Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 3

MODUL BIOLOGI MOLEKULER

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 8

1. Edsel Eugenius Mangapul Hasibuan (I1011131024)


2. Raisah Hulaimah Nashruddin (I1011141037)
3. Ricky Pramudya (I1011171034)
4. Leonardo Dwiko Yurianto (I1011171045)
5. Djalika Z. (I1011171039)
6. Briegita Adhelsa M. Dommy (I1011131057)
7. Bima Zahri (I1011171080)
8. Sonia Elshaddayana Sitompul (I1011171006)
9. Popy Puspidawati (I1011171066)
10. Arih Humairo (I1011161004)
11. Tupa Julita Tampubolon (I1011171041)
12. Mira Miftahul (I1011171077)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2017/2018
BAB I

Pendahuluan

1.1.Pemicu
Seorang laki-laki usia 23 tahun datang berobat ke dokter umum dengan
keluhan ada benjolan di leher kanan yang diketahuinya sejak 3 bulan yang lalu.
Selain itu, kadang-kadang mimisan dan telinga dirasakan berdenging. Setelah
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara umum pasien dianjurkan ke dokter
THT untuk dilakukan pemeriksaan nasoendoskopi. Hasil pemeriksaan nasoendoskopi
menunjukkan adanya massa menonjol di fossa rossenmuller. Kemudian dilakukan
biopsy jaringan tumor dan spesimen dikirim ke Laboratorium histopatologik di
Departemen Patologi Anatomik. Hasil diagnosisnya adalah karsinoma nasofaring.
Dari hasil konsultasi dengan dokter dikatakan bahwa tumor ini berkaitan dengan
infeksi virus Epstein-Barr dan dikatakan bahwa benjolan di leher kanannya adalah
anak sebar dari karsinoma nasofaring.

1.2. Klarifikasi dan Definisi


1. Nasoendoskopi : Prosedur pemeriksaan menggunakan
endoskopi, yaitu perangkat teleskop khusus yang dimasukkan melalui
hidung hingga dasar tenggorokan.
2. Mimisan : Perdarahan dari hidung, biasanya adalah
pecahnya pembuluh darah kecil pada anterior reseptum nasal
kartilagenosa.
3. Karsinoma nasofaring : Tumor ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa rossenmuller dan atap nasofaring.
4. Biopsy : Pengambilan dan pemeriksaan biasanya
mikroskopik, dari jaringan tubuh yang hidup untuk menegakkan diagnosis
pasti.
5. Fossa rossenmuller : Dinding lateral nasofaring bagian nasal yang
memiliki struktur kuboid.
6. Epstein – Barr : Disebut juga Human Herpes Virus, merupakan
keluarga virus herpes, yang ditransmisikan melalui cairan tubuh.
7. Tumor : Neoplasma pertumbuhan baru jaringan yang
multiplikasi selnya tidak terkontrol dan progresif.
8. Histopatologi : Studi tentang sel yang berkaitan dengan
penyakit tentang pembelahan autochemical secara mikroskopik pada
jaringan yang terkena penyakit.

1.3. Kata Kunci


1. Laki-laki, 23 tahun
2. Mimisan
3. Benjolan leher kanan
4. Fossa rossenmuller
5. Virus Epstein – Barr
6. Karsinoma nasofaring
7. Telinga berdenging
8. Sejak 3 bulan lalu
9. Nasoendoskopi
10. Biopsy tumor
11. Histopatologi

1.4. Rumusan Masalah

Apa yang menyebabkan terjadinya karsinoma nasofaring dan kaitannya


dengan virus Epstein – Barr?
1.5. Analisis Masalah

Laki-laki, 23
tahun

Benjol Mimisan Telinga


berdenging

Anamnesis Pemeriksaan Fisik


Umum

THT Nasoendoskopi

Fossa Biopsy jaringan


rossenmuller tumor

Inveksi Karsinoma Histopatologi


VEB nasofaring

Mekanisme Gen pengatur Karsinogenesis Onkogenesis


tumor &
fungsi

1.6. Hipotesis

Laki-laki 23 tahun, didiagnosis karsinoma nasofaring yang disebabkan oleh


infeksi virus Epstein – Barr melalui saliva yang terinfeksi dengan menyerang
limfosit-B yang berkaitan dengan reseptor virus yang dapat menyebabkan
pemendekan siklus sel dan gangguan apoptosis.
1.7. Pertanyaan Diskusi
1. Karsinoma nasofaring
a. Definisi
b. Etiologi
c. Gejala
d. Faktor Risiko
e. Diagnosis
f. Tata Laksana
g. Patogenesis
h. Histopatologi
i. Manifestasi klinis
j. Pemeriksaan penunjang
2. Apa kaitan karsinoma nasofaring dengan jenis kelamin dan usia?
3. Virus Epstein – Barr
a. Definisi
b. Struktur
c. Mekanisme infeksi
4. Apa saja gen-gen pengendali tumor dan / atau kanker?
5. Penjelasan
a. Nasoendoskopi
b. Onkogenesis
c. Karsinogenesis
6. Bagaimana kaitan karsinoma nasofaring dengan mimisan dan telinga
berdenging?
BAB II

Pembahasan

2.1 Karsinoma Nasofaring


A. Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang
menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau
ultrastruktur. 1
B. Etiologi
Sampai saat ini penyebab pasti karsinoma nasofaring masih belum
jelas. Secara umum etiologi karsinoma nasofaring merupakan hasil
interaksi kondisi genetik yang susceptible, bahan karsinogenik yang ada di
lingkungan atau environmental carcinogen dan adanya infeksi EBV.
Penelitian, menyatakan sedikitnya ada 3 faktor etiologi yaitu: infeksi
EBV, kerentanan genetik dan faktor lingkungan yang berperan dalam
tingginya kejadian KNF di Cina. Etiologi dari KNF dapat dibagi menjadi
faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik.2
1. Faktor ekstrinsik:
a. Infeksi Virus Epstein-Barr
KNF dianggap memiliki hubungan erat dengan EBV. Terutama
antibodi IgA terhadap EBV dan DNA EBV dalam kadar yang
tinggi pada serum penderita KNF. Dari berbagai jenis KNF hanya
tipe Undifferentiated yang memiliki hubungan imunohistologis
dengan EBV. Tidak jelas bagaimana DNA virus berhubungan
dengan karsinoma sel epitel dan kapan sel epitel terinfeksi dengan
EBV, apakah sebelum atau sesudahnya berubah menjadi
keganasan atau sebagai akibat rusaknya sistem pertahanan tubuh.
EBV mampu merubah limfosit B namun tidak cukup bukti yang
menyatakan bahwa dapat merubah sel epitel. EBV sendiri tidak
bereplikasi di dalam sel tumor karsinoma nasofaring dan antigen
virusnya tidak diekspresikan pada tumor ini
b. Faktor lingkungan dan kebiasaan hidup
Ikan yang diasinkan dianggap sebagai faktor etiologi penting
pada populasi Cina bagian selatan. Ikan laut yang diasinkan
mengandung sejumlah nitrosamine volatile terutama N-
nitrosodimethylamine dan N-nitroso-diethylamine. Zat ini
diketahui merangsang karsinoma sel skuamosa dan
adenokarsinoma pada rongga hidung dan paranasal dari beberapa
penelitian terhadap hewan. Penelitian menghubungkan kejadian
KNF dengan pola hidup, faktor makanan dan pengaruh lingkungan
sekitarnya di Hongkong dan Cina menunjukkan adanya hubungan
yang erat terutama dengan konsumsi ikan yang diasinkan pada usia
dini. Sejumlah faktor inhalasi dari lingkungan telah dilaporkan
berhubungan dengan KNF. Dilaporkan juga adanya hubungan
positif antara penggunaan bahan bakar fosil untuk memasak dan
KNF. Di Kenya kejadian KNF cukup tinggi, di mana penduduk
yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang buruk di mana asap
dan uap hasil memasak tidak dapat keluar dari atap yang sangat
tertutup rapat. Orang merokok selama 10 tahun atau lebih memiliki
resiko tinggi terhadap KNF.3
2. Faktor Intrinsik
Genetik Ras mongoloid terutama bagian selatan merupakan
faktor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup tinggi
pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam,
Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Pasien dengan KNF
pada populasi Cina berasal dari sub populasi dengan genetik yang
khas. Sampai saat ini HLA adalah satu-satunya sistem genetik
yang memiliki hubungan erat dengan kanker ini. Lokus HLA yang
terlibat pada KNF adalah lokus HLA-A dan DR yang terdapat
pada rantai pendek kromosom 6.
C. Gejala
a) Gejala Dini
Gejala pada telinga dapat dijumpai dengan sumbatan Tuba
Eustachius.Pasien mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa dengung,
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai
pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut
yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga
telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin
lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang
telinga dengan akibat gangguan pendengaran 4.
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor
biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat
terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini
biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali
bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain
itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala
menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan
penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini
bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga
dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan
lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang5.
b) Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah
samping leher, 3-5 sentimeter di bawah daun telinga dan tidak
nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe, sebagai
pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang
lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di
bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit
digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter 6.

D. Faktor Risiko
KNF merupakan penyakit kompleks yang diakibatkan interaksi
antara infeksi kronis virus onkogenik herpes gamma Epstein-Barr Virus
(EBV) dengan faktor lingkungan dan genetik yang mengakibatkan
timbulnya proses karsinogenik secara bertahap. EBV menginfeksi lebih
dari 95% orang dewasa di dunia, bahkan di Hongkong virus ini
menginfeksi 80% anak usia 6 tahun, dan hampir seluruh anak terinfeksi
pada usia 10 tahun. Gejala infeksi virus terjadi subklinis, namun perlu
diketahui virus sering dihubungkan dengan perkembangan ke beberapa
jenis keganasan, salah satunya KNF. Virus bertransmisi melalui saliva,
kemudian infeksi primer berupa replikasi virus didalam sel sepanjang
orofaring, dilanjutkan infeksi laten pada limfosit B. Limfosit B dan sel-sel
epitel merupakan target utama infeksi EBV, akan tetapi rute virus masuk
ke dalam sel epitelial masih belum jelas. Deteksi antigen inti
menunjukkan adanya keterkaitan KNF dengan virus Epstein Barr (EBNA)
dan DNA virus pada KNF tipe 2 dan 3.7
Infeksi primer EBV pada limfosit B dan sel epitel terbagi dua yaitu
terjadi lisis sel dan infeksi laten virus. Lisis sel epitel akibat proses
replikasi DNA EBV akan menyebabkan pelepasan virion-virion dari
dalam sel, virus akan menyebar mencari inang yang baru, sedangkan
infeksi laten pada sel limfosit B tanpa terjadinya replikasi atau pelepasan
virion.8
Terjadinya KNF tidak disebabkan oleh satu faktor penyebab
mengingat hampir seluruh penduduk dunia (>90%) terinfeksi virus ini,
namun hanya sedikit yang berkembang menjadi keganasan karena ada
peran lingkungan dan genetik untuk menyebabkan KNF. Jadi, faktor
resiko KNF terbagi menjadi 3 besar virus, lingkungan dan genetik.
Paparan non viral yang sering dihubungkan dengan terjadinya KNF
yaitu konsumsi ikan yang diawetkan dengan cara diasinkan, jenis
makanan rutin yang ditemukan pada beberapa daerah endemis KNF. Studi
epidemiologi memperkirakan beberapa faktor lain yang meningkatkan
resiko sporadik kejadian KNF seperti kebiasaan merokok, paparan kerja
dengan debu kayu dan formaldehid. Potensi ikan asin bersifat
karsinogenik didukung oleh beberapa data eksperimen pada tikus
percobaan yang terjangkit tumor ganas sinonasal dan nasofaring setelah
diberi makan ikan asin. Makanan yang diawetkan (misalnya ikan asin)
selain mengandung nitrosamine, juga terdapat bakteri mutagenik,
genotoksin dan substansi yang dapat mereaktivasi EBV. Tembakau, asap
dan alkohol, kebanyakan studi memperlihatkan bahwa merokok
meningkatkan resiko KNF 2-6 kali lipat. Resiko terjadinya KNF pada
perokok meningkat 30-100% dibandingkan bukan perokok terutama pada
perokok lama (lebih 25 tahun). Pada sebuah studi KNF di USA didapatkan
hasil bahwa 2/3 insiden KNF tipe 1 didapatkan hubungan dengan
merokok, namun tidak ada hubungan dengan KNF WHO-2 dan WHO-3.
Partikel asap akibat pembakaran yang tidak sempurna tembaga, kayu dan
material lain kebanyakan mengendap di nasofaring tergantung pada berat
molekul dan ukuran partikel tersebut.
Beberapa studi memperlihatkan penggunaan obat nyamuk bakar
atau sejenisnya dapat meningkatkan insiden KNF sampai 6 kali lipat,
begitu juga membakar menyan namun masih banyak studi yang
menyatakan tak ada hubungan antara asap non tembakau dengan KNF.
Penggunaan obat herbal telah diduga meningkatkan resiko KNF dengan
mereaktivasi infeksi EBV pada inang. KNF jarang terjadi di dunia, namun
merupakan keganasan terbanyak pada penduduk Asia Tenggara seperti
Cina bagian Selatan, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan.
Insiden kasus di daerah tersebut bervariasi antara 10-53 kasus per 100.000
penduduk. Resiko relatif menderita KNF pada generasi pertama, menurut
Nasopharyngeal Carcinoma Multidisciplinary Management, meningkat
sebanyak 4-8x lipat. Resiko KNF pada penduduk Kanton dan riwayat
keluarga penderita KNF diduga akibat faktor kerentanan genetik. Angka
kejadian KNF yang diturunkan dalam keluarga cukup tinggi di daerah
endemis, seperti Singapura, dibandingkan negara lain namun hingga saat
ini alasannya masih belum diketahui jelas. Ketika dilakukan review pasien
KNF dari beberapa daerah endemis diketahui insiden KNF yang terjadi
dalam satu garis keturunan lebih dari 8,3%, sehingga resiko KNF yang
diturunkan mungkin diakibatkan resiko lain yang ada di daerah
endemis.12, 14 Gen Human Leukocyte antigens (HLA), berfungsi
mengkoding protein untuk mempresentasikan antigen asing yang masuk,
termasuk didalamnya peptide virus, sebagai reaksi imunitas sebagai target
lisis. Karena semua sel KNF mengandung EBV, individu dengan
keturunan alel HLA yang mengalami penurunan kemampuan untuk
mempresentasikan antigen EBV cenderung memiliki resiko lebih tinggi
menderita KNF dibandingkan individu dengan alel HLA yang dapat
mempresentasikan dengan baik antigen EBV.
Faktor non genetik (lingkungan dan gaya hidup) memiliki peran
penting dalam menimbulkan KNF di daerah endemis, dibuktikan dengan
penurunan insiden secara signifikan kejadian KNF selama periode 1973-
1997 seperti yang dikutip dari Zeng dkk dalam Nasopharyngeal
Carcinoma Multidisciplinary Management, mereka menyimpulkan bahwa
dalam menimbulkan KNF pada satu garis keturunan semua faktor harus
bekerjasama antara faktor diet dan lingkungan.9
Menurut Kementerian Kesehatan Komite Penanggulangan Kanker
Nasional. Kementrian Kesehatan Repubrik Indonesia, faktor risiko
karsinoma nasofaring adalah sebagai berikut:10
1. Jenis Kelamin Wanita
2. Ras Asia dan Afrika Utara
3. Umur 30 – 50 tahun
4. Makanan yang diawetkan
5. Infeksi Virus Epstein-Barr
6. Riwayat keluarga.
7. Faktor Gen HLA (Human Leokcyte Antigen) dan Genetik
8. Merokok
9. Minum Alkohol

E. Diagnosis11
a. Anamnesis
Gejala yang muncul dapat berupa telinga terasa penuh, tinnitus,
otalgia, hidung tersumbat, lendir bercampur darah. Pada stadium
lanjut dapat ditemukan benjolan pada leher, terjadi gangguan saraf,
diplopa, dan neuralgia trigeminal (saraf III, IV, V, VI).

b. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan status generalis dan status lokalis.
Pemeriksaan nasofaring:
 Rinoskopi posterior
 Nasofaringoskop ( fiber / rigid )
 Laringoskopi
 Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band
Imaging) digunakan untuk skrining, melihat mukosa dengan
kecurigaan kanker nasofaring, panduan lokasi biopsi, dan
follow up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan
residif.
c. Pemeriksaan Radiologik
a) CT Scan
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan nasofaring
mulai setinggi sinus frontalis sampai dengan klavikula,
potongan koronal, aksial, dan sagital, tanpa dan dengan
kontras. Teknik pemberian kontras dengan injector 1-
2cc/kgBB, delay time 1 menit. CT berguna untuk melihat
tumor primer dan penyebaran ke jaringan sekitarnya serta
penyebaran kelenjar getah bening regional.
b) USG abdomen
Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen.
Apabila dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat
dilanjutkan dengan CT Scan Abdomen dengan kontras.
c) Foto Thoraks
Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila
dicurigai adanya kelainan maka dilanjutkan dengan CT Scan
Thoraks dengan kontras.
d) Bone Scan Untuk melihat metastasis tulang.
F. Tata Laksana
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas utama pada penatalaksanaan
KNF yang masih terbatas lokoregional, karena tumor ini bersifat
radiosensitif. Kemajuan yang sangat penting pada radioterpi adalah
IMRT (Intensity-Modulated Radiation Therapy).Teknologi ini
memungkinkan pemberian dosis radiasi konformal terhadap target
melalui optimalisasi intensitas beberrapa beam. Kelebihan dari
IMRT ini diantaranya memiliki kemampuan untuk memberikan
radioterapi conformal pada target yang tidak beraturan (irrigular).
Ini sangat bermanfaat pada tumor yang berada disekitar struktur
vital seperti batang otak dan medula spinalis. Teknik ini sudah
dilaporkan dapat meningkatkan kontrol tumor dan juga
menurunkan risiko komplikasi12.
b. Kombinasi Kemoradiasi
Kemoradiasi konkuren saat ini menjadi terapi pilihan pada
KNF lokoregional yang advanced. Sebagian besar penelitian
kemoterapi pada KNF menggunakan Cisplatin-based.Berdasarkan
waktu pemberian kemoterapi terhadap radioterapi dibedkan
menjadi Induction/ Neoadjuvan (sebelum), concurrent (selama
radiasi) dan adjuvan (setelah radioterapi).
c. Brachytherapy
Brachyterapy efektif dan digunakan hanya pada tumor yang
dangkal di nasofaring dan tanpa invasi ke tulang.
d. Nasofaringektomi
Nasofaringektomi diindikasikan pad tumor persisten atau
rekuren yang terlalu besar untuk brakiterapi dan terdapat perluasan
ke parafaring.
e. Terapi Target
Cetuximab merupakan terapi target yang diberikan pada KNF
yang mengalami rekuren atau persisten dengan metastasis jauh13

G. Patogenesis
Infeksi laten EBV sangat penting dalam perkembangan menuju
displasia yang berat pada KNF. Seperti yang ditemukan pada keganasan
umumnya, terdapat beberapa tahap gambaran histologi yang
mencerminkan perubahan genetik pada KNF. Displasia merupakan lesi
awal yang dapat terdeteksi yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa
karsinogen lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada
lengan pendek kromosom 3 dan 9 yang menyebabkan inaktivasi beberapa
tumor suppressor genes terutama p14, p15 dan p16. Karsinogen yang
berkaitan belum ditemukan namun terdapat hubungan antara konsumsi
ikan asin pada masyarakat Cina dan makanan asin lain dengan
perkembangan KNF. Area displasia ini merupakan asal dari tumor namun
belum cukup untuk menyebabkan perkembangan yang progresif. Pada
stadium laten ini, infeksi EBV dapat mengacu pada perkembangan
displasia yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada kromosom 12
dan kehilangan alel pada 11q, 13q dan 16q yang dapat memicu terjadinya
kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi p53 dan
ekspresi cadherin yang menyimpang.14
Kanker nasofaring (NPC) merupakan tumor ganas yang diasosiasikan
dengan virus EBV (Epstein Barr virus). Telah ditemukan bahwa
perkembangan NPC salah satunya dipengaruhi faktor risiko yang sudah
sering dikemukakan yaitu kenaikan titer antibody anti-EBV yang
konsisten. Akan tetapi, mekanisme molekuler dan hubungan patofisiologis
dari karsinogenesis terkait EBV masih belum sepenuhnya jelas. Selain itu,
meski NPC seringkali diasosiasikan dengan EBV, EBV tidak mengubah
sel-sel epitel nasofaring menjadi sel-sel klon yang proliferative, meski ia
dapat mentransformasi sel B primer. Agar terbentuk NPC, mula-mula
dibutuhkan infeksi laten dan litik EBV yang diduga disokong oleh
perubahan genetik yang dapat diidentifikasi pada epitel nasofaring
premalignan. Setelah itu infeksi laten dan litik terjadi dan menghasilkan
produk-produk tertentu, barulah ekspansi klonal dan transformasi sel
epitel nasofaring premalignan menjadi sel kanker.
Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen
dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi
dari lesi genetik dan peningkatan risiko NPC. Selain diet, faktor-faktor
lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya
formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di
nasofaring. Seperti yang telah dijelaskan, setelah faktor genetik dan
lingkungan merangsang perubahan pada epitel nasofaring, virus EBV
memperparah keadaan epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel NPC
secara laten. Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang
produktif.
Tumor NPC diketahui mengekspresikan tiga protein yang dikode
EBV, RNA kecil dan mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di
antaranya adalah EBNA1, LMP1, dan LMP2. Dalam perkembangan NPC,
diduga LMP1 memiliki peran sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom
dan masuk ke dalam sel-sel yang tidak terinfeksi EBV melalui endositosis.
LMP1 juga mempengaruhi lingkungan di sekeliling tumor. LMP1
merupakan onkogen primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor
TNF, yakni CD40. Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa pathway
persinyalan yang merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel.
LMP 1 juga mengakibatkan peningkatan EMT (epithelial-mesenchymal
transition). Pada proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan
penanda epitel tertentu dan meningkatkan penanda mesenkim tertentu
sehingga menimbulkan perkembangan fenotip promigratori yang penting
dalam metastasis. Oleh karena itu, LMP1 juga berperan dalam
menimbulkan sifat metastasis dari NPC. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini
diikuti dengan ekspresi penanda sel punca kanker/sel progenitor kanker
serta pemberian sifat-sifat mirip sel punca/sel progenitor kepada
sel.Protein-protein lainnya serta ekspresi RNA virus juga memiliki
peranan dalam karsinogenesis NPC, contohnya LMP2 yang
mempertahankan latensi virus.15

H. Histopatologi
Secara umum, The World Health Organization (WHO)
mengkelompokkan gambaran histopatologi dari karsinoma nasofaring
menjadi 3 tipe. Tipe 1 suatu squamous cell carcinoma ditemukan
sebanyak 5% - 10% dari seluruh kasus karsinoma nasofaring dan
mempunyai karateristik diferensiasi sel yang baik dalam memproduksi
keratin, membentuk jembata intrasel, sehingga tipe 1 ini sering disebut
dengan tipe Ceratinizing Squamous Cell Carcinoma. Tipe 2 yaitu Non-
Ceratinizing Squamous Carcinoma yang dapat berdiferensiasi dengan baik
(dari fase matur menjadi sel yang anaplastic) namun tipe ini tidak dapat
memproduksi keratin. Tipe 3 atau Undifferentiated Carcinoma dimana
pada tipe ini sel tidak dapat berdiferensiasi, tidak menghasilkan keratin,
namun memiliki jenis sel yang banyak seperti clear cell, spindle cell, dan
anaplastic cell.’
Di negara bagian barat tipe karsinoma nasofaring yang paling banyak
ditemukan adalah jenis karsinoma tipe 1, sedangkan pada daerah daerah
yang endemik jenis karsinoma yang paling sering adalah jenis karsinoma
yang tipe 2 dan tipe 3. Diantara ketiga jenis tipe sel karsinoma tersebut
tidak mempengaruhi suatu prognosis perjalanan penyakit karsinoma
nasofaring. Pembagian jenis jenis tipe sel karsinoma ini penting untuk
memudahkan penggolongan dari pembagian stadium tumor yaitu T
(menandakan tumor primer nasofaring), N (penyebaran nodul) dan M
(metastase).(3) Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Terdapat kesamaan antara jenis tipe 2 dan tipe 3 sehingga selanjutnya
disarankan pembagian stadium KNF terbaru hanya dibagi atas 2 tipe yaitu
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma dan Non-Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma. Tipe ini dapat diklasikasikan kembali menjadi tipe sel
yang berdiferensiasi dan tipe sel yang tidak berdiferensiasi.16

I. Manifestasi Klinis
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke
anterior berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan tepi
belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan
yang sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke
supero-anterior dan terletak di bawah ossfenoid, sedangkan bagian
belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre
vertebralis dan otot-otot dinding faring. Pada dinding lateral nasofaring
terdapat orifisium tuba eustakius dimana orifisium ini dibatasi superior
dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran tumor ke lateral
akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan
mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius
terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma
nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa
yang dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda
dinding postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini
disebabkan karena adanya jaringan adenoid.17 Di nasofaring terdapat
banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara
di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).18
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan nasofaring
2. Biopsi Diagnotik
Histologik atau sitologik dapat ditegakkan bila dikirim suatu
material hasil biopsi hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush). Biopsi
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan anestesitopikal
dengan xylocain 10%.
3. Pemeriksaan Patologi Anatomi, dibagi 3 tipe berdasarkan WHO yaitu:
a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, tipe ini dapat dibagi lagi
menjadi difrensiasibaik sedang dan buruk.
b. Karsinoma non-keratinisasi, pada tipe ini dijumpai adanya
difrensiasi, tetapi tidakditemukan difrensiasi sel skuamosa. Pada
umumnya batas sel cukup jelas.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi, pada tipe ini sel tumor secara
individumemperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau
bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak
terlihat dengan jelas.
4. Mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnyaFoto Polos, dapat terdeteksi dengan jelas jika tumor tersebut
cukup besar.CT-scan, lebih unggul dari foto polos karena mampu
membedakan bermacam-macamdensitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang.19

2.2 Kaitan karsinoma nasofaring dengan jenis kelamin dan usia


KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai
penderita di bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun.
Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2 – 3 :
Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan
bahwa kejadian tumor ini di Amerika Syarikat adalah kurang dari 1 dalam
100.000.20
Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi
yaitu 15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya
Hong Kong dan Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000
orang per tahun.Insiden tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina
Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini menunjukkan
sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan
lingkungan pemicu.
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas
yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga ,
Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan KNF. Dari data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan
prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun.
Dari data laporan profil KNF di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas 2007
ditemukan 684 penderita KNF.20

2.3 Virus Eppstein – Barr


A. Definisi
Virus Epstein Barr (virus EB) juga disebut herpesvirus manusia 4 yang
termasuk dalam famili herpes ( yang juga termasuk dalam virus simplex
dan sitomegalovirus). Virus ini merupakan salah satu virus yang paling
umum pada manusia dan mampu menyebabkan mononukleosis. Virus ini
berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama
dengan Bert Achong menemukan virus ini pada tahun 1964.6

B. Struktur
Virus Epstein Barr tidak dapat dibedakan dalam ukuran dan struktur
dari virus-virus herpes lainnya. Genom DNA virus EB mengandung
sekitar 172 kbp. Genom virus EB lurus membentuk lingkaran, sebagian
besar DNA virus dalam sel yang kekal sebagai episom yang melingkar.
Limfosit B yang dikekalkan virus EB menampakkan fungsi yang berbeda
(sekresi imunoglobulin). Produk-produk aktivitas sel B terbentuk. Sepuluh
produk sel gen virus dihasilkan dalam sel yang kekal, termasuk enam
antigen nuklear virus EB yang berbeda (EBNA 1-6) dan dua protein
membran laten (LMP1, LMP2).Virus EB bereplikasi in vivo dalam sel-sel
epitel dari orofaring, kelenjar parotis, dan serviks uteri, juga ditemukan
dalam sel-sel epitel karsinoma nasofaring 5,6.

C. Mekanisme Infeksi
Karsinoma nasofaring (NPC) sangat erat kaitannya dengan infeksi
virus Epstein-Barr (EBV). Episode EBV terdeteksi di hampir semua sel
NPC. Peran EBV dalam patogenesis NPC telah lama dipostulasikan tetapi
tetap misterius. Berbeda dengan infeksi limfosit B, infeksi EBV tidak
secara langsung mengubah sel epitel nasofaring menjadi klon proliferatif
dengan potensi ganas. EBV infeksi sel epitel faring normal didominasi
litik di alam. Perubahan genetik pada epitel nasofaring premaligna, dalam
kombinasi dengan stimulasi inflamasi di mukosa nasofaring, mungkin
memainkan peran penting dalam pembentukan infeksi EBV laten pada sel
epitel nasofaring yang terinfeksi selama perkembangan awal NPC.
Penemuan infeksi EBV laten pada sel epitelial nasofaring premaligna dan
ekspresi gen virus laten, termasuk transkrip BART dan BART-encoded
microRNAs, adalah fitur penting dari NPC. Ekspresi gen EBV dapat
mendorong transformasi maligna lebih lanjut dari sel epitelial nasofaring
premaligna ke sel kanker. Kesulitan yang terlibat dalam pembentukan
garis sel NPC dan hilangnya progresif epik EBV dalam sel NPC
disebarkan dalam budaya sangat mengimplikasikan kontribusi komponen-
komponen stromal host terhadap pertumbuhan sel NPC in vivo dan
pemeliharaan EBV pada sel NPC yang terinfeksi. Mendefinisikan
keuntungan pertumbuhan sel NPC yang terinfeksi EBV secara in vivo
akan mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi
infeksi EBV pada patogenesis NPC, dan dapat mengarah pada identifikasi
target terapeutik baru untuk pengobatan NPC.

2.4 Penjelasan
A. Nasoendoskopi
Modalitas yang sering dipakai dalam mengevaluasi dan tindak
lanjut pasien KNF selain pemeriksaan fisik yang biasanya menggunakan
inspeksi per endoskopi juga gambar pencitraan dan biopsi nasofaring.
Fiber-optik endoskopi memiliki peran penting ketika mengevaluasi
nasofaring, namun sekret dan krusta sering menyamarkan lesi nasofaring.
Narrow-Band Imaging (NBI) adalah tehnik pencitraan optik baru untuk
meningkatkan sensitifitas fungsi diagnostik endoskopi dengan prinsip
peningkatan karakteristik jaringan yang diidentifikasi, menggunakan
sistem filter cahaya biru dimana endoskopi menggunakan cahaya biru
gelombang pendek (415 nm) yang dapat menembus mukosa dan
menonjolkan gambaran pembuluh darah epitel dan subepitel.
NBI menyeleksi cahaya biru dan hijau dengan panjang gelombang
415 nm dan 540 nm, dimana gelombang 540 nm sesuai dengan puncak
penyerapan hemoglobin. Panjang gelombang cahaya ini dapat memasuki
epitel kemudian meningkatkan pancaran cahaya dari anyaman kapiler juga
bisa memasuki jaringan yang lebih dalam, meningkatkan visualisasi
pembuluh darah subepitel. Sehingga lesi superfisial di mukosa yang tak
bisa terdeteksi dengan endoskopi fungsional cahaya putih (White-Light
Imaging) bisa diidentifikasi karena pola neoangiogenesis lesi dapat terlihat
menggunakan cahaya biru NBI. NBI diharapkan kelak dapat dijadikan
penuntun saat biopsi, memungkinkan pendekatan pencitraan optik yang
bisa meningkatkan sensitifitas untuk deteksi lesi patologis dan deteksi lesi
dini.
Modalitas pemeriksaan endoskopi lain seperti endoskopi
mikroskopik dapat digunakan dalam menilai perubahan histologis mukosa
namun tehnik ini memerlukan reagen fluoresen intraluminal sehingga
membatasi penggunaannya sehari-hari di poliklinik, berbeda dengan NBI
yang dapat meningkatkan pencitraan mikrostruktur mukosa sehingga bisa
dijadikan modalitas kelainan patologis tanpa menggunakan fluoresen.24
Ketika digunakan NBI warna pembuluh darah intrapapilar di mukosa
tampak berwarna kecoklatan sedangkan pembuluh darah submukosa
berwarna kehijauan. Struktur dan organisasi pembuluh darah bersifat
dinamis yang dapat mengalami perubahan selama proses neoplasia hingga
terbentuknya tumor invasif berupa pelebaran pembuluh darah,
pemanjangan, distorsi kemudian digantikan oleh vaskularisasi tumor baru.
Kunci dalam membedakan lesi maligna dan non maligna adalah
berdasarkan vaskularisasi lesi, dimana NBI meningkatkan pola
vaskularisasi dari lapisan lesi superfisial tersebut, sehingga meningkatkan
sensitifitas dan ketepatan dalam diagnosis.
B. Onkogenesis
Secara medik umum neoplasma biasa disebut sebagai tumor dan ilmu
tentang tumor disebut onkologi (oncos = tumor, logos = ilmu). Sebetulnya
istilah tumor berarti suatu benjolan yang sebenarnya dapat ditimbulkan
antara lain oleh radang, oedema atau perdarahan ke dalam jaringan, akan
tetapi istilah ini seakan lebih ditujukan untuk suatu massa neoplastik yang
dapat menimbulkan benjolan pada pennukaan tubuh Istilah onkogen
berasal dari kata onkos bahasa Yunani yang berarti massa atau tumor.
Karsinogenesis terutama digunakan dalam kaitannya dengan mekanisme
terjadinya tumor ganas (kanker). Prinsip karsinogenesis dapat digunakan
untuk menerapkan mekanisme yang dapat membedakan tumor jinak dan
ganas. Oleh karena itu sebagian peneliti epidemiologi, klinik dan
eksperimental ditujukan terutama pada tumor ganas.21

C. Karsinogenesis
Karsinogenesis merupakan Asal atau produksi, atau perkembangan
kanker, termasuk karsinoma dan neoplasma ganas lainnya. Berikut ini
adalah jenis-jenis karsinogenesis:
a) karsinogenesis biologis
virus dan beberapa parasit mampu memulai neoplasia. Lihat
onkogenesis viral, Spirocercalupi.
b) karsinogenesis kimia
banyak bahan kimia telah diidentifikasi sebagai karsinogenik.
c) karsinogenesis fisik
termasuk radiasi ultraviolet, radiasi pengion dan asbes.
Faktor-faktor yang berperan meningkatkan karsinogenesis adalah:
a) Radiasi
Terdapat 2 macam radiasi yaitu radiasi ionisasi (misalnya sinar X)
dan non-ionisasi (sinar ultraviolet). Keduanya adalah bagian dari
spektrum gelombang elektromagnetik. Sinar X berasal dari
tambang uranium, kosmik, alat diagnostik penyakit, alat terapi
radiasi, kecelakaan nuklir, bom atom dan sampah radioaktif. Sinar
ultraviolet berasal dari matahari.
b) Virus
Banyak kanker pada binatang disebabkan oleh virus, pada
manusia, virus adalah penyebab kanker tertentu. Virus Ebstein-
Barr (EBV) suatu virus herpes adalah penyebab infectious
mononucleosis dan limfoma Burkitt pada anak-anak di Afrika ,
tetapi malaria yang menimbulkan supresi imunitas tubuh juga
berperan penting. Data epidemiologis dan deteksi DNA virus
Ebstein-Barr dalam sel limfoma mendukung hubungan virus ini
dengan 2 macam kelainan tersebut.
Virus papiloma (HPV) subtipe 6, 8, 16 dan 18 , virus herpes
simplex tipe 2 dan virus cytomegalo berhubungan erat dengan
risiko terkena kanker serviks. Ketiga virus ini juga diduga
penyebab kanker penis.
Virus hepatitis B (HBV) endemik di masyarakat tertentu misalnya
masyarakat Taiwan dan negro Afrika Selatan. Virus ini pada
umumnya menyebabkan hepatitis akut atau infeksi yang
asimptomatik yang menimbulkan kekebalan. Sebanyak 10% dari
penderita berlanjut menjadi kronis, sirosis hepatis kemudian
kanker hati.
c) Faktor genetik
Tumor masa anak yaitu retinoblastoma telah lama dipandang
sebagai contoh dari kanker yang diturunkan secara dominan,
tetapi tumor ini dapat juga non-herediter. Dari data keluarga
didapatkan kurang dari 50% keturunan penderita retinoblastoma
yang kemudian akan menderita tumor ini. Mereka menduga ini
termasuk dalam golongan tumor yang non-herediter. Penyelidikan
lain menunjukkan penderita retinoblastoma bilateral yang
sebelumnya tidak mempunyai riwayat keturunan kemungkinan
menurunkan penyakit ini mendekati 50% seperti pada penderita
retinoblastoma unilateral yang mempunyai riwayat keturunan.
Sedangkan kemungkinan mendapat penyakit ini adalah 10-15%
pada keturunan dari penderita retinoblastoma unilateral yang tidak
mempunyai riwayat keturunan. Kemungkinan mendapat penyakit
ini pada keturunan penderita yang tumornya unilateral atau
bilateral dengan riwayat keturunan sangat tinggi yaitu 60-70%.
Dari data disimpulkan 40% keturunan penderita retinoblastoma
adalah karier gen yang dominan. Dari 40% ini, 95% menderita
paling sedikit tumor unilateral bisa juga bilateral. Sebaliknya
penderita yang tidak membawa gen dominan mempunyai risiko
1/30.000 untuk menderita tumor unilateral dan tidak pernah
bilateral. Terdapat dugaan mutasi terjadi pada sel-sel retina karier
gen sehingga terbentuk retinoblastoma. Juga diduga bentuk
herediter terjadi secara 2 tahap yaitu mutasi sel somatik (sel
retina) yang sedang tumbuh dan mutasi pada sel benih yang akan
diturunkan. Pada bentuk non-herediter terjadi 2 tahap mutasi yang
ke 2 nya terjadi dalam sel somatik untukmenjadi sel kanker tetapi
fenomena ini sangat jarang (1/30.000). Maka pada bentuk
herediter retinoblastoma terjadi lebih awal dari bentuk non-
herediter karena hanya diperlukan 1 tahap yang terjadi post-
zygotik.
d) Faktor psikogenik
Faktor ini mencakup 2 bagian yaitu faktor kepribadian dan
psikososial. Hubungan antara kejadian yang menekan dalam
kehidupan seseorang dengan penyakit (faktor psikososial) telah
lama diselidiki. Kejadian yang menekan ini misalnya perceraian,
keadaan menganggur dan kehilangan orang yang dicintai atau
rumah. Penyelidikan mendapatkan bahwa pada penderita kanker
lebih banyak yang mengalami kehilangan objek yang dicintai dari
orang yang tidak menderita kanker. Penyelidikan lain
mendapatkan makin banyak stres makin banyak kemungkinan
seseorang sakit karena penurunan imunitas tubuh. Terdapat teori
yang mengatakan bukan kejadian dalam hidup seseorang yang
merupakan predisposisi untuk kanker tetapi mekanisme
pertahanannya (penyangkalan, represi atau proyeksi bisa sampai
putus asa), tergantung kemampuan seseorang untuk mengatasi
pengalaman yang menekan tersebut.

2.5 Gen pengendali tumor


Sel kanker adalah akumulasi sejumlah perubahan genetik yang
berperanan terhadap kejadian tumorigenesis, tumor progression dan resistensi
terhadap kemoterapi. Sebagian besar perubahan genetic ini berakibat terhadap
regulasi siklus sel. Pada sel normal, terdapat keseimbangan antara proliferasi
sel dengan kematian sel yang diregulasi melalui siklus sel dengan cellular
checkpoint. Sebelum sel dapat memasuki fase berikutnya pada siklus sel,
harus melalui sebuah checkpoint yang memutuskan jika proses pada fase
sebelumnya telah selesai. Keputusan untuk memasuki siklus sel dibuat selama
fase G1 yang dilakukan oleh cyclins dan unit regulatorinya, cyclin-dependent
kinases (CDKs). Pengendalian oleh CDKs dilakukan dengan phosporilasi
pada tempat yang berbeda dari protein dan oleh aktivitas CDK inhibitor, yang
tersusun atas dua famili yaitu: protein INK4 yang terdiri dari p15, p16,p18
dan p19 yang terikat pada CDK4 atau CDK6. Protein yang lain adalah
CIP/KIP yang meliputi p21, p27, dan p57 yang terikat pada cyclin-CDK
komplek.
Terjadinya proses progresi siklus sel juga dipengaruhi oleh faktor
stimuli dari luar. Jadi, jika sel eukariot diturunkan nutriennya atau growth
factornya, siklus sel akan memberikan dan mengaktivasi checkpoint, yang
berperanan pada penahanan siklus sel sampai kondisi menjadi memungkinkan
untuk melakukan pembelahan sel. Pada sel mamalia, growth factor dan
mitogens meregulasi tingkat ekspresi dari cyclin D1, yang mengendalikan
transisi dari G1 ke S.
Pada sel mamalia, G1 tergantung growth factor bila akan melanjutkan
ke fase berikutnya, kontrol checkpoint berupa protein retinoblastoma.
Terdapat dua target yang spesifik yang saling terkait pada kontrol siklus sel
yaitu: ATM-p53-p21 pathway dan p16-cyclin D1- CDK4-Rb pathway yang
membantu sel progres melalui fase G1. Cyclin D1 terikat pada regulasi positif
denganCDK4, yang membantu phosporilasi Rb. Hipophosporilasi dari Rb
merupakan regulator negative progresi siklus sel, karena Rb terikat pada
transcription factors (faktor transkripsi) yang menjadikan faktor transkripsi
inaktif. Saat hiperphosporilasi oleh ECDK2, Rb menjadi inaktif dan sel dapat
melanjutkan siklus ke fase berikutnya yaitu fase S. p16 adalah regulator
negatif dari CDK4, yang mencegah Rb mengalami phosporilasi. Abnormalitas
masing-masing komponen pada pathway ini biasanya ditemukan pada kanker
manusia. Deteksi DNA yang mengalami kerusakan diatur oleh tumor
suppressor p53. Saat terjadi proses kerusakan DNA, p53 menahan sel untuk
memasuki fase berikutnya dan memberikan waktu pada DNA untuk
melakukan perbaikan, atau bila kerusakan cukup parah, p53 akan menginisiasi
program kematian sel (apoptosis). Kehilangan beberapa molecular checkpoint
dapat ditemukan pada perkembangan beberapa tumor, hal ini dikarenakan
progresi siklus sel menjadi berjalan sebagaimana mestinya. Akumulasi
perubahan genetik juga berperanan pada timbulnya kemoresisten, yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan DNA merespon kerusakan.22
Beberapa perubahan yang telah diidentifikasi, yaitu perubahan pada
tumor suppressors seperti p53. Dengan hilangnya growth suppression,
progresi siklus sel tidak terkontrol dan menghasilkan tumorigenesis. Untuk
itu, sebagian besar strategi dalam gen terapi untuk kanker difokuskan pada
penggantian tumor suppressor dalam sel kanker. Ada beberapa jenis tumor
suppressor seperti p53, p21, p16, Rb dan p27.23

2.6 Kaitan Karsinoma Nasofaring dengan Mimisan dan Telinga Berdenging


Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan
gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang
telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan
kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga
telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin
banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat
gangguan pendengaran .24
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya
rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung
atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah
muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan
tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus
kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis,
sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering terjadi pada anak yang sedang
menderita radang.24
DAFTAR PUSTAKA

1. American Cancer Society. Nasopharingeal Cancer. USA: American Cancer


Society : 2011.
2. Panduan Penatalaksanaan Kanker Nasofaring Kementerian Kesehatan Komite
Penanggulangan Kanker Nasional. Kementrian Kesehatan Repubrik Indonesia
3. Komang Shary K. Patogenesis, Patofisiologi, dan Manifestasi Klinis Kanker
Nasofaring.
4. Roezin, A. Anida, S. (2007). Karsinoma Nasofaring Dalam :Buku Ajar
Telinga Hidung, Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 6, Jakarta: FKUI.
5. Chan J, PIlch B, Kuo T, Wenig B, Lee A. Tumours of the nasopharynx. In
Barnes L EJRPSD, editor. WHO classification of tumours: head & neck
tumours. Lyon: IARC Press.; 2005. p. 81 - 106.
6. 2. Adham M KAMAea. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:
epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J Cancer.
2012; 31(4).
7. Rochman, Abdul. 2010. Buku Digital ilmu penyakit telinga, hidung dan
tenggorokan.
8. 2. Asroel, Harry. A. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma
Nesofaring. Medan. Universitas Sumatra Utara
9. 3. Ardiawati, Yulin. 2011. Analisi Hubungan antara Faktor Resiko dengan
Tipe Histopatologik pada Karsinoma Nesofaring. Semarang. Universitas
Diponegoro
10. Nurlita, N. Karsinoma Nasofaring Ilmu Keperawatan;2009.Diunduh
dari:http://ilmukeperawatan.usu. pada tanggal 21 April 2018.
11. Wei WI, Chua DTT. Pharynx: nasopharynx. In:Watkinson JC, Gilbert RW,
eds. Stell and Maran’s Textbook of Head and Neck Surgery and Oncology,
5th ed. London:Hodder Aldold;2012.p.588-611
12. National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice
Guidelines in Oncology:
Head and Neck Cancers Ver.2.2014;2014
13. Brook, Geo F. ,dkk. Mikrobiologi Kedokteran jilid 2, Jakarta:Salemba
Medika, p. 103-108;2005.
14. Adham M, AN K, AI M, et al.Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia:
epidemiology, incidence, signs, and symptoms at presentation. Chin J
Cancer. February 2012.

15. Chan JKC, Pilch BZ, Kuo TT, Wenig BM, Lee AWM. Tumours of the
nasopharynx. In: Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidransky D, eds. World
Health Organization Classification of Tumours - Pathology & Genetics Head
and Neck Tumours. Vol Lyon: IARC Press; 2005:81 106.
16. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, et al. Etiological factors of nasopharyngeal
carcinoma. Oral Oncol. 2014;50(5):330- 338.
17. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, et al. Etiological factors of nasopharyngeal
carcinoma. Oral Oncol. 2014;50(5):330- 338.
18. Jia W-H, Qin H-D. Non-viral environmental risk factors for nasopharyngeal
carcinoma: A systematic review. Semin Cancer Biol. 2012;22(2):117-126.
19. Zeng M-S, Yi-Xin Zeng. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. In: Brady LW, Heilmann H-P, 20 Molls M, Neider C, eds.
Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary Management. Germany: Springer;
2010:9-26.
20. Yu M, Yuan J. Epidemiology of nasopharyngeal carcinoma. Semin Cancer
Biol. 2002;6:421-429.
21. HARTWELL, L.H. and M.B. KASTAN. 1994. Cell cycle control and cancer,
Science.266.1821−1828.
22. HOLLSTEIN, M., D. SIDRANSKY, B. VOGELSTEIN and C.C.HARRIS.
1991. p53 mutation in human cancers.Science. 253: 49-53
23. ALMOG, N and V. ROTTER. 1997. Involvement of p53 in cell
differentiation and development. BBA-Reviews on Cancer. 1333 (1) F1−F27
24. BAKER, S.J., S. MARKOWITZ, E.R. FEARON, J.K. WILLSON and B.
VOGELSTEIN. 1990. Suppression of human colorectl carcinoma cell growth
by wild type p53. Science. 249: 912−915.

Anda mungkin juga menyukai