Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

MANFAAT PEMERIKSAAN SEROLOGI PADA


KECURIGAAN INFEKSI MYCOBACTERIUM LEPRAE

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Program Pendidikan


Profesi
Kedokteran Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Pembimbing :
dr. Dodi Suhartono, Sp.KK, MH

Disusun Oleh :
DANNY HERMAWAN
030.12.063

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
PERIODE 1 OKTOBER – 3 NOVEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

MANFAAT PEMERIKSAAN SEROLOGI PADA KECURIGAAN INFEKSI


MYCOBACTERIUM LEPRAE

Disusun oleh :
Danny Hermawan
030.12.063

Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Kardinah Tegal
Periode 1 Oktober – 3 November 2018

Menyetujui,

Tegal, Oktober 2018


Pembimbing

Dr. Dodi Suhartono, Sp.KK, MH


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul
“Manfaat Pemeriksaan Serologi Pada Kecurigaan Infeksi Mycobacterium
leprae”. Pembahasan referat ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
pelaksanaan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD
Kardinah, Kota Tegal periode 1 Oktober – 3 November 2018.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dodi Suhartono, Sp.KK,
MH selaku pembimbing dalam penyusunan tugas ini serta seluruh pihak yang
telah membantu, termasuk teman-teman yang telah memberi banyak saran untuk
penulisan makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahawa masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk
kedepannya. Akhir kata penulis berharap penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman sejawat maupun seluruh pihak yang membacanya.
Terimakasih.

Tegal, Oktober 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penyakit kusta adalah penyakit menahun yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang bersifat intra selular obligat. menyerang susunan
saraf tepi pada awalnya, lalu menyerang kulit, dan mukosa saluran napas bagian
atas, kecuali susunan saraf pusat.1,2
Pengendalian penyakit dengan multi-drug therapy (MDT) mampu
menurunkan angka prevalensi, namun insidens penyakit cenderung konstan.3
Pada awal tahun 2009, tercatat jumlah kasus kusta sebesar 213.036 kasus di
seluruh dunia dan selama tahun 2008 tercatat 249.007 kasus baru dari 121
negara.4 Hal ini menunjukkan program eliminasi kusta yang dicanangkan tahun
1991, yaitu mengurangi prevalensi kusta di bawah satu kasus per 10.000 populasi
pada tahun 2000, belum tercapai.5
Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan ditemukannya satu tanda utama atau
cardinal sign. Tanda utama tersebut berupa kelainan kulit hipopigmentasi atau
eritematus dengan gangguan estesi, kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf,
hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam (BTA).4
Pada keadaan tanda klinik dan bakteriologik tidak jelas (stadium Subklinis),
terkadang para dokter sangat sulit dalam menegakkan diagnosis penyakit kusta
pada penderita, dikarenakan stadium subklinis ini, secara fisik tidak ditemukan
kelainan maupun tanda khas yang spesifik dari penyakit tersebut, namun didalam
tubuh penderta sebenarnya terdapat titer antibodi kuman M.Leprae yang tinggi.
Pemeriksaan serologik dapat membantu para dokter dalam menegakkan
diagnosis, karena tingginya titer antibodi berkaitan dengan banyaknya kuman
(antigen load).2,6 sehingga keadaan ini menunjang penegakkan diagnosis kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi(6)
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

2.2 Epidemiologi (6)(10)


Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar ke seluruh dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk
Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-orang cina. Distribusi penyakit ini
tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia. Belum ditemukan medium artificial,
mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. Leprae . Sebagai sumber infeksi
hanyalah manusia meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar
manusia. Penderita yang mengandng M. Leprae sampai 103 per gram jaringan,
penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibanding dengan penderita
yang mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di folikel
rambut, kelenjar keringat, air susu dan jarang di dapat di dalam urin. Sputum
dapat mengandung banyak M.leprae yang berasal dari mukosa traktus
respiratorius bagian atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi
pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang
dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat
pada kelompok umur antara 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin ,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap
infeksi M. Leprae yang mengakibatkan varian gambaran klinis (spektrum dan
lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik
yang berbeda.
Menurut laporan resmi yang diterima dari 115 negara dan wilayah,
prevalensi terdaftar secara global pada akhir kuartal pertama tahun 2013 mencapai
189.018 kasus, sementara jumlah kasus baru terdeteksi selama 2012 adalah
232.857 (tidak termasuk jumlah kecil kasus di Eropa). Meskipun prevalensi
terdaftar adalah indikator yang berguna untuk mencapai tonggak eliminasi kusta,
bukan merupakan indikator yang memadai untuk mencerminkan perubahan dalam
tren epidemiologi kusta. (WHO 2013)
Sedangkan di Indonesia, pada tahun 2009 tercatat 17.260 kasus baru kusta
dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 21.026 orang dengan angka prevalensi: 0,91
per 10.000 penduduk. Sedangkan tahun 2010, jumlah kasus baru tercatat 10.706
dan jumlah kasus terdaftar sebanyak 20.329 orang dengan prevalensi: 0.86 per
10.000 penduduk. (Depkes, 2012) Selain itu indonesia juga mampu
mengeliminasikan kusta pada tahun 2000 di 19 propinsi dan sekitar 300 kab/kota.
Eliminasi yaitu menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per 10.000
penduduk. Lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dan lebih 1 juta
penderita diselamatkan dari kecacatan. (DEPKES RI, 2011) Prevalensi juga
menurun sebesar 81% dari 107.271 penderita pada tahun 1990 menjadi 21.026
penderita tahun 2009.(WHO 2006).
Provinsi Jawa Tengah sudah eliminasi kusta (EKT) sejak tahun 1994,
tetapi terjadi peningkatan jumlah penderita baru dan terdaftar dari tahun ke-tahun
sampai dengan tahun 2005. Transmisi penularan cukup tinggi yaitu 12,7%
demikian juga angka cacat yaitu 11,4% (DINKES JATENG, 2006).
Dari data rekam medis, insidens penyakit kusta di RSU Kardinah periode
November 2012 sampai dengan Oktober 2013 tercatat sebanyak 53 kasus baru
dengan 33 kasus pada jenis kelamin laki-laki dan 20 kasus pada jenis kelamin
wanita.

2.3 Etiologi(6)(9)
Kuman penyebab adalah Myocobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dibiakkan dalam media artifisial . M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-
8Um x 0.5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.

Gambar : Mycobacterium Leprae pada pewarnaan Ziehl-Neelsen

2.4 Patogenesis(6)(7)(8)
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan
melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan
klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M.
Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pengaruh M. Leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang.
Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung
kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak
gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa.
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari
otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah
melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada
SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod yang
berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel. Apabila SIS rendah
atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow
atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama
kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah
satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang
diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui
beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95%
individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau
minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal,
maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel
imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan
kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan
plak. Kelainan saraf dapat simetris.
Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua
kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila
infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid
akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya
menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering
dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris.

Gambar : Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik

Gambar : Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik


Sel Schwann (SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae
sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat.
Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi
aksonal. Telah ditunjukkan bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan
spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas
utama pada permukaan M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan
kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae- SC reseptor
yang ditarget, iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam
degenerasi saraf awal. Mycobacterium leprae induced demyelination adalah hasil
dari ligasi bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi,
dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.

Gambar : Patofisiologi Kusta


2.5 Klasifikasi(6)(8)(10)
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe


tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa
100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran,
berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran
50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah
tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL. Zona
spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah.

Klasifikasi Zona Spektrum Kusta


Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi

Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan


pausibasilar (PB). Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+, sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.
Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe I, BT dan TT menurut klasifikasi Ridley-
Jopling. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL
atau apapun klasifikasi klinisnya degan BTA positif , harus diobati dengan
rejimen MDT-MB.
Kusta dapat diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinis dan hasil kulit
hapusan. Dalam klasifikasi berdasarkan apusan kulit, pasien menunjukkan apusan
negatif yang dikelompokkan sebagai pausibasilar kusta (PB), sementara mereka
yang menunjukkan apusan positif di situs manapun dikelompokkan sebagai
memiliki kusta multibasiler (MB). Namun, dalam praktiknya, sebagian besar
program menggunakan kriteria klinis untuk mengklasifikasikan dan menentukan
rejimen pengobatan yang tepat untuk setiap pasien, terutama mengingat tidak-
tersedianya layanan apusan kulit. Sistem klasifikasi klinis untuk tujuan
pengobatan meliputi penggunaan jumlah lesi kulit dan saraf yang terlibat sebagai
dasar untuk pengelompokan pasien kusta multibasiler ke (MB) dan pausibasilar
(PB) kusta.
PB MB
Lesi kulit ( makula - 1-5 lesi - >5 lesi
datar, papul yang - Hipopigmentasi/ eritema - Distribusi yang simetris
meninggi, nodus) - Distribusi yang tidak - Hilangnya sensasi
simetris kurang jelas
- Hilangnya sensasi yang
jelas
Kerusakan saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf
( menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Pemeriksaan BTA - BTA - - BTA +
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)
2.6. Gambaran Klinis(6)(11)
2.6.1 Gejala Klinis
Masa inkubasinya 40 hari– 40 tahun (rata-rata 3 – 5 tahun). Onset
terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem
saraf perifer dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat
adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa
makula dan bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan
kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan
kaki. Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi
erupsi ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama
kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama
dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau
terbakar pada ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat
terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping
hidung, daun telinga, dan lutut. Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1)
pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior,
radial kutaneus, (2) Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus
trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik,
serta kontraktur (4) kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral
distal symmethric anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan
raba).
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya
berbentuk makula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip
penyakit lain, ada tidaknya anestesi sangat membantu penentuan diagnosis,
meskipun tidak selalu jelas. Hal ini mudah dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan
kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin
dengan menggunakan 2 tabung reaksi. Dehidrasi diperhatikan di daerah lesi yang
dapat jelas dan dapat pula tidak, dipertegas dengan menggunakan pensil tinta
(tanda Gunawan). Cara mengoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal.
Diperhatikan juga ada atau tidak alopesia di daerah lesi.
Pada pemeriksaan saraf perifer diperhatikan apakah ada pembesaran,
konsistensi, dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf superficial yang dapat dan
perlu diperiksa yaitu, N. Fasialis, N. Arikulus magnus, N. Ulnaris, N. Medianus,
N. Radialis, N. Tibialis posterior dan N Poplitea lateralis. Bagi tipe lepromataso,
kelainan saraf biasanya bilateral dan menyeluruh sedangkan bagi tipe tuberkuloid,
kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikut tempat lesinya.
Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada,
sudah cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni :
a) Lesi kulit yang anestesi ,
b) Penebalan saraf perifer,
c) Ditemukannya M. Leprae sebagai bakteriologis positif.

2.6.2 Pemeriksaan fisik


1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit
maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak,
dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing.
Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai
penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda
terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak
dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit
di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan
asimetris.
Gambar : Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Gambar :Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy

Gambar :Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit


dengan papul satelit

2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri
dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang
khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
Gambar : Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy

3. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi
lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat
predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan
pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf
menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.
Gambar: Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy

Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema
dan nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki.
Pada reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses
atau ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati sensoris,
ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi Charcot,
2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan deformitas
saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus, insensitivitas
kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan katarak.
Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan neuropati
sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi hipogonadisme pada
pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/ ginjal.
Tabel : Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)
SIFAT LL BL BB
Lesi
Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome
Difus, Papul, Nodul Papul Shaped (Kubah),
Tidak terhitung, Punched Out
Jumlah praktis tidak ada Sukar dihitung, Dapat dihitung,
kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas ada
sehat Asimetris
Distribusi Simetris Hampir simetris Agak Kasar/berkilat
Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Agak Jelas
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Lebih Jelas
Anestesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak Banyak
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
hidung
Tes Negatif Negatif Biasanya negative
Lepromin

Tabel Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)


SIFAT TT BT I
Lesi
Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat

Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa, atau Satu atau beberapa


satu dengan satelit
Distribusi asimetris Masih asimetris variasi
Permukaan kering bersisik Kering bersisik halus agak berkilat
Batas Jelas Jelas jelas/tidak
Anestesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas tidak ada sampai
tidak jelas
BTA
Lesi kulit Negatif Negatif/positif 1 Biasanya negatif
Sekret Banyak (ada globus) Biasanya Negatif Negatif
hidung
Tes Positif kuat (3+) Positif lemah Positi lemah sampai
Lepromin negatif

2.7. Pemeriksaan Penunjang


Ada beberapa pemeriksaan penunjang laboratorium dalam menegakkan
diagnosis penyakit kusta, diantaranya : pemeriksaan bakterioskopik, histopatplogi
dan pemeriksaan serologi, namun saat ini pemeriksaan serologi lebih banyak
digunakan, terkait banyak manfaat dan keuntungan dalam menegakkan diagnosis
kusta.

2.7.1. Pemeriksaan Serologi


Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak
dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes
serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi Mycobacterium leprae
sebelum timbul manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk
menentukan adanya antibodi spesifik terhadap Mycobacterium leprae di dalam
darah. Dengan diagnosis yang tepat, apalagi jika dilakukan sebelum timbul
manifestasi klinis lepra diharapkan dapat mencegah penularan penyakit sedini
mungkin.
Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak
manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik.
Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang
meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang
diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila ditemukan
antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka bisa dicurigai orang
tersebut telah terinfeksi oleh Mycobacterium leprae. Pada kusta subklinis
seseorang tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya
ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi.
Pemeriksaan serologis kusta berdasarkan atas antibodi pada tubuh seorang
yang terinfeksi oleh M. leprae. Jenis antibodi yang terbentuk dapat berbagai
macam sesuai dengan antigennya, dapat bersifat spesifik dan nonspesifik.
Antibodi yang bersifat spesifik untuk M. leprae adalah antibodi anti PGL-1 dan
antibodi antiprotein 16kD, 35kD. Antibodi nonspesifik antara lain antibodi anti
lipoarabinomannan (LAM), yang juga dihasilkan oleh My- cobacterium
tuberculosis.14 Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan,
antara lain :

1. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)


Uji MLPA adalah pemeriksaan aglutinasi partikel gelatin menggunakan
partikel gelatin dengan trisakarida. Pemeriksaan MLPA, menggunakan serum
pasien, memerlukan waktu 2 jam bila inkubasi dilakukan pada suhu ruangan atau
1 jam bila diinkubasi pada suhu 37°C setelah pencampuran partikel gela-tin dan
serum pasien. Uji MLPA merupakan uji yang mudah digunakan khususnya di
daerah endemis, dengan sensitivitas dan spesifisitas setara dengan uji ELISA.15
Deteksi dini penyakit kusta stadium subklinis dapat ditunjang oleh uji
MLPA, melalui penentuan titer antibodi IgM anti-PGL-1 M. leprae. Titer antibodi
IgG anti-PGL-1 M. leprae tidak dapat dideteksi oleh uji ini karena rendahnya
kemampuan aglutinasi antibodi IgG anti-PGL-1.15
Uji MLPA bersifat kualitatif, namun dapat dilanjutkan sampai pada
penentuan titer antibodi (semi-kuantitatif). Pada uji kualitatif, hasil positif bila
terjadi aglutinasi sampai pada sumur ketiga. Pada uji semi-kuantitatif, hasil positif
dinyatakan dengan titer 1:32, 1:64, 1:128, dan seterusnya, yang menyatakan
derajat kepositivan pada pengenceran serum. Semakin besar pengenceran berarti
semakin tinggi kadar antibodi tersebut dalam darah.14

2. Enzyme-linked immunosorbent assay (Uji ELISA)


Uji ELISA adalah uji laboratoris yang memerlukan peralatan khusus serta
ketrampilan tinggi.14 Uji ELISA merupakan metode kuantifikasi antigen di atas
permukaan solid menggunakan antibodi spesifik dengan pasangan enzim
kovalennya. Jumlah antibodi yang berikatan dengan anti- gen sebanding dengan
jumlah antigen dan ditentukan oleh pengukuran spektrofotometri terhadap
perubahan substrat, yaitu dari tidak berwarna menjadi produk berwarna oleh
enzim pasangannya.16 Uji ELISA merupakan pemeriksaan dengan sensitivitas
(>99%) dan spesifisitas (>99%) yang tinggi.17 Berbagai keuntungan uji ELISA
meliputi kemudahan penggunaan dan pembacaan, cepat, sensitif, reagen mudah
diperoleh, dapat digunakan untuk uji berbagai antibodi karena dapat
menggunakan berbagai antigen, dan aman.18
Pada penyakit kusta, uji ELISA dapat digunakan untuk mengukur titer
antibodi terhadap M. leprae, misalnya antibodi anti PGL-1 dan antibodi anti
protein 35kD. Kelas antibodi yang diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti
PGL-1 dan IgG anti PGL-1. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih
dominan dibandingkan dengan IgG, sedangkan antibodi terhadap protein
biasanya didominasi oleh IgG. Untuk menentukan nilai ambang batas (cut off
point) hasil uji ELISA ini, biasanya ditentukan setelah mengetahui kesetaraan
individu yang menderita kusta dan yang tidak. Namun untuk daerah endemis
kusta, banyak orang sehat juga menunjukkan titer antibodi anti PGL-1 yang
cukup tinggi, sehingga penentuan nilai ambang menjadi bervariasi di tempat
yang berbeda. Di daerah Jawa Timur, nilai ambang untuk antibodi IgM anti
PGL-1 sekitar 600u/mL atau setara titer 1/128 pada uji MLPA. Bila digunakan
untuk memantau hasil pengobatan, dapat dilakukan secara berkala setiap tiga
bulan.14

3. Mycobacterium leprae dipstick (Uji ML dipstick)


Uji ML dipstick merupakan pemeriksaan yang mudah untuk mendeteksi
antibodi IgM PGL-1 M. leprae dengan sensitivitas yang hampir sama dengan uji
ELISA, namun tidak memerlukan berbagai peralatan serta ketrampilan khusus.19
Reagen yang digunakan pada uji ML dipstick stabil dan tidak memerlukan alat
pendingin.20 Hasil uji ML disptick terdiri atas dua pita horizontal. Satu pita di
bawah mengandung epitop imunodominan M. leprae yang spesifik, yaitu PGL-1
dan pita kedua berada di atas sebagai kontrol. Pengukuran ini menunjukkan ikatan
antara antibodi IgM M. leprae yang spesifik terhadap antigen M. leprae. Ikatan
antibodi IgM dapat dideteksi secara spesifik dengan anti human dye conjugated.
Dipstick yang mengandung anti- gen dicelupkan dalam serum yang diencerkan
1:50 dan dicampur dengan reagen, selanjutnya diinkubasi selama 3 jam.
Pewarnaan pada pita antigen menunjukkan antibodi IgM spesifik terhadap M.
leprae. Pita kontrol digunakan untuk melihat integritas reagen. Walaupun secara
teori uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi kusta stadium subklinis, namun
masih perlu penelitian lebih lanjut.14 Data mengenai sensitivitas dan spesifisitas
uji ini pada penyakit kusta sta- dium subklinis belum pernah dilaporkan. Sekula
dkk. menyatakan bahwa kombinasi uji ini dengan perhitungan jumlah lesi klinis
dapat meningkatkan nilai sensitivitas dari 85% menjadi 94%.20

4. Fluorescent labelled antibody absorption (Uji FLA-ABS)


Uji FLA-ABS merupakan uji imunofluoresens tidak langsung menggunakan
antibodi anti-human gamma globu- lin fluorecent dan serum pasien setelah
adsorpsi dengan kardiolipin, lecithin, BCG, dan Mycobacterium vaccae.21 Uji
FLA-ABS dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit kusta stadium subklinis,
dengan sensitivitas 81.8%.22

5. Radioimmunoassay (Uji RIA)


Uji RIA merupakan pemeriksaan yang sangat sensitif dan dapat digunakan
untuk menilai secara kuantitas berbagai substansi yang dapat ditandai dengan
isotop radioaktif.17 Pada uji ini digunakan antigen 7 yang merupakan salah satu
komponen antigenik M. leprae, serta dapat bereaksi silang dengan antigen BCG
60. Percobaan pada armadilo menunjukkan bahwa titer antibodi berkolerasi
dengan gejala klinis penyakit kusta. Spesifisitas uji ini rendah sehingga
penggunaannya sangat terbatas.23

6. Uji inhibisi ELISA atau uji inhibisi monoklonal (serum antibody


competition test/SACT atau monoclonal anti- body competition test
/MACT)
Uji ini merupakan uji inhibisi kompetitif oleh antibodi serum manusia yang
berikatan dengan antibodi monoklonal terhadap M. leprae yang ditandai dengan
enzim. Antigen yang dapat dikenali pada uji ini adalah protein 36kD. Anti- gen ini
merupakan bagian dari membran sel M. leprae dan diduga sebagai antigen yang
imunodominan.24
Di samping itu, uji inhibisi ELISA /SACT dapat juga mengidentifikasi epitop
spesifik antigen 35kD M. leprae.Penilaian sensitivitas dan spesifisitasnya pada
kasus kusta stadium subklinis belum dilaporkan. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi hampir 100% pasien kusta tipe borderline lepromatous. Namun, lebih
dari 50% pasien kusta tipe tuberkuloid/ borderline tuberculoid menunjukkan hasil
negatif.23

7. Mycobacterium leprae lateral flow assay (Uji ML Flow)


Uji ML Flow adalah pemeriksaan yang mudah untuk mendeteksi antibodi
IgM anti-PGL-1 M. leprae.10 Uji ML flow merupakan pemeriksaan
imunokromatografi yang terdiri atas strip nitroselulosa. Pada salah satu ujung strip
terdapat bagian yang terbuat dari serat wool mengandung antibodi anti human
IgM yang dilabel dengan koloid emas kering, dan di sisi lainnya terdiri atas
bagian yang berfungsi untuk absorpsi.24 Bahan yang digunakan sebagai sampel
adalah darah atau serum. Apabila ditemukan antibodi IgM spesifik, maka akan
terjadi ikatan dan tampak garis kemerahan.25 Penilaian sensitivitas dan spesifisitas
uji ini pada penyakit kusta stadium subklinis belum pernah dilaporkan. Namun,
terdapat laporan bahwa bila uji ML flow digunakan untuk deteksi dini kusta tipe
MB disertai gejala klinis, pemeriksaan BTA, serta histopatologi, menunjukkan
sensitivitas 97.4%.26
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit kusta adalah penyakit menahun yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium leprae yang bersifat intra selular obligat. menyerang susunan
saraf tepi pada awalnya, lalu menyerang kulit, dan mukosa saluran napas bagian
atas, kecuali susunan saraf pusat.
Diagnosis kusta ditegakkan berdasarkan ditemukannya satu tanda utama atau
cardinal sign. Tanda utama tersebut berupa kelainan kulit hipopigmentasi atau
eritematus dengan gangguan estesi, kelainan saraf tepi berupa penebalan saraf,
hapusan kulit positif untuk kuman tahan asam (BTA).
Penyakit kusta sangat sulit dalam penegakkan diagnosis klinis secara pastinya
dikarenakan penyakit kusta memiliki klinis yang bervariasi terutama pada
keadaan tanda klinik dan bakteriologik yang tidak jelas, serta dalam stadium
subklinis, dimana secara fisik tidak ditemukan kelainan maupun tanda khas yang
spesifik dari penyakit tersebut, namun didalam tubuh penderta sebenarnya
terdapat titer antibodi kuman M.Leprae yang tinggi.
Pemeriksaan serologik dapat membantu para dokter dalam menegakkan
diagnosis, karena tingginya titer antibodi berkaitan dengan banyaknya kuman
(antigen load).2,6 sehingga keadaan ini menunjang penegakkan diagnosis kusta.
Pemeriksaan serologi memiliki tujuan untuk penunjang diagnostik klinis penyakit
kusta, dan untuk diagnosis infeksi Mycobacterium leprae sebelum timbul
manifestasi klinis. Dan memiliki manfaat khususnya dalam segi seroepidemiologi
kusta di daerah endemic serta membantu diagnosis kusta pada keadaan yang
meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rea TH, Modlin RL. Leprosy, In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K Austen
KF, Goldsmith LA, Kalz SH. editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; Medical Publising Division,
USA, 2008. p. 1786–96.
2. Kaufmann SHE. Cell-mediated immunity, In: Hastings RC, editor, leprosy
2nd ed., New York: Churchill Livingstone. 1994. p. 157–68.
3. Goulart IM, Goulart LR. Leprosy: diagnostic and control challenges for
a worldwide disease. Arch Dermatol Res. 2008;300:269-90.
4. Global leprosy situation, 2009 . Wkly Epidemiol Rec. 2009;84:333-
40.
5. WHO World Health Assembly Resolution to Eliminate Leprosy. WHO.
1991
6. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 5 Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88
7. Sudigdo, Adi. Imunologi Penyakit Kusta dalam Imunodermatologi Bagi
Pemula. 2000. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. h 62-
67
8. Smith D.S. Leprosy. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/220455-overview#a0104. Accessed on
17th November 2013.
9. Prakash Chaitra dan Bhat R.M. Leprosy: An overview of pathophysiology.
Available at http://www.hindawi.com/journals/ipid/2012/181089/. Accessed
on 16th November 2013.
10. WHO. Leprosy elimination : classification of leprosy. Available at
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html. Accessed on 17th
November 2013.
11. Desimone E.M et al . Leprosy : An new look at old disease. Available at
http://legacy.uspharmacist.com/index.asp?show=article&page=8_1649.htm.
Accessed on 16th November 2013.
12. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
13. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P
665-67.
14. Agusni I, Menaldi SL. Beberapa Prosedur Diagnostik Baru Pada Penyakit
Kusta. Dalam: Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H,
penyunting. Kusta. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003:59-65.
15. Izumi S, Fujiwara T, Ikeda M, Nishimura Y, Sugiyama K, Kawatsu K.
Novel gelatin particle agglutination test for serodiagnosis of leprosy in
the field. J Clin Microbiol. 1990;28:525-9.
16. Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology : functions and disorders of
the immune system. Edisi ke-3. Philadelphia, Pa. ; London: Saunders;
2011.
17. Hyde RM. Immunology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2000.
18. Crowther JR. The ELISA guidebook. Totowa, NJ: Humana Press; 2001.
19. Buhrer-Sekula S, Smits HL, Gussenhoven GC, van Ingen CW, Klatser PR.
A simple dipstick assay for the detection of antibodies to phenolic
glycolipid-I of Mycobacterium leprae. Am J Trop Med Hyg. 1998;58:133
20. Buhrer-Sekula S, Sarno E, Oskam L, Koop S, Wichers I, Nery JAC, dkk.
The use of ML dipstick as a tool to classify leprosy patients. Int J Lepr
Other Mycobact Dis. 2000:58-68.
21. Dayal R, Bharadwaj VP. Prevention and early detection of leprosy in
children. J Trop Pediatr. 1995;41:132-8.
22. Abe M, Izumi S, Saito T, Mathur SK. Early serodiagnosis of leprosy by
indirect immunofluorescence. Lepr India. 1976;48:272-6.
23. .Difficulties in the early serodiagnosis of leprosy. ICMR bulletin.
2001;31.
24. Klatser PR, De Wit MY, Kolk AH. An ELISA-inhibition test using
monoclonal antibody for the serology of leprosy. Clin Exp Immunol.
1985;62:468-73.
25. Kampirapap K. Assessment of subclinical leprosy infection through the
measurement of PGL-1 antibody levels in residents of a former leprosy
colony in Thailand. Lepr Rev. 2008;79:315-9.
26. Buhrer-Sekula S, Visschedijk J, Grossi MA, Dhakal KP, Namadi AU,
Klaster PR, dkk. The ML Flow test as a point of care test for leprosy
control programmes: potential effects on classification of leprosy
patients. Lepr Rev. 2007;78:70-9.

Anda mungkin juga menyukai