Anda di halaman 1dari 70

Laporan Kasus

PERDARAHAN SUBARACHNOID

Oleh:
Aulia Ulfah, S.Ked 04054821719102
Jovina Johny, S.Ked 04054821719145

Pembimbing:
dr. Billy Indra Gunawan, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
“PERDARAHAN SUBARACHNOID”

Oleh:
Nigasot Nur Nadya, S.Ked 04054821719075

Telah dilaksanakan pada bulan 22 Oktober – 26 November 2018 sebagai salah


satu persyaratan guna mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior Bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Palembang, Oktober 2018


Pembimbing,

dr. Billy Indra Gunawan, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Pendarahan Subarachnoid” untuk memenuhi tugas laporan kasus yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya dalam
Departemen Neurologi.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Billy
Indra Gunawan, Sp.S, selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga laporan kasus ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan referat ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan
laporan ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Oktober 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
BAB II STATUS NEUROLOGIS ..................................................................... 3
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 18
BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 40

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit serebrovaskuler/cerebrovascular disease (CVD) merupakan


penyakit sistem persarafan yang paling sering dijumpai. Menurut World Health
Organization (WHO), stroke adalah manifestasi klinis dari gangguan fungsi
serebri fokal atau global yang berkembang dengan cepat atau tiba-tiba,
berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan kematian, dengan tidak
tampaknya penyebab lain selain penyebab vaskular. Stroke merupakan salah satu
penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama. Stroke adalah
kehilangan fungsi otak yang diakibatkan terhentinya suplai darah kebagian otak
sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan hingga kematian.
Berdasarkan American Heart Association (AHA), stroke ditandai
sebagai defisit neurologi yang dikaitkan dengan cedera fokal akut dari sistem
saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh pembuluh darah, termasuk infark
serebral, pendarahan intraserebral (ICH) dan pendarahan subaraknoid (SAH).
Stroke terjadi ketika jaringan otak terganggu karena berkurangnya aliran
darah atau oksigen ke sel-sel otak. Terdapat dua jenis stroke yaitu stroke iskemik
dan hemoragik. Stroke iskemik terjadi karena berkurangnya aliran darah
sedangkan stroke yang terjadi karena perdarahan ke dalam atau sekitar otak
disebut stroke hemoragik. Perdarahan yang terjadi pada stroke hemoragik dapat
dengan cepat menimbulkan gejala neurologik karena tekanan pada struktur saraf
di dalam tengkorak. Stroke hemoragik lebih jarang terjadi dibanding stroke
iskemik akan tetapi stroke hemoragik menyebabkan lebih banyak kematian.
Menurut Depkes (2011), stroke merupakan penyebab kematian tertinggi
dari seluruh penyebab kematian, dengan proporsi angka kejadian yaitu 15,4%.
Penyakit stroke merupakan penyebab kematian ketiga tersering di negara maju
setelah penyakit jantung dan kanker. Penyakit stroke merupakan pembunuh
nomor tiga di Indonesia setelah penyakit infeksi dan jantung koroner. Sekitar
2,85% penderita penyakit stroke di Indonesia meninggal dunia.

1
Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) tahun 2012,
kompetensi seorang dokter umum adalah dapat mendiagnosis stroke dan memberi
tatalaksana awal pada keadaan darurat dan kemudian merujuk pasien ke layanan
kesehatan yang lebih tinggi (3B). Oleh karena itu laporan kasus ini dibuat untuk
mengetahui dasar diagnosis dan memberikan terapi awal yang adekuat pada
pasien stroke hemoragik.

2
BAB II
STATUS NEUROLOGIS

IDENTIFIKASI
Nama : Ny. RBZ
Umur : 63 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Oku Timur, Sumatera Selatan
Agama : Islam
MRS Tanggal : 26 Oktober 2018 pukul 01.20 WIB

ANAMNESA (Alloanamnesa)
Ny.RBZ 63 tahun dirawat di bagian saraf RSMH karena mengalami penurunan
kesadaran secara tiba-tiba.
± 5 hari SMRS, penderita mengalami penurunan kesadaran secara tiba-tiba saat
sedang beraktivitas. Sebelumya, penderita mengaku sakit kepala. Sakit kepala dirasakan
sangat hebat dan merasa baru pertama kali sakit kepala yang dirasakan sehebat ini. Sakit
kepala seperti rasa menyut. Sakit kepala disertai mual tapi tidak muntah, tanpa disertai
kejang. Kelemahan pada lengan kanan dan kiri serta tungkai kanan dan kiri tidak ada.
Tidak terdapat gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan kesemutan. Sehari-hari
penderita bekerja menggunakan tangan kanan. Kemampuan penderita untuk
mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan, dan isyarat belum dapat dinilai.
Kemampuan penderita untuk mengerti isi pikiran orang lain yang diungkapkan secara
lisan, tulisan, dan isyarat belum dapat dinilai. Sebelumnya, saat bicara mulut penderita
tidak mengot dan bicaranya tidak pelo. Penderita lalu dibawa ke RS Umum di OKU
Timur dan dirawat selama 5 hari. 1 hari setelah dirawat di RS Umum OKU Timur, pasien
sadar, tapi berbicara tidak menyambung. Pasien juga mengalami kelemahan di sesisi
tubuh kiri. Gangguan sensibilitas berupaa rasa baal dan kesemutan tidak ada. Pasien
masih mengalami sakit kepala yang disertai mual tapi tidak muntah, tanpa disertai kejang.
Pasien lalu minta dirujuk ke RSMH untuk ditatalaksana lebih lanjut.

3
Penderita tidak mengalami jantung yang berdebar-debar disertai sesak napas.
Penderita sering mengeluh sakit kepala bagian belakang yang timbul pada pagi hari dan
berkurang pada malam hari ada sejak 1 tahun yang lalu dan tidak rutin minum obat.
Penderita tidak mengeluh penurunan berat badan, banyak minum, dan sering buang air
kecil tidak ada. Penderita tidak pernah mengalami trauma kepala.
Penyakit seperti ini dialami untuk pertama kalinya.

PEMERIKSAAN (28 Agustus 2018)


Status Internus
Kesadaran (GCS) : delirium (E3M5V2)
Tekanan Darah : 180/100 mmHg
Nadi : 104 x/m
Pernapasan : 20 x/m
Suhu Badan : 37,2 ºC
Saturasi Oksigen : 100%
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 155 cm
IMT : 20,81kg/m2 (Normoweight)
Gizi : Baik
Kepala : Normocephali, konjungtiva palpebra pucat (-),
sklera ikterik (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks
Jantung : HR: 104x/m, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru : Vaskuler +/+, Ronkhi -/-. Wheezing -/-
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Anggota Gerak : Lihat status neurologikus
Genitalia : Tidak diperiksa
Status Psikiatrikus
4
Sikap : belum dapat dinilai Ekspresi Muka : belum dapat dinilai
Perhatian : belum dapat dinilai Kontak Psikik : belum dapat dinilai
Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : normocephali Deformitas : (-)
Ukuran : normal Fraktur : (-)
Simetris : simetris Nyeri fraktur : (-)
Hematom : (-) Tumor : (-)
Pulsasi : (-)
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

LEHER
Sikap : lurus Deformitas : (-)
Torticolis : (-) Tumor : (-)
Kaku kuduk : (-)
Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri
Penciuman belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Anosmia belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Hyposmia belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Parosmia belum dapat dinilai belum dapat dinilai

N.Opticus Kanan Kiri


Visus belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Campus visi belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Anopsia belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Hemianopsia belum dapat dinilai belum dapat dinilai

5
Fundus Oculi tidak ada kelainan
- Papil edema
- Papil atrofi
- Perdarahan retina

N. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens Kanan Kiri


Diplopia tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Celah mata simetris simetris
Ptosis (-) (-)
Sikap bola mata
- Strabismus belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Exophtalmus belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Enophtalmus belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Deviation conjugae (-) (-)
- Gerakan bola mata belum dapat dinilai belum dapat dinilai
Pupil
- Bentuknya bulat bulat
- Besarnya Ø 3 mm Ø 3 mm
- Isokori/anisokor isokor
- Midriasis/miosis (-) (-)
Refleks cahaya
- Langsung (+) (+)
- Konsensuil (+) (+)
- Akomodasi (+) (+)

6
N.Trigeminus Kanan Kiri
Motorik
- Menggigit belum dapat dinilai
- Trismus belum dapat dinilai
- Refleks kornea belum dapat dinilai
Sensorik
- Dahi belum dapat dinilai
- Pipi belum dapat dinilai
- Dagu belum dapat dinilai

N.Facialis
Kanan Kiri
Motorik
- Mengerutkan dahi belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Menutup mata belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Menunjukkan gigi belum dapat dinilai belum dapat dinilai
- Lipatan nasolabialis tidak ada kelainan plika datar
- Bentuk Muka
- Istirahat sudut mulut kiri tertinggal
- Berbicara/bersiul belum dapat dinilai
Sensorik
2/3 depan lidah tidak diperiksa
Otonom
- Salivasi tidak ada kelainan
- Lakrimasi tidak ada kelainan
- Chovstek’s sign (-) (-)

N. Cochlearis
Kanan Kiri
Suara bisikan tidak diperiksa
Detik arloji tidak diperiksa
7
Tes Weber tidak diperiksa
Tes Rinne tidak diperiksa
N. Vestibularis
Kanan Kiri
Nistagmus (-) (-)
Vertigo (-) (-)

N. Glossopharingeus dan N. Vagus


Arcus pharingeus belum dapat dinilai
Uvula belum dapat dinilai
Gangguan menelan belum dapat dinilai
Suara serak/sengau belum dapat dinilai
Denyut jantung belum dapat dinilai
Refleks
- Muntah belum dapat dinilai
- Batuk belum dapat dinilai
- Okulokardiak belum dapat dinilai
- Sinus karotikus belum dapat dinilai
Sensorik
- 1/3 belakang lidah tidak dinilai
N. Accessorius
Kanan Kiri
Mengangkat bahu belum dapat dinilai
Memutar kepala belum dapat dinilai
N. Hypoglossus
Kanan Kiri
Mengulur lidah belum dapat dinilai
Fasikulasi belum dapat dinilai
Atrofi papil tidak ada
Disartria belum dapat dinilai

8
MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Lateralisasi (+) ke kiri
Kekuatan Lateralisasi (+) ke kiri
Tonus Normal Meningkat
Refleks fisiologis
- Biceps Normal Meningkat
- Triceps Normal Meningkat
- Radius Normal Meningkat
- Ulna Normal Meningkat
Refleks patologis
- Hoffman Ttromner (-) (-)
- Leri (-) (-).
- Meyer (-) (-)
Trofik (-) (-)
TUNGKAI Kanan Kiri
Gerakan Lateralisasi (+) ke kiri
Kekuatan Lateralisasi (+) ke kiri
Tonus Normal Meningkat
Klonus
- Paha (-) (-)
- Kaki (-) (-)
Refleks fisiologis
- KPR Normal Meningkat
- APR Normal Meningkat
Refleks patologis
- Babinsky (-) (+)
- Chaddock (-) (-)
- Oppenheim (-) (-)
- Gordon (-) (-)
- Schaeffer (-) (-)
9
- Rossolimo (-) (-)
- Mendel Bechterew (-) (-)
Refleks kulit perut
- Atas tidak ada kelainan
- Tengah tidak ada kelainan
- Bawah tidak ada kelainan
Trofik tidak ada kelainan

SENSORIK
Belum dapat dinilai

GAMBAR

FUNGSI VEGETATIF
Miksi : terpasang kateter
Defekasi : baik
Ereksi : tidak dinilai

10
KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : (-)
Lordosis : (-)
Gibbus : (-)
Deformitas : (-)
Tumor : (-)
Meningocele : (-)
Hematoma : (-)
Nyeri ketok : (-)

GEJALA RANGSANG MENINGEAL


Kaku kuduk (+)
Kerniq (-)
Lasseque (-)
Brudzinsky
- Neck (-)
- Cheek (-)
- Symphisis (-)
- Leg I (-)
- Leg II (-)
GAIT DAN KESEIMBANGAN
Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Ataxia : Belum dapat dinilai Romberg : Belum dapat dinilai
Hemiplegic : Belum dapat dinilai Dysmetri : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai - jari-jari :
Propulsion : Belum dapat dinilai - jari hidung :
Histeric : Belum dapat dinilai - tumit-tumit :
Limping : Belum dapat dinilai Rebound phenomen : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai Dysdiadochokinesis : Belum dapat dinilai
Astasia-Abasia: Belum dapat dinilai Trunk Ataxia : Belum dapat dinilai
Limb Ataxia : Belum dapat dinilai
11
GERAKAN ABNORMAL FUNGSI LUHUR
Tremor : (-) Afasia motorik : Belum dapat
Chorea : (-) dinilai
Athetosis : (-) Afasia sensorik : Belum dapat
Ballismus : (-) dinilai
Dystoni : (-) Apraksia : Belum dapat
Myocloni : (-) dinilai
Agrafia : Belum dapat
dinilai
Alexia : Belum dapat
dinilai

Skor SIRIRAJ
Jenis Pemeriksaan Poin
Kesadaran (K) Kompos mentis (GCS15-14) 0 X 2,5
Somnolen dan stupor (GCS 13-8) 1
Semikoma dan koma (GCS 7-3) 2
Muntah dalam Tidak ada 0 X2
waktu 2 jam (M) Ada 1
Cephalgia dalam Tidak ada 0 X2
waktu 2 jam (C) Ada 1
Atheroma (A) Tidak ada 0 X3
Ada 1
Tekanan Diastolik 100 100 X 0,1
(D)
Konstanta -12 -12
Jumlah 2.5
Bila skor total > 1, berarti stroke perdarahan
Bila skor total < -1, berarti stroke iskemi

12
Siriraj score = (2,5 x kesadaran )+ (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x
tekanan diastolik) – (3 x atheroma) – 12
Siriraj Score= (2.5 x 1) + (2 x 0) + (2 x 1) + (0.1 x 100) – (3X0) – 12
= 2,5 + 2 + 0 + 10 – 0 – 12
= +2,5  Stroke Hemoragik

Algoritma Gajah Mada


Penurunan Kesadaran Nyeri Kepala Babinski Jenis Stroke

+ + + Perdarahan

+ - - Perdarahan

- + + Perdarahan

- - + Iskemik

- - - Iskemik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (20 Oktober 2018)
 Hemoglobin : 13,1 g/dl  Chlorida : 105 mmol/L
 RBC : 5,02x106/mm3  Calcium : 90 mmol/L
 WBC : 11.000/mm3  BSS : 139 mg/dl
 Hematokrit : 42%
 Trombosit : 265.000/mm3
 Diff. count : 0/3/73/13/8
 SGOT : 23 U/L
 SGPT : 27 U/L
 Albumin : 4 mg/dl
 Ureum : 94 mg/dl
 Kreatinin : 1,14 mg/dl
 Natrium : 163 mmol/L
 Kalium : 3,4 mmol/L
13
CT Scan Kepala

DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Obs. Penurunan Kesadaran
Hemiparese sinistra tipe spastik
Parese N. VII sinistra tipe sentral

14
Gejala Rangsang Meningeal (+)
Diagnosis topik : Frontotemporoparietal dextra, ruang subarachnoid
Diagnosis etiologi : CVD Hemoragik (ICH + SAH)
Diagnosis tambahan : Hipertensi stage II

PENATALAKSANAAN
Nonfarmakologi:
 Follow Up: GCS+TTV
 Head up 30°
 O2 8-10 lpm via NRM
 Bed Rest
 Assesment Bedah: Craniotomi cito

Farmakologi
 IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
 Inj. Asam Tranexamat 4 x 1 gr iv
 Inj. Omeprazole 1x40 mg IV
 Inj. Manitol 4 x 125 cc IV
 Inj. Paracetamol fls 3 x1 gr IV
 Neurodex 1 x 1tab po
 Nimodipin 4 x 60 mg PO

FOLLOW UP
Dilakukan pemeriksaan pada tanggal 26-10- 2018, pukul 07.00
S: penurunan kesadaran
O: Sens : E3M5V3 TD : 170/100 mmhg
RR: 22x/m HR: 96x/m
Temp: 36,6 SPO2: 98%
Status Neurologis :
N III: bulat, isokor, 3mm/3mm, RC +/+

15
N III, IV, VI : kedudukan bola mata di tengah, konjugate deviasi (-)
N VII : Plica nasobialis sinistra datar, sudut mulut kiri tertinggal
N XII : belum dapat dinilai

Fungsi Motorik : Lka Lki Tka Tki


Gerakan Lateralisasi (+) ke kiri
Kekuatan Lateralisasi (+) ke kiri
Tonus N ↑ N ↑
Klonus - -
Reflek Fisiologis N ↑ N ↑
Reflek Patologis - - - Babinsky (+)

Fungsi Luhur : Belum dapat dinilai


Fungsi Sensorik : Belum dapat di nilai
Fungsi Vegetatif : Kateter urine (+)
Gejala Rangsang Meningeal : kaku kuduk (+)
Gerakan abnormal : Tidak ada kelainan
Gait & Keseimbangan : Belum dapat dinilai

A: Diagnosis klinis : Obs. Penurunan Kesadaran


Hemiparese sinistra tipe spastik
Parese N. VII sinistra tipe sentral
Gejala Rangsang Meningeal (+)
Diagnosis topik : Frontotemporoparietal dextra, ruang subarachnoid
Diagnosis etiologi : CVD Hemoragik (ICH + SAH)

P : Nonfarmakologi:
 Follow Up: GCS+TTV
 Head up 30°
 O2 8-10 lpm via NRM
 Bed Rest

16
 Assesment Bedah: Craniotomi cito

Farmakologi
 IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit
 Inj. Asam Tranexamat 4 x 1 gr iv
 Inj. Omeprazole 1x40 mg IV
 Inj. Manitol 4 x 125 cc IV
 Inj. Paracetamol fls 3 x1 gr IV
 Neurodex 1 x 1tab po
 Nimodipin 4 x 60 mg PO

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stoke Hemoragik


2.1.1 Definisi
Stroke adalah hilangnya sebagian fungsi otak yang terjadi secara mendadak
atau tiba-tiba akibat dari sumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak. Tanpa
oksigen dan nutrisi penting yang dialirkan bersama dengan darah, sel otak akan
rusak atau mati dalam beberapa menit.1
Stroke hemoragik disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan otak
(disebut hemoragia intraserebrum atau hematom intraserebrum) atau kedalam
ruang subaraknoid, yaitu ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan
yang menutupi otak (disebut hemoragia subaraknoid). Ini adalah jenis stroke yang
paling mematikan dan merupakan sebagian kecil dari stroke total yaitu 10-15%
perdarahan intraserebrum dan sekitar 5% untuk perdarahan subaraknoid.1
Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vascular intraserebrum
mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau
langsung ke dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vascular yang dapat
menyebabkan perdarahan subaraknoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan
malformasi arteriovena (MAV).2
2.1.2 Epidemiologi
Insiden kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 pertahunnya
dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik khususnya perdarahan intraserebral.
Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat dari pada stroke
iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali
kemandirian fungsionalnya. Selain itu ada sekitar 40-80% akhirnya meninggal
pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada 48 jam
pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita stroke, ada 47% wanita dan
53% laki-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%) berumur lebih dari 60 tahun.
Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki
menunjukkan outcome yang lebih buruk.2

18
2.1.3 Etiologi
Penyebab stroke hemoragik sangat beragam, yaitu: 2
 Perdarahan intraserebral primer (hipertensif)
 Ruptur kantung aneurisma
 Ruptur malformasi arteri dan vena
 Trauma (termasuk apopleksi tertunda paska trauma)
 Kelainan perdarahan seperti leukemia, anemia aplastik, ITP, gangguan
fungsi hati, komplikasi obat trombolitik atau anti koagulan,
hipofibrinogenemia, dan hemofilia.
 Perdarahan primer atau sekunder dari tumor otak.
 Septik embolisme, myotik aneurisma
 Penyakit inflamasi pada arteri dan vena
 Amiloidosis arteri
 Obat vasopressor, kokain, herpes simpleks ensefalitis, diseksi arteri
vertebral, dan acute necrotizing haemorrhagic encephalitis.

2.1.4 Faktor Risiko


Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke:
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke
Faktor Resiko Keterangan
Umur Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi
pada mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali
ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun.
Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi.
Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada
laki-laki berbanding perempuan.
Riwayat keluarga Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke antara
kembar monozigotik dibandingkan dengan pasangan kembar
laki-laki dizigotik yang menunjukkan kecenderungan
genetik untuk stroke. Tiga kali lipat peningkatan kejadian

19
stroke pada laki-laki yang ibu kandungnya meninggal akibat
stroke, dibandingkan dengan laki-laki tanpa riwayat ibu
yang mengalami stroke.
Diabetes mellitus Diabetes meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar
dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang
tanpa diabetes.
Penyakit jantung Penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih dari dua
kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang
fungsi jantungnya normal.
Merokok merokok menyebabkan peningkatan risiko stroke untuk
segala usia dan kedua jenis kelamin,
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika
hematokrit hematokrit melebihi 55%.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk
tingkat fibrinogen stroke trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga
dan kelainan telah dicatat, seperti antitrombin III dan kekurangan protein
system pembekuan C serta protein S dan berhubungan dengan vena thrombotic.
Hemoglobinopathy Sickle-cell disease :
Dapat menyebabkan infark iskemik atau hemoragik,
intraserebral dan perdarahan subaraknoid, vena sinus dan
trombosis vena kortikal. Keseluruhan kejadian stroke dalam
Sickle-cell disease adalah 6-15%.

Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria :


Dapat mengakibatkan trombosis vena serebral
Penyalahgunaan Obat yang telah berhubungan dengan stroke termasuk
obat methamphetamines, norepinefrin, LSD, heroin, dan kokain.
Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko
stroke pada wanita muda.
Diet Konsumsi alkohol meningkatkan risiko infark otak, dan

20
perdarahan subarachnoid.
Kegemukan
Penyakit Karena bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah.
pembuluh darah
perifer
Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral
melalui pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding
pembuluh darah.
Homosistinemia Predisposisi trombosis arteri atau vena di otak. Estimasi
atau risiko stroke di usia muda adalah 10-16%.
homosistinuria

Migrain Sering pasien mengalami stroke sewaktu serangan migrain.


Suku bangsa Kejadian stroke di Afrika-Amerika lebih tinggi secara tidak
proporsional dari kelompok lain.
Sirkadian dan Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara
faktor musim pagi dan siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis
bahwa perubahan diurnal fungsi platelet dan fibrinosis
mungkin relevan untuk stroke.

2.1.5 Klasifikasi
Terdapat beberapa pengelompokkan stroke. Klasifikasi stroke telah banyak
dikemukakan oleh beberapa institusi, seperti yang dibuat oleh Stroke Data Bank,
World Health Organization (WHO,1989) dan National Institute of Neurological
Disease and Stroke (NINDS,1990). Pada dasarnya klasifikasi tersebut
dikelompokan atas dasar manifestasi klinik, proses patologi yang terjadi di otak
dan area lesinya. Hal ini berkaitan dengan pendekatan diagnosis neurologis untuk
menetapkan diagnosis klinis, diagnosis topik dan diagnosis etiologi.4,5 Lebih jauh,
stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinik, patologi anatomi,
sistem darah dan stadiumnya. Pengelompokkan yang berbeda-beda ini menjadi
landasan untuk menentukan terapi dan usaha pencegahan stroke.4

21
1. Berdasarkan Patalogi Anatomi dan penyebabnya
a. Stroke iskemik
- Transient Ischemic Attack (TIA)
- Trombosis serebri
- Emboli serebri
b. Stroke hemoragik
- Perdarahan intraserebral
- Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu
a. TIA
b. Stroke-in-evolution
c. Completed stroke
d. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebra-basiler

Stroke memiliki tanda klinik yang spesifik, tergantung dengan daerah otak
yang mengalami iskemik atau infark. Walaupun telah terdapat pngelompokkan
stroke berdasarkan patologi anatominya, yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik, namun penegakkan klinis stroke (hemoragik maupun non-hemoragik)
tidak dapat semata-mata ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis saja, karena
semua gejala pada kedua kelompok stroke ini hampir sama. Untuk itu diperlukan
pemeriksaan tambahan yang lebih komprehensif untuk menegakkan diagnosis
stroke, seperti CT-scan.3

2.1.6 Patofisiologi
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan
perdarahan subarachnoid. Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 %
adalah stroke hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan
subarachnoid dan perdarahan intraserebral.6

22
Faktor risiko paling penting dari ICH adalah hipertensi dan cerebral
amyloid angiopathy (CAA).Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena
pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini
paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi
kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer
mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa
lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada
kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan
rupturnya penetrating arteri yang kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah
kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan pembuluh kapiler yang akhirnya
membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan volume perdarahan
semakin besar.6
CAA dicirikan dengan adanya deposisi dari amyloid-beta peptide pada
dinding pembuluh darah. Meskipun mekanisme yang mendasari pengumpulan
amyloid masih belum diketahui, namun hal itu menyebabkan perubahan
degenerative dari dinding pembuluh darah yang bercirikan dengan hilangnya sel
otot polos, penebalan pembuluh, penyempitan lumen, pembentukan
mikroaneurisma dan perdarahan mikro. Mengikuti rupturenya pembuluh darah,
hematoma menyebabkan cedera mekanik langsung terhadap parenkim otak.4,5
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena
darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis.5
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular
atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).5

23
2.1.7 Manifestasi Klinis
Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulakan defisist neurologi yang
bersifat akut, baik deficit motorik, deficit sensorik, penurnan kesadaran, gangguan
fungsi luhur, maupun gangguan pada batang otak.3
Gejala klinis dari stroke hemoragik dapat dibedakan, yaitu:
1. Gejala perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral umumnya terjadi pada usia 50-75 tahun.
Perdarahan intraserebral umunya akan menunjukkan gejala klinis
berupa:
a. Terjadi pada waktu aktif
b. Nyeri kepala, yang diikuti dengan muntah dan penurunan
kesadaran
c. Hemiparese kontralateral
2. Gejala perdarahan subarachnoid
Pada perdarahan subarachnoid akan menimbulakan tanda dan gejala
klinis berupa:
a. Nyeri kepala yang hebat dan mendadak
b. Hilangnya kesdaran
c. Fotofobia
d. Meningismus
e. Mual dan muntah
f. Tanda-tanda perangsangan meningeal, seperti kaku kuduk.

Tabel 2. Perbedaan perdarahan intraserebri dan perdarahan subarachnoid

Perdarahan Intraserebri Perdarahan Subarachnoid


Onset Usia pertengahan - usia tua Usia muda
Jenis Kelamin >> ♂ >> ♀
Etiologi Hipertensi Ruptur aneurisma
Lokasi Ganglia basalis, pons, Rongga subarachnoid
thalamus, serebelum

24
Gambaran klinik Penurunan kesadaran, nyeri Penurunan kesadaran, nyeri
kepala, muntah kepala, muntah
Defisit neurologis (+) Deficit neurologist (-)/ ringan
Rangsang meningen (+)
Pemeriksaan - CSS seperti air cucian - Perdarahan subhialoid
Penunjang daging/ xantochrome (Funduskopi)
(Pungsi lumbal) - CSS gross hemorrhagic
- Area hiperdens pada CT (Pungsi lumbal)
Scan - Perdarahan dalam rongga
subarachnoid (CT Scan)

2.1.8 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesa akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak, mulut mengot
atau bicara pelo yang terjadi secara tiba-tiba pada saat sedang beraktivitas. Selain
itu, pada anamnesa juga perlu ditanyakan penyakit-penyakit tedahulu seperti
diabetes mellitus atau kelainan jantung. Obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat
penyakit dalam keluarga juga perlu ditanyakan pada anamnesa.
Tabel 3. Sirijak Stroke Score

Siriraj Stroke Score (SSS)

25
Cara penghitungan:
SSS = (2,5 x kesadaran)+(2 x muntah)+(2 x nyeri kepala)+(0,1 x
tekanan diastolik)-(3 x atheroma) – 12
- Nilai SSS Diagnosa
- >1 Perdarahan otak
- < -1 Infark otak
- -1 < SSS < 1 Diagnosa meragukan (Gunakan kurva atau
CT Scan)
Atheroma
1) Angina Pectoris
2) Claudicatio Intermitten
3) Diabetus Melitus

Tabel 4. Skor Gajah Mada

Skor Gajah Mada (SGM)

Menggunakan 3 variabel pemeriksaan yaitu:

26
a. Penurunan Kesadaran
b. Nyeri Kepala
c. Refleks Babinski

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti
tingkat kesadaran, ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks tendon, refleks
patologis dan fungsi saraf kranial. Gangguan ringan ketangkasan gerakan jari-jari
tangan dan kaki dapat dinilai melalui tes yang dilakukan dengan cara
menyuruhpenderita membuka dan menutup kancing bajunya. Kemudian melepas
dan memakai sandalnya.3
Penilaian kekuatan otot dalam derajat tenaga 0 sampai 5 secara praktis
mempunyai kepentingan dalam penilaian kemajuan atau kemunduran orang sakit
dalam perawatan dan bukan suatu tindakan pemeriksaan yang semata-mata
menentukan suatu kelumpuhan.3
Refleks patologis dapat dijumpai pada sisi yang hemiparetik. Refleks
patologis yang dapat dilakukan pada tangan ialah refleks Hoffmann–Tromner.
Sedangkan refleks patologis yang dapat dibangkitkan di kaki ialah refleks
Babinsky, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaefer dan Gonda.2

Tabel 5. Gangguan nervus kranialis 6


Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis dengan lesi

I: Olfaktorius Penciuman Anosmia (hilangnya daya


penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Okulomotorius Gerak mata, kontriksi Diplopia (penglihatan kembar),
pupil, akomodasi ptosis; midriasis; hilangnya
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia

27
V: Trigeminus Sensasi umum wajah, ”mati rasa” pada wajah;
kulit kepala, dan gigi; kelemahan otot rahang
gerak mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; sensasi Hilangnya kemampuan
umum pada platum dan mengecap pada duapertiga
telinga luar; sekresi anterior lidah; mulut kering;
kelenjar lakrimalis, hilangnya lakrimasi; paralisis
submandibula dan otot wajah
sublingual; ekspresi
wajah
VIII: Pendengaran; Tuli; tinitus(berdenging terus
Vestibulokoklearis keseimbangan menerus); vertigo;nistagmus
IX: Glosofaringeus Pengecapan; sensasi Hilangnya daya pengecapan pada
umum pada faring dan sepertiga posterior lidah; anestesi
telinga; mengangkat pada faring; mulut kering
palatum; sekresi kelenjar sebagian
parotis
X: Vagus Pengecapan; sensasi Disfagia (gangguan menelan)
umum pada faring, laring suara parau; paralisis palatum
dan telinga; menelan;
fonasi; parasimpatis
untuk jantung dan visera
abdomen
XI: Asesorius Spinal Fonasi; gerakan kepala; Suara parau; kelemahan otot
leher dan bahu kepala, leher dan bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan pelayuan lidah

3. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan

28
- Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan
stroke infark dengan stroke perdarahan.
- Pada stroke karena infark, gambaran CT scannya secara umum adalah
didapatkan gambaran hipodens sedangkan pada stroke perdarahan
CT scan
menunjukkan gambaran hiperdens.

Gambar 1. Gambaran CT scan

29
Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif). 5

Pemeriksaan Angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem
karotis atau vertebrobasiler,Angiografi
menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi
atau aneurisma pada pembuluh darah.5

Gambar 2. Angiografi

Pemeriksan USG
Pemeriksaan ini untuk menilai pembuluh darah intra dan ekstra kranial,
menentukan ada tidaknya stenosis arteri karotis.5

Gambar 3. USG

Pemeriksaan Pungsi Lumbal


- Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak adanya CT scan atau MRI.
- Pada stroke PIS didaptkan gambaran LCS seperti cucian daging atau
berwarna kekuningan.

30
- Pada PSA didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark
tidak didapatkan perdarahan (jernih). 5

Pemeriksaan Penunjang Lain


Pemeriksaan untuk menetukan faktor resiko seperti darah rutin, komponen
kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar),
elektrolit darah, Thoraks Foto, EKG, Echocardiografi.5

2.1.9 Tatalaksana4,5
1. Manajamen Prehospital pada Stroke Akut
Tujuan penatalaksanaan stroke adalah menurunkan morbiditas
dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.
Filosofi yang harus dipegang adalah time is brain and golden hour.
Dengan penanganan yang benar pada jam jam pertama, angka
kecacatan stroke paling tidak berkurang 30%.
2. Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA.
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke
antara lainhemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia
atau buta mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia,
kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya terjadi secara
rnendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Facial
movement, Arm movement, Speech, Test all three).
3. Pengiriman Pasien
Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera
panggil ambulans gawat darurat. Pada pengiriman pasien utamakan
transpoortasi yang memenuhi syarat seperti; personil yang terlatih,
Mesin EKG. Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat,
obat-obat neuroprotektan, telemedisin, ambulans yang dilengkapi
dengan peralatan gawat darurat, antara lain, pemeriksaan glukosa
(glucometer), kadar saturasi 02 (pulse oximeter) pada fase ini.

31
4. Tatalaksana di Ruang Gawat darurat
 Evaluasi Cepat dan Diagnosis
 Terapi Umum
a) Stabilisasi Jalan Napas danPernapasan
Pemantuan selama 72 jam untuk status neurologis, nadi, tekanan
darah, suhu tubuh dan saturasi oksigen. Perbaiki jalan nafas
termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan
jalan nafas. Pada pasien hipoksia diberikan suplai oksigen.
Pemberian oksigen dianjurkan jika saturasi oksigen <95%.
Pasien stroke iskemik akut yang non hipoksia, tidak
memerlukan suplemen oksigen. Intubasi Endo Trachel Tube
(ETT) atau Laryngeal Mask Airway (LMA) diperlukan pada
pasien dengan hipoksia (p02 <60mmHg atau pCO2 > 50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang beresiko untuk terjadi
aspirasi. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari
2 minggu maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
b) Stabilisasi hemodinamik(sirkulasi)
Berikan cairan kristaloid atau kolloid intravena (hindari
pemberian cairan hipotonik seperti glukosa). Optimalisasi
tekanan darah, Bila tekanan darah sistolik dibawah 120 mmHg,
dan cairan sudah mencukupi dapat diberikan obat-obat
vasopressor secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/tinggi,
norepinerfrin atau epinerfin dengan target tekanan darah sistolik
berkisar 140mmHg. Pemantauan jantung (Cardiac Monitoring)
harus dilakukan selama 24 jam pertama setelah awitan serangan
stroke iskemik, Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif,
segera atasi. Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari
penyebabnya, hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin
normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan

32
curah jantung sekuncup harus dikoreksi.
c) Pemeriksaan awal fisik umum
Tekanan darah, pemeriksaan jantung, pemeriksaan neurologi
umum awal, meliputi: derajat kesadaran, pemeriksaan pupil dan
okulomotor, keparahan hemiparesis.
d) Pengendalian peninggian TIK
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan resiko edema
serebral harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan
gejala dan tanda neurologik pada hari-hari pertama setelah
serangan stroke. Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan

tekanan intra kranial meliputi : Tinggikan posisi kepala 20-300,


posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena jugulare,
hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik, hindari
hipertermia, jaga normovolemia, osmoterapi atasindikasi:
o Manitol 0,25-0,50gr/kgbb, selam >20 menit, diulangi setiap
4-6 jam dengan target ≤ 310 mOsm/L. Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama
pemberianosmoterapi.
o Kalau perlu diberikan furosemide dengan dosis insial
1mg/KgBB iv
o Kortikosteroid tidak direkomendasi untuk mengatasi udem
otak dan tekanan tinggi intrakranial pada stroke iskemik,
dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.
e) Penanganan transformasi hemoragik
Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi
stroke perdarahan, anrata lain dengan memperbaiki perfusi
serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara
hati-hati.
f) Pengendalian kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dan diikuti oleh phenitoin loding dose 15-20 mg/kg bolus

33
dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit, bila kejang belum
teratasi maka perlu dirawat di ICU.
g) Pengendalian suhu tubuh
Penderita stroke yang disertai febris harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya. Berikan asetaminofen

650mg bila suhu >38,50 c. Pada pasien febris atau beresiko


terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan (tracheal,
darah dan urine) dan diberikan antibiotik.
5. Tatalaksana Umum di Ruang Rawat
a. Cairan
Berikan cairan isotonis seperti 0,9 % salin dengan tujuan menjaga
euvolemi. Pada umumnya kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari
(parenteral maupun enteral). Pemberian cairan yang hipotonik atau
mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada keadaan
hipoglikemia Setiap pemberian cairan selalu lakukan balans cairan,
balans cairan di perhitungkan dengan mengukur produksi urine.
Selain cairan, elektrolit (sodium, potassium, calcium, magnesium)
harus selalu diperiksa dn diganti bila terjadi kekurangansampai
tercapai nilai normal. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai
dengan hasil analisa gas darah.
b. Nutrisi
Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,
oral nutrisi hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan
baik. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun
makanan diberikan melalui NGT. Apabila kemungkinan pemakaian
NGT diperkirakan >6 minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi,
pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak
memungkinkan, dukungan nutrisi bole diberikan secara parenteral.
Jumlah kebutuhan kalori pada fase akut 25-30 kkal/kg/hari dengan
komposisi: karbohidrat 30-40 % dari total kalori, lemak 20-35 %,

34
protein 20-30%. Pemberian diet pasien tidak bertentangan dengan
obat-obat yang diberikan.
c. Pencegahan dan mengatasi komplikasi
Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus,
komplikasi ortopedik dan kontraktur perlu dilakukan. Disamping itu
pemberiaan antibiotik juga berdasarkan indikasi dan usahakan
sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi
empiris sesuai dengan pola kuman. Pencegahan dekubitus dengan
mobilisasi terbatas.
d. Penatalaksanaan medik yang lain
Pada pasien stroke akut dengan hiperglikemia harus diobati. Target
yang harus dicapai adalah normoglikemia. Jika gelisah lakukan
terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor tranquilizer
seperti benzodiazepin short acting atau propofol.
Pasien dengan stroke sebaiknya berhati hati dalam mengunakan
penyedotan lendir atau memandikan pasien karena dapat
mempengaruhi TIK.

6. Tatalaksana Tekanan Darah pada Stroke Akut


Sebagian besar pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan
darah sistolik >140 mmHg. Namun penurunan tekanan darah tinggi
pada stroke akut tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat
memperburuk keluarga neurologis. Tekanan darah pada stroke akut
akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan
serangan stroke.
Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar
15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan
apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah
diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang
akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga

35
TDS <185 mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence B).
Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA,
Class IIb, Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean
Arterial Preassure (MAP)>150 mmHg, tekanan darah diturunkan
dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu
dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Apabila TDS >180
mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda
peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial dan diturunkan dengan obat antihipertensi intravena secaara
intermitten dengan tekanan serebral > 60 mmHg. Apabila tanpa disertai
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah
diturunkan secarahati- hati dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah
setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah
160/90mmHg. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS
150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS
140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).
Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100 mmHg.
Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada
pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan
hingga TDS 140- 160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering
digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko terjadinya
vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia
pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas
kardiovaskular.
Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan
hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang
mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark
miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati
hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15- 25% pada jam

36
pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama (Perdossi,
2011).

Tabel 6. Obat antihipertensi pada stroke akut5

Golongan Mekanisme Dosis Keuntungan Kerugian


Ca Channel Penyekat 5mg/jam IV, Awitan cepat Takikardi atau
Blocker Kalsium
kanal 2,5 mg/jam menit)
(1-5 , tidak bradikardi
Nikardipin tiap 15 terjadi rebound hipotensi, durasi
Dilitiazem menit, yang bermakna lama (4-6 jam)
sampai jika dihentikan.
15mg/jam Eliminasi tidak
dipengaruhi
Vasodilator NO 2,5-10 mg oleh fungsi Serum sickness,
Langsung terkait IV hepar dan renal. drug induced
Hidralasin dengan bolus Potensi lupus, durasi
Nitrogliserin mobilisas
Nitrovaso (sampai
5-100 40 interaksi
Awitan obat
1-2 lama 3-4 jam,
Produksi
i kalsium mcg/kgbb/m
dilator mg) rendah.
menit, awitan lambat
methemoglobin,
dalam en it IV durasi 3-5 menit (15-30 menit)
takikardia
7. Tatalaksana Perdarahan
ototpolosIntraserebral
Penatalaksanaan perdarahan intraserebral pertama kali adalah
diagnosis dan penilaian gawat Darurat pada perdarahan intrakranial dan
penyebabnya dengan pemeriksan pencitraan, angiografi CT, CT dengan
kontras. Kedua lakukan pasien dengan defisiensi berat faktor koagulasi
atau trombositopenia berat sebaiknya mendapat terapi penggantian
faktor koagulasi atau trombosit. Namun pasien dengan perdarahan
intracranial dan peningkatan INR terkait obat antikoagulan oral
sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat terapi untuk
menggganti vitamin K-dependent faktor dan mengkoreksi INR, serta
mendapat vitamin K intravena, serta lakukan penatalaksanaan terhadap
hipertensi. Jika pasien mengalami kejang sebaiknya diterapi dengan

37
obat antiepilepsi. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat
dikoreksi dengan vitamin K 10 mg IV dengan peningkatan INR.
Penatalaksaan tekanan darah dengan menggunakan antihipertensi,
pemantauan sebaiknya dilakukan di ruang ICU. Penatalaksanaan gula
darah dan kejang juga sebaiknya dilakukan. Prosedur operasi dapat
dilakukan jika Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi
transtentorial, atau dengan perdarahan intraventrikuler yang luas atau
hidrosefalus, dapat dipertimbangkan. Pasien dengan perdarahan
serebral yang mengalami perburukan neurologis, atau yang terdapat
kompresi batang otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel
sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah secepatnnya, Pada
pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari
permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial.
Penggunaan external ventricular drainage melalui intraventricular
kateter untuk mengatasi hidrosefalus pada ICH. Pada SAH dpt diberi
Calsium antagonis (nimodipine) 60 mg 4 kali sehari peroral maupun
pembedahan (aneurisma, AVM) dengan ligasi, embolisasi, ekstirpasi,
gamma knife.

2.2 Perdarahan Subarachnoid


2.2.1 Anatomi Lapisan Meningen
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Meningen terdiri
daripada tiga lapisan membran penghubung yang memproteksi Otak dan Medulla
Spinalis. Dura Mater adalah membran yang paling superfisial dan tebal. Dura
Mater meliputi Falx Serebri, Tentorium Serebelli dan Falx Serebelli. Dura Mater
membantu memfiksasiotak di dalam tulang kepala. Membran Meningea
seterusnya adalah sangat tipis yang dinamakan Arachnoid Mater. Ruang antara
membran ini dengan Dura Mater dinamakan ruang Subdural danmempunyai
sangat sedikit cairan serosa. Lapisan Meningea yang ketiga adalah Pia mater
yangmelapisi permukaan otak. Antara Arachnoid Mater dan Pia Mater

38
mempunyai ruang Subarachnoid di mana terdapat banyak pembuluh darah dan
dipenuhi dengan cairan Serebrospinal.7

Gambar 4. Membran meningea pada permukaan otak.


1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat dimana
keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar
sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana
lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.7
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke
dalam tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat

39
yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di antara kedua
hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista
galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis
interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas
ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium
cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa
craniii posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis
dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia
meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri.
Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura.7

Gambar 5. Dural Folds


2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia
menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum
subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa
yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi sistem rongga-rongga yang
saling berhubungan.7
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam
sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi

40
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis
superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki
circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke
dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe.7
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun
rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak.
Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut
struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan
cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.7
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini
bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak
pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di
bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis.
Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di atas chiasma opticum, cisterna
supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara
peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis
dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).

Gambar 6. Lapisan Arachnoid


3. Piamater

41
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulkus,fissura dan sekitar pembuluh
darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di
bawah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari
ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-
pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-
ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan
membentuk tela choroidea di tempat itu.7
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Otak harus menerima
lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar 15% dari darah total yang
dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi normal. Otak mendapat darah
dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna yang terdiri dari arteri
karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut
sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior. Yang kedua adalah vertebrobasiler,
yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri
serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan
sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus willisi.8
Kortex Serebri pada otak kiri dan kanan disuplai dengan darah oleh tiga
cabang arteri dari Sirkulus Willisi yaitu; Arteri Serebri Anterior, Arteri
Serebri Media dan Arteri Serebri Posterior. Arteri Serebri Media mensuplai
darah pada permukaan lateral otak. Arteri Serebri Anterior mensuplai
darah pada bagian medial Lobus Parietalis dan Frontalis. Arteri Serebri
Posterior mensuplai darah pada Lobus Occipital dan permukaan Medial
Lobus Temporal. Arteri Serebri dan cabangnya terletak dalam Ruang
Subarachnoid. Cabang arteri meninggalkan Ruang Subarachnoid dan

42
memasuki Pia Mater. Cabang pre kapiler meninggalkan Pia Mater dan
memasuki otak. Arteri di dalam otak membentuk kapiler.8

Gambar 7. arteri-arteri intrakranial.

Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-


fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat
sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke
atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang
berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan
serabutserabut saraf ke target organ.

2.2.2. Definisi
Perdarahan Subarachnoid adalah perdarahan ke dalam rongga
diantara otak dan selaput otak (rongga subarachnoid), diantara lapisan dalam
(pia mater) dan lapisan tengah (arachnoid mater) pada jaringan yang melindungi
otak (meninges).9
Subarachnoid Hemorrhage (SAH) atau Perdarahan Subarachnoid
(PSA) menandakan adanya darah di dalam ruang Subarachnoid akibat
beberapa proses patologis. SAH biasanya disebabkan oleh tipe perdarahan

43
non-traumatik, yang kasusnya paling banyak berasal dari rupturnya
aneurisma dan non aneurisma perimencephalik hemoragik.10
Perdarahan subarakhnoid terjadi apabila pembuluh darah yang terletak di
dekat permukaan otak pecah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang
subarakhnoid. Arteri yang terdapat di bagian basis otak dan berjalan melewati
ruang subarakhnoid merupakan tempat yang paling sering mengalami
pembentukan aneurisma sehingga apabila aneurisma tersebut ruptur maka aliran
darah yang pertama kali biasanya menuju sistem kavernous yang dibentuk oleh
arakhnoid. Jumlah darah yang mengalir ke ruang subarakhnoid ditentukan oleh
ukuran awal ruangan tersebut, brain compliance, tekanan darah, tingkat
pembekuan darah dan faktor hemodinamik lainnya. Perdarahan subarakhnoid
yang masif dapat menghasilkan volume perdarahan hingga 150 ml. Volume
perdarahan yang lebih besar dapat mengancam jiwa pasien. Proses perdarahan
berhenti ketika tekanan intrakranial melebihi tekanan intraarterial dan terjadi
proses pembekuan.11
2.2.3. Etiologi
Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya
aneurisma sebesar 85% dan 15% sisanya bukan disebabkan oleh aneurisma
saccular. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma.
Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah.
Selanjunya, 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic
hemoragik. Sisanya yaitu 5% disebabkan karena berbagai macam kondisi yang
jarang terjadi, diantaranya:9,10
- Lesi inflamasi arteri cerebral ( aneurisma mycotik, borreliosis, penyakit
Bechet, angiitis prmer, poliarteritis nodosa, sindrom Chaug-Strauss, dan
granulomatosis Wegener)
- Lesi non inflamasi pembuluh intracerebral ( diseksi arteri, malformasi
arteriovena cerebral, aneurisma fusiform, fistula arteriovena cerebradural,
angioma kavernosa intracerebral, thrombosis vena cerebral, angiopati
amiloid cerebral, dan penyakit Moyamoya)

44
- Lesi vaskular di medulla spinal (aneurisma sakular arteri spinal, fistula
atau malformasi arteriovena spinal, dan angioma kavernosa di medulla
spinal)
- Penyakit Sickle cell, koagulopati
- Tumor ( appopleksi pituitary, glioma maligna, angiolipoma, dan lainnya)
- Obat-obatan (kokain, dan obat antikoagulan)
- Trauma (tanpa kontusio)
Malformasi arterivenosa (MAV) adalah anomaly vaskuler yang terdiri dari
jaringan pleksiform abnormal tempat arteri dan vena terhubungkan oleh satu atau
lebih fistula. Pada MAV arteri berhubungan langsung dengan vena tanpa melalui
kapiler yang menjadi perantaranya. Pada kejadian ini vena tidak dapat
menampung tekanan darah yang datang langsung dari arteri, akibatnya vena akan
merenggang dan melebar karena langsung menerima aliran darah tambahan
yangberasal dari arteri. Pembuluh darah yang lemah nantinya akan mengalami
ruptur dan berdarah sama halnya seperti yang terjadi paada aneurisma.14 MAV
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kongenital dan didapat. MAV yang didapat
terjadi akibat thrombosis sinus, trauma, atau kraniotomi.15
Aneurisma adalah dilatasi/pelebaran/penonjolan pada dinding pembuluh
darah arteri, yang didasarkan atas hilangnya dua lapisan pembuluh darah, yaitu
tunika media dan tunika intima, yang menjadi elastis mengakibatkan kelemahan
pada pembuluh darah di daerah tersebut sehingga membentuk tonjolan akibat
tekanan pembuluh darah10. Dinding pembuluh darah pada aneurisma ini biasanya
menjadi lebih tipis dan mudah pecah yang bisa diakibatkan karena aktivitas saat
terjadinya ruptur, merokok, alcohol dan tindakan angiografi.. Jika aneurisma
pecah, maka penderita akan mengalami gejala-gejala klinis tertentu11. Aneurisma
diklasifikasikan berdasarkan morfologi (saccular,fusiform,mikotik), ukuran dan
lokasi (anterior dan posterior).10,11
1. Aneurisma tipe fusiformis (5–9%)
Aneurisma yang menonjol di segala penjuru dan tidak memiliki leher yang
berbeda. Penderita aneurisma ini mengalami kelemahan dinding melingkari
pembuluh darah setempat sehingga menyerupai badan botol.

45
Gambar 8. Aneurisma tipe fusiformis

Aneurisma tersebut umumnya terjadi pada segmen intracranial arteri karotis


interna, trunkus utama arteri serebri media, dan arteri basilaris. Aneurisma
fusiformis dapat disebabkan oleh aterosklerosis dan/atau hipertensi. Aneurisma
fusiformis yang besar pada arteri basilaris dapat menekan batang otak. Aliran
yang lambat di dalam aneurisma fusiformis dapat mempercepat pembentukan
bekuan intra-aneurismal terutama pada sisi-sisinya. Aneurisma ini biasanya tidak
dapat ditangani secara pebedahan saraf, karena merupakan pembesaran pembuluh
darah normal yang memanjang, dibandingkan struktur patologis (seperti
aneurisma sakular) yang tidak memberikan kontribusi pada suplai darah
serebral.13
2. Aneurisma tipe sakuler atau aneurisma kantong (90–95%)
Paling umum, juga disebut "berry" yang menonjol aneurisma dari satu sisi
arteri dan memiliki leher yang berbeda pada dasarnya. Pada aneurisma ini,
kelemahan hanya pada satu permukaan pembuluh darah sehingga dapat berbentuk
seperti kantong dan mempunyai tangkai atau leher. Dari seluruh aneurisma
intracranial, kurang lebih 90% merupakan aneurisma sakuler.

Gambar 9. Aneurisma tipe Sakuler

46
Aneurisma ini terjadi pada titik bifurkasio arteri intrakranial. Lokasi tersering
aneurisma sakular adalah arteri komunikans anterior (40%),bifurkasio arteri
serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis interna (pada
tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior 30%), dan
basilar tip (10%). Aneurisma dapat menimbulkan deficit neurologis dengan
menekan struktur disekitarnya bahkan sebelum rupture. Misalnya, aneurisma pada
arteri komunikans posterior dapat menekan nervus okulomotorius, menyebabkan
paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami dipopia).13
Berdasarkan diametemya aneurisma sakuler dapat dibedakan atas:
 Aneurisma sakuler kecil dengan diameter< 1 cm.
 Aneurisma sakuler besar dengan diameter antara 1- 2.5 cm.
 Aneurisma sakuler giant dengan diameter> 2.5 cm.

3. Aneurisma tipe mikotik


Aneurisma mikotik umumnya ditemukan pada arteri kecil di otak. Terapinya
terdiri dari terapi infeksi yang mendasarinya dikarenakan hal ini biasa disebabkan
oleh infeksi. Aneurisma mikotik kadang-kadang mengalami regresi spontan;
struktur ini jarang menyebabkan perdarahan subarachnoid.13

2.2.4. Epidemiologi
Perdarahan Subarachnoid menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO
(Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul
pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV
(malformasi arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada
wanita.16

2.2.5. Patofisiologi
Aneurisma intrakranial bukanlah kongenital, seperti pernah menjadi
kepercayaan, namun berkembang seiring dalam perjalanan kehidupan. Perkiraan
paling tepat mengenai frekuensi aneurisma dalam usia dewasa rata-rata tanpa
faktor risiko yang spesifik adalah 2,3%. Proporsi ini meningkat mengikuti usia.

47
Aneurisma sakular muncul pada percabangan arteri, biasanya pada dasar otak,
baik di lingkaran Willis sendiri atau pada titik percabangan terdekat. Kebanyakan
aneurisma intracranial tidak akan ruptur. Risiko ruptur meningkat sesuai dengan
ukuran aneurisma, yang sebenarnya, kebanyakan aneurisma yang rupturberukuran
kecil, kurang dari 1 cm.10
Aneurisma intrakranial khas terjadi pada titik-titik cabang arteri serebral
utama. Hampir 85% dari aneurisma ditemukan dalam sirkulasi anterior dan 15%
dalam sirkulasi posterior. Secara keseluruhan, tempat yang paling umum adalah
arteri communicans anterior diikuti oleh arteri communicans posterior dan arteri
bifucartio cerebri. Dalam sirkulasi posterior, situs yang paling lebih besar adalah
di bagian atas bifurkasi arteri basilar ke arterie otak posterior.17

Gambar 10. Lokasi Aneurisma

Pada umumnya aneurisma terjadi pada sekitar 5% dari populasi orang


dewasa, terutama pada wanita. Penyebab pembentukan aneurisma intrakranial dan
rupture tidak dipahami; Namun, diperkirakan bahwa aneurisma intrakranial
terbentuk selama waktu yang relatif singkat dan baik pecah atau mengalami
perubahan sehingga aneurisma yang utuh tetap stabil. Pemeriksaan patologis dari
aneurisma ruptur diperoleh pada otopsi menunjukkan disorganisasi bentuk

48
vaskular normal dengan hilangnya lamina elastis internal dan kandungan kolagen
berkurang. Sebaliknya, aneurisma yang utuh memiliki hampir dua kali kandungan
kolagen dari dinding arteri normal, sehingga peningkatan ketebalan aneurisma
bertanggung jawab atas stabilitas relatif yang diamati dan untuk resiko rupture
menjadi rendah.17
Meskipun masih terdapat kontroversi mengenai asosiasi ukuran dan
kejadian pecah, 7 mm tampaknya menjadi ukuran minimal pada saat ruptur.
Secara keseluruhan, aneurisma yang ruptur cenderung lebih besar daripada
aneurisma yang tidak rupture.17
Faktor risiko yang dapat di modifikasi pada kejadian PSA ini yaitu
hipertensi, merokok, dan minum akohol berlebihan. Dari risiko yang disebutkan,
faktor risiko yang dapat dimodifikasi ini didapatkan setidaknya dua dari tiga yang
mengalami PSA, dan faktor genetik hanya satu dari 10 kejadian. Pada pasien
dengan riwayat keluarga positif PSA, rata-rata usia akan mengalami PSA lebih
muda dibandingkan dengan PSA sporadik, dan aneurismanya lebih sering besar
dan multiple daripada PSA sporadik.10
Faktor yang mempengaruhi rupturnya aneurisma kompleks, meskipun
peningkatan mendadak tekanan arteri transmural tampaknya masuk akal dalam
kejadian ini.10
Puncak kejadian aneurisma pada PSA terjadi pada dekade keenam
kehidupan. Hanya 20% dari aneurisma yang rupture terjadi pada pasien berusia
antara 15 dan 45 tahun. Tidak ada faktor predisposisi yang dapat dikaitaan dengan
kejadian ini, mulai dari tidur, kegiatan rutin sehari-hari, dan aktivitas berat.17
Hampir 50% dari pasien yang memiliki PSA, ketika dianamnesis pasti
memiliki riwayat sakit kepala yang sangat berat atau sekitar 2-3 minggu sebelum
perdarahan besar. Hampir setengah dari orang-orang ini meninggal sebelum tiba
di rumah sakit. Puncak kejadian perdarahan berikutnya terjadi pada 24 jam
pertama, tetapi tetap ada risiko hari-hari berikutnya dapat mengalami perdarahan.
Sekitar 20-25% kembali rupture dan mengalami perdarahan dalam 2 minggu
pertama setelah kejadian pertama. Kematian terjadi terkait perdarahan kedua
hampir 70%.17

49
2.2.6 Gambaran Klinis18
 Onset
Onset PSA mendadak, biasanya ketika pasien sedang melakukan aktivitas
seperti mengejan, mengangkat benda berat dan batuk yang paroksismal
 Sakit Kepala
Perjalanan penyakit PSA yang khas adalah sakit kepala hebat yang belum
pernah dirasakan sebelumnya.Sakit kepala segera diikuti oleh nyeri dan
kekakuan pada leher. Mual muntah sering dijumpai.
 Kaku Kuduk
Kaku kuduk hampir selalu dijumpai pada PSA. Kaku kuduk terjadi karena
iritasi meningeal oleh perdarahan dalam ruang subarachnoid. Kaku kuduk
dapat menetap hingga 2 minggu setelah perdarahan
 Gangguan Kesadaran
Gangguan kesadaran pada PSA mulai dari letargi, somnolen, sopor,
hingga koma.
 Defisit Neurologis
Tanda neurologis seperti disfasia, hemiparesis, hemiplegik dan defisit
hemisensorik menunjukan adanya perluasan intraserebral atau infark
serebral.
 Kejang
 Fotofobia
Sebenarnya, sebelum muncul tanda dan gejala klinis yang hebat dan
mendadak tadi, sudah ada berbagai tanda peringatan yang pada umumnya tidak
memperoleh perhatian sepenuhnya oleh penderita maupun dokter yang
merawatnya. Tanda-tanda peringatan tadi dapat muncul beberapa jam, hari,
minggu, atau lebih lama lagi sebelum terjadinya perdarahan yang hebat.19
Tanda-tanda peringatan dapat berupa nyeri kepala yang mendadak seperti
“disambar petir” (30-60%), nyeri kepala disertai mual, nyeri tengkuk dan
fotofobia (40-50%). Sementara itu, aneurisma yang membesar (sebelum pecah)
dapat menimbulkan tanda dan gejala sebagai berikut : defek medan penglihatan,

50
gangguan gerak bola mata, nyeri wajah, nyeri orbital, atau nyeri kepala yang
terlokalisasi.19
Aneurisma berasal dari arteri komunikan anterior dapat menimbulkan defek
medan penglihatan, disfungsi endokrin, atau nyeri kepala di daerah frontal.
Aneurisma pada arteri karotis internus dapat menimbulkan paresis okulomotorius,
defek medan penglihatan, penurunan visus, dan nyeri wajah disuatu tempat.
Aneurisma pada arteri karotis internus didalam sinus kavernosus, bila tidak
menimbulkan fistula karotiko-kavernosus, dapat menimbulkan sindrom sinus
kavernosus.19
Aneurisma pada arteri serebri media dapat menimbulkan disfasia, kelemahan
lengan fokal, atau rasa baal. Aneurisma pada bifukarsio basiaris dapat
menimbulkan paresis okulomotorius.19
Hasil pemeriksaan fisik penderita PSA bergantung pada bagian dan lokasi
perdarahan. Pecahnya aneurisma dapat menimbulkan PSA saja atau kombinasi
dengan hematom subdural, intraserebral, atau intraventrikular. Dengan demikian
tanda klinis dapat bervariasi mulai dari meningismus ringan, nyeri kepala, sampai
defiist neurologis berat dan koma. Sementara itu, reflek Babinski positif
bilateral.19
Gangguan fungsi luhur, yang bervariasi dari letargi sampai koma, biasa terjadi
pada PSA. Gangguan memori biasanya terjadi pada beberapa hari kemudian.
Disfasia tidak muncul pada PSA tanpa komplikasi, bila ada disfasia maka perlu
dicurigai adanya hematom intraserebral. Yang cukup terkenal adalah munculnya
demensia dan labilitas emosional, khususnya bila lobus frontalis bilateral terkena
sebagai akibat dari pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior.19
Disfungsi nervi kraniales dapat terjadi sebagai akibat dari a) kompresi
langsung oleh aneurisma; b) kompresi langsung oleh darah yang keluar dari
pembuluh darah, atau c) meningkatnya TIK. Nervus optikus seringkali terkena
akibat PSA. Pada penderita dengan nyeri kepala mendadak dan terlihat adanya
perdarahan subarachnoid maka hal itu bersifat patognomik untuk PSA.19
Gangguan fungsi motorik dapat berkaitan dengan PSA yang cukup luas atau
besar, atau berhubungan dengan infark otak sebagai akibat dari munculnya

51
vasospasme. Perdarahan dapat meluas kearah parenkim otak. Sementara itu,
hematom dapat menekan secara ekstra-aksial.19
Iskemik otak yang terjadi kemudian erupakan ancaman serta pada penderita
PSA. Sekitar 5 hari pasca-awitan, sebagian atau seluruh cabang-cabang besar
sirkulus Willisi yang terpapar darah akan mengalami vasospasme yang
berlangsung antara 1-2 minggu tau lebih lama lagi.19

2.2.7. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit, maka kita perlu melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, perlu
ditanyakan mengenai gejala yang mungkin terjadi pada perdarahan subarachnoid.
Kebanyakan aneurisma intrakranial yang belum ruptur bersifat asimptomatik.
Apabila terjadi ruptur pada aneurisma, tekanan intrakranial meningkat. Ini bisa
menyebabkan penurunan kesadaran secara tiba-tiba yang terjadi sebagian daripada
pasien. Penurunan kesadaran secara tiba-tiba sering didahului dengan nyeri kepala
yang hebat. 10% kasus pada perdarahan aneurisma yang sangat hebat bisa
menyebabkan penurunan kesadaran selama beberapa hari. Nyeri kepala biasanya
disertai dengan kaku kuduk dan muntah.20
Kejadian misdiagnosis pada perdarahan subarakhnoid berkisar antara 23%
hingga 53%. Karena itu, setiap keluhan nyeri kepala akut harus selalu dievaluasi
lebih cermat. Anamnesis yang cermat mengarahkan untuk mendiagnosis PSA.
Maka dari itu faktor resiko terjadinya PSA perlu diperhatikan seperti pada tabel
berikut.15

52
Tabel 7. Faktor resiko terjadinya PSA

Pada pemeriksaan fisik dijumpai semua gejala dan tanda seperti yang
dijelaskan sebelumnya.Temuan pada pemeriksaan fisik bisa jadi normal, atau
dapat juga ditemukan hal-hal sebagai berikut:
 Kelainan neurologis global atau fokal pada lebih dari 25% pasien
 Sindroma kompresi nervus kranialis
 Kelumpuhan nervus okulomotorius (aneurisma arteri komunis
posterior) dengan atau tanpa midriasis ipsilateral.
 Kelumpuhan nervus abdusens
 Hilangnya penglihatan monokuler (aneurisma arteri oftalmika
menekan nervus optikus ipsilateral)
 Defisit motorik dari aneurisma arteri serebral media pada 15% pasien
 Kejang
 Tanda-tanda oftalmologis
 Perdarahan retina subhyaloid (perdarahan bulat kecil, mungkin terlihat
miniskus, dekat dengan pangkal nervus optikus), perdarahan retina
lainnya.
 Edema papil
 Tanda – tanda vital
 Sekitar setengah pasien memiliki peningkatan tekanan darah (TD)
 TD menjadi labil seiring meningkatnya TIK.
 Demam tidak biasa pada awalnya namun umum setelah hari keempat
dari gangguan darah didalam ruang subarachnoid.
 Tanda-tanda rangsangan meningeal positif
Biasanya diakibatkan oleh kebocoran yang cukup besar pada kejadian
perdarahan subarachnoid.
Pada pemeriksaan penunjang, dapat dilakukan beberapa hal seperti berikut
ini. CT scan adalah pemeriksaan pertama jika pasien diduga menderita PSA.
Kemampuan untuk mendeteksi PSA bergantung pada banyaknya jumlah darah di

53
subarachnoid, interval setelah onset gejala, resolusi pemeriksaan, dan kemampuan
pemeriksa. Pada hari pertama, ekstrvasasi darah akan terlihat pada lebih dari 95%
penderita. Tetapi pada hari selanjutnya, gambaran menjadi tidak jelas.10
CT scan bisa positif pada 90% kasus jika CT scan dilakukan dalam
beberapa hari selepas perdarahan. Pada CT scan, gambaran perdarahan
Subarachnoid menunjukkan peningkatan density (hiperdens) pada ruang cairan
Serebrospinal. Aneurisma sering terjadi pada Sirkulus Willisi maka pada CT scan,
darah tampak pada Cisterna Basalis. Perdarahan yang hebat bisa menyebabkan
seluruh ruang Subarachnoid tampak opasifikasi. Jika hasil CT scan negatif tetapi
terdapat gejala perdarahan Subarachnoid yang jelas, pungsi lumbal harus
dilakukan untuk memperkuatkan diagnosis.21
Perdarahan Subarachnoid non-traumatik harus dilakukan pemeriksaan
angiografi untuk mendeteksi aneurisma karena bisa terjadi perdarahan ulang.
Melalui pemeriksaan angiografi dapat dilakukan terapi intervensi neuroradiologi.
Perdarahan dari ruptur aneurisma bisa meluas sehingga ke parenkim otak dan
lebih jauh ke dalam sistem ventrikular. Perdarahan Subarachnoid yang hebat bisa
mengganggu absorpsi cairan serebrospinal dan hidrosefalus bisa terjadi.21

Gambar 11.CT scan kepala normal dan CT scan kepala dengan SAH

54
Gambar 12.(atas)CT scan kepala di mana terdapat gambaran hiperdens dalam
cisterna suprasellar (anak panah besar) dan dalam fissura Sylvian (anak panah
kecil) yang menunjukkan perdarahan Subarachnoid. (bawah) CT scan kepala di
mana terdapat gambaran hiperdens dalam fissura Sylvian (anak panah) yang
menunjukkan perdarahan Subarachnoid.

Jika hasil pemeriksaan CT scan kepala negatif, langkah diagnostik


selanjutnya adalah pungsi lumbal. Pemeriksaan pungsi lumbal sangat penting
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Beberapa temuan pungsi lumbal yang
mendukung diagnosis perdarahan subarachnoid adalah adanya eritrosit,
peningkatan tekanan saat pembukaan, dan atau xantokromia. Jumlah eritrosir
meningkat, bahkan perdarahan kecil kurang dari 0,3 mL akan menyebabkan nilai
sekitar 10.000 sel/mL. xantokromia adalah warna kuning yang memperlihatkan
adanya degradasi produk eritrosit, terutama oksihemoglobin dan bilirubin di
cairan serebrospinal.15
Digital-substraction cerebral angiography merupakan baku emas untuk
deteksi aneurisma serebral, tetapi CT angiografi lebih sering digunakan karena
non-invasif serta sensitivitas dan spesifitasnya lebih tinggi. Evaluasi teliti

55
terhadap seluruh pembuluh darah harus dilakukan karena sekitar 15% pasien
memiliki aneurisma multiple. Foto radiologic yang negatif harus diulang 7-14 hari
setelah onset pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan aneurisma, MRI
harus dilakukan untuk melihat kemungkinan adanya malformasi vascular di otak
maupun batang otak.15
Adapun parameter klinis yang dapat dijadikan acuan untuk intervensi dan
prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess yang bisa digunakan.

Tabel 8. skala Hunt dan Hess

Selain skala Hunt dan Hess, skor Fisher juga bisa digunakan untuk
mengklasifikasikan perdarahan subarachnoid berdasarkan munculnya darah di
kepala pada pemeriksaan CT scan.

Tabel 9. skor Fisher

56
2.2.8 Diagnosis Banding22
a. Stroke Non Hemoragik
Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan
lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi, gejala-gejala tersebut diantaranya
adalah:
 Ketidakmampuan untuk berbicara atau mengerti bahasa lisan (disfasia)
bila gangguan terletak pada sisi dominan.
 Kelumpuhan pada sisi tubuh yang berlawanan (hemiparesis kontralateral)
 Bisa terjadi kejang-kejang.
Yang membedakan dengan PSA adalah secara umum tidak didapatkannya
gejala peningkatan intrakranial seperti mual dan muntah. Tidak didapatkan adanya
tanda rangsang meningeal dan onset kejadian yang mendadak tetapi tidak saat
berakrtivitas. Gejala klinis pada stroke non hemoragik kebanyakan lebih ringan
daripada stroke hemoragik seperti PSA.
Penyingkiran diagnosis dapat dilihat dari hasil CT-Scan kepala, dimana pada
stroke non hemoragik akan didapatkan daerah infark dengan gambaran hipodens,
sedangkan pada PSA didapatkan perdarahan dengan gambaran hiperdens pada
ruang subarachnoid.

b. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan Intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer berasal dari
pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
Perdarahan ini banyak disebabkan oleh hipertensi, selain itu faktor penyebab
lainnya adalah aneurisma kriptogenik, penyakit darah seperti hemofilia, leukemia,
trombositopenia, tumor otak yang tumbuh cepat, amiloidosis
serebrovaskular.Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi pada parenkim
otak itu sendiri. Gejala yang membedakan adalah pada perdarahan intraserebral
(PIS) tidak terdapat kaku kuduk, nyeri kepalanya tidak lebih berat daripada PSA,
pada lumbal pungsi tidak didapatkan darah, kecuali apabila PIS meluas ke ruang
subaraknoid.

57
c.Meningitis
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi
otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ
jamur. Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak,
letargi, muntah dan kejang.Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
cairanserebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.

2.2.9. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
Secara umum tatalaksana PSA dapat dilakukan berdasarkan Hunt & Hess
(H&H).Berikut tatalaksana berdasarkan klasifikasi Hunt & Hess :23
a. PSA derajat I atau II:
- Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
- Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30° dan nyaman, bila
perlu berikan O2 2-3 L/menit
- Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat
kesadaran).
- Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor
ketat sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul

b. PSA derajat III, IV atau V


- Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang
gawat darurat
- Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif
- Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu
dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila
didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial
- Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penialaian status neurologi

58
b. Farmakologis
 Penurunan Tekanan Darah
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-
20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130
mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung,
tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian
dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300
mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per
oral.12
 Monitoring TIK
Pemberian manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 gr/KgBB per 30 menit
dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Laksansia (Pencahar) diperlukan untuk melunakkan feses secara reguler.
 Pencegahan Vasospasme
Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3
atau secara oral 60 mg setiap 6 jam sampai hari ke - 21. Pemakaian nimodipin
oral terbukti mem perbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh
vasospasme. Calsium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau
intravena tidak bermakna.

 Analgetik
- Asetaminofen ½-1 gr/4-6 jam dengan dosis maksimal 4gr/4-6 jam.
- Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/4-6 jam.
- Hindari asetosal
-
 Antianxietas
Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :
- Haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam
- Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6
jam

59
- Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam
- Propofol 0.3-1 mg/kg/jam
c. Operatif
a. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan
untuk mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko
perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan
bahwasecara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang
ditunda.Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien
dengan derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit.
Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke
pusat spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien
aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian besar kasus.
c. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and
clipping ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan
endovaskuler coiling lebih bermanfaat.
d. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi
untuk perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit
dianjurkan.

2.2.10 Komplikasi
Vasospasme dan perdarahan ulang adalah komplikasi paling sering pada
perdarahan subarachnoid. Tanda dan gejala vasospasme dapat berupa status
mental, deficit neurologis fokal. Vasospasme akan menyebabkan iskemia serebral
tertunda dengan dua pola utama, yaitu infark kortikal tunggal dan lesi multiple
luas.15
Perdarahan ulang mempunyai mortalitas 70%. Untuk mengurangi risiko
perdarahan ulang sebelum dilakukan perbaikan aneurisma, tekanan darah harus
dikelola hati-hati dengan diberikan obat fenilefrin, norepinefrin, dan dopamine
(hipotensi), labetalol, esmolol, dan nikardipi (hipertensi). Tekanan darah sistolik

60
harus dipertahankan >100 mmHg untuk semua pasien selama ±21 hari. Sebelum
ada perbaikan, tekanan darah sistolik harus dipertahankan dibawah 160 mmHg
dan selama ada gejala vasospasme, tekanan darah sistolik akan meningkat sampai
1200-220 mmHg.15
Selain vasopasme dan perdarahan ulang, komplikasi lain yang dapat
terjadi adalah hidrosefalus, hiponatremia, hiperglikemia dan epilepsi.15

2.2.11. Prognosis
Sekitar 10% penderita PSA meninggal sebelum tiba di RS dan 40%
meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan. Tingkat mortalitas pada tahun
pertama sekitar 60%. Apabila tidak ada komplikasi dalam 5 tahun pertama sekitar
70%. Apabila tidak ada intervensi bedah maka sekitar 30% penderita meninggal
dalam 2 hari pertama, 50% dalam 2 minggu pertama, dan 60% dalam 2 bulan
pertama.19
Hal-hal yang dapat memperburuk prognosis dapat dilihat pada tabel
Sistem Ogilvy dan Carter berikut ini.

Tabel 10. Sistem Ogilvy dan Carter

Besarnya nilai ditentukan oleh jumlah skor Sistem Ogilvy dan Carter,
yaitu skor 5 mempunyai prognosis buruk, sedangkan skor 0 mempunyai prognosis
lebih baik.
Pendapat lain mengemukakan bahwa prognosis pasien-pasien PSA
tergantung lokasi dan jumlah perdarahan serta ada tidaknya komplikasi yang
menyertai. Disamping itu usia tua dan gejala-gejala yang berat memperburuk

61
prognosis. Seseorang dapat sembuh sempurna setelah pengobatan tapi beberapa
orang juga meninggal walaupun sudah menjalani treatment.24
Sedangkan prognosis yang baik dapat dicapai jika pasien-pasien ditangani
secara agresif seperti resusitasi preoperative yang agresif, tindakan bedah sedini
mungkin, penatalaksanaan tekanan intracranial dan vasospasme yang agresif serta
perawatan intensif perioperative dengan fasilitas dan tenaga medis yang
mendukung.14

62
BAB IV
ANALISIS KASUS

Ny RA, 63 tahun dirawat di bagian saraf RSMH karena mengalami nyeri


kepala sangat hebat secara tiba-tiba. Ny. RA, 63 tahun dirawat di bagian saraf
RSMH karena mengalami nyeri kepala sangat hebat secara tiba-tiba. Sejak 2 jam
SMRS, penderita mengalami nyeri kepala sangat hebat secara tiba-tiba. Saat
serangan, dirasakan sakit kepala yang sangat hebat dan merasa baru pertama kali
sakit kepala yang dirasakan sehabat ini. Sakit kepala seperti rasa menyut. Tidak
ada rasa berputar. Pandangan mata tidak kabur dan tidak sakit bila melihat cahaya
langsung. Tidak ada telinga berdenging. Tidak ada rasa melayang. Tidak ada
kejang dan tidak ada muntah. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada. Tidak terdapat
gangguan sensibilitas berupa rasa baal dan kesemutan. Mulut mengot ke kanan
ada, sejak ± 1 jam yang lalu. Bicara pelo ada. Penderita masih dapat
mengungkapkan isi pikirannya secara lisan, tulisan dan isyarat. Penderita juga
masih dapat mengerti isi pikiran yang disampaikan orang lain secara lisan, tulisan
dan isyarat. Riwayat sakit kepala sebelumnya tidak ada. Riwayat sakit kepala
lama tidak ada. Riwayat hipertensi ada sejak 20 tahun yang lalu dan rutin minum
obat Valsartan 1 x 80mg dan Bisoprolol 1 x 5 mg. Riwayat diabetes mellitus tidak
ada. Riwayat penyakit jantung tidak ada. Riwayat stroke tidak ada. Penyakit
seperti ini dialami untuk pertama kalinya.
Dari anamnesis penderita menunjukkan cephalgia berupa sakit kepala
sangat hebat seperti menyut dan ditusuk-tusuk yang tidak pernah dirasakan
selama hidupnya. Hipertensi membuat pecahnya aneurisma atau terjadinya
pendarahan arteri serebral sehingga menyebabkan ekstravasasi darah dengan
tekanan arteri yang tinggi ke dalam ruang subaraknoid, yang dengan cepat
menyebar melalui cairan serebrospinal ke otak dan medula spinalis. Darah yang
dikeluarkan dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan kerusakan jaringan lokal
serta peningkatan tekanan intrakranial (TIK), vasospasme, dan iritasi meningen.
Perdarahan pada ruang subaraknoid menyebabkan iritasi pada meningen dan

63
struktur-struktur yang melintas di ruang subaraknoid sehingga menimbulkan
gejala nyeri kepala, kaku kuduk, kemungkinan terjadi paresis saraf kranialis
(misalnya nervus III atau VI yang menyebabkan diplopia) dan perubahan
kesadaran. Selama belum terjadi kerusakan integritas dari piamater akibat
perdarahan maka tidak terjadi gejala neurologis fokal.
Pada pemeriksaan fisik, status generalisata didapatkan sensorium compos
mentis dengan GCS 15, tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 73x/menit,
pernapasan 28x/menit, temperatur 37,8º C. Dari pemeriksaan neurologis
didapatkan hasil yaitu fungsi motorik tubuh normal. Pemeriksaan nervi cranialis,
sensorik, vegetatif, fungsi luhur, gerakan abnormal dan gait dan keseimbangan
tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan gejala rangsang meningeal
didapatkan kaku kuduk.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis klinis berupa observasi
cephalgia. Untuk membedakan jenis stroke yang terjadi dapat digunakan Siriraj
stroke Score dan Skor Gadah Mada Berdasarkan skor Siriraj, pasien ini memiliki
skor 5, dengan interpretasi mengarah pada stroke hemoragik. Selain skor
SIRIRAJ, penentuan jenis strok hemoragik atau non hemoragik dapat ditegakkan
dengan skor gajah mada. Berdasarkan Algoritma stroke Gajah Mada, pada pasien
ini memenuhi 1 kriteria dari tiga kriteria yakni nyeri kepala positif. Skor SIRIRAJ
dan Gajah Mada memiliki ketepatan pada 90% kasus, sehingga dapat disimpulkan
bahwa pasien mengalami stroke hemoragik. Berdasarkan acuan untuk intervensi
dan prognosis pada PSA seperti skala Hunt dan Hess, pada gambaran klinisnnya
penderita termasuk dalam grade I. Untuk memastikan jenis stroke maka dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa CT scan kepala. Pada hasil pemeriksaan CT scan
kepala didapatkan gambaran subarachnoid hematom pada ventrikel kiri.
Gambaran klinis sesuai dengan hasil pemeriksaan penunjang, yaitu defisit
neurologi yang terjadi pada kontralateral lesi. Kelemahan sesisi tubuh sebelah
kanan dengan lesi pada ganglia basalis sehingga dapat ditegakkan diagnosis topik
yaitu pada ganglia basalis dengan diagnosis etiologi yaitu stroke hemoragik. Dari
hasil pemeriksaan penunjang gula darah sewaktu tidak ada diabetes mellitus pada
pasien ini. Pemeriksaan penunjang EKG menunjukkan normal sinus rythm.

64
Pemeriksaan penunjang radiologis rontgen thorax didapatkan cardiomegaly
ringan. Jadi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan maka didapatkan hasil bahwa Os mengalami
hemiparese dekstra tipe spastik, disertai dengan parese N.VII dan N.XII dekstra
tipe sentral. Dengan diagnosa topik ganglia basalis sinistra dan diagnosa etiologi
adanya CVD hemoragik yaitu Subarachnoid hemorrhage (SAH). Tatalaksana
farmakologis yang diberikan yaitu IVFD NaCl 0,9% gtt xx/menit, injeksi Asam
Traneksamat amp 4 x 1 gr iv sebagai terapi anti fibrinolitik untuk mencegah
pendarahan ulang. Asam traneksamat merupakan antifibrinolitik yang kompetitif
menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin.
Asam traneksamat secara kompetitif menghambat aktivasi plasminogen
(melalui mengikat domain kringle), sehingga mengurangi konversi plasminogen
menjadi plasmin (fibrinolisin), enzim yang mendegradasi pembekuan fibrin,
fibrinogen, dan protein plasma lainnya, termasuk faktor-faktor prokoagulan V dan
VIII. Asam traneksamat juga langsung menghambat aktivitas plasmin, tetapi dosis
yang lebih tinggi diperlukan daripada yang dibutuhkan untuk mengurangi
pembentukan plasmin. Injeksi Ceftriaxone vial 2 x 1 gr iv dengan tujuan golongan
antibiotik cephalosporin yang dapat digunakan untuk mengobati beberapa kondisi
akibat infeksi bakteri karena penderita baru saja menjalankan operasi. Injeksi
Omeprazole 1 x 1tab po sebagai pencegah muntah Paracetamol tab 3 x 1 gr po
sebagai analgesik. Nimodipin 4 x 60 mg po sebagai pencegah terjadinya
vasospasme.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. 2009. Gangguan
Peredaran Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi
Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; hal. 59-107

2. Setyopranoto I. 2012. Penatalaksanaan Perdarahan Subaraknoid. Continuing


Medical Education, volume 39, No. 11, diakses pada 18 September 2018
(http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_199Penatalaksanaan%20perdarahan
%20subaraknoid.pdf)
3. Baehr M, Frotcsher M. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,
Fisiologi, Tanda, Gejala. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
4. Jones R, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Subarachnoid Hemorrhage.
Netter's Neurology2014. p. 526-37.
5. PERDOSSI. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press; 2011.
6. Zebian RC. 2012. Subarachnoid Hemorrhage: Emergent Management of
Subarachnoid Hemorrhage, diakses pada 20 September 2018
(https://emedicine.medscape.com/article/794076-overview#showall)
7. Setyopranoto I. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid. Continuing
Medical Education. 2012;39.
8. UNHAS. 2016. Bahan Ajar Perdarahan Subarakhnoid.
http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-
Ajar-_-Perdarahan-Subarakhnoid.pdf,
9. Zuccarello M, McMahon N. Arteriovenous Malformation (AVM).
Mayfield Clinic. 2013
10. Setyopranoto, Ismail. 2012. Penatalaksanaan Perdarahan Subaraknoid.
Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ SMF
SarafRSUPDr.Sardjito,Yogyakarta,Indonesia.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_199Penatalaksanaan% 20perd
arahan%20subaraknoid.pdf,
66

Anda mungkin juga menyukai