Refer at
Refer at
Disusun Oleh:
Nazza Rizky Ramdhagama
1102014190
Pembimbing :
dr. Muh Tri Wahyu Pamungkas Sp.S., M.Kes
PENDAHULUAN
BELL’S PALSY
2.1. Definisi
2.3. Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun
1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika
Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang,
63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus
per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering
terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2
minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.
2.4. Etiologi
Hingga saat ini Bell’s palsy masih belum diketahui penyebabnya.
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini
sampai saat ini masih diperdebatkan. Penyebab yang saat ini dipercaya sebagai
penyebab antara lain.(3-5)
1. Suhu. Dahulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin,
AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-
satunya pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini bahwa
terdapat penyebab lain yang dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
2. Infeksi. HSV dianggap sebagai virus utama penyebab Bell’s palsy,
karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa
penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase Chain
Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang
menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus
ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensorik dan
menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus
yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin. Infeksi lain seperti
infeksi herpes zoster, Borrelia burgdorferi, syphilis, Epstein-Barr,
cytomegalovirus, human immunodeficiency virus (HIV), dan mycoplasma
juga dipercaya dapat menyebabkan Bell’s palsy.(3-5)
3. Autoimun. Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi
imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum
pemberian imunisasi. Kelainan autoimun menyebabkan demyelinisasi dari
nervus fasialis dan menghasilkan paralisis nervus fasialis unilateral.(4)
4. Herediter. Riwayat keluarga pada Bell's palsy telah dilaporkan pada
sekitar 4% kasus. Kelainan genetik dalam kasus ini mungkin autosomal
dominan dengan tingkat penetrasi yang rendah. Namun, faktor-faktor
predisposisi terjadinya penurunan secara genetik belum jelas. Sejarah keluarga
mungkin juga positif bagi saraf lainnya, gangguan radix atau pleksus
(misalnya, trigeminal neuralgia) pada saudara kandung. Selain itu, ada laporan
tersendiri dari familial Bell's palsy yang disertai dengan defisit neurologis,
termasuk oftalmoplegia dan tremor esensial. Familial Bell's palsy merupakan
manifestasi Bell's palsy yang langka dan memiliki kecenderungan mengenai
perempuan remaja.(2
2.5. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter
nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui
tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui
kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada
pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik
tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis
bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di
jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di
dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum
atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi
nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus
abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis
LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau
gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan
timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa
mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian
bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1
dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus
herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada
radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)
Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra
tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata
yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa
dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air
mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala
pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus
fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.
2.9. Penatalaksanaan
a. Agen antiviral.
Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy,
hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya
agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai
penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam
penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah
replikasi virus.(5)
b. Kortikosteroid.
c. Perawatan mata.
Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan
terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.
Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata.
Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien
terbangun.
Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas
dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara
yang mengalami kontak langsung dengan kornea.
d. Konsultasi.
Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan
lanjutan yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup
kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai
perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah
sebagai berikut:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada
pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy,
maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau
gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus
dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,
kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren,
sebaiknya dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis
kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan
prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau
paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.
2.10. Komplikasi
2.11. Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.
2. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.
3. Ropper AH, Brown RH. Bell’s Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams
and Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005.
1181-1184.
4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis
Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.
5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003.
6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2 nd ed.
George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.