Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang berjudul “Hukum Islam” ini. Kemudian
shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah
memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam di program studi
Pendidikan Teknik Informaitika dan Komputer, Fakultas Teknik pada Universitas Negeri
Makassar. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Bapak Drs. Mappasessu Barata, M.A selaku dosen pembimbing mata kuliah Pendidikan Agama
Islam dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama
penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa
memberikan manfaat positif bagi kita semua.
Amin.!
BAB 1
Pendahuluan

A. Latar Belakang
Jika kita berbicara tentang hukum, yang terlintas dalam pikiran kita adalah peraturan-peraturan atau
seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, yang dibuat dan
ditegakkan oleh penguasa atau manusia itu sendiri seperti hukum adat, hukum pidana dan sebagainya.
Berbeda dengan sistem hukum yang lain, hukum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang
dipengaruhi oleh kebudayaan manusia di suatu tempat pada suatu massa tetapi dasarnya ditetapkan oleh
Allah melalui wahyunya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagai
rasulnya melalui sunnah beliau yang terhimpun dalam kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan
hukum Islam secara fundamental dengan hukum yang lain.
Adapun konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut
tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan
manusia lain dalam bermasyarakat, dan hubungan manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
Hukum Islam juga mengatur tentang perkawinan , mulai dari, tata cara perkawinan , mahar
perkawinan, serta pencegahan, dan larangan perkawinan , maka dengan begitu dibuatlah makalah ini yang
membahas lebih lanjut tentang perkawinan.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Perkawinan?
2. Mahar Dalam Perkawinan?
3. Larangan, pencegahan, dan pembatalan Perkawinan?
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nikah Menurut Bahasa Istilah dan Undang - undang
1. Pengertian Perkawinan (Nikah) Menurut Bahasa :
Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
dengan Kawin / perkawinan, Nikah menurut bahasa mempunyai arti mengumpulkan,
menggabungkan, menjodohkan atau bersenggama (wath’i).
2. Pengertian Perkawinana (Nikah) Menurut Istilah
Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki –
laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi
hak dan kewajiban antara kedua insan.1
3. Pengertian Perkawinan Menurut UU No 1 Tahun 1974
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang maha esa.2

1. Hukum Nikah

Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah.
Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam – macam, maka hukum nikah ini dapat
dibagi menjadi 5 macam di antaranya : 3

1. Sunnah

Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat
memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan – keperluan lain yang mesti dipenuhi.

2. Wajib

Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan
terjerumus dalam perzinaan.Sabda Nabi Muhammad SAW. :“Hai golongan pemuda, barang
siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya
nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama.) dan memlihara
kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena
puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).

1
Dr. Mardani, . Hukum Keluarga Islam Indonesia Medan: Kencana. PrenaMedia, 2016, hlm 23
2
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan Pasal 1 ayat 1
3
Dr. Mardani, . Hukum Keluarga Islam Indonesia Medan: Kencana. PrenaMedia, 2016, hlm 25
3. Makruh

Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu
memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.Firman Allah
SWT :“Hendaklah menahan diri orang – orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah,
hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33).

4. Mubah

Mubah, bagi orang – orang yang tidak terdesak oleh hal – hal yang mengharuskan segera
nikah atau yang mengharamkannya.

5. Haram

Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia –
nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja
kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak. Mubah, bagi orang – orang yang tidak
terdesak oleh hal – hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.

2. Rukun Nikah dan Syarat Nikah


Rukun Nikah dan Syart Nikah adalah 2 bagian yang saling terkait. Rukun nikah ada 5 macam, di
sertai dengan syarat-sayratnya yaitu : 4

1. Calon Suami harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :


1) Beragama Islam
2) Benar – benar pria
3) Tidak dipaksa
4) Tidak sedang beristri empat
5) Bukan mahram calon istri
6) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
7) Usia sekurang – kurangnya 19 Tahun Calon

2. Calon istri harus memiliki syarat – syarat sebagai berikut :


1) Beragama Islam
2) Benar – benar perempuan
3) Tidak dipaksa,
4) Halal bagi calon suami / Tidak Sedang Bersuami

4
Pustaka Widyatama. Komplikasi Hukum Islam. Bandung: Pustaka Widyatama, 2004, hlm 15
5) Tidak sedang dalam masa iddah
6) Bukan mahram calon suami
7) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
8) Usia sekurang – kurangnya 16 Tahun

3. Wali Wali Nikah harus memenuhi syarat – syarat sebagi berikut :

a. Syarat Wali Nikah


1) Beragama Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mempunyai hak untuk menjadi wali
7) Laki – laki “janganlah perempuan mengawinkan perempuan yang lain dan janganlah pula
perempuan mengawinkan dirinya sendiri, karena perempuan yang berzina ialah yang
mengawinkan dirinya sendiri. ( Riwayat ibn majah dan Daruqquthni ). Yang berhak
menjadi wali bukan sembarang orang, menurut Syafi’I, orang-orang yang berhak menjadi
wali yaitu:
1. Bapak.
2. Kakek dari jalur Bapak
3. Saudara laki-laki kandung
4. Saudara laki-laki tunggal bapak
5. Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung)
6. Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak)
7. Paman dari jalur bapak
8. Sepupu laki-laki anak paman
9. Hakim bila sudah tidak ada wali –wali tersebut dari jalur nasab.Bila sudah benar-benar
tidak ditemui seorang kerabat atau yang dimaksud adalah wali di atas maka alternatif
berdasarkan hadis Nabi adalah pemerintah atau hakim kalau dalam masyarakat kita
adalah naib.
‫ قال وسلم عليه هللا صلى النبى ان عنها هللا رضى عائشة عن عروة عن الزهرى عن موسى ابن سليمان وعن‬: ‫ايما‬
‫باطل فنكاحها وليها بغيراذن نكحت امراءة‬, ‫باطل فنكاحها‬, ‫فاءن فرجها من بمااستحلى المهر فلها بها دخل فاءن‬
‫له ولي ال من ولي فالسلطان اشتجروا‬. Wanita manapun yang kawin tanpa seizing walinya,
maka pernikahannya batal, pernikahannya batal. Bila (telah kawin dengan syah dan)
telah disetubuhi, maka ia berhak menerima maskawin (mahar) karena ia telah dinikmati
kemaluannya dengan halal. Namun bila terjadi pertengkaran diantara para wali, maka
pemerintah yang menjadi wali yang tidak mempunyai wali.Wali dapat di pindah oleh
hakim bila:Jika terjadi pertentangan antar wali.Jika tidak adanya wali, ketidak adanya
di sini yang dimaksud adalah benar-benar tidak ada satu kerabat pun, atau karena
jauhnya tempat sang wali sedangkan wanita sudah mendapatkan suami yang kufu’.

b. Jenis Jenis Wali nikah Sebagai berikut :

1) Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak
mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan
persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak
dinikahkan)
2) Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi
wali Wali ab’ad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau
wali aqrab berkenaan tidak ada.
3) Wali ab’ad ini akan digantikan oleh wali ab’ad lain dan begitulah seterusnya mengikut
susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.
4) Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak
berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini
dengan sebab-sebab tertentu .

4. Dua orang saksi

Dua orang saksi nikah harus memenuhi syarat – syarat sebagai berikut :
1) Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mengerti maksud akad nikah
7) Laki – laki Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. : “Tidak
sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad.)

5. Ijab dan Qabul (Sighat)

1) Ijab
Ijab yaitu suatu suatu pernyataan berupa penyerahan diri seorang wali perempuan atau
wakilnya kepada seorang laki-laki dengan kata-kata tertentu maupun syarat dan rukun
yang telah ditentukan oleh syara’.

2) Qabul

Qabul yaitu suatu pernyataan penerimaan oleh pihak laki-laki terhadap pernyataan wali
perempuan atau wakilnya. Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):”Aku
terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat
salat dibayar tunai” ATAU “Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku“. Setelah
qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin
khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal
“SAH” atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu. Selanjutnya
Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan
bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para
hadirinBersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan
selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai
tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami
istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai
“Pembatalan Wudhu”.Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu
diminta untuk berwudhu terlebih dahulu. Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah
sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang
amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak
aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul
urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.

3. Tujuan dan Hikmah (Manfaat) Pernikahan.


1. Perkawinan Dapat Menentramkan Jiwa 5

Dengan perkawinan orang dapat memnuhi tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan
tenang, dalam suasana cinta kasih, dan ketenangan lahir dan batin.Firman Allah SWT : “Dan
diantara tanda – tanda kekuasaa-Nya ialah dia menciptkan istri – istri dari jenismu sendiri supaya
kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya.” (Ar Rum/30:21)

5
Dr.Mardani. Hukum Keluarga Islam Indonesia. Medan: Kencana. PrenaMedia, 2016,
hlm 17 dan hlm 57
2. Perkawinan dapat Menghindarkan Perbuatan maksiat.

Salah satu kodrat manusia adalah penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka
kelangsugan hidup manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran
sebagaimana mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan
berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan beberapa
penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka jalan untuk
menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari perbuatan – pebuatan maksiad.

3. Perkawinan untuk Melanjutkan Keturunan.

Dalam surah An Nisa ayat 1 ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari yang satu, kemudian
dijadikan baginya istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia yang banyak,
terdiri dari laki – laki dan perempuan.Memang manusia bisa berkembang biak tanpa melalui
pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya / jalur silsilah keturunannya. Dengan
demikian, jelas bahwa perkawinan dapat melestarikan keturunan dan menunjang nilai – nilai
kemanusiaan.

4. Dasar Hukum Nikah (Dalil Tentang Nikah)

Dibawah ini adalah dalil-dalil yang berkaitan dengan nikah : ‫اب َما فَا ْن ِك ُحوا‬
َ ‫ط‬ َ ِِّ‫الث َمثْنَى الن‬
َ ‫ساءِ مِ نَ لَ ُك ْم‬ َ ُ ‫َوث‬
َ ‫تَعُولُوا أَال أ َ ْدنَى ذَلِكَ أ َ ْي َمانُ ُك ْم َملَكَتْ َما أ َ ْو فَ َواحِ دَة ت َ ْع ِدلُوا أَال خِ ْفت ُ ْم َفإ ِ ْن َو ُر َبا‬Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
‫ع‬
yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. [An-Nisa: 3]. “Dan nikahkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki
dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (QS.
An Nuur (24) : 32). “Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-pasangan, supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.” (QS. Adz Dzariyaat (51) : 49). ¨Maha Suci Allah yang telah
menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui¡¨ (Qs. Yaa Siin (36) : 36). Bagi kalian
Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri
kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang
baik-baik (Qs. An Nahl (16) : 72). Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21).6

6
Dr.Mardani. Hukum Keluarga Islam Indonesia Medan: Kencana. PrenaMedia 2016, hlm 25 - 57.
B. MAHAR/MASKAWIN

Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk
barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam(Pasal 1 huruf D KHI). Pemberian
tersebut merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Status hukum mahar adalah wajib. Hal ini
berdasarkan Firman Allah Surah An-Nisaa’ (4) ayat 4.

ٗۚ
َ ‫صد ُ َٰقَتِّ ِّه َّن ن ِّۡحلَ ٗة فَإِّن طِّ ۡبنَ لَ ُك ۡم‬
٤ ‫عن ش َۡي ٖء ِّم ۡنهُ ن َۡفسٗ ا فَ ُكلُوهُ َهنِّ ٗ ٓيا َّم ِّر ٗ ٓيا‬ َ ِّ‫َو َءاتُواْ ٱلن‬
َ ‫سا ٓ َء‬

“Berikanlah kepada perempuan-perempuan itu maskawin sebagai kewajiban. Akan tetapi, jika mereka
berikan kepada kamu sebagian daripadanya dengan senang hati, maka makanlah dengan senang hati.”

Ayat Alquran di atas, dapat dipahami bahwa maskawin disebut Shadaquat, Shadaquat berasal dari
rumpun kata shidiq, shadaq, dan/atau shadaqah yang bermakna perasaan yang jujur dan hati yang suci.
Artinya harta yang diperoleh secara jujur (halal) yang kemudian diberikan kepada calon istri yang
didasari oleh keikhlasan.

Pasal 30 sampai Pasal 38 Kompilasi Hukum Islam mengemukakan garis hukum mengenai ketentuan
mahar sebagai berikut.

Pasal 30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan
jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Garis hukum Pasal 30 KHI di atas, menunjukan bahwa calon mempelai pihak laki-laki
berkewajiban untuk menyerahkan sejumlah mahar kepada calon mempelai perempuan. Namun,
jumlah, bentuk dan jenisnya diatur berdasarkan kesepakatan antara pihak mempelai laki-laki
dengan mempelai perempuan. Hal ini berarti ketentuan garis hukum di dalam Alquran dan
Alhadist mengenai jumlah maksimal dan jumlah minimal pmberian mahar dari calin mempelai
dimaksud tidak ada ketentuannya. Oleh karena itu, diserakan kepada kedua pihak mengenai
jumlah mahar yang diseoakati sehingga persoalan mahar dalam perkawinan antara satu suku
dengan suku lainnya di dalam masyarakat yang beragama islam berbeda-beda. Namun, prinsipnya
adalah yang bermanfaat bagi pihak mempelai wanita.

Pasal 31

Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal 32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk
seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan menjadi utang (calon) mempelai pria.

Pasal 34

(1) Kewajiban penyerahan mahar bukan merupakan rukun dalam pernikahan.

(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya
pernikahan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terutang, tidak mengurangi sahnya
pernikahan.

Pasal 34 KHI di atas, dapat diketahui bahwa mahar bukan rukun dalam perlaksanaan
perkawinan, melainkan salah satu syarat sahnya suatu hubungan perkawinan antara suami
dengan istrinya atau istri dengan suaminya.

Pasal 35

(1) Suami yang menalak istrinya qobla ad-dukhul (yakni sebelum ‘berhubungan’, ed.) wajib membayar
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

(2) Apabila suami meninggal dunia qobla ad-dukhul seluruh mahar yang telah ditetapkan menjadi hak
penuh istrinya.

(3) Apabila perceraian terjadi qobla ad-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsl.

Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk
dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga
barang mahar yang hilang.

Pasal 37

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya
diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal 38

(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi (calon) mempelai wanita tetap
bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap lunas.
(2) Apabila istri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar
lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.7

7
PROF.DR.H. ZAINUDDIN ALI, HUKUM PERDATA ISLAM INDONESIA, Hlm 24-26
C. Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan dalam hukum perkawinan Islam ada dua macam, yaitu larangan selama-
lamanya terinci dalam pasal 39 KHI dan larangan sementara pasal 40 sampai pasal 44 KHI. Hal
itu akan diuraikan sebagai berikut:
A. Larangan Perkawinan Selama-lamanya.
Larangan perkawinan bagi seorang pria dengan seorang wanita selama-lamanya atau wanita-
wanita yang haram dinikahi oleh seorang pria selama-lamanya mempunyai beberapa
sebab[1]. Pasal 39 KHI mengungkapkan larangan melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau
keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannnya.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya.
b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya.
c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya kecuali putus
perkawinan dengan isterinya itu qabla al-dukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3. Karen pertalian susuan:
a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
b. Dengan seorang wanita yang sesusuan dan seterusnyan menurut garis lurus ke
bawah.
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah.
d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e. Dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Ketentuan pasal 39 KHI tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT dalam surat
an-Nisa’ ayat 22 yang berbunyi[2]:

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”
8

Dan surat an-Nisa’ ayat 23:

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan[3]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan
dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”

B. Larangan Perkawinan Dalam Waktu Tertentu.

Larangan perkawinan dalam waktu tertentu bagi seorang pria dengan seorang
wanita, diuangkapkan secara rinci dalam pasal 40 sampai 44 KHI. Hal ini diuraikan
sebagaimana berikut[4]:

Pasal 40 KHI.

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita


karena keadaan tertentu:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terkait satu perkawinan dengan yang pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41 KHI.

(1). Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seorang wanita yang mempunyai
hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya:

8
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia ,Jakarta Akademika Presindo , 2001, hlm 121-122.
a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.

b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

Pasal 42 KHI.

”Seorang pria melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terkait tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj’i ataupun salah seorang di antara mereka
masih terkait tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj’I”.

Pasal 43 KHI.

1. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria:


a. Dengan seorang wanita bekas isterinya ditalak tiga kali.
b. Dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili’an.

2. Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin
dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba’da dukhul dan telah habis
masa iddahnya.
Pasal 44 KHI.

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria


yang tidak beragama Islam.
D. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan

1 . Pencegahan Perkawinan.
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan
hukum Islam yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami
atau calon isteri yang akan melansungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam yang
termuat dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat
dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melansungkan perkawinan.
Demikian juga yang terungkap dalam Pasal 60 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana
berikut:
a. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkwinan yang dilarang
hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
b. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan
melansungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak terpenuhi dua persyaratan:
a. Syarat materil
b. Syarat administratif
Selain itu Pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan:
a. Setiap orang yang akan melansungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu
kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilansungkan.
b. Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja
sebelum perkawinan dilansungkan.
c. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat (2) disebutkan sesuatu alasan yang
penting, diberikan oleh camat atas nama Bupati Kepala Daerah.
Berdasarkan uraian yang di atas, menunjukkan bahwa, apabila ada pihak-pihak yang
merasa keberatan dapat melakukan pencegahanan, agar tidak terjadi perkawinan yang
dilansungkan pertentangan dengan hukum Islam dan perundang-undangan yang berlaku.
Namun demikian, menurut garis hukum yang tertuang dalam pasal 61 KHI “tidak sekufu
tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau iktilaful al-din”.
Upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan sehingga baik Undang-
Undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam mengatur siapa-siapa yang berhak
untuk mengajukan pencegahan perkawinan dimaksud. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menyatakan:
(1) Yang dapat mencegah perkawinan keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan
ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-
pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlansungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan,
sehingga dalam perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut
dalam ayat (1) pasal ini.
Kompilasi Hukum Islam mempunyai prinsip untuk menguatkan apa yang ditegaskan
dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Tambahan penjelasan Pasal 62 ayat (2)
dikemukakan bahwa ayah kandung yang tidak pernah melaksanakan fungsinya sebagai
kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan
dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Adapun tata cara dan prosedur pengajuan pencegahan perkawinan diatur dalam Pasal 17
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 65 Kompilasi Hukum Islam. Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan:
Pasal 17

 Pencegahan perkawinan diajukan kepada pengadilan agama dalam daerah hukum di mana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan.
 Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini Pegawai Pencatat Nikah.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
Pasal 65

 Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di


mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai
Pencatat Nikah.
 Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Jika pegawai pencatat nikah melakukan pencegahan pelaksanaan perkawinan, maka ia
memberikan surat keterangan tertulis disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tersebut, dapat
dipahami bahwa tenggang waktu 10 hari adalah memberikan kesempatan kepada orang yang merasa
terkait dalam kelangsungan perkawinan, agar mengajukan keberatan-keberatan jika dipandang
rencana perkawinan calon mempelai terdapat larangan-larangan atau syarat dan rukun yang belum
terpenuhi. Namun demikian, apabila pengajuan permohonan pencegahan perkawinan dipandang tidak
sesuai dengan fakta yang sebenarnya, yaitu perkawinan yang akan dilangsungkan oleh calon
mempelai memenuhi rukun dan syarat-syarat perkawinan maka permohonan pencegahan dapat
dicabut seperti yang ditegaskan pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 67
KHI.

2 . Pembatalan perkawinan
adalah pembatalan hubungan suami isteri sesudah dilangsungkan perkawinan, karena
adanya syarat-syarat yang tidak dipenuh menurut pasal 22 Undang-Undang Pekawinan, dalam
undang-undang ini disebutkan bahwa perkawian dapat dibatalkan apabila para pihak tidak dapat
memenuhi syarat-syart perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan baik berdasarkan UU No. 1
tahun 1974 atau berdasarkan KHI, yang terdapat dalam pasal 22,24,26, dan 27 UU No.1/1974
dan pasal 70 dan 71 KHI. Yang diungkapkan sebagai berikut:
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak
dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 26

 Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat
dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau
isteri, jaksa dan suami atau isteri.
 Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur
apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan
harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27

 Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila
perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
 Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada
waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
 Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 70 KHI
Perkawinan batal apabila:

 Suami elakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena
sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu
dalam iddah talak raj’i.
 Seseorang yang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.
 Seseorang menikahi isteri yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas
isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian cerai lagi ba’da dukhul
dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
 Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda,
dan susuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 UU
No.1/1974, yaitu:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak
tiri;
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
 Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-
isterinya.
Pasal 71 KHI
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.
b.Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang
mafqud (menghilang tanpa berita apakah masih hidup atau sudah meninggal)
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lainnya
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dlam pasal 7
UU No. 1/1974
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 UU No. 1
/1974 dan pasal 73 KHI, yaitu:
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.
Pasal 73 KHI
Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:

 para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atauisteri.
 Suami atau isteri
 Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.
 para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
tersebut dalam pasal 67.9

9
Ali, Zainuddn, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika: cet Ke-2. 2007
Selain permohonan pembatalan perkawinan itu, pasal 74 KHI juga mengatut tata cara
beracara dalam permohonan pembatalan perkawinan, dan mengatur awal waktu keberlakuan
pembatalan perkawinan dimaksud.
Pasal 74 KHI:
1. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang
mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan
2. Batasnya suatu perkawinan setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Walaupun sudah terjadi pembatalan perkawinan, mengenai anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut telah diatur dalam pasal 28 ayat 2 UU perkawinan dan dalam pasal 75 dan
76 KHI, yaitu:
Pasal 28:
2. Keptusan tidak berlaku surut terhadap:

 Anak-anak yang dilahir dari perkawinan tersebut


 Suami atau isteri yang bertindak dengan beriktikat baik, kecuali harta bersama, bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas perkawinan lain yang lebih dahulu
 Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam poin a dan poin b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikat baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 75 KHI
Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap;

 Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad
 Anak-anak yang dilahirkan dari perkwinan tersebut
 Pihak ketiga sepanjang mareka memperoleh hak-hak dengan beriktikat baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76 KHI
Batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Mardani, Dr. 2016 Hukum Keluarga Islam Indonesia Medan: Kencana. PrenaMedia

Mardani, Dr. 2016 Hukum Keluarga Islam Indonesia Medan: Kencana. PrenaMedia

Widyatama, Pustaka. 2004 Komplikasi Hukum Islam Bandung: Pustaka Widayatama

Widyatama, Pustaka. 2004 Komplikasi Hukum Islam Bandung: Pustaka Widayatama

Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada: Cet.ke-6. 2003
Ali, Zainuddn, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika: cet Ke-2. 2007

Aburrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesai, Akademika Pressindo,2001

UNDANG – UNDANG

Republik Indonesia,1974, Undang-undang No.1, tahun 1974, tentang Perkawinan, Lembaran Negara RI,
tahun 1974, No . 2. Seketariat Negara. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai