Richard Frazee a, *, Clay Cothren Burlew b, Justin Regner a, Robert McIntyre d, Erik
Peltz d, Chris Cribari d, Julie Dunn d, Larry Butler d, Paul Reckard d, Sharmila
Dissanaike c, Karen Karimi c, Charles Behnfield b, Nic Melo e, Daniel Margulies e
a Baylor Scott & White Healthcare, USA
b Denver Health and Hospital Authority, USA
c Texas Tech University Health Science Center, USA
d University of Colorado, USA
e Cedars Sinai Medical Center, USA
Article history:
Received 3 March 2017
Received in revised form
30 July 2017
Accepted 10 August 2017
ABSTRAK
Latar belakang: Sekarang banyak prosedur laparoskopi yang dilakukan pada
pasien rawat jalan. Dengan hipotesis laparoskopi apendiktomi dapat dilakukan
dengan aman sebagai prosedur rawat jalan.
Metode: Tujuh institusi menerapkan protokol laparoskopi apendiktomi rawat
jalan yang telah dijelaskan sebelumnya untuk apendisitis yang tidak rumit. Pasien
dapat dipulangkan kecuali ada indikasi klinis untuk rawat inap. Demografi pasien
berupa dapat dilakukan manajemen rawat jalan, dieksklusikan karena melewati
batas waktu, morbiditas, dan dapat pula dilakukan analisa ulang.
Hasil: Dua ratus enam pria dan seratus tujuh puluh wanita dengan usia rata-rata
35,4 tahun disertakan dalam protokol. Tujuh puluh delapan pasien (21%)
memiliki komorbiditas yang sudah ada sebelumnya. Dua ratus sembilan puluh
sembilan (299) pasien (80%) laparoskopi dapat dimanagemen menggunakan
sistem rawat jalan. Tidak ada konversi dari laparoskopi ke apendiktomi terbuka
(open appendectomy). Morbiditas pasca operasi dialami 5% pasien. Waktu
pemulangan pasien terdistribusi merata sepanjang siang dan malam. Dua belas
pasien (3%) dilaukan rawat inap. Tindak lanjut pasien rawat jalan dilakukan pada
63% pasien.
Kesimpulan: Protokol laparoskopi apendiktomi rawat jalan berhasil diterapkan di
beberapa institusi dengan tingkat kesakitan rendah dan tingkat rawat inap yang
rendah. Penerapan praktik ini secara nasional dapat mengurangi lama tinggal dan
mengurangi biaya perawatan kesehatan secara keseluruhan untuk apendisitis akut
Apabila kriteria di atas tidak mampu dipenuhi, pasien akan dirawat dan
dikategorikan sebagai gagal rawat jalan.
Setelah itu dilakukan penelitian observasi retrospektif berizin IRB pada
perawatan pasien dengan protokol tersebut. Data yang telah diidentifikasi
ulang kemudian dikirim pada investigator utama untuk dilakukan analisis dan
tabulasi. Variabel hasil utama ialah kesuksesan dalam manajemen rawat jalan.
Hasil kedua merupakan morbiditas dan perawatan kembali pada pasien.
2. Hasil
Sebanyak tujun institusi dari lima sistem kesehatan mengontribusikan
sedikitnya enam bulan data dari hasil total. Terdapat sebanyak 376 pasien
konsekutif dengan hasil temuan operasi berupa apendisitis tanpa komplikasi
selama periode penelitian. Didapatkan 206 laki-laki dan 170 perempuan dengan
rerata usia 35.4 tahun (kisaran usia 18 – 82 tahun). Pada golongan usia muda,
hanya sebanyak tujuh puluh delapan pasien (21%) dengan komorbid sebelumnya
yaitu gangguan jantung (4%), hipertensi (1%), diabetes (3%), gangguan ginjal
(1%), obesitas (1%), gangguan pencernaan (1%) dan pernapasan (1%). Dua ratus
sembilan puluh sembilan pasien (80%) berhasil memenuhi protokol dan
dimanajemen menggunakan sistem rawat jalan. Sebab rawat inap antara lain
adanya komorbid sebelumnya (20 pasien), mual/muntah pasca operasi (12 pasien),
kontrol nyeri (9 pasien), tidak ada transportasi atau perawatan di rumah (22
pasien), dan pertimbangan dokter yang merawat (12 pasien). Dari segi adanya
komorbid, tidak terdapat perbedaan bermakna pada pasien yang dirawat inap
dengan rawat jalan. Tidak ada konversi dari laparoskopi ke apendiktomi terbuka
(open appendictomy). Tidak ada mortalitas, dan morbiditas pasca operasi dialami
oleh delapan belas pasien (5%), yaitu sebagai berikut: jantung (2 pasien),
pernapasan (4 pasien), infeksi superfisial pada area operasi (4 pasien), re-operasi
(1 pasien), ileus (3 pasien), nyeri tak terkontrol pasca iperasi (4 pasien), dan
retensi urin (3 pasien). Operasi ulang dilakukan pada pasien dengan lisis
perlekatan luas selama apendiktomi dan dan menunjukkan distensi abdomen
signifikan post operatif saat proses pemulihan. Laparoskopi diagnostik ulang
dilakukan untuk menyingkirkan enterotomi dan dianggap tidak bermakna. Dua
belas pasien (3%) membutuhkan rawat inap karena adanya komplikasi pulmonal
(4 pasien), ileus (3 pasien), retensi urin (3 pasien) dan nyeri yang membutuhkan
analgesik intravena (2 pasien). Rawat inap ulangan terjadi dari hari pertama
hingga 4 hari setelah keluar dari rumah sakit. Waktu pemulangan pasien
terdistribusi dengan seimbang: 6 a.m. – siang: 22.3%, siang – 6 p.m.: 29%, 6 p.m.
– tengah malam: 23.5%, tengah malam – 6 a.m.: 25.3%. Tindak lanjut pasien
rawat jalan dilakukan pada 63% pasien dan sisanya tidak ditindak lanjuti.
3. Diskusi
Protokol pemulihan lanjutan pasca operasi (ERAS) telah diperkenalkan
dengan baik untuk banyak prosedur operasi elektif. Protokol-protokol ini
membuat masa rawat inap lebih pendek tanpa adanya perubahan pada hasil
operasi. Protokol ERAS bagi operasi gawat darurat tidak begitu diminati
sebagaimana prosedur elektif. Alasan di balik hal tersebut bersifat multifaktor.
Penggunaan protokol ERAS sering melibatkan sesi edukasi pasien preoperatif
untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap protokol. Pada kasus gawat
darurat hal tersebut sulit dilakukan mengingat waktu dan keadaan tidak
memungkinkan seperti pada pasien elektif. Pasien dengan apendisitisi akut juga
mengalami gejala-gejala seperti nyeri dan mual sehingga tatalaksana lebih
difokuskan pada penanganan gejala dibandingkan perawatan pasca operasi.
Karena pasien dapat datang saat jam-jam tidak menentu, sehingga akan pasien
lebih sering dirawat inap untuk “kenyamanan pasien”. Selanjutnya, membangun
suasana perawatan di rumah pasca operasi dan menyusun transportasi dari rumah
sakit ke rumah dapat menjadi masalah pada operasi gawat darurat.
Jalur cepat paling utama dalam alur pasca operasi yaitu konversi dari
prosedur rawat inap ke prosedur rawat jalan. Hal ini mampu dipenuhi oleh banyak
prosedur laparoskopi sebelumnya. Dalam sejarahnya, perpindahan prosedur antara
status rawat inap ke rawat jalan telah sebelumnya ditolak oleh komunitas bedah.
Namun, terdapat alasan-alasan praktis untuk menghindari rawat inap bagi pasien
yang tidak membutuhkan perawatan rumah sakit. Meski kesadaran mengenai
infeksi area operasi telah ditingkatkan dan adanya pencegahan universal, pasien
pasca operasi berpotensi tertular dengan pasien lain yang mengalami infeksi.
Sebagai tambahan, kenyamanan dan kepuasan pasien dapat lebih meningkat
dengan sistem rawat jalan. Sebuah penelitian pada pasien laparoskopi apendisitis
rawat jalan menunjukkan tingkat kepuasan sebesar 4.6 (Likert Score) dalam
survey terhadap pasien pasca operasi.
Sistem rawat jalan pada pasien laparoskopi apendiktomi telak dipraktekkan
selama beberapa tahun secara selektif. Cash meninjau hasil institusi mereka
terhadap manajemen pasien rawat jalan selektif dan menemukan fakta bahwa pada
tahun 2009, 35% pasien yang mendapat tatalaksana laparoskopi apendiktomi
untuk kasus apendisitis tanpa komplikasi dapat ditindak sebagai pasien rawat
jalan. Komentar penulis, dalam studi retrospektif sulit untuk menentukan alasan
rawat inap dalam sejumlah besar pasien. Mereka mendalilkan bahwa manajemen
rawat jalan dapat ditingkatkan dengan adanya protokol standar. Setelah protokol
rawat jalan diberlakukan, manajemen rawat jalan meningkat dari 35% menjadi
85%. Sebagai pembaharuan dalam pengalaman kumulatif mereka terhadap 563
pasien dalam kurun waktu 4 tahun, manajemen rawat jalan dapat berjalan
sebanyak 86% dengan 1% rawat inap kembali dan morbiditas sebanyak 7%.
Artikel tersebut menyimpulkan bahwa hal ini dapat menjadi contoh bagi institusi
lain dalam memberlakukan sistem rawat jalan bagi pasien laparoskopi
apendiktomi.
Di tahun 2015, SWS MCT Group memilih sistem rawat jalan pada pasien
laparoskopi apendiktomi sebagai satu dari dua penelitian awal. Institusi yang
berpartisipasi telah menyetujui untuk mempraktekkan secara rutin manajemen
rawat jalan bagi pasien yang ditatalaksana laparoskopi apendiktomi untuk kasus
apendisitis tanpa komplikasi, dan rawat inap hanya diberlakukan atas indikasi
klinis. Tujuh rumah sakit dari lima sistem kesehatan berpartisipasi dalam
penelitian tersebut, dan bagi enam lembaga, hal ini mewakili adanya perubahan
dalam praktek bersejarah mereka. Sebanyak dua ratus sembilan puluh sembila dari
376 pasien (80%) ditatalaksana sebagai pasien rawat jalan. Pasien diperbolehkan
pulang apabila telah memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, tanpa
melihat waktu dalam hari tersebut. Terdapat dua belas pasien (3%) yang
membutuhkan rawat inap atas indikasi yang beragam. Tidak ada pasien yang
memerlukan operasi ulang, Tidak terdapat mortalitas dan angka morbiditas sangat
rendah yakni sebanyak 5%.
Wilayah Selatan California dari Kaiser Permanente melaporkan bahwa
terdapat 14 rumah sakit yang mempraktekkan pemulangan pasien di hari yang
sama dengan masa pemulihan pada kasus laparoskopi apendiktomi. Mereka
memanfaatkan skala “Sistem Penilaian Prosedural dan Anestesi” yang telah
dikembangkan untuk berbagai operasi sebagai penentu apakah pasien layak untuk
dipulangkan. Total sebanyak 12.703 pasien yang menjalani laparoskopi
apendiktomi bagi kasus apendisitis non-perforasi, dan 6710 (52,8%) dipulangkan
pada hari operasi mereka (same day discharge). Mereka mengidentifikasi usia
>50 tahun, diabetes, dan hipertensi sebagai faktor-faktor yang meningkatkan
kebutuhan rawat inap. Mereka menunjukkan bahwa lebih sedikit kasus rawat inap
ulang dan biaya yang lebih rendah dengan diberlakukannya sistem rawat jalan
(pemulangan pasien di hari yang sama dengan hari operasi).
Salah satu pertanyaan utama bagi para ahli bedah yang mempraktekkan
sistem rawat jalan dalam prosedur tradisional rawat inap adalah, “Apakah hal ini
aman bagi pasien saya?” Sample Rawat Inap pada Nationwide 2014 menunjukkan
sebanyak 7618 pasien laparoskopi apendiktomi menunjukkan mortalitas operasi
sebanyak 0.05% dan morbiditas sebanyak 8.7%. Rata-rata lama waktu yang
dibutuhkan untuk rawat inap ialah 2.06 hari dan mencakup seluruh derajat
apendisitis. Kurangnya mortalitas dan rendahnya morbiditas (5%) dalam
laparoskopi apendiktomi bagi apendisitis tanpa komplikasi menunjukkan prosedur
tersebut lebih baik bila dibandingkan dengan standar manajemen sebelumnya.
Keamanan pasien harus menjadi hal paling utama dalam proses perubahan praktek
medis. Penelitian multi-pusat ini menambah pengalaman kolektif pada beberapa
uji satu pusat (single center trials) dalam menunjukkan keamanan dan efektifitas
metode ini.
Praktek sistem rawat jalan bagi pasien laparoskopi apendiktomi terus
meningkat. Data SWSC MCT mengonfirmasi hal ini. Metode ini dapat berhasil
pada beberapa rumah sakit, dengan manajemen rawat jalan tingkat tinggi,
morbiditas rendah dan rawat inap ulang yang rendah. Penelitian ini mendukung
pengembangan sistem rawat jalan bagi pasien laparoskopi apendiktomi dengan
kriteria pemulangan yang sesuai dan terstandar secara nasional untuk
memaksimalkan hasil akhir perawatan pasien dan penggunaan sumber daya sistem
kesehatan.