(1) Malaria
Malaria masih mempakan penyakit rakyat di Indonesia. balk di daerah perkotaan
apalagi dipedesaan angka indeks malaria masih tinggi. Karena itu pengaruhnya
terhadap segala aspek kehidupan begitu, pula pada kesehatan reproduksi cukup
penting. Walaupun di daerah-daerah endemik kekebalan masyarakat cukup tinggi,
namun masih banyak terjadi wabah-wabah malaria.
a) Pengaruh kehamilan terhadap malaria:
1. Dalam kehamilan kekebalan ibu akan berkurang, maka akan terjadi serangan-
serangan demam malaria ada yang berat ada pula yang enteng.
2. Di daerah non-endemik wanita hamil lebih sering diserang malaria jenis serebral
(otak); dengan angka kematian yang tinggi.
b). Pengaruh malaria terhadap kehamilan, persalinan dan nifas:
1. Abortus dan partus prematurus;
2. Kematian janin dalam rahim;
3. Dismaturitas;
4. Kematian neonatal yang tinggi;
5. Anemia dalam kehamilan dan nifas;
6. Dalam persalinan ibu menjadi lemah, karena itu dapat terjadi atonia uteri/inertia
uteri, partus akan berlangsung lama.
7. Kalau ibu terlalu lemah persalinan kala II dapat di tolong dengan ekstraksi vakum
atau forseps.
8. Awas terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan post-partum, karena akan
berakibat buruk pada ibu.
c). Penanganan:
1. Pencegahan:
1.1. Di daerah endemik sebaiknya setiap wanita hamil diberikan pengobatan
obat anti malaria: khloroquin atau obat-obat lainnya. Pemberian obat sedini
mungkin dalam kehamilan (jangan diberikan pil kina, bisa abortus),
diteruskan 6 minggu postpartum.
1.2. Profilaksis diberikan daraprim setiap hari satu tablet selama 6 minggu.
1.3. Pencegahan malaria pada bayi perlu pula diberikan, karena kekebalannya
benlangsung selama 3 bulan, setelah itu berikanlah obat anti malaria dalam
bentuk sirup selama 6 bulan.
2. Pengobatan:
2.1. Lebih cepat di obati lebih baik prognosa baik untuk ibu maupun bagi hasil
konsepsi.
2.2. Obat antimalania: mepaknin, khloroquin, amodiaquin pnimaquin dan
darapnim.
2.3. Untuk plasmodium vivaks residif paling efektif adalah primaquin.
2,4. Untuk profilaksis dipakai danaprun.
2.5. Primaquin efektif untuk: p.vivaks, p.malariae dan plasmodium falsifarum.
2.6. Kinine tidak baik diberikan dalam kehamilan.
IMMUNOPATOLOGI
Secara umum kekebalan terhadap parasit malaria dibagi dalam 2 golongan yaitu kekebalan
alamiah yang sudah ada sejak lahir dan terjadi tanpa kontak dengan parasit malaria
sebelumnya dan kekebalan didapat yang diperoleh setelah kontak dengan parasit malaria,
yang bersifat humoral ataupun seluler. Kekebalan seluler dihasilkan oleh limfosit T yang cara
kerjanya sebagai ‘helper’, sel limfosit B dalam memproduksi zat anti atau melalui makrofag
yang dapat membunuh parasit malaria dalam sel darah. Antigen-antigen parasit merupakan
pemicu pelepasan zat-zat tertentu dari sel-sel pertahanan tubuh yang disebut sitokin.
Sitokin dihasilkan oleh makrofag atau monosit dan limfosit T. Sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag adalah TNF, IL-1 dan IL-6 sedangkan limfosit T menghasilkan TNF-α, IFN-γ, IL-4, IL-
8, IL-10 dan IL-12. Sitokin yang diduga banyak berperan pada mekanisme patologi dari
malaria adalah TNF (tumor necrosis factor). (1,8)
Pada saat seseorang terekspos dengan malaria, maka sel limfosit B akan membentuk
antibodi pada permukaan sporozoit sehingga mencegah invasi parasit terhadap hepatosit,
hanya saja jumlah sporozoit tersebut terlampau banyak sehingga hanya sebagian saja yang
dapat diatasi dan pasien dapat rentan mengalami infeksi berulang. Untuk mengatasi hal ini
diperlukan antibodi dalam jumlah yang banyak. Sedangkan cara kerja limfosit T yakni
dengan mengaktivasi respon dari sel T CD8 pada fase hepatosit, namun tingkat CD8 rendah
sehingga masih banyak eritrosit terinfeksi yang berhasil lolos. (1,8)
Para wanita hamil yang tinggal di daerah yang banyak terdapat malaria berada dalam risiko
tinggi dan risiko tersebut bahkan semakin besar dalam dua bulan setelah mereka
melahirkan. Di masa lalu, kita sering menduga bahwa peningkatan kepekaan terhadap
malaria pada para wanita hamil akan berakhir seiring dengan terjadinya kelahiran. Ternyata
dibandingkan dengan setahun sebelum mereka hamil, para wanita dalam penelitian ini
memiliki kemungkinan sekitar 4 kali lebih besar untuk terjangkit malaria dalam 60 hari
setelah melahirkan. Oleh karena itu para peneliti menyarankan agar para wanita terus
mengkonsumsi obat-obat pencegah malaria yang direkomendasikan bagi para wanita hamil
setidaknya sampai dua bulan setelah kelahiran. (1,8)
Peningkatan risiko bagi malaria selama kehamilan diperkirakan disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, parasit-parasit yang menyebabkan malaria cenderung berakumulasi dalam
plasenta (ari-ari). Sebagai tambahan, selama kehamilan, sistem kekebalan tubuh sang ibu
berada dalam tingkat respon yang kurang dari normal. Para peneliti berpendapat, “Insiden
serangan malaria yang tinggi selama beberapa bulan pertama setelah kelahiran memberikan
bukti kunci yang mendukung pandangan bahwa (kekebalan tubuh yang tertekan)
merupakan faktor kunci yang terlibat pada para wanita hamil yang terserang malaria”. Para
peneliti juga menemukan sebuah saluran serba guna yang berada di dalam membran atau
lapisan luar dari sel-sel darah merah yang terinfeksi, yang memiliki peran untuk menyuplai
nutrisi-nutrisi tersebut bagi parasit ini. Dan mereka berharap bahwa penyaringan kumpulan
bahan-bahan kimia untuk molekul-molekul yang dapat menghambat saluran-saluran ini
akan mengubahkan obat-obatan baru untuk melawan parasit malaria yang semakin resisten
(kebal) terhadap obat. (1,8)
PATOGENESIS
Penyakit malaria disebabkan oleh parasit malaria, genus plasmodium. Ciri utama genus
plasmodium adalah adanya dua siklus hidup, yaitu:
1. Fase Seksual.
Siklus dimulai ketika nyamuk anopheles betina menggigit manusia dan memasukkan
sporozoit yang terdapat pada air liurnya ke dalam aliran darah manusia. Memasuki sel
parenkim hati dan berkembang biak membentuk skizon hati yang mengandung ribuan
merozoit, disebut fase skizogoni eksoeritrosit karena parasit belum masuk ke dalam sel
darah merah. Lama fase ini berbeda untuk setiap species plasmodium. Pada akhir fase ini,
hati pecah, merozoit keluar lalu masuk ke dalam aliran darah. Fase eritrosit dimulai saat
merozoit dalam darah menyerang sel darah merah dan membentuk tropozoit. Proses
berlanjut menjadi tropozoit, skizon, merozoit. Setelah dua sampai tiga generasi merozoit
terbentuk lalu sebagian berubah bentuk seksual. (3,5)
2. Fase Aseksual.
Saat nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang mengandung parasit malaria,
parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut nyamuk. Selanjutnya menjadi mikrogametosit
dan makrogametosit dan terjadilah pembuahan yang di sebut zigot (ookinet) yang kemudian
menembus dinding lambung nyamuk dan menjadi ookista. Jika ookista pecah ribuan
sporozoit dilepaskan dan mencapai kelenjar air liur nyamuk dan siap ditularkan jika nyamuk
menggigit tubuh manusia. (3,5)
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/malaria-dalam-kehamilan.html
(2). Toxoplasmosis
Penyebab: toksoplasma gondii
Habitatnya: anjing, kucing, tileus dan binatang lainnya.
Dapat ditularkan kepada manusia.
Gejala: nyeri pada kelenjar limfe yang membesar. Dapat disertai pnemonia, polimiositis
dan miokarditis serta limfangitis. Jalannya penyakit: akut atau menahun.
Pengaruhnya terhadap kehamilan:
Penyakit dapat menular kepada janin dengan akibat: abortus, partus prematurus dan
kematian janin dalam rahim serta meninggikan kematian nonatal Dapat terjadi cacad
bawaan: hidrosefalus, mikrosefalus, anensefalus, meningo-ensefalitis dan kelainan pada
mata. Bahkan bisa menyebabkan hidrops.
Pengobatan yang tepat belum diketahui. Obat-obat yang diberikan adalah kemasan-
kemasan sulfa.
http://akademikebidanangemilanghusada.blogspot.com/2009/06/penyakit-infeksi-dalam-
kehamilan.html
D. DIAGNOSIS
1) Ibu
Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang
spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian toxoplasma akut harus dipertimbangkan
pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan
atau gejala mononucleosisslike.
Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal
berikut:
a) Menunjukan hasil yang positif pada uji yang dilakukan
b) Terjadi peningkatan antibody yang diperoleh dari serum ibu pada dua kali pemeriksaan
yang berbeda, atau
c) Terdeteksi antibody IgM toxoplasma Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang
terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang
dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan
antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari setelah terinfeksi dan meningkat 6
bulan sampai > 7 tahun. The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk
melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai beberapa tahun. UJI
IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya
menunjukan kadar yang tinggi pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan
menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer
pada wanita hamil.
2) Anak
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala
klinik yang paling banyak ditemukan adalah chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan
hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas
diagnosa infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology
plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
Diagnosa prenatal
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin
yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula
digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun sayangnya antibody IgM janin sedikit
berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.
Menegakkan diagnosis tokoplasmosis sulit dilakukan karena gejala klinisnya yang tidak
selalu jelas, dan bahkan banyak yang tidak menimbulkan gejala. Beberapa metode
pemeriksaan telah dikembangkan untuk mendiagnosa toksoplasmosis tetapi hasilnya masih
kurang memuaskan disamping biayanya masih sangat mahal. Sampai saat ini penyaringan
serum toksoplasmosis prenatal masih belum dapat dilakukan karena kesulitan teknik dalam
menginterpretasikan hasilnya.
Salah satu cara menegakkan diagnosis toksoplasmosis adalah dengan cara isolasi parasit
yang diambil dari darah, cairan serebrospinal atau biopsi yang kemudian diinokulasikan ke
dalam peritoneum tikus, hamster atau kelinci yang bebas dari infeksi toksoplasma. Diagnosis
prenatal dapat dilakukan dengan Chorionic Villus Sampling ( CVS ), kordosintesis,
amniosintesis yang kemudian dari hasil sampling tersebut dilakukan inokulasi pada
peritoneum tikus mencit untuk menemukan toksoplasma. Metode isolasi ini sekarang sudah
jarang dilakukan karena membutuhkan waktu yang lama dan kebanyakan laboratorium
rumah-sakit tidak mempunyai fasilitas untuk melakukan pemeriksaan tersebut.
Pada pemeriksaan secara makroskopis, plasenta yang terinfeksi biasanya membesar dan
memperlihatkan lesi yang mirip dengan gambaran khas dari eritroblastosis fetalis. Villi akan
membesar, oedematus dan sering immatur pada umur kehamilan. Secara histopatologis
yang ditemukan tergantung pada stadium parasit dan respon imun dari penderita.
Gambaran yang ditemukan dapat berupa gambaran normal sampai pada gambaran
hiperplasia folikel, dimana ditemukan peningkatan limfoblas retikuler ( sel imunoblas besar
), sering didapatkan normoblas pada pembuluh darah, infiltrat sel radang subakut yang
bersifat fokal maupun difus, small clumps histiosit yang dapat ditemukan pada daerah tepi
dari sel-sel yang terinfeksi, menunjukkan gambaran agregasi, gambaran folikel yang khas
yang berhubungan dengan kenaikan titer serologi. Pada beberapa kasus dapat ditemukan
gambaran proliferatif dan nekrotik dari peradangan villi. Kadang-kadang peradangan villi
ditemukan dengan adanya limfosit, sel plasma, dan fibrosis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran organisme dalam sel. Organisme sulit
ditemukan pada plasenta, tetapi bila ditemukan biasanya terdapat dalam bentuk kista di
korion atau jaringan subkorion. Identifikasi sering sulit, sebab sinsitium yang mengalami
degenerasi sering mirip dengan kista.
Pada neonatus dapat ditemukan gambaran seperti pada hepatitis, berupa gambaran
nekrosis sel hati, Giants cell, hematopoesis ekstranoduler, nekrosis adrenal. Pada susunan
syaraf pusat dapat ditemukan nodul mikroglial dengan takizoit, ulkus ependymal, radang
soliter akuaduktus dan atau ventrikel.
Pemeriksaan serologi saat ini merupakan metode yang sering digunakan. Meskipun
demikian pemeriksaan serologi untuk toksoplasma cenderung mengalami kesulitan dalam
pelaksanaannya. Beberapa metode pemeriksaan yang pernah dilakukan antara lain Sabin-
Feldman dye test, indirect fluorescent assays (IFA), indirect hemagglutination assays (IHA),
dan complement fixation test (CFT). Cara pemeriksaan yang baru dan saat ini sering
digunakan adalah dengan enzyme-linnked immunosorbent assay (ELISA). Kebanyakan
laboratorium saat ini sudah tidak menggunakan Sabin-Feldman dye test. Pemeriksaan –
pemeriksaan yang sering digunakan adalah dengan mengukur jumlah IgG , IgM atau
keduanya. Ig M dapat terdeteksi lebih kurang 1 minggu setelah infeksi akut dan menetap
selama beberapa minggu atau bulan. IgG biasanya tidak muncul sampai beberapa minggu
setelah peningkatan IgM tetapi dalam titer rendah dapat menetap sampai beberapa tahun.
Secara optimal, antibodi IgG terhadap toksoplasmosis dapat diperiksa sebelum konsepsi,
dimana adanya IgG yang spesifik untuk toksoplasma memberikan petunjuk adanya
perlindungan terhadap infeksi yang lampau. Pada wanita hamil yang belum diketahui status
serologinya, adanya titer IgG toksoplasma yang tinggi sebaiknya diperiksa titer IgM spesifik
toksoplasma. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi yang baru saja terjadi, terutama
dalam keadaan titer yang tinggi. Tetapi harus diingat bahwa IgM dapat terdeteksi selama
lebih dari 4 bulan bila menggunakan fluorescent antibody test , dan dapat lebih dari 8 bulan
bila menggunakan ELISA.
Diagnosis prenatal dari toksoplasmosis kongenital dapat juga dilakukan dengan
kordosintesis dan amniosintesis dengan tes serologi untuk IgG dan IgM pada darah fetus.
Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi karena IgM tidak dapat melewati barier plasenta
sedangkan IgG dapat berasal dari ibu. Meskipun demikian antibodi IgM spesifik mungkin
tidak dapat ditemukan karena kemungkinan terbentuknya antibodi dapat terlambat pada
janin dan bayi.Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan IgG avidity untuk melihat
kronisitas infeksi, dimana semakin tinggi kadar afinitas semakin lama infeksi telah terjadi.
Beberapa pedoman yang dapat digunakan dalam menilai hasil serologi :
1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila
a. Terdapat serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat dengan interval 2-3 minggu.
b. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3 minggu yang lalu.
c. IgG avidity yang rendah
d. Hasil Sabin-Feldman / IFA > 300 IU/ml atau 1 : 1000
e. IgM-IFA 1 : 80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml
2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan merupakan infeksi lampau.
a. Ada 5 % penderita dengan IgM persisten yang bertahun-tahun akan positif
b. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak dapat dipastikan sebagai infeksi
akut dan harus dilakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan lain.
Diagnosa ditegakkan bila IgM positif dan titer IgG yang meningkat 4 kali lipat pada
pemeriksaan ulang selang waktu 2 – 3 minggu.
Titer IgM akan tetap tinggi sampai 3 – 4 bulan
E. PENATALAKSANAAN
1. Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi yang amat besar.
Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat dengan kombinasi pyrimethamine, asam
folimik dan sulfonamide. Dosis standar pyrimethamine adalah 25 mg/hari/oral dan 1 gr
sulfadiazine peroral 4 X/hari selam 1 tahun. Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik
dan oleh karena itu mungkinmemberikan efek teratogenik jika diberikan pada trimester I.
Asam folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari yang
berbeda untuk mengetahui apakah benar habisnya asam folat disebsbkan oleh
Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma akut dan dapat
diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA.
2. Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian pyrimethamine
dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari, dilanjutkan dosis 0,5 mg/kg/hr selam 21-30
hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral selam 1 tahun. Pada saat menginjak
remaja diberikan asam folimik 2-6 mg secara IM atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat
bayi dia mendapatkan pyrimethamine. Infeksi congenital pada bayi baru lahir bukan
merupakan infeksius, oleh karena itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tidak
menunjukan infeksi dan positif antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin didapatkan
dari ibunya secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak ditemukannya temuan yang lain yang
mencurigakan terjadinya infeksi congenital., harus dipantau, apabila tidak terinfeksi harus
menunjukan adanya penurunan titer antibody IgG terhadap toxoplasma.
F. PENANGANAN
Infeksi toksoplasma pada ibu hamil dapat dicegah dengan cara menghindari tertelannya
kista atau ookista berbentuk spora dengan menjaga kebersihan diri. Perlu kebiasaan
mencuci tangan sebelum makan atau setelah kontak dengan kucing/ kotoran kucing,
memasak makanan sampai matang benar ( > 66° C ) dan menggunakan sarung tangan
sewaktu berkebun. Buah-buahan dan sayur mentah harus dicuci bersih dan makanan
dilindungi supaya tidak dihinggapi lalat, kecoa dan serangga atau binatang lain yang
mungkin dapat membawa kontaminasi dari kotoran kucing.
Pengobatan terhadap ibu hamil yang terinfeksi akut dengan tujuan mengurangi infeksi ke
janin diperkirakan efektifitasnya hanya 50 %.
Toksoplasma termasuk penyakit “self limiting disease” Mengingat bahwa adanya potensi
untuk menimbulkan cacat pada janin maka dapat diberikian terapi :
1. Spiramycin, pada kasus infeksi akut yang ditegakkan melalui pemeriksaan serologi
umunya diterapi dengan spiramycin 1 gram 3 dd 1 dakam keadaan perut kosong .
Spiramycin akan terkonsentrasi pada plasenta sehingga dapat mencegah penjalaran infeksi
je janin. Akan tetapi kemampuan spiramycin untuk mencegah penularan vertikal masih
kontroversial. Spiramycin tidak menembus plasenta dengan baik sehingga amniosentesis
dan pemeriksaan PCR untuk melihat adanya toksoplasma gondii harus dikerjakan
sekurangnya 4 minggu pasca infeksi maternal akut pada trimester ke II . Bila hasil
pemeriksaan PCR negatif, Spiramycin dapat diteruskan sampai akhir kehamilan. Bila hasil
pemeriksaan PCR positif maka dugaan sudah adanya infeksi pada janin harus diterapi
dengan obat lain .
2. Pyrimethamine dan Sulfadiazine, Kombinasi pyrimethamine and sulfadiazine,( folic acid
antagonists dengan efek sinergi ) digunakan untuk menurunkan derajat infeksi kongenital
dan meningkatkan proporsi neonatus tanpa gejala.
3. asam Folinat untuk mencegah kerusakan pada janin
Wanita hamil harus menghindari kontak dengan kucing atau kotorannya , mengenakan
sarung tangan karet tebal saat berkebun dan menghidari konsumsi daging metah atau
setengah matang.
G. PENCEGAHAN
Dengan pemberian imunisasi toksoplasmosis pada manusia maupun hewan merupakan
metode yang diterapkan untuk mencegah penyebaran toksoplasmosis.
Imunisasi diberikan untuk membentuk kekebalan terhadap bakteri toxoplasma gondii.
Imunisasi ini diberikan pada anak-anak dan pada calon pengantin dan ibu hamil. Kekebalan
ini tidak dapat menghilangkan infeksi permulaan secara tuntas, hal ini terbukti dari hasil uji
jaringan hewan maupun manusia masih adanya parasit untuk waktu yang lama bahkan
selama hidupnya.
TOKSOPLASMOSIS DALAM KEHAMILAN
Angka kejadian infeksi primer dalam kehamilan kira kira 1 : 1000. dalam kehamilan , skrining
rutin tidak dianjurkan.
Resiko penularan terhadap janin pada trimester I = 15% ; pada trimester II = 25% dan pada
trimester III = 65%. Namun derajat infeksi terhadap janin paling besar adalah bila infeksi
terjadi pada trimester I.
Trias klasik toksoplasma berupa :
1. Hidrosepalus
2. Kalsifikasi intrakranial
3. Korioretinitis
Trias tersebut jarang terlihat.
Sekitar 75% kasus yang terinfeksi tidak memperlihatkan gejala saat persalinan. 25 – 50%
memperlihatkan skuale seperti terlihat pada tabel dibawah :
MANIFESTASI INFEKSI TOKSOPLASMA KONGENITAL
• Hidrosepalus
• Korioretinitis
• Mikrosepali
• Mikroptalmia
• Hepatosplenomegali
• Kalsifikasi serebral
• Adepati
• Konvulsi
• Perkembangan mental terganggu
Diagnosa pasti infeksi terhadap janin adalah dengan menemukan IgM dalam darah talipusat
Hasil biakan plasenta pada pasien dengan infeksi toksoplasma menunjukkan angka positif
sebesar 90%.
penyakit ini jarang terdiagnosa semasa kehamilan oleh karena sebagian besar bersifat
subklinis
2.5 TOKSOPLASMOSIS
2.5.1 PENGERTIAN TOKSOPLASMOSIS
Toksoplasmosis adalah suatu infeksi protozoa yang disebabkan oleh toxoplasma
gondii. Infeksi ini ditularkan oleh organisme berkista dengan memakan daging mentah atau
kurang matang yang terinfeksi atau kontak dengan kotoran kucing yang terinfeksi.
(Fadlun, 2012)
Salah satu infeksi yang berbahaya bagi wanita hamil adalah infeksi dan
berkembangnya parasit Toxoplasma gondii. Sesuai dengan nama parasit penyebabnya, ini
juga disebut sebagai toksoplasmosis.
(Enna, 2010: Page 1)
Infeksi toxoplasma (disebut toxoplasmosis) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh protozoa Toxoplasma gondii. Manusia dapat terinfeksi melalui makanan yang mentah
yang mengandung kista protozoa, atau bisa juga melalui transfusi darah, atau melalui
tangan yang terkontaminasi.
(Momme, 2009: Page 1)
2.5.6 PENANGANAN
Indikasi infeksi pada janin bisa diketahui dari pemeriksaan USG, yaitu terdapat cairan
berlebihan pada perut (asites), perkapuran pada otak atau pelebaran saluran cairan otak
(ventrikel). Sebaliknya bisa saja sampai lahir tidak menampakkan gejala apapun, namun
kemudian terjadi retinitis (radang retina mata), penambahan cairan otak (hidrosefalus), atau
perkapuran pada otak dan hati.
Pemeriksaan awal bisa dilakukan dengan pengambilan jaringan (biopsi) dan
pemeriksaan serum (serologis). Umumnya cara kedua yang sering dilakukan. Pada
pemeriksaan serologi akan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya reaksi imun
dalam darah, dengan cara mendeteksi adanya IgG (imunoglobulin G),
IgM, IgA, IgE. Pemeriksaan IgM untuk ini mengetahui infeksi baru. Setelah IgM
meningkat, maka seseorang akan memberikan reaksi imun berupa peningkatan IgG yang
kemudian menetap. IgA merupakan reaksi yang lebih spesifik untuk mengetahui adanya
serangan infeksi baru, terlebih setelah kini diketahui lgM dapat menetap bertahun-tahun,
meskipun hanya sebagian kecil kasus.
Sebenarnya sebagian besar orang telah terinfeksi parasit toksoplasma ini. Namun
sebagian besar diantaranya telah membenatuk kekebalan tubuh sehingga tidak
berkembang, dan parasit terbungkus dalam kista yang terbentuk dari kerak perkapuran
(kalsifikasi). Sehingga wanita hamil yang telah memiliki lgM negatif dan lgG positif berarti
telah memiliki kekebalan dan tidak perlu khawatir terinfeksi. Sebaliknya yang memiliki lgM
dan lgG negatif harus melakukan pemeriksaan secara kontinyu setiap 3 bulan untuk
mengetahui secara dini bila terjadi infeksi.
Bagaimana bila lgM dan lgG positif ? Untuk ini disarankan melakukan pemeriksaan
ulang. Bila ada peningkatan lgG yang signifikan, diduga timbul infeksi baru. Meski ini jarang
terjadi, tetapi adakalanya terjadi. Untuk lebih memastikan akan dilakukan juga pemeriksaan
lgA. Pemeriksaan bisa juga dilakukan dengan PCR, yaitu pemeriksaan laboratorium dari
sejumlah kecil protein parasit ini yang diambil dari cairan ketuban atau darah janin yang
kemudian digandakan.
Bila indikasi infeksi sudah pasti, yaitu lgM dan lgA positif, harus segera dilakukan
penanganan sedini mungkin. Pengobatan bisa dilakukan dengan pemberian sulfa dan
pirimethamin atau spiramycin dan clindamycin. Sulfa dan pirimethamin dapat menembus
plasenta dengan baik sehingga dianjurkan untuk pengobatan pertama. Terapi harus
dilakukan terus sampai persalinan. Bahkan setelah persalinan akan dilakukan pemeriksaan
pada bayi. Bila didapat lgM positif maka bisa dipakstikan bayi telah terinfeksi. Meski hasilnya
negatif sekalipun, tetap harus dilakukan pemeriksaan berkala sesudahnya. Dengan
pemeriksaan dan pengobatan secara dini penularan pada bayi akan bisa ditekan seminimal
mungkin. Selain itu pengobatan dini yang tepat saat awal kehamilan akan menurunkan
secara signifikan kemungkinan janin terinfeksi.
(Enna, 2010: Page 1)
2.5.8 PENCEGAHAN
1. Pada ibu hamil
Hindari mengonsumsi daging mentah, hindari kontak mata dan mulut saat mengolah daging
mentah, hindari kontak barang yang terpapr kotoran kucing yang terinfeksi. Abortus bisa
dipertimbangkan sebagai satu pilihan.
2. Pada janin
Identifikasi wanita yang beresiko tinggi melalui skrining serologi. Terapi selama hamil dapat
menurunkan infeksi 60 %
(Fadlun, 2012)
NEMATODA
Kelainan patologik yang ditimbulkan oleh infeksi cacing parasit usus yaitu:
1. Cacing dewasa dapat menimbulkan : gangguan pecernaan, perdarahan dan
anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus dan perforasi usus.
Larva cacing dapat menimbulkan : reaksi alergik, kelainan jaringan. EPIDEMIOLOGI
Banyak kasus di daerah yang mempunyai peternakan sapi, biri-biri dan kambing
didukung oleh kebiasaan masyarakat yang suka mengkonsumsi sayuran mentah.
Masyarakagt di sekitas sungai dan area persawahan yang memiliki kebiasaan memakan
siput / keong air memiliki resiko terinfeksi lebih tinggi apalagi didukung oleh kondisi higiene
dan sanitasi yang kurang baik.
PENCEGAHAN
Tidak memakan sayran mentah. Apabila menkonsumsi harus sudah dimasak secara
sempurna sehingga bisa dihindari terinfeksi oleh metaserkaria.
Pemberantasan penyakit kecacingan pada hewan ternak.
DIAGNOSA LABORATORIUM
Bahan pemeriksaan dapat berupa feses dan atau cairan duodenum.
Dari feses penderita dapat ditemukan telur atau cacing dewasa.
Dalam cairan duodenum mungkin ditemukan metaserkaria atau larva cacing.
Jumlah sel eosinofil dalam darah akan meningkat nyata
2.
3. Diagnosis dan Pengobatan
4. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam tinja, dahag, urin atau
dalam jaringan biopsi, dapat pula dengan reaksi serologi untuk membantu
menegakan diganosis. Obat yang terbaik untuk mencegah cacing daun adalah
prazikuantel (Biltricide, Distocide)