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salaam. Sedangkan yang tidak kita ketahui namanya, kita
mengimaninya secara global.
Ketiga: Membenarkan berita-beritanya yang benar, seperti berita mengenai Al Quran, dan berita-
berita lain yang tidak diganti atau diubah dari iktab-kitab terdahulu sebelum Al Quran.
Keempat: Mengamalkan hukum-hukumnya yang tidak dihapus, serta ridho dan tunduk menerimanya,
baik kita mengetahui hikmahnya maupun tidak. (Syarh Ushuulil Iman, hal 30)
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai muhaiminterhadap kitab-
kitab yang lain itu…” (QS. Al Maidah: 48). Maksud “muhaimin” adalah Al Quran
sebagai haakim (yang memutuskan benar atau tidaknya, ed) apa yang terdapat dalam kitab-kitab
terdahulu. Berdasarkan hal ini, maka tidak dibolehkan mengamalkan hukum apapun dari hukum-hukum
kitab terdahulu, kecuali yang benar dan diakui oleh Al Quran. (Syarh Ushuulil Iman, hal 30-31)
Kitab-kitab terdahulu semuanya mansukh (dihapus) dengan turunnya Al Quran Al ‘Adziim yang telah
Allah jamin keasliannya. Karena Al Quran akan tetap menjadi hujjah bagi semua makhluk sampai hari
kiamat kelak. Dan sebagai konsekuensinya, tidak boleh berhukum dengan selain Al Quran dalam
kondidi apapun. Sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah ,
…سنُ ت َأ ْ ِويلا
َ ْالرسُو ِل إِن ُكنت ُ ْم تُؤْ مِ نُونَ بِاهللِ َو ْاليَ ْو ِم اْألَخِ ِر ذَ ِلكَ َخي ُْرُُ َوأَح
َّ ش ْىءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى هللاِ َو
َ { فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي59}
“…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisaa’: 59). (Husuulul
Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul, hal 33)
“ Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan)…” (QS. Al Hadiid: 25)
Ayat ini menjadi dalil bahwa setiap rasul memiliki kitab, namun kita tidak mengetahui seluruh
kitab. Kita hanya mengetahuii sebagiannya, seperti shuhuf Ibrahim dan Musa, Taurat, Zabur, Injil, dan
Al Quran. Kita mengimani setiap kitab yang diturunkan kepada para rasul. Jika kita tidak
mengetahuinya, maka kewajiban kita adalah beriman secara global. (Syarh al ‘Aqidah al
Washitiyah, hal 40)
Manusia terbagi menjadi tiga golongan dalam menyikapi kitab samawi yang Allah turunkan:
Golongan pertama: Orang-orang yang mendustakan semuanya. Mereka adalah musuh-musuh para
rasul dari kalangan orang kafir, orang musyrik, dan ahli filsafat.
Golongan kedua: Orang-orang mukmin yang beriman terhadap seluruh rasul dan kitab yang diturunkan
kepada mereka. Sebagaimana Allah firmankan,
س ِل ِه ِ ُ سو ُل بِ َمآأ
ُ نز َل إِلَ ْي ِه مِ ن َّربِ ِه َو ْال ُمؤْ مِ نُونَ ُك ٌّل َءا َمنَ بِاهللِ َو َملَئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر ُ الر
َّ َ{ … َءا َمن285}
“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya…” (QS. Al Baqoroh: 285).
Golongan ketiga: Orang-orang Yahudi dan Nashrani serta yang mengikuti jalan mereka. Mereka
mengatakan,
َ علَ ْينَا َويَ ْكفُ ُرونَ ِب َما َو َرآ َءهُ َوه َُو ْال َح ُّق ُم
… ص ِدقاا ِل َما َمعَ ُه ْم ِ ُ { … نُؤْ مِ نُ بِ َمآ أ91}
َ نز َل
“…Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al
Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah (Kitab) yang hak. yang
membenarkan apa yang ada pada mereka,,,” (QS. Al Baqoroh: 91).
Mereka beriman terhadap sebagian kitab, namun kufur dengan sebagian yang lain. Allah berfirman
tentang mereka,
… لى أَش َِد َ ِيُُ في ِ ْال َحيَاةِ الدُّ ْنيَا َويَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة ي َُردُّونَ إ
ُ ض فَ َما َجزَ آ ُء َمن يَ ْفعَ ُل ذَلِكَ مِ ن ُك ْم إِالَّ خِ ْز ِ ض ْال ِكت َا
ٍ ب َوت َ ْكفُ ُرونَ بِبَ ْع ِ أَفَتُؤْ مِ نُونَ بِبَ ْع
َع َّما ت َ ْع َملُون َّ ب َو َما
َ َّللاُ ِبغَافِ ٍل ِ { ْال َعذَا85}
“ … Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah
tidak lengah dari apa yang kamu perbuat” (QS. Al Baqoroh:85).
Tidak ragu lagi bahwa beriman dengan sebagian kitab dan kufur dengan sebagian yang lain sama saja
dengan kufur terhadap semuanya. Karena keimanan harus mencakup dengan seluruh kitab samawi dan
seluruh para rasul, tidak memebdakan dan menyelisihi sebagiannya. Allah Ta’ala mencela orang-
orang yang membedakan dan menyelisihi kitab, sebagaimana firman-Nya,
“…dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al Kitab itu, benar-benar
dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran)” (QS. Al Baqoroh:176). (Al Irsyaad ilaa Shahiihil
I’tiqaad, hal 143-144)
Termasuk keimanan kepada kitab Allah adalah beriman kterhadap Al Quran yang diturunkan kepada
Nabi Terakhir, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Keimanan terhadap Al Quran yang benar
sebagaimana diungkapakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam kitab beliau al ‘Aqidah al
Washitiyah. Beliau mengatakan, “ Termasuk keimanan kepada Allah dan kitab-kitab-Nya yaitu
beriman bahwa Al Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan dan bukan makhluk. Al Quran
berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Alllah Ta’ala berbicara secara hakiki. Dan
sesungguhnya Al Quran yang diturunkan kepada Muhammad merupakan kalam Allah yang hakiki dan
bukan kalam selain-Nya. Tidak boleh memutlakkan perkataan bahwa Al Quran merupakan hikayat dari
kalam Allah atau merupakan ungkapan (ibaroh) dari kalam Allah. Bahkan jika manusia
membacanya dan menulisnya dalam mushaf bukan berarti menafikan bahwa Al Quran merupakan
kalam Allah yang hakiki. Karena kalam hanya disandarkan secara hakiki pada yang pertama
kali mengucapkannya bukan kepada yang menyampaikannya kemudian. Al Quran merupakan kalam
Allah baik huruf dan maknanya, bukan hanya huruf tanpa makna atau makna tanpa huruf.” (matan al
‘Aqidah al Washitiyah)
Iman kepada kitab-kitab Allah akan membuahkan faedah yang agung, di antaranya :
Pertama: Mengetahui perhatian Allah terhadap para hambanya dengan menurunkan kitab kepada
setiap kaum sebagai petunjuk bagi mereka.
Kedua: Mengetahui hikmah Allah Ta’ala mengenai syariat-syariat-Nya, di mana Allah telah
menurunkan syariat untuk setiap kaum yang sesuai dengan kondisi mereka, sebagaimana yang Allah
firmankan,
“…Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (QS. Al
Maidah: 48).
Ketiga: Mensyukuri nikmat Allah berupa diturunkanya kitab-kitab(sebagai pedoman dan petunjuk, ed).
(Syarh Ushuulil Iman, hal 31).
Demikianlah secara ringkas aqidah ahlussunnah tentang iman kepada kitab suci. Semoga tulisan yang
ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa
sallam.
Sumber Rujukan :
1. Syarhu Ushuulil Iman, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Penerbit Daarul Qasim,
Cetakan pertama, 1419 H
2. Al Irsyaad ilaa Shahiihil I’tiqaad, Syaikh Sholih Al Fauzan, Penerbit Maktabah Salsabiil,
Cetakan pertama, tahun 2006.
3. Syarhu al ‘Aaqidah al Washitiyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Kumpulan Ulama, Penerbit
Daarul Ibnul Jauzi.
4. Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul, Syaikh Abdullah Al Fauzan, Penerbit
Maktabah ar Rusyd, Riyadh, Cetakan pertama, tahun 1422H/2001 M.
Ayat Al-Qur’an yang Pertama dan yang Terakhir Kali Turun
Pendapat yang paling shahih mengenai yang pertama kali turun adalah firman Allah ta’ala:
Pendapat ini berdasarkan hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tentang malaikat yang menemui Nabi di gua hira dan
memintanya untuk membaca.
Ada juga yang berpendapat bahwa surah yang pertama kali turun adalah surah Al-Muddatstsir. Ini
didasarkan pada hadits Jabir ibn ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim yang mengindikasikan pernyataan Jabir bahwa surah yang pertama kali turun adalah surah Al-
Muddatstsir. Namun, berdasarkan penelitian berbagai riwayat, para ulama muhaqqiq menjelaskan
bahwa surah Al-Muddatstsir ini maksudnya adalah surah yang turun pertama kali secara lengkap,
sedangkan surah Al-‘Alaq di awal hanya turun sebagiannya saja. Atau bisa juga, Al-Muddatstsir ini
adalah surah yang pertama kali turun setelah wahyu sempat terhenti beberapa lama.
Ada juga pendapat lain yang bisa dilihat di kitab-kitab ‘Ulumul Qur’an, namun kembali lagi, pendapat
yang paling shahih dan paling jelas riwayatnya adalah surah Al-‘Alaq ayat 1-5 yang merupakan ayat
atau surah yang pertama kali turun.
Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Ada juga yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir kali turun adalah ayat:
Ini berdasarkan hadits riwayat An-Nasai dan lainnya dari Ibnu ‘Abbas dan Sa’id ibn Jubair.
Ada juga yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir kali turun adalah ayat:
َ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِ َدي ٍْن إِلَى أ َ َج ٍل ُم
ُسم ًى فَا ْكتُبُوه
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Berdasarkan pengkajian, para ulama muhaqqiq kemudian mencoba mengumpulkan tiga riwayat di atas
dan menyatakan bahwa tiga ayat di atas diturunkan secara bersamaan, dan urutannya sebagaimana di
mushhaf. Hal ini karena tiga ayat tersebut membahas satu cerita dan saling berhubungan. Sedangkan
riwayat-riwayat yang ada di atas merupakan penyebutan bagian dari yang terakhir kali diturunkan
tersebut.
Adapun tentang ayat ketiga surah Al-Maidah berikut ini:
Ayat ini turun di ‘Arafah pada saat haji wada’. Dan berdasarkan riwayat yang ada, ayat-ayat yang telah
disebutkan sebelumnya turun setelah surah Al-Maaidah ayat 3 ini.
Para ulama muhaqqiq kemudian menjelaskan maksud penyempurnaan diin di ayat ini adalah Allah
ta’ala telah memberikan nikmat yang cukup pada kaum muslimin saat itu dengan menempatkan mereka
di Tanah Haram, menjauhkan orang-orang musyrik daripadanya, dan menghajikan mereka tanpa ada
satu pun orang musyrik yang ikut serta, padahal sebelumnya orang-orang musyrik selalu ikut serta
dalam berhaji. Wallahu a’lam bish shawwab.
Ayat yang pertama kali turun tentang makanan adalah firman Allah:
ْ طاع ٍِم يَ ْطعَ ُمهُ إِ َّّل أ َ ْن يَكُونَ َم ْيت َةً أ َ ْو َد ًما َم
سفُو ًحا أ َ ْو لَ ْح َم خِ ْن ِز ٍير فَ ِإنَّهُ ِر ْجس أ َ ْو َ قُ ْل ّل أ َ ِج ُد فِي َما أُوحِ َي إِلَ َّي ُمح ََّر ًما
َ علَى
غفُور َرحِ يمَ َغي َْر بَاغٍ َوّل عَا ٍد فَ ِإنَّ َربَّك َ ط َّر ْ ّللاِ ِب ِه فَ َم ِن ا
ُ ض َّ سقًا أ ُ ِه َّل ِلغَي ِْر
ْ ِف
Artinya: “Katakanlah, dalam wahyu yang disampaikan kepadaku, aku tidak mendapati suatu makanan
yang diharamkan bagi seseorang kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau
daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor, atau hewan yang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak melampaui batas dan tidak
pula menginginkannya, sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (QS. Al-
An’aam (6): 145)
اس َو ِإثْ ُم ُه َما أ َ ْك َب ُر مِ ْن نَ ْفع ِِه َما ِ سأَلونَكَ ع َِن ا ْل َخ ْم ِر َوا ْل َم ْيس ِِر قُ ْل ف
ِ َِّيه َما ِإثْم َك ِبير َو َمنَا ِف ُع لِلن ْ َي
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, pada keduanya terdapat dosa
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 219)
Setelah itu turun beberapa ayat lain tentang khamr, dan di ayat terakhir khamr diharamkan dengan
sangat tegas, jelas dan tanpa kesamaran.
1. Akidah
Akidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh
setiap orang di dunia. Al-Qur’an mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan
terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah
SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman
disebut sebagai orang-orang kafir.
2. Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian “fuqaha” ibadah adalah
segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT.
Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukum
islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci
ramadhan, dan beribadah haji bagi yang telah mampu menjalankannya.
3. Akhlak
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah
maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW tidak
lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlak. Setiap manusia harus mengikuti apa yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
4. Hukum
Hukum yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah untuk mengadili dan memberikan
penjatuhan hukuman hukum pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam islam
berdasarkan Al-Qur’an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh,
dan jihad.
Sebagai sumber hukum yang utama, maka al-Qur’an memuat sisi-sisi hukum yang mencakup berbagai
bidang. Secara garis besar Al-Qur’an memuat tiga sisi pokok hukum , yaitu:
a) Hukum-hukum I’tiqadiyah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban orang mukallaf,
meliputi keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, hari Qiyamat dan
ketetapan Allah (qadha dan qadar).
b) Hukum-hukum Moral atau akhlak. Yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan perilaku orang
mukallaf guna menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan diri dari segala sifat
tercela yang menyebabkan kehinaan.
c) Hukum-hukum Amaliyah, yakni segala aturan hukum yang berkaitan dengan segala perbuatan,
perjanjian, dan muamalah sesama manusia. Segi hukum inilah yang lazimnya disebut dengan fiqh Al-
Qur’an dan itulah yang dicapai dan dikembangkan oleh ilmu Ushul Al-Fiqh.
Hukum amaliyah tersebut secara garis besar terbagi menjadi dua bagian,
a. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam hubungannya
dengan Alloh SWT., seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Hukum ini disebut hukum ibadah dalam arti
khusus.
b. Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya dengan manusia
atau alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya. Hukum-hukum ini disebut
hukum mu’amalah dalam arti umum.
Ayat-ayat al-qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam, keduanya di jelaskan dalam Al-Qur’an
surat ali imran ayat 7 , yaitu secara muhkam dan mutasyabih, yang artinya:
“Dia-lah yang menurunkan Al-kitab (Al-Qur’an) kepada kamu di antara(isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lainnya (ayat-ayat) mutasyabihat”.
a) Ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan
keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman
b) Ayat mutasyabih adalah kebalikan yang muhkan, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya,
sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan.
5. Peringatan
Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan ancaman Allah
SWT berupa siksa neraka. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman
kepada-Nya dengan balasan berupa nikmat surga. Di samping itu ada pula gambaran yang
menyenangkan di dalam Al-Qur’an atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambaran yang
menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
6. Kisah
Al-qur’an juga berisi kisah-kisah mengenai orang-orang terdahulu , baik yang mengalami kebinasaan
akibat tidak taat kepada Alloh SWT ataupun kisah-kisah orang yang mendapatkan kejayaan karena
ketaatannya kepada Alloh SWT. Kisah-kisah tersebut agar bisa menjadi pelajaran bagi orang-orang
sesudahnya.
Kisah ini mengandung dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat
dakwahnya, sikap-sikap orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya,
serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan.
Misalnya kisah Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Harun, Nabi Isa, Nabi Muhammad, dan
nabi-nabi serta rosul lainnya.
2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu dan orang-
orang yang tidak dipastikan kenabiannya. Misalnya kisah orang yang keluar dari kampung halaman,
yang beribu-ribu jumlahnya karena takut mati, kisah talut dan jalut, dua putra Adam, penghuni gua,
zulkarnaen, orang-orang yang menangkap ikan pada hari sabtu, maryam, dan lain-lain.
3. Kisah-kisah yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa rosululloh, seperti
perang badar dan perang uhud dalam surah Ali-Imron, perang tabuk dalam surat At-Taubat, perang
ahzab dalam surat al-Ahzab, hijrah, isra miraj, dan lain-lain.
1. Menjelaskan asas-asas dakwah menuju Alloh dan menjelaskan pokok-pokok syariat yang di bawa
oleh para nabi.
2. Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat nabi Muhammad atas agama Alloh, memperkuat
kepercayaan orang mukmin tentang menangnya kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya
kebatilan serta pembelanya.
3. Membenarkan para nabi yang terdahulu, menghidupkan kenangan terhadap mereka serta
mengabadikan jejak dan peninggalannya.
4. Menampilkan kebenaran nabi Muhammad SAW dalam dakwahnya dengan apa yang diberitakannya
tentang hal ihwal orang-orang terdahulu di sepanjang kurun dan generasi.
5. Menyingkap kebohongan para ahli kitab dengan cara membeberkan keterangan yang semula mereka
sembunyikan. Kemudian menantang mereka dengan menggunakan ajaran kitab mereka sendiri yang
masih asli, yaitu sebelum kitab itu di ubah dan diganti.
6. Kisah termasuk bentuk sastra yang dapat menarik perhatian para pendengar mempengaruhi jiwa.
Al-Quran banyak mengandung kisah-kisah yang diungkapkan secara berulang kali di beberapa tempat.
Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam
Al-Qur’an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Di satu tempat ada bagian-bagian
yang di dahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang di kemukakan secara
ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar, dan sebagainya. Di antara hikmahnya ialah:
1. Menjelaskan ke balaghah an Al-Quran dalam tingkat paling tinggi, sebab di antara keistimewaan
balaghah adalah mengungkapkan sebuah makna dalam berbagai macam bentuk yang berbeda, dan kisah
yang berulang itu di kemukakan disetiap tempat yang uslub yang berbeda satu dengan yang lainnya
serta di tuangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang bosan karenanya,
bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan disaat membaca
ditempat lain.
2. Menunjukan kehebatan mukjizat Al-Qur’an, sebab mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai
bentuk susunan kalimat dimana salah satu bentuk pun tidak dapat di tandingi oleh sastrawan arab,
merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa Al-Qur’an itu datang dari Alloh SWT.
3. Memberikan perhatian besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih berkesan dan melekat
dalam jiwa. Karena itu pada dasarnya pengulangan merupakan salah satu metode pemantapan nilai.
Misalnya kisah musa dengan fir’aun. Kisah ini menggambarkan secara sempurna pergulatan sengit
antara kebenaran dengan kebatilan. Dan sekalipun kisah itu sering di ulang-ulang, tetapi
pengulangannya tidak pernah terjadi dalam sebuah surat.
4. Setiap kisah memiliki maksud dan tujuan berbeda. Karena itulah kisah-kisah itu diungkapkan. Maka
sebagian dari makna-maknanya itulah yang di perlukan, sedang makna-makna lainnya dikemukakan di
tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan
Untuk Nabi sendiri, juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh Jibril (repetisi) sekali
setahun. Diwaktu ulangan itu, Rasulullah disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yag telah
diturunkan. Nabi sendiri sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya, maka sahabat-
sahabat itu disuruh oleh beliau membaca Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkan
bacaan mereka jika ada yang salah.
Tentang penulisan wahyu pada masa Rasulullah, ada informasi yang cukup ekstensif mengenai bahan-
bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui
Muhammad saw. Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan
untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad, yaitu:
1. Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal
lantaran panas;
3. ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4. Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6. Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis
ketika itu.
Melalui data tertulis pada media seperti di atas, salah satu sumber mengatakan bahwa sebelum
Mushaf seperti yang kita gunakan sekarang untuk seluruh umat Islam ternyata banyak versi yang hampir
susunannya berbeda maupun kronologis turunnya ayat. Secara umum, Mushaf-mushaf tersebut dibagi
berdasarkan Mushaf-Mushaf Primer dan Mushaf-mushaf sekunder. Mushaf primer adalah mushaf
Independen yang dikumpulkan secara individual oleh sejumlah sahabat nabi sedangkan mushaf
sekunder adalah mushaf generasi selanjutnya yang bergantung pada mushaf primer. Mushaf-mushaf
tersebu adalah, Mushaf-mushaf primer yang dimiliki oleh Mushaf Salim ibn Ma’qil, Mushaf Umar bin
Khattab, Mushaf Ubai bin Ka’ab, Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ali bin Abi Thalib, Mushaf Abu Musa
al-Asy’ari, Mushaf Hafsah binti Umar, Mushaf Zayd ibn Tsabit, Mushaf Aisyah binti Abu Bakar,
Mushaf Ummu Salamah, Mushaf Abd Allah ibn Amr, Mushaf Ibnu Abbas, Mushab ibn Zubayr, Mushaf
Ubayd ibn ‘Umair dan Mushaf Anas ibn Malik yang kesemuanya berjumlah 15 versi mushaf. Sementara
itu, juga terdapat 13 jumlah mushaf sekunder. Diantara mushaf-mushaf tersebut adalah Mushaf
Alqama bin Qais, Mushaf Al-Rabi’ Ibn Khutsaim, Mushaf Al-Haris ibn Suwaid, Mushaf Al-Aswad ibn
Yazid, Mushaf Hithan, Mushaf Thalhah ibn Musharrif, Mushaf Al-A’masy, Mushaf Sa’id ibn Jubair,
Mushaf Mujahid, Mushaf Ikrimah, Mushaf Atha’ Ibn Abi Rabah, Mushaf Shalih Ibn Kaisan dan Mushaf
Ja’far al-Shadiq.
Data yang didapatkan adalah setiap sahabat yang memiliki mushaf ternyata selalu ada perbedaan
penempatan urutan surat, kaidah bacaan yang berbeda begitupun catatan tentang kronologis turunnya
ayat. Salah satu contoh perbedaan mushaf tersebut adalah Ibn al-Nadim mendaftar jumlah seluruh surat
yang ada di mushaf Ibn Mas’ud 110, tetapi yang ditulis dalam al-Fihrist hanya 105 surat. Selain 3 surat
di atas, surat al-Hijr, al-Kahfi, Toha, al-Naml, al-Syura, al-Zalzalah tidak disebutkan. Tetapi keenam
surat yang akhir ini ditemukan dalam al-Itqan, justru yang tidak ada dalam daftar al-Suyuthi adalah
surat Qaf, al-Hadid, al-Haqqah, dan 3 surat yang disebutkan di atas, sehingga menurut daftar al-Suyuthi
berjumlah 108 surat. Diduga kuat perbedaan laporan ini kesalahan penulisan belaka, karena keenam
surat yang hilang dalam al-Fihrist ditemukan dalam al-Itqan, begitu juga dengan 3 surat yang tidak ada
dalam al-Itqan.[12] Contoh lain dapat dilihat pada Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan
Amal yang secara rinci memperlihatkan data-data dalam bentuk tabel dan naratif mengenai perbedaan
mushaf tersebut. Pembahasan yang menampilakan uraian tentang mushaf-mushaf yang ada sebelum
Mushaf Utsman bin Affan tersebut terletak pada halaman 157 sampai 195.
Lantaran keadaan yang berbeda berdasarkan latarbelakang masing-masing sahabat, termasuk
perbedaan suku yang menyebabkan dialeg juga berbeda merupakan salah satu sebab adanya Penyatuan
Mushaf. Ditambah faktor-faktor eksternal, misalnya karena banyaknya sahabat-sahabat penghafal yang
gugur dalam medan perang. Berangkat dari persoalan tersebut, Umar bin Khattab mengadukan
persoalan ini pada Khalifah Abu Bakar. Meskipun pada awalnya ditolak, namun karena usaha yang
serius sehingga pada masa itu dibentuk kepanitiaan dalam mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Al-
Qur’an yang telah dikumpulkan tersebut baru dibukukan pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman
bin Affan.
B. Pembukuan Al-Qur’an
Sebagaimana telah dibahas di atas bahwa pengumpulan (dalam artian usaha atau upaya
pemeliharaan) Al-Qur’an telah dilakukan sejak Nabi Muhammad saw. Media pengumpulan Al-Qur’an
dilakukan melalui Tulisan pada beberapa benda berupa batu licin, pelapa kurma, kulit kayu dan lain-
lain yang ditulis khusus untuk Nabi. Dokumen yang dikumpulkan tersebut diperkuat oleh beberapa
tulisan lain yang dikoleksi oleh sahabat-sahabat Nabi untuk diri mereka sendiri. Disamping itu, hapalan
sahabat-sahabat yang dipandu langsung oleh Nabi juga menjadi penguat keabsahan dokumen Al-Qur’an
sebagai suatu kitab yang utuh.[13]
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan
oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia
memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang
menyebutkan begini atau begitu”.[14] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan
kronologis turunnya wahyu.
Upaya pembukuan Al-Qur’an melalui satu versi bacaan untuk seluruh umat Islam dilatar
belakangi oleh karena di setiap wilayah terkenal qira’ah sahabat yang mengajarkan Alquran kepada
setiap penduduk di wilayah tersebut. Penduduk Syam memakai qira’ah Ubay bin Ka‘b, yang lainnya
lagi memakai qira’ah Abu Musa al-Asy’ary. Maka tidak diragukan timbul perbedaan bentuk qira’ah di
kalangan mereka, sehingga membawa kepada pertentangan dan perpecahan di antara mereka sendiri.
Bahkan terjadi sebagian mereka mengkafirkan sebagian yang lain, disebabkan
perbedaan qira’ah tersebut.
Itulah sebabnya Khalifah ‘Utsman kemudian berpikir dan merencanakan untuk mengambil langkah-
langkah positif sebelum perbedaan-perbadaan bacaan itu lebih meluas. Usaha awal yang dilakukannya
adalah mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius serta mereka yang terkenal pandai
memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Mereka sepakat menerima instruksi ‘Utsman, yakni
membuat Mushaf yang banyak, lalu membagi-bagikannya ke setiap pelosok dan kota, sekaligus
memerintahkan pembakaran selain Mushaf itu, sehingga tidak ada lagi celah yang menjerumuskan
mereka ke persengketaan dalam bentuk-bentuk qira’ah.
Karena itulah pulalah, ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna
meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal
dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit,
‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy,
golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung
pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
َ فَإِنَّه ُ إِنَّ َما ن ََّز َل بِ ِل،ِان قُ َري ٍْش
سانِ ِه ْم ِ فَ ْكتُب ُْوهُ بِ ِلس،ش ْي ٍئ
َ إِذَا ا ِْختَلَ ْفت ُ ْم ا َ ْنت ُ ْم َوزَ ْيدٌ بِ ْن ثَابِتْ فِى
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ahdengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah
kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan
bahasa mereka.
Setelah memahami pesan di atas, bekerjalah tim ini dengan ekstra hati-hati, yang kemudian
melahirkan satu Mushaf yang satu dan dianggap sempuna. Mushhaf ini digandakan dan dikirim ke
daerah-daerah untuk disosialsikan kepada masyarakat demi meredam perbedaan bacaan di antara
mereka. Sedangkan Mushhaf yang lainnya dibakar, kecuali yang dimiliki Hafshah dikembalikan
kepadanya.
Mengenai sistematika surat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi menjadi perdebatan sejak
dahulu dan perdebatan tersebut belum berakhir pada saat ini. Pendapat yang pertama, bahwa Al-Qur’an
adalah hasil tauqif Nabi artinya susunan atau ututan surat didapat melalui ajaran beliau. Pendapat yang
pertama ini berdasarkan ungkapan Ibnu Al-Hasshar yang dikutip dari buku karya Prof. Dr. H.
Nasaruddin Umar, MA. mengatakan “urutan surat dan letak ayat-ayat pada tempatnya itu berdasarkan
wahyu”. Rasulullah saw. Letakkan ayat ini pada tempat ini.
Pendapat yang kedua yaitu pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah
berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh
sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula
yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat. Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks
Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Sebagai rujukan, Ibnu Abbas Radiallahu Anhuma berkata, sebagaimana dikutif dari karya
Syaikh Manna’ Al-Qaththan dengan Judul Pengatar Study Ilmu Al-Qur’an bahwa; Rasulullah saw.
Bersabda.
“Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu
ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”
Dalam riwayat lain, disebutkan Umar bin Al-Khattab , ia berkata, “Aku mendengar Hisyam bin
Hakim membaca surat al-Furqan dimasa hidup rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia
membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga
hampir saja saya melabraknya saat ia sholat tetapi aku urungkan. Maka aku menunggunya hingga ia
selesai sholat. Begitu selesai, aku tarik pakaiannya dan aku katakan kepadanya, “siapakah yang
mengajarkan bacaan surat itu kepadamu?” ia menjawab, Rasulullah yang membacakannya kepadaku.
Lalu aku katakan kepadanya kamu dusta! Demi Allah, Rasulullah telah membacakannya juga kepadaku
surat yang sama, tetapi tidak seperti bacaanmu. Namun ketika masalah ini diperhadapkan kepada
Rasulullah saw. Rasulullah membenarkan apa yang dibacakan oleh sahabat berdarakan qiraat yang
paling mudah dipahami. Rasulullah saw. Berkata “begitulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al-
Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu
diantaranya”.
Dapatlah dipahami bahwa penulisan teks-teks Alquran pada masa Utsman merupakan masa
pembentukan naskah resmi, yang dimaksudkan untuk meredam berbagai kevariasian dalam
pembacaannya. Berkat usaha Utsman inilah, Alquran yang terwariskan sampai saat ini biasa pula
disebut dengan Mushaf Utsmani.