Pembimbing :
dr. Dodi Suhartono, Sp.KK, MH
Disusun Oleh :
DANNY HERMAWAN
030.12.063
Disusun oleh :
Danny Hermawan
030.12.063
Menyetujui,
Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul
“Manfaat Pemeriksaan Serologi Pada Kecurigaan Infeksi Mycobacterium
leprae”. Pembahasan referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
pelaksanaan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD
Kardinah, Kota Tegal periode 1 Oktober – 3 November 2018.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dodi Suhartono, Sp.KK,
MH selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini serta seluruh pihak yang
telah membantu, termasuk teman-teman yang telah memberi banyak saran untuk
penulisan makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahawa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk
kedepannya. Akhir kata penulis berharap penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman sejawat maupun seluruh pihak yang membacanya.
Terimakasih.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit kusta adalah penyakit menahun yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang bersifat intra selular obligat. menyerang susunan
saraf tepi pada awalnya, lalu menyerang kulit, dan mukosa saluran napas bagian
atas, kecuali susunan saraf pusat.1,2
Pengendalian penyakit dengan multi-drug therapy (MDT) mampu
menurunkan angka prevalensi, namun insidens penyakit cenderung konstan.3
Pada awal tahun 2009, tercatat jumlah kasus kusta sebesar 213.036 kasus di
seluruh dunia dan selama tahun 2008 tercatat 249.007 kasus baru dari 121
negara.4 Hal ini menunjukkan program eliminasi kusta yang dicanangkan tahun
1991, yaitu mengurangi prevalensi kusta di bawah satu kasus per 10.000 populasi
pada tahun 2000, belum tercapai.5
Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan ditemukannya satu tanda utama atau
cardinal sign. Tanda utama tersebut berupa kelainan kulit hipopigmentasi atau
eritematus dengan gangguan estesi, kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf,
hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam (BTA).4
Pada keadaan tanda klinik dan bakteriologik tidak jelas (stadium Subklinis),
terkadang para dokter sangat sulit dalam menegakkan diagnosis penyakit kusta
pada penderita, dikarenakan stadium subklinis ini, secara fisik tidak ditemukan
kelainan maupun tanda khas yang spesifik dari penyakit tersebut, namun didalam
tubuh penderta sebenarnya terdapat titer antibodi kuman M.Leprae yang tinggi.
Pemeriksaan serologik dapat membantu para dokter dalam menegakkan
diagnosis, karena tingginya titer antibodi berkaitan dengan banyaknya kuman
(antigen load).2,6 sehingga keadaan ini menunjang penegakkan diagnosis kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi(6)
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
2.3 Etiologi(6)(9)
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-
8Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.
2.4 Patogenesis(6)(7)(8)
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan
melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan
klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M.
Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.
Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa.
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari
otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah
melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada
SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Apabila SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama
kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah
satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang
diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui
beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%
individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau
minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal,
maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel
imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan
kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan
plak. Kelainan saraf dapat simetris.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya
menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering
dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris.
2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri
dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang
khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
Gambar : Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy
3. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi
lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat
predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan
pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf
menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.
Gambar: Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy
Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema
dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki.
Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses
atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris,
ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot,
2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas
saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas
kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katarak.
Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan neuropati
sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada
pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.
Tabel : Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)
SIFAT LL BL BB
Lesi
Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome
Difus, Papul, Nodul Papul Shaped (Kubah),
Tidak terhitung, Punched Out
Jumlah praktis tidak ada Sukar dihitung, Dapat dihitung,
kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas ada
sehat Asimetris
Distribusi Simetris Hampir simetris Agak Kasar/berkilat
Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Jelas
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Lebih Jelas
Anestesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
hidung
Tes Negatif Negatif Biasanya negative
Lepromin
1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy, In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K Austen
KF, Goldsmith LA, Kalz SH. editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; Medical Publising Division,
USA, 2008. p. 1786–96.
2. Kaufmann SHE. Cell-mediated immunity, In: Hastings RC, editor, leprosy
2nd ed., New York: Churchill Livingstone. 1994. p. 157–68.
3. Goulart IM, Goulart LR. Leprosy: diagnostic and control challenges for
a worldwide disease. Arch Dermatol Res. 2008;300:269-90.
4. Global leprosy situation, 2009 . Wkly Epidemiol Rec. 2009;84:333-
40.
5. WHO World Health Assembly Resolution to Eliminate Leprosy. WHO.
1991
6. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88
7. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi
Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-
67
8. Smith D.S. Leprosy. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#a0104. Accessed on
17th November 2013.
9. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
Available at http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. Accessed
on 16th November 2013.
10. WHO. Leprosy elimination : classification of leprosy. Available at
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Accessed on 17th
November 2013.
11. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at
http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm.
Accessed on 16th November 2013.
12. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
13. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P
665-67.
14. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa Prosedur Diagnostik Baru Pada Penyakit
Kusta. Dalam: Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H,
penyunting. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003:59-65.
15. Izumi S, Fujiwara T, Ikeda M, Nishimura Y, Sugiyama K, Kawatsu K.
Novel gelatin particle agglutination test for serodiagnosis of leprosy in
the field. J Clin Microbiol. 1990;28:525-9.
16. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology : functions and disorders of
the immune system. Edisi ke-3. Philadelphia, Pa. ; London: Saunders;
2011.
17. Hyde RM. Immunology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2000.
18. Crowther JR. The ELISA guidebook. Totowa, NJ: Humana Press; 2001.
19. Buhrer-Sekula S, Smits HL, Gussenhoven GC, van Ingen CW, Klatser PR.
A simple dipstick assay for the detection of antibodies to phenolic
glycolipid-I of Mycobacterium leprae. Am J Trop Med Hyg. 1998;58:133
20. Buhrer-Sekula S, Sarno E, Oskam L, Koop S, Wichers I, Nery JAC, dkk.
The use of ML dipstick as a tool to classify leprosy patients. Int J Lepr
Other Mycobact Dis. 2000:58-68.
21. Dayal R, Bharadwaj VP. Prevention and early detection of leprosy in
children. J Trop Pediatr. 1995;41:132-8.
22. Abe M, Izumi S, Saito T, Mathur SK. Early serodiagnosis of leprosy by
indirect immunofluorescence. Lepr India. 1976;48:272-6.
23. .Difficulties in the early serodiagnosis of leprosy. ICMR bulletin.
2001;31.
24. Klatser PR, De Wit MY, Kolk AH. An ELISA-inhibition test using
monoclonal antibody for the serology of leprosy. Clin Exp Immunol.
1985;62:468-73.
25. Kampirapap K. Assessment of subclinical leprosy infection through the
measurement of PGL-1 antibody levels in residents of a former leprosy
colony in Thailand. Lepr Rev. 2008;79:315-9.
26. Buhrer-Sekula S, Visschedijk J, Grossi MA, Dhakal KP, Namadi AU,
Klaster PR, dkk. The ML Flow test as a point of care test for leprosy
control programmes: potential effects on classification of leprosy
patients. Lepr Rev. 2007;78:70-9.