Prilaku Konsumsi Islami-1
Prilaku Konsumsi Islami-1
PENDAHULUAN
1
Makalah disampaikan dalam diskusi bulanan Fakultas Ekonomi Universitas Yarsi tanggal 6 Nopember
2006
2
Dosen Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Yarsi
seseorang untuk bertindak itu dibatasi oleh kebebasan orang lain; artinya kebebasan
untuk bertindak itu tidak boleh mendatangkan kerugian bagi orang lain.
Dasar filosofis tersebut melatarbelakangi analisa mengenai perilaku konsumen
dalam teori ekonomi konvensional. Beberapa prinsip dasar dalam analisa perilaku
konsumen adalah:
1. Kelangkaan dan terbatasnya pendapatan. Adanya kelangkaan dan terbatasnya
pendapatan memaksa orang menentukan pilihan. Agar pengeluaran senantiasa
berada di anggaran yang sudah ditetapkan, meningkatkan konsumsi suatu barang
atau jasa harus disertai dengan pengurangan konsumsi pada barang atau jasa yang
lain.
2. Konsumen mampu membandingkan biaya dengan manfaat. Jika dua barang
memberi manfaat yang sama, konsumen akan memilih yang biayanya lebih kecil.
Di sisi lain, bila untuk memperoleh dua jenis barang dibutuhkan biaya yang sama,
maka konsumen akan memilih barang yang memberi manfaat lebih besar.
3. Tidak selamanya konsumen dapat memperkirakan manfaat dengan tepat. Saat
membeli suatu barang, bisa jadi manfaat yang diperoleh tidak sesuai dengan harga
yang harus dibayarkan: segelas kopi Starsbuck, misalnya, ternyata terlalu pahit
untuk harga Rp. 40.000,- per cangkir. Lebih nikmat kopi tubruk di warung kopi
yang Rp. 3.000,- per gelasnya. Pengalaman tersebut akan menjadi informasi bagi
konsumen yang akan mempengaruhi keputusan konsumsinya mengenai kopi di
masa yang akan datang.
4. Setiap barang dapat disubstitusi dengan barang lain. Dengan demikian konsumen
dapat memperoleh kepuasan dengan berbagai cara.
5. Konsumen tunduk kepada hukum Berkurangnya Tambahan Kepuasan (the Law of
Diminishing Marginal Utility). Semakin banyak jumlah barang dikonsumsi,
semakin kecil tambahan kepuasan yang dihasilkan. Jika untuk setiap tambahan
barang diperlukan biaya sebesar harga barang tersebut (P), maka konsumen akan
berhenti membeli barang tersebut manakala tambahan manfaat yang diperolehnya
(MU) sama besar dengan tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Maka jumlah
konsumsi yang optimal adalah jumlah di mana MU = P.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki
perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyagkut nilai
dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan
alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan
seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.
Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi
untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di
akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama
Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas
semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan
kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat
dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan
diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan
sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta
merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan
dengan benar.(QS.2.265)
PERMASALAHAN
Tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang bagaimana konsep teori prilaku
konsumen dalam pendekatan ekonomi mikro Islam
PEMBAHASAN
4. Prinsip kemurahan hati, dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun
dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhannya.
Firman Allah dalam QS : Al-Maidah : 96
96. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[442] dan makanan (yang berasal) dari
laut[443] sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu
dalam ihram. dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan
dikumpulkan.
[442] Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti
mengail, memukat dan sebagainya. termasuk juga dalam pengertian laut disini ialah:
sungai, danau, kolam dan sebagainya.
[443] Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, Karena
Telah mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya.
5. Prinsip moralitas, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum
makan dan menyatakan terima kasih kepadanya setelah makan
Daruriyyah : Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi
penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima
elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual, keturunan
dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada
kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di
akhirat.
Dari paparan di atas, lalu bagaimana sesungguhnya aplikasi teori perilaku konsumen
Islami? Marilah kita cermati nasihat sahabat Abu Bakar as-Shidiq: “Sesungguhnya aku
membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk
beberapa hari, dalam satu hari saja.” Kalau nasihat itu datang dari seorang yang miskin,
kita boleh saja mengabaikannya. Lain halnya bila nasihat itu datang dari seorang sekaya
Abu Bakar.
Bagi sahabat Mu’awiyah, kuncinya adalah bagaimana kita mengatur anggaran
pendapatan dan belanja rumah tangga. “Pengaturan belanja yang baik itu merupakan
setengah usaha, dan dia dianggap sebagai setengah mata pencaharian,” katanya. Lalu
bagaimana seorang muslim mengatur anggaran rumah tangganya? Islam, sebagaimana
kita telah mengetahui, menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik.
Islam juga memerintahkan agar harta dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat.
Pada intinya bila umat Islam dalam mencari harta sampai kemudian membelanjakannya
tetap berpedoman bahwa itu semua merupakan bagian dari ibadah, insyaAllah tidak akan
terjerumus pada pembelanjaan yang ditujukan untuk keburukan yang bisa membawa
keluarga itu pada kemaksiatan.
Disadari atau tidak sesungguhnya pola konsumsi dan gaya hidup kita cenderung
merugikan diri sendiri. Dimulai dari pemenuhan kebutuhan pokok (primer) seperti
makan, minum, sandang dan papan, keseluruhannya mengandung bahan-bahan yang
harus diimpor dengan mengabaikan sumber-sumber yang sesungguhnya dapat dipenuhi
dari dalam negeri. Banyak barang-barang tertentu yang semestinya belum layak
dikonsumsi oleh bangsa ini, telah diperkenalkan dan kemudian menjadi mode yang ditiru
sehingga meningkatkan impor akan barang tersebut. Ini belum ditambah dengan barang-
barang mewah yang beredar mulai dari alat-alat kecantikan sampai kepada mobil-mobil
mewah. Padahal pola hidup seperti ini hanya akan memperburuk neraca transaksi
berjalan karena meningkatkan impor barang tersebut sehingga menguras devisa dan pada
gilirannya akan menekan nilai tukar mata uang dalam negeri.
Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan memperkenalkan konsep israf
(berlebih-lebih) dalam membelanjakan harta dan tabzir. Islam memperingatkan agen
ekonomi agar jangan sampai terlena dalam berlomba-lomba mencari harta (at-takaatsur).
Islam membentuk jiwa dan pribadi yang beriman, bertaqwa, bersyukur dan menerima.
Pola hidup konsumtivme seperti di atas tidak pantas dan tidak selayaknya dilakukan oleh
pribadi yang beriman dan bertaqwa. Satu-satunya gaya hidup yang cocok adalah simple
living ( hidup sederhana) dalam pengertian yang benar secara syar’i.
Islam mengajarkan kepada kita agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih
mengutamakan kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Setidaknya
terdapat tiga kebutuhan pokok:
Pertama adalah kebutuhan primer, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang
dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama,keturunan
dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung.
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa
aman, pengetahuan dan pernikahan.
Kedua, kebutuhan sekunder, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan
kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum
kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan inipun masih berkaitan dengan lima tujuan
syariat itu tadi.
Ketiga adalah kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini
tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder serta, sekali lagi,
berkaitan dengan lima tujuan syariat.
Untuk mewujudkan lima tujuan syariat ini, ibu rumah tangga yang umumnya
merupakan manajer rumah tangga, mesti disiplin dalam menepati skala prioritas
kebutuhan tadi, sesuai dengan pendapatan yang diperoleh suaminya.
Meski satu rumah tangga sudah mampu memenuhi sampai kebutuhan ketiga atau
pelengkap, Islam tetap tidak menganjurkan, bahkan mengharamkan pengeluaran yang
berlebih-lebihan dan terkesan mewah, karena dapat mendatangkan kerusakan dan
kebinasaan. Allah berfirman dalam .” (QS al-Israa ayat 16):
16. Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka
melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya
perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Untuk mencegah agar kita tidak terlanjur ke gaya hidup mewah, Islam
mengharamkan segala pembelanjaan yang tidak mendatangkan manfaat, baik manfaat
material maupun spiritual. Apalagi melakukan pembelanjaan untuk barang-barang yang
bukan hanya tidak bermanfaat tetapi juga dibenci Allah, seperti: minuman alkohol,
narkoba, dan barang haram lainnya. Juga pembelian yang mengarah pada perbuatan
bid’ah dan kebiasaan buruk.
Namun itu semua tidak berarti membuat kita menjadi kikir. Islam mengajarkan
kepada kita sikap pertengahan dalam mengeluarkan harta, tidak berlebihan dan tidak pula
kikir. Sikap berlebihan akan merusak jiwa, harta dan masyarakat. Sementara kikir adalah
satu sikap hidup yang dapat menahan dan membekukan harta. Dalam QS al-Furqaan ayat
67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Atau dalam QS al-israa ayat 29:
29. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah
kamu terlalu mengulurkannya[852] Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
[852] Maksudnya: jangan kamu terlalu kikir, dan jangan pula terlalu Pemurah.
Sesungguhnya bukan hanya individu yang akan menghadapi pilihan sulit seperti
ini. Masyarakat atau negara juga sering harus menghadapi pilihan-pilihan yang tidak
mudah. Pemerintah kita misalnya menghadapi pilhan sulit antara membangun
infrastruktur untuk merangsang investasi, atau membangun pendidikan yang baik demi
dihasilkannya SDM yang berkualitas. Untuk itu diperlukan satu pilihan yang sangat bijak
agar kedua hal tersebut bisa dicapai secara optimal.
Sesungguhnya pembagian Allah atas rizki hambaNya telah ditentukan batasan,
kadar dan jenisnya. Allah mengetahui kemampuan seorang hamba di dalam
membelanjakan dan men-tasaruffkan-kan rizki yang telah diberikan tanpa adanya sikap
melampaui batas dan tindak keborosan. Allah mengetahui seberapa jauh kemampuan
hambaNya untuk mengelola rizki dan kekayaan yang telah diberikan tanpa melanggar
batas-batas yang telah ditentukan (Quthb, 1939 dalam Marthon, 2004). Allah berfirman
dalam (QS Al Baqarah ayat 155).
155. Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar.
Ujian dan cobaan Allah yang sangat beragam itu, tak lain merupakan ujian keimanan dan
kesabaran seorang hamba. Sebagai dalam ayat di atas, salah satu ujian itu bisa berupa
adanya rasa lapar, dan kekurangan atas bahan makanan pokok. Sesungguhnya kehadiran
manusia di muka bumi hanyalah sekadar mewujudkan kehendak Tuhan (masyiah
Rabbaniyah). Sayyid Qutbh dalam Saad Marthon, menjelaskan: “Masyiah Rabbaniyah
adalah totalitas keinginan seorang hamba untuk pasrah dan menyerahkan seluruh jiwa
dan raga terhadap keinginan dan ketentuan Tuhan dalam segala aspek kehidupan, baik
dalam proses pembuatan barang, penelitian dan analisis kehidupan sosial, proses untuk
memberdayakan hasil bumi dan wewenang mengolah serta memakmurkan bumi yang
telah dititipkan Allah kepada manusia”.
Adanya kelangkaan satu barang tidak hanya menghadirkan ujian keimanan dan
kesabaran seorang manusia. Kelangkaan barang juga akan menuntut seorang hamba
untuk kreatif dalam menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan hidup
sekaligus mencari jalan keluar bagi kesulitan yang dihadapinya. Satu contoh bagaimana
manusia mengatasi kelangkaan sumber energi yang dalam beberapa puluh tahun ke depan
diperkirakan habis. Banyak penelitian dilakukan untuk menghasilkan sumber energi
alternatif. Begitulah, seorang manusia akan lebih terdorong untuk memakmurkan
kehidupan masyarakat jika menemukan kesulitan dalam kehidupan ekonomi.
Preferensi Konsumsi
Preferensi konsumsi dan pemenuhannya dapat di dipetakan/ mapping sebagai
berikut:
1. Utamakan Akhirat dari pada dunia
Pada tataran dasar konsumsi dilakukan bersifat duniawi (CW) dan bersifat Ibadah (Ci)
Keduanya bukan subtitusi yang sempurna karena perbedaan ekstrim. Ibadah lebih
bernilai tinggi karena orientasinya pada meraih falah yaitu pahala dari Allah swt.
Dalam Al-Qur’an & hadits konsumsi duniawi adalah untuk masa sekarang
(present consumption) sedangkan untuk konsumsi ibadah untuk masa depan
(future consumption), semakin besar konsumsi akhirat / ibadah semakin besar
menuju falah begitu juga sebaliknya .
CI
F
Terdapat hubungan negatif antara pencapaian
Tujuan falah dg kebutuhan konsumsi duniawi.
Semakin tinggi tujuan falah yg akan dicapai,
Semakin dituntut untuk kurangi konsumsi ke
Butuhan dunia
CW
Seorang muslim yang rasional yaitu yang beriman semestinya anggaran konsumsi
ibadahnya harus lebih banyak dibandingkan anggaran konsumsi duniawinya. . Karena
dengan maksimumkan falah adalah tujuannya.
Sebaliknya dengan semakin tidak rasional, maka semakin kufur sehingga semakin
besar anggaran konsumsinya untuk duniawi, yang pada akhirnya menjauhkan dari
menuju target falah.
Hubungan keimanan dengan pola Budget Line
Ci
(a). Semakin rasional (beriman) seorang muslim maka budget line-nya
akan semakin condong vertical (inelastis)
Cw
Ci
Cw
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan maka beberapa hal yang dapat disimpulkan
1. Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam menurut Manan yaitu : prinsip
keadilan,kebersihan, kesederhanaan , kemurahan hati dan moralitas
2. Maslahah mempunyai makna yang lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan
dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara’
yang paling utama.
3. Kebutuhan dan keinginan merupakan sesuatu yang berbeda, menurut Imam al-
Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu
yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan
menjalankan fungsinya.
DAFTAR PUSTAKA
Metwally (1995) , Teori dan model ekonomi islam. PT bangkit daya insana .