Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur mikroba patogen,


misalnya bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit yang dapat menyebabkan infeksi pada
manusia. Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan
yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu
dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik
mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan
penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk
pejamu.

Infeksi yang terjadi pada manusia normal umumnya singkat dan jarang
meninggalkan kerusakan permanen. Hal ini disebabkan tubuh manusia memiliki suatu
sistem yaitu sistem imun yang melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen. Sistem ini
mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, melindungi tubuh dari
infeksi bakteri, virus, fungus, protozoa dan parasit serta menghancurkan zat-zat asing lain
dan memusnahkan mereka dari sel yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi
seperti biasa. Sistem imun yang sehat adalah jika dalam tubuh bisa membedakan antara
diri sendiri dan benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Biasanya ketika ada benda asing
yang memicu respons imun masuk ke dalam tubuh (antigen) dikenali maka terjadilah
proses pertahanan diri.

Sistem imun dapat dibagi menjadi menjadi dua yaitu sistem imun non-spesifik dan
sistem imun spesifik. Mekanisme imunitas spesifik timbul atau bekerja lebih lambat
dibanding imunitas non spesifik. Pembagian sistem imun dalam sistem imun spesifik dan
non-spesifik hanya dimaksudkan untuk mempermudah pengertian saja. Sebenarnya antara
kedua sistem imun tersebut terjadi kerja sama yang erat, yang satu tidak dapat dipisahkan
dari yang lain. Pada makalah ini akan dijelaskan tentang sistem imun spesifik dan sistem
imun non-spesifik, pembagian serta mekanisme kerja masing-masing secara ringkas.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Imunitas

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Sementara sistem


imun itu sendiri adalah sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi. Reaksi yang dikoordinasi sistem imun tersebut terhadap mikroba disebut respons
imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya
yang ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Bratawidjaja dan Rengganis,
2009).

Imunitas diartikan sebagai semua mekanisme yang membantu makhluk hidup


untuk melindungi dirinya dari serangan mikroorganisme yang patogen. Perlindugan
tersebut termasuk pencegahan dari masukknya mikroorganisme patogen dan penghancuran
dari mikroorganisme patogen tersebut ketika sudah masuk ke dalam tubuh dengan atau
tanpa kerusakan pada jaringan sendiri (Hanri, 2009).

Bila sistem imun terpapar dengan zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis
respon imun yang akan berperan yaitu respon imun non spesifik dan respon imun spesifik
(Henri, 2009).

2.2 Pembagiaan Sistem Imun

Secara garis besar, sistem pertahanan tubuh dibedakan atas sistem pertahanan
tubuh nonspesifik dan spesifik (GAMBAR 2.1) . Sistem pertahanan tubuh nonspesifik tidak
membedakan mikroorganisme patogen satu dengan lainnya. Sistem ini merupakan

2
pertahanan pertama terhadap infeksi. Adapun sistem pertahanan tubuh spesifik bekerja
hanya jika patogen tertentu memasuki tubuh dan telah melewati sistem pertahanan tubuh
nonspesifik internal.(GAMBAR 2.2)

Gambar 2.1 Gambaran umum system imun

Gambar 2.2 Perbedaan fungsi system imun non spesifik dan spesifik

2.2.1 Sistem Imun Non-Spesifik (Innate Imunity)

Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam


menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena dapat memberikan respon

3
langsung terhadap antigen. Sistem tersebut disebut non-spesifik karena tidak ditujukan
terhadap mikroorganisme tertentu. (Bratawidjaja, 2009).

Komponen-kompenen sistem imun non-spesifik terdiri atas:

A. Pertahanan fisik/mekanis

Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia saluran
napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam
tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh
asap rokok akan meninggikan risiko infeksi (Baratawidjaja, 2009).

Menurut Baratawidjaja dan Rengganis (2009), mekanisme imunitas non-spesifik


terhadap bakteri pada tingkat sawar fisik seperti kulit atau permukaan mukosa : Bakteri
yang bersifat simbiotik atau komensal yang ditemukan pada kulit menempati daerah
terbatas pada kulit dan menggunakan hanya sedikit nutrien, sehingga kolonisasi oleh
mikroorganisme patogen sulit terjadi.

Kulit merupakan sawar fisik efektif dan pertumbuhan bakteri dihambat sehingga
agen patogen yang menempel akan dihambat oleh pH rendah dari asam laktat yang
terkandung dalam sebum yang dilepas kelenjar keringat. Sekret dipermukaan mukosa
mengandung enzim destruktif seperti lisozim yang menghancurkan dinding sel bakteri.

Saluran napas dilindungi oleh gerakan mukosiliar sehingga lapisa mukosa secara
terus menerus digerakkan menuju arah nasofaring. Bakteri ditangkap oleh mukus
sehingga dapat disingkirkan dari saluran napas. Sekresi mukosa saluran napas dan
saluran cerna mengandung peptida antimikrobial yang dapat memusnahkan mikroba
patogen. Mikroba patogen yang berhasil menembus sawar fisik dan masuk ke jaringan
dibawahnya dapat dimusnahkan dengan bantuan komplemen dan dicerna oleh fagosit.

4
B. Pertahanan biokimiawi

Pertahanan biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung, enzim


proteolitik dalam usus, serta lisozim dalam keringat, air mata, dan air susu. Lisozim
dalam keringat, ludah, air mata dan air susu ibu, melindungi tubuh terhadap berbagai
kuman postif-Gram oleh karena dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan dinding
bakteri. Air susu ibu juga mengandung laktooksidase dan asam neuraminik yang
mempunyai sifat antibakterial terhafap E.koli dan stafilokokus (Baratawidjaja, 2009).

C. Pertahanan humoral
1. Komplemen

Sistem komplemen tersusun lebih dari 20 protein plasma. Sistem ini


mempunyai fungsi antimikroba non-spesifik dan merupakan sistem aplikasi yang
efektif untuk memperkuat mekanisme pertahanan non-spesifik dan spesifik
(Wahab, 2002). Berbagai bahan seperti antigen dan kompleks imun dapat
mengaktivsi komplemen sehingga menghasilkan berbagai mediator yang
mempunyai sifat biologi yang aktif, yang menyebabkan lisis bakteri atau sel,
memproduksi mediator pro-inflamasi yang dapat memperkuat proses dan
solubilisasi kompleks antigen-antibodi. Komplemen memiliki 3 jalur, yaitu jalur
klasik, alternatif dan membrane attack pathway.

5
2. Interferon

Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi makrofag yang


diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas
sebagai respons terhadap infeksi virus. IFN mempunya sifat antivirus dan dapat
menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap
virus. Di samping itu,IFN juga adapat mengaktifkan sel NK. Sel yang diinfeksi
virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya yang
akan dikenal dan dihancurkan sel NK. Dengan demikian penyebaran virus dapat
dicegah (Baratawidjaja, 2009).

3. C-Reactive Protein

CRP merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang
kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons imunitas non-
spesifik. CRP mengikat berbagai mikroorganisme yang membentuk kompleks dam
mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP berguna untuk menilai
aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100x atau lebih dan berperan
pada imunitas non-spesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai
molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur
dan dapat mengaktifkan komplemen (jalur klasik). CRP juga mengikat protein C
dari pneumokok dan berupa opsonin. Peningkatan sintesis CRP akan
meningkatkam viskositas plasma sehingga laju endap darah juga akan meningkat.

6
Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukan infeksi yang persisten (Baratawidjaja,
2009).

D. Pertahanan selular
1. Fagosit

Sel utama yang berperan dalam pertahanan non-pesifik adalah sel


mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit.
Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap antigen, mengolah dan
selanjutnya mempresentasikannya kepada sel T, yang dikenal sebagai sel penyaji
atau APC. Kedua sel tersebut berasal dari sel asal hemopoietik. Granulosit hidup
pendek, mengandung granul yang berisikan enzim hidrolitik. Beberapa granul
berisikan pula laktoferin yang bersifat bakterisidal (Baratawidjaja, 2009).

2. Makrofag

Monosit ditemukan dalam sirkulasi, tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit
dibanding neutrofil. Monosit bermigrasi ke jaringan dan di sana berdiferensiasi

7
menjadi makrofag yang seterusnya hidup dalam jaringan sebagai makrofag
residen. Sel kuppfer adalah makrofag dalam hati, histiosit dalam jaringan ikat,
makrofag alveolar di paru, sel glia di otak, dan sel langerhans di kulit.

Makrofag dapat hidup lama, mempunyai beberapa granul dan melepas


berbagai bahan, antara lain lisozim, komplemen, interferon dan sitokin yang
semuanya memberikan kontribusi dalam pertahanan nonspesifik dan spesifik
(Mardjono dan Shidarta, 2006).

3. Sel NK (Natural Killer)

Jumlah sel NK sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari
limfosit dalam jaringan. Sel tersebut berfungsi dalam imunitas nonspesifik
terhadap virus dan sel tumor. Secara morfologis sel NK merupakan limfosit dengan
granul besar. Ciri-cirinya yaitu memiliki banyak sekali sitoplasma (limfosit T dan
B hanya sedikit), granul sitoplasma azurofilik, pseudopodia dan nukleus eksentris
(Baratawidjaja, 2009).

Pertemuan antara hospes dengan benda asing menimbulkan respon elemen


fagosit ke daerah tempat benda asing tersebut masuk. Hal ini dapat terjadi sebagai
bagian dari respon inflamatoris.

4. Inflamasi

Setelah ancaman injuri jaringan, terjadi perluasan seluler dan sistematik,


dimana hospes mencaba unutuk menormalkan dan memelihara homeostatis dari
lingkungan yang merugikan. Bersamaan dengan respon inflamatoris timbul
beberapa kejadian sistematik yang melibatkan demam dan beberapa fenomena
hematologik. Respon demam ini diduga menggambarkan peningkatan aktifitas
metabolik setelah injuri. Mekanisme terjadinya demam diduga akibat lepasnya
pirogen endogen dari leukosit hospes. Kenaikan angka leukosit pada saat infeksi
bakteri atau ada injuri jaringan.

5. Fagositosis

Sekali begerak sel-sel fagositosis melakukan serangan pada sasarannya dengan


proses yang disebut fagositosis yaitu suatu upaya multiphase yang memerlukan
langkah-langkah sebagai berikut: pengenalan (recognition) dari benda yang akan

8
dicerna, gerakan ke arah obyek (kemotaksis), perlekatan, penelanan (ingestion)
intraseluler oleh mekanisme mikroba-mikroba. Banyak mikroorganisme
menghasilkan faktor kemotaksis yang menarik sel-sel fagositosit. Kerusakan
dalam kemotaksis mungkin menyebabkan kerentangan yang luar biasa terhadap
infeksi tertentu (Wahab, 2002).

2.2.2 Sistem Imun Spesifik (Aquired Immunity)

Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang


dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali terpajan dengan tubuh segera
dikenal oleh sistem imun spesifik. Pajanan tersebut menimbulkan sensitifitatasi, sehingga
antigen yang sama dan masuk tubuh untuk kedua kali akan dikenal lebih cepat dan
kemudian dihancurkan. Oleh karena itu, sistem tersebut disebut spesifik. Untuk
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat
bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Namun pada umumnya terjalin kerjasama
yang baik antara sistem imun nonspesifik dan spesifik seperti antara komplemen-fagosit-
antibodi dan antara makrofag dengan sel T (Baratawidjaja, 2009).

Sistem pertahanan spesifik terutama tergantung pada sel-sel limfoid. Ada dua
populasi utama sel limfoid, yaitu sel T dan sel B. Rasio sel T terhadap sel B sekitar 3 :
Limfosit berkembang pada organ limfoid primer, sel T berkembang di timus, sedangkan
sel B di hepar janin atau di sumsum tulang. Kedua jenis sel tersebut kemudian akan
bermigrasi ke jaringan limfoid sekunder, tempatnya merespon antigen (Wahab, 2002).

Sistem imun spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem seluler. Pada imunitas
humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba ekstraselular. Pada
imunitas seluler, sel T mengaktifkan makrofag sebagai efektor untuk menghancurkan
mikroba atau mengaktifkan sel CTC/Tc sebagai efektor yang menghancurkan sel terinfeksi
(Baratawidjaja, 2010).

A. Sistem Imun Spesifik Humoral

Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral. Sel B tersebut
berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas sel asal tersebut akan berdiferensiasi
menjadi sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang terletak dekat kloaka.

9
Bila sel B dirangsang oleh benda asing, maka sel tersebut akan berproliferasi dan
berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat antibodi. Antibodi yang
dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ini ialah untuk
pertahanan terhadap infeksi virus, bakteri (ekstraselular), dan dapat menetralkan
toksinnya. Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig)
yang terdiri atas IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin, dapat
mengaglutinasikan kuman/virus, menetralisir toksin dan virus, mengaktifkan
komplemen (jalur klasik) dan berperanan pada Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal tetapi juga
mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma, kanker, penolakan transplan,
sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada imunitas parasit. IgM
dibentuk terdahulu pada respons imun primer sehingga kadar IgM yang tinggi
menunjukkan adanya infeksi dini.

IgM merupakan aglutinator antigen serta aktivator komplemen (jalur klasik) yang
poten. IgA ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan kemih, air mata,
keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). IgA dan sIgA dapat
menetralisir toksin, virus, mengaglutinasikan kuman dan mengaktifkan komplemen
(jalur alternatif). IgE berperanan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit
hidatid, trikinosis. Peranan IgD belum banyak diketahui dan diduga mempunyai efek
antibodi pada alergi makanan dan autoantigen (Baratawidjaja, 2009).

Sel B mengenali epitop pada permukaan antigen dengan menggunakan molekul


antibodi. Jika dirangsang melalui kontak langsung, sel B berproliferasi, dan klon yang
dihasilkan dapat mengeluarkan antibodi yang spesifisitas adalah sama dengan reseptor
permukaan sel yang mengikat epitop tersebut. Tanggapan biasanya melibatkan klon
yang berbeda dari limfosit dan oleh karena itu disebut sebagai poliklonal. Untuk setiap
epitop terdapat beberapa klon limfosit yang berbeda dengan berbagai sel B reseptor,
yang masing-masing mengenali epitop dengan cara yang sedikit berbeda dan dengan
kekuatan mengikat yang berbeda pula (afinitas) (Delves and Ivan, 2000).

10
B. Sistem Imun Spesifik Seluler

Imunitas seluler ditengahi oleh sekelompok limfosit yang berdiferensiasi di bawah


pengaruh timus (Thymus), sehingga diberi nama sel T. Cabang efektor imunitas
spesifik ini dilaksanakan langsung oleh limfosit yang tersensitisasi spesifik atau oleh
produk-produk sel spesifik yang dibentuk pada interaksi antara imunogen dengan
limfosit-limfosit tersensitisasi spesifik. Produk-produk sel spesifikasi ini ialah
limfokin-limfokin termasuk penghambat migrasi (migration inhibition factor = MIF),
sitotoksin, interferon dan lain sebagainya yang menjadi efektor molekul-molekul dari
imunitas seluler (Delves and Ivan, 2000).

Sel T merupakan 65-80% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Kebanyakan sel T
mempunyai 3 glikoprotein permukaan yang dapat diketahui dengan antibodi
monoklonal T11, T1 dan T3 (singkatan T berasal dari Ortho yang membuat antibodi
tersebut) (Delves and Ivan, 2000).

Fungsi sel T umumnya ialah:

a. Membantu sel B dalam memproduksi antibodi


b. Mengenal dan menghancurkan sel yang diinfeksi virus
c. Mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
d. Mengontrol ambang dan kualitas sistem imun (Baratawidjaya, 2009).

11
Pada tubuh ditemui beberapa jenis sel T, yaitu T”helper” atau Th; T”inducer”,
T”delayed hypersensitivity” atau Td, T”cytotoxic” atau Tc dan T”supressor” atau Ts.
T”helper” atau Th membantu sel B dalam pembuatan “antibodi”. Untuk membuat
antibodi terhadap kebanyakan antigen, baik sel B maupun sel T harus mampu
mengenali kembali bagian-bagian tertentu dari antigennya. Th bekerja sama juga
dengan Tc dalam pengenalan kembali sel-sel yang dilanda infeksi viral dan jaringan
cangkokan alogenik. Th membuat dan melepaskan limfokin yang diperlukan untuk
menggalakkan makrofag dan tipe sel lainnya. T”inducer” adalah istilah yang
digunakan untuk Th yang sedang menggalakkan jenis sel T lainnya. T”delayed
hypersensitivity” atau Td adalah sel T yang bertanggungjawab atas pengarahan
makrofag dan sel-sel inflamasi lainnya ke tempat-tempat dimana terjadi reaksi
hipersensitivitas yang terlambat.

Mungkin sekali Td bukan suatu sub jenis sel T melainkan kelompok Th yang
sangat aktif. T”citotoxic” atau Tc adalah sel T yang bertugas memusnahkan sel atau
jaringan cangkokan alogenik dan sel-sel yang dilanda infeksi viral, yang dikenali
kembali dalam interaksi dengan berbagai antigen dalam MHC molekul pada
permukaaan sel tujuannya. T ”supressor” atau Ts mengatur kegiatan sel T lain dan sel
B. Sel tersebut dapat dikelompokkan dalam 2 golongan , yaitu Tc yang dapat menekan
aktivitas sel yang memiliki reseptor antigen spesifik atau yang non-spesifik (Black,
2002)

2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Respon Imun

Ada sejumlah faktor yang memodifikasi mekanisme imunitas tubuh yaitu faktor
intrinsik dan faktor ekstrinsik (Joseph, 1993; Subowo, 1993 ).

2.3.1 Faktor intrinsik

Faktor intrinsik merupakan faktor yang dapat mempengaruhi dan memodifikasi


respon imun, yang termasuk ke dalam faktor ini adalah: (Joseph, 1993; Subowo, 1993).

1. Faktor metabolik

Hormon tertentu ternyata dapat mempengaruhi respon imun tubuh. Misalnya pada
keadaan hipoadrenal dan hipotiroidisme akan mengakibatkan menurunnya daya tahan
terhadap infeksi. Demikian pula pada orang-orang yang mendapat pengobatan sediaan

12
steroid sangat mudah mendapatkan infeksi bakteri maupun virus. Steroid tersebut
mengakibatkan terhambatnya fagositosis, produksi antibodi dan menghambat proses
radang. Termasuk golongan hormon steroid yaitu hormon androgen, esterogen dan
progesteron diduga merupakan faktor pengubah terhadap respon imun. Terbukti
dengan adanya perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan wanita yang mengidap
penyakit imun tertentu.

2. Faktor anatomi

Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba biasanya terdapat


pada kulit dan selaput lendir yang melapisi permukaan luar dan dalam tubuh. Struktur
jaringan yang dimaksud bertindak sebagai imunitas alamiah dengan menyediakan
suatu rintangan fisik yang efektif. Adanya kerusakan pada permukaan kulit atau selaput
lendir akan mudah menyebabkan seseorang terkena penyakit.

3. Faktor umur

Perkembangan sistem imun seseorang dimulai sejak di dalam kandungan, maka


efektifitasnya dimulai dari keadaan lemah dan meningkat dengan bertambahnya umur.
Hal ini tidaklah berarti bahwa pada umur usia lanjut sistem imun akan bekerja secara
maksimal. Namun sebaliknya fungsi sistem imun pada usia lanjut akan menurun,
walaupun pada usia lanjut yang bersangkutan tidak mengalami gangguan sistem imun.

Hal ini disebabkan karena pengaruh kemunduran biologik secara umum, juga jelas
berkaitan dengan menyusutnya kelenjar tymus apabila umur makin lanjut. Keadaan
tersebut akan mengakibatkan perubahan-perubahan respon imun seluler dan humoral.
Maka di usia lanjut akan timbul berbagai kelainan yang melibatkan sistem imun akan
bertambah. Misalnya resiko menderita penyakit autoimun, penyakit keganasan dan
mudah terjangkit infeksi.

4. Faktor genetik

Semua respon imun ada dibawah pengendalian genetik. Pada manusia ada
perbedaan dalam kerentanan terhadap suatu penyakit. Salah satu perkembangan imun

13
yang menguntungkan adalah teridentifikasinya suatu kompleks genetik, ialah MHC
(major histocompatibility complex) yang mengendalikan respon imun maupun ekspresi
antigen histokompabilitas pada sel. Apabila terjadi kerusakan pada gen-gen MHC dari
manusia maka akan menyebabkan terjadinya suatu kerusakan pada sistem imunitas
seperti menurunnya kemampuan respon imun serta produksi dari antibodi, rentan
terhadap infeksi penyakit, rentan untuk terjadinya suatu penyakit autoimun dan alergi.

2.3.2 Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang dapat mempengaruhi dan memodifikasi


respon imun, yang termasuk ke dalam faktor ini adalah lingkungan. Peningkatan
jumlah penderita untuk penyakit infeksi pada masyarakat yang hidup di dalam
lingkungan yang miskin sudah luas diketahui. Hal ini terjadi mungkin karena lebih
banyak menghadapi bibit penyakit atau hilangnya daya tahan yang disebabkan
kurangnya asupan gizi yang disebabkan rendahnya taraf ekonomi. (Joseph, 1993;
Subowo, 1993 ).

Keadaan asupan gizi yang kurang akan berpengaruh terhadap status imun
seseorang. Manusia membutuhkan 6 komponen dasar bahan makanan yang
dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan tubuh. Keenam komponen
tersebut adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Gizi yang cukup
dan sesuai sangat penting untuk berfungsinya sistem imun secara normal. Kekurangan
gizi merupakan penyebab utama timbulnya imunodefisiensi.

2.4 Sel-Sel Yang Terlibat Dalam Sistem Imun

Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam
darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam jumlah yang besar
pada organ limfoid, dan dapat ditemukan pula dalam keadaan tersebar pada seluruh
jaringan tubuh kecuali pada central nervous system(CNS). Kemampuan sel-sel tersebut
untuk bersirkulasi dan mengadakan perpindahan antara darah, lymph, dan jaringan
merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya respon imun.

A. Progenitor myeloid

14
Progenitor myeloid adalah prekursor dari granulosit, makrofag, sel dendritik, dan
sel mast. Makrofag merupakan salah satu dari tipe sel fagosit dalam sistem imun yang
terdistribusi secara luas di dalam berbagai jaringan. Makrofag memiliki kemampuan
untuk bergerak keluar masuk suatu jaringan terutama ketika melaksanakan fungsinya
sebagai efektor pada imunitas innate. Makrofag merupakan bentuk perkembangan dari
monosit. Selama berada pada tahap monosit, sel ini berada dalam sirkulasi darah
namun begitu tumbuh menjadi makrofag segera melakukan migrasi ke dalam jaringan-
jaringan.

1. Sel Dendritik.

Sel dendritik (DC) mempunyai tugas untuk menelan antigen dan


mempresentasikan kembali antigen yang telah disederhanakan ke permukaan sel.
Presentasi antigen yang telah sederhana pada permukaan sel dendritik sangat penting
maknanya, karena dengan itu sel-sel limfosit bisa mengenal dan selanjutnya reaksi
sistem imun secara bertahap akan dilaksanakan. Pada perkembangan awal, sel
dendritik sebagaimana sel monosit berada dalam peredaran darah. Sel dendritik yang
belum masak segera mesasuki jaringan. Sel dendritik yang berhadapan dengan patogen
akan segera masak dan mengadakan migrasi ke jaringan lymph node.

2. Sel Mast.

15
Perkembangan sel mast ini sampai sekarang belum bisa dijelaskan. Sel mast
sebagian besar menempati jaringan di sekitar pembuluh darah kapiler. Peranan utama
sel mast sejauh ini diketahui berhubungan dengan respon alergi dan dipercaya mampu
memberi perlindungan terhadap patogen pada permukaan jaringan mukosa.

3. Sel Granulosit.

Di dalam sitoplasma sel granulosit terdapat granula dalam jumlah yang banyak
pada pengecatan dengan gimsa ataupun yang lain. Di samping itu sel granulosit
memiliki bermacam-macam bentuk inti, sehingga sering disebut polymorphonuclear
leukocytes. Ada tiga macam granulosit, yaitu, neutrofil, eosinofil, dan basofil.
Ketiganya memiliki waktu hidup yang relatif pendek. Jumlah sel-sel granulosit akan
meningkat selama ada reaksi sistem imun. Sel-sel tersebut akan segera mengadakan
migrasi ke daerah infeksi atau daerah yang mengalami inflamasi. Neutrofil merupakan
fagosit yang paling banyak jumlahnya dalam tubuh kita, sehingga bisa dikatakan
sebagai komponen selluler terpenting dalam imunitas innate. Penyakit genetik yang
mana neutrofil tidak berfungsi sebagaimana mestinya, menyebabkan ledakan jumlah
bakteri penginfeksi pada tubuh penderita dan menyebabkan kematian jika tidak
mendapatkan penanganan yang baik dengan cepat. Eosinofil sangatpenting terutama
berhubungan dengan pertahanan terhadap infeksi parasit. Eosinofil akan meningkat
jumlahnya dengan drastis jika terdapat infeksi parasit. Basofil mempunyai fungsi yang
sama dengan eosinofil dan sel mast. Basofil juga memiliki fungsi terkait dengan alergi
dan inflamasi.

16
B. Progenitor Limfoid.

Progenitor limfoid pada akhirnya berkembang menjadi sel-sel limfosit. Limfosit dibagi
menjadi dua golongan penting, yaitu limfosit B dan limfosit T, yang selanjutnya lebih
dikenal sebagai sel B dan sel T. Sel T dibagi menjadi dua kelas, kelas pertama disebut sel
T sitotoksik (cytotoxic T cell), yang memiliki peranan membunuh sel-sel yang terinfeksi
virus. Sel T sitotoksik ini mengekspresikan molekul permukaan CD8. CD8 sendiri
merupakan protein yang mempunyai kompetensi berikatan dengan molekul major
hystocompatibility complex (MHC) kelas I. Kelas kedua disebut sel T helper, yang
berfungsi membantu aktivitas sel B dan makrofag. Sel T helper mempunyai ciri
mengekspresikan molekul CD4 pada permukaan sel. CD4 ini mempunyai kompetensi
berikatan dengan molekul MHC kelas II. Limfosit tidak memiliki fungsi jika tidak ada
antigen yang masuk.

Adanya antigen yang masuk akan meyebabkan terjadinya proliferasi dan akan
menunjukkan fungsi yang spesifik bagi antigen tertentu. Setiap satu limfosit masak akan
membawa satu macam reseptor antigen. Oleh karena itu jika antigen misalnya berupa
bakteri, mengekspresikan bermacam-macam molekul pada permukaannya, maka akan
ditanggapi oleh bermacam-macam klon limfosit sesuai dengan macam molekul yang
ditampilkan oleh bakteri itu. Hal ini membawa kesan bahwa sesungguhnya dalam tubuh
kita telah tersedia jutaan klon yang bertanggung jawab untuk menanggapi antigen yang
masuk sewaktu-waktu. Hanya klon yang terstimuli oleh antigen yang mengalami aktivasi
dan berproliferasi.

17
Reseptor antigen sel B (B-cell antigen receptor, BCR) merupakan bentuk antibodi yang
terikat pada membran sel. Antibodi yang disekresikan oleh sel B sesungguhnya merupakan
reseptor antigen, dan setiap satu sel B hanya mensekresikan satu macam antibodi. Antibodi
berupa molekul imunoglobulin dan sering disingkat dengan Ig. Reseptor antigen sel T
sangat berbeda dengan reseptor antigen sel B. Reseptor antigen sel T telah terspesifikasi
untuk mendeteksi protein asingatau patogen yang telah masuk ke dalam sel host. Patogen
dapat masuk ke dalam sel host baik melalui proses fagositosis maupun adanya kemampuan
patogen tersebut melakukan penetrasi dan menginfeksi sel host. Sel limfoid ke tiga yang
diketahui punya peranan sebagai imunitas innate adalah sel natural killer. Sel ini tidak
memiliki reseptor yang spesifik sebagaimana sel B dan sel T. Sel natural killer memiliki
kemampuan mengenali dan membunuh sel abnormal seperti sel-sel tumor dan sel yang
telah terinfeksi virus dengan cara mendeteksi perubahan level MHC yang akan dibahas
pada bab lain.

Sel NK ini pada prinsipnya merupakan sel yang terlibat pada sistem imunitas innate
karena sel ini tidak mempunyai spesifikasi terhadap antigen. Sel NK sangat penting
peranannya untuk mendeteksi sel terinfeksi virus yang tidak terdeteksi oleh sel T CD8.
Pada umumnya sel yang terinfeksi virus kehilangan atau terjadi penurunan ekspresi
molekul MHC pada permukaan sel, sehingga kemampuan mempresentasikan antigen asing
semakin kecil. Rendahnya presentasi antigen asing inilah yang menyebabkan sel yang
terinfeksi virus sebagian lolos dari penyergapan yang dilakukan sel T sitotoksik.

2.5 Antigen dan Antibodi

2.5.1 Antigen

Antigen adalah suatu substansi yang mampu merangsang terbentuknya respon


imun yang dapat dideteksi, baik respon imun seluler, respon imun humoral atau kedua-
duanya.

Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen


merupakan antigen yang menggambarkan molekul yang memacu respon imun, sedangkan
Hapten adalah molekul berukuran kecil, tidak mampu menstimuli respon imun, tetapi jika
hapten berikatan dengan molekul lain yang berukuran lebih besar, maka ia dapat
menstimulasi respon imun. Hapten biasanya dikenal oleh sel B dan Imunogen atau molekul
pembawa dikenal oleh sel T.

18
Antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem
kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap sel-nya sendiri. Sehingga dapat dikatakan
antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam
produksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa
molekul Iainnya. Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang
bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-
sel kanker, dan racun.

A. Pembagian Antigen

Antigen dapat dibagi menurut epitop, spesifitas, ketergantungan terhadap sel T,


sifat kimiawi dan fungsional:

1. Pembagian antigen menurut epitop:


- Unideterminan, univalen : hanya mempunyai 1 jenis determinan pada 1 molekul.
- Unideterminan, multivalen : hanya mempunyai 1 jenis determinan tetapi
dikemukakan 2 atau lebih determinan pada 1 molekul.
- Multideterminan, univalen : mempunyai banyak determinan tetapi hanya terdiri
dari 1 senyawa (biasanya protein).
- Multideterminan, multivalen : mempunyai banyak jenis determinan yang terdiri
dari beberapa komponen senyawa kompleks.

2. Pembagian antigen menurut spesifitas :


- Heteroantigen, dimiliki oleh banyak spesies.
- Xenoantigen, hanya dimiliki oleh spesies tertentu.
- Alloantigen, spesifik untuk individu dalam satu spesies.
- Antigen organ spesifik, hanya dimiliki oleh organ antigen.
- Autoantigen, dimiliki oleh tubuh sendiri.
3. Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T :
- T dependen, memerlukan pengenalan oleh sel T dan sel B terlebih dahulu untuk
menimbulkan respon antibodi. Pada umumnya antigen protein termasuk dalam
golongan ini.
- T independen, dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk membentuk
antibodi. Misalnya lipopolisakarida, dekstran, levan, dan flagelin polimerik
bakteri.

19
4. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi :
- Polisakarida, pada umumnya bersifat imunogenik.
- Glikoprotein, terdapat pada permukaan sel mikroorganisme.
- Lipid, biasanya tidak bersifat imunogenik, tetapi menjadi imunogenik apabila
terikat dengan protein karier. Lipid dianggap sebagai hapten, misalnya
sphingolipid.
- Asam nukleat, tidak bersifat imunogenik, tetapi menjadi imunogenik apabila
terikat dengan protein karier.
- Protein, pada umumnya bersifat imunogenik yang memiliki multideterminan yang
univalen.
5. Pembagian antigen menurut hubungan genetika dari asal antigen dan penerima antigen:
- Antigen histokompabilitas, yaitu suatu antigen yang menimbulkan reaksi pada
transplantasi jaringan.
- Autoantigen, adalah antigen yang dimiliki oleh seseorang, tetapi karena suatu
sebab dapat menimbulkan antibodi terhadapnya.
- Isoantigen, merupakan antigen yang terdapat pada individu lain dalam spesies yang
sama namun secara genetik dapat dikenal oleh penerima, misalnya antigen yang
menentukan golongan darah.
- Alloantigen, merupakan antigen yang terdapat pada individu tertentu yang dapat
menimbulkan antibodi pada individu lain dalam satu spesies, karena secara genetik
antigen ini tidak dikenal oleh penerima.

6. Secara fungsional antigen terbagi menjadi 2, yaitu:


- Imunogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa). Bagian dari molekul
antigen besar yang dikenali oleh sebuah antibodi (oleh reseptor sel-T) atau bagian
antigen yang dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, menginduksi
pembentukan antibodi yang dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi
atau oleh reseptor antibodi, bisa juga disebut determinan antigen atau epitop.
- Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil. Bahan kimia ukuran kecil
seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi, tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat
mengaktifkan sel B (tidak imunogenik). Untuk mengacu respon antibodi, bahan
kecil tersebut perlu diikat oleh molekul besar. Hapten merupakan sejumlah
molekul kecil yang dapat bereaksi dengan antibodi namun tidak dapat menginduksi
produksi antibodi.

20
2.5.2 Antibodi

Antibodi merupakan biomolekul yang tersusun atas protein dan dibentuk sebagai
respons terhadap keberadaan benda-benda asing yang tidak dikehendaki di dalam tubuh
kita. Benda-benda asing itu disebut antigen. Tiap kali ada benda-benda asing yang masuk
ke dalam tubuh diperlukan 10-14 hari untuk membentuk antibodi. Antibodi dihasilkan oleh
limfosit B atau sel-sel B. Antibodi digunakan untuk menetralkan atau menghancurkan
antigen yang masuk ke dalam tubuh. Setiap detik sekitar 2.000 molekul antibodi diproduksi
oleh sel-sel B. Salah satu contoh peristiwa yang melibatkan antibodi adalah ketika kulit
kita terkena infeksi karena luka maka akan timbul nanah. Nanah itu merupakan limfosit
atau sel-sel B yang mati setelah berperang melawan antigen.

Antibodi dapat ditemukan pada aliran darah dan cairan nonseluler. Antibodi
memiliki struktur molekul yang bersesuaian dengan antigen secara sempurna, seperti anak
kunci dengan lubangnya. Tiap jenis antibodi spesifik terhadap antigen jenis tertentu.

Struktur Antibodi terdiri dari 4 rantai polipeptida, yaitu :

2 Rantai berat (Hc ± High Chain) dengan berat molekul 50.000-77.00

2 Rantai ringan (Lc ± Light Chain) : Rantai Kappa (LO) danLamda (Lλ) dengan berat
molekul 25.000 .

A. Jenis-jenis Antibodi

Antibodi disebut juga immunoglobulin (Ig) atau serum protein globulin, karena
berfungsi untuk melindungi tubuh lewat proses kekebalan. Ada lima macam
immunoglobulin, yaitu IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD.

1. Immunoglobulin G (IgG)

IgG terbentuk 2-3 bulan setelah infeksi, kemudian kadarnya meninggi dalam satu
bulan, menurun perlahan-lahan, dan terdapat selama bertahun-tahun dengan kadar
yang rendah. IgG beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah
bening, dan usus. Senyawa ini akan terbawa aliran darah langsung menuju tempat
antigen berada dan menghambatnya begitu terdeteksi. Senyawa ini memiliki efek kuat

21
antibakteri maupun virus, serta menetralkan racun. IgG juga mampu menyelinap
diantara sel-sel dan menyingkirkan mikroorganisme yang masuk ke dalam sel-sel dan
kulit. Karena kemampuan serta ukurannya yang kecil, IgG merupakan satu-satunya
antibodi yang dapat dipindahkan melalui plasenta dari ibu hamil ke janin dalam
kandungannya untuk melindungi janin dari kemungkinannya infeksi yang
menyebabkan kematian bayi sebelum lahir. Selanjutnya immunoglobulin dalam
kolostrum (air susu ibu atau ASI yang pertama kali keluar), memberikan perlindungan
kepada bayi terhadap infeksi sampai sistem kekebalan bayi dapat menghasilkan
antibodi sendiri.

2. Immunoglobulin A (IgA)

Immunoglobulin A atau IgA ditemukan pada bagian-bagian tubuh yang dilapisi


oleh selaput lendir, misalnya hidung, mata, paru-paru, dan usus. IgA juga ditemukan
di dalam darah dan cairan tubuh lainnya, seperti air mata, air liur, ASI, getah lambung,
dan sekresi usus.

Antibodi ini melindungi janin dalam kandungan dari berbagai penyakit. IgA yang
terdapat dalam ASI akan melindungi sistem pencernaan bayi terhadap mikroba karena
tidak terdapat dalam tubuh bayi yang baru lahir.

3. Immunoglobulin M (IgM)

Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada permukaan sel-sel B. Pada
saat antigen masuk ke dalam tubuh, Immunoglobulin M (IgM) merupakan antibodi
pertama yang dihasilkan tubuh untuk melawan antigen tersebut. IgM terbentuk segera
setelah terjadi infeksi dan menetap selama 1-3 bulan, kemudian menghilang.

Janin dalam rahim mampu memproduksi IgM pada umur kehamilan enam bulan.
Jika janin terinfeksi kuman penyakit, produksi IgM janin akan meningkat. IgM banyak
terdapat di dalam darah, tetapi dalam keadaan normal tidak ditemukan dalam organ
maupun jaringan. Untuk mengetahui apakah janin telah terinfeksi atau tidak, dapat
diketahui dari kadar IgM dalam darah.

4. Immunoglobulin D (IgD)

Immunoglobulin D atau IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada
permukaan sel-sel B, tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit. IgD ini bertindak dengan

22
menempelkan dirinya pada permukaan sel-sel T, mereka membantu sel-sel T
menangkap antigen.

5. Immunoglobulin E (IgE)

Immunglobulin E atau IgE merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah.
Antibodi ini kadang juga menimbulkan reaksi alergi akut pada tubuh. Oleh karena itu,
tubuh seorang yang sedang mengalami alergi memiliki kadar IgE yang tinggi. IgE
penting melawan infeksi parasit, misalnya skistosomiasis, yang banayk ditemukan di
negara-negara berkembang.

B. Interaksi Antigen dan Antibodi

Antigen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan reseptor sel limfosit B.
Pengikatan tersebut menyebabkan sel limfosit B berdiferensiasi menjadi sel plasma. Sel
plasma kemudian akan membentuk antibody yang mampu berikatan dengan antigen yang
merangsang pembentukan antibody itu sendiri. Tempat melekatnya antibody pada antigen
disebut epitop, sedangkan tempat melekatnya antigen pada antibodi disebut variabel.

Secara garis besar, interaksi antigen-antibodi adalah seperti berikut:

 Antigen/hapten masuk ke tubuh melalui makanan, minuman, udara, injeksi, atau


kontak langsung.
 Antigen berikatan dengan antibody.
 Histamine keluar dari sel mast dan basofil
 Timbul manifestasi alergi

23
Interaksi antigen-antibodi dapat dikategorikan menjadi tingkat primer, sekunder, dan
tersier .

 Primer

Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan
antibody pada situs identik yang kecil, bernama epitop.

 Sekunder

Interaksi tingkat sekunder terdiri atas beberapa jenis interaksi, di antaranya:

1. Netralisasi yaitu jika antibody secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen
menimbulkan efek yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin
bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.
2. Aglutinasi yaitu jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfuse
darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan.
3. Presipitasi yaitu jika kompleks antigen-antibodi yang terbentuk berukuran terlalu
besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya
mengendap.
4. Fagositosis yaitu jika bagian ekor antibody yang berikatan dengan antigen mampu
mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis
korban yang mengandung antigen tersebut.

24
5. Sitotoksis yaitu saat pengikatan antibody ke antigen juga menginduksi serangan
sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell
kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibody sebelum dapat
dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
 Tersier

Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologi dari interaksi antigen-
antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya. Pengaruh menguntungkan
antara lain: aglutinasi bakteri, lisis bakteri, immunitas mikroba,dan lain-lain. Sedangkan
pengaruh merusak antara lain: edema, reaksi sitolitik berat, dan defisiensi yang
menyebabkan kerentanan terhadap infeksi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen Garna dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.

Delves, Peter J. dan Ivan M. Roitt. 2000. Encyclopedia of immunology. Academic Press.

Henri. 2009. Kerusakan Sistem Imunitas Tubuh Pada Sjogren Syndrom. Medan.

Joseph AB. 1993. Imunologi III. Trans. A Samik Wahab. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.

Subowo. 1993. Imunobiologi 2nd ed. Bandung : Angkasa.

Wahab, A. Samik dan Madarina Julia. 2002. Sistem Imun, Imunisasi & Penyakit Imun.
akarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai