Anda di halaman 1dari 16

8 Years

Title : 8 years

Genre : Romance, Married Life, Angst, little bit of comedy

Length : Oneshoot (3,000+ words)

Main cast : Kim Jongin (EXO-K)

Ahn Ga Ram (OC)

Support Cast : Lee Chaerin (2NE1)

Ga Ram’s mother

Rating : 15+

Summary : “Seharusnya ia tak pernah meragukan cintaku padanya. Aku benci ia tak
meyakini kesetiaanku selama 8 tahun bersamanya”

“Istri macam apa aku ini hingga berani-beraninya meragukan cinta suaminya
yang selalu tercurah sejak kami duduk di bangku SMA? Mengapa aku tak menyadari cintanya
yang begitu besar padaku hingga ia nekat menikahiku di usia 20 tahun?”
@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

Minggu depan, perkawinan kami memasuki usia 8 tahun dan itu artinya aku sudah bersama-sama
suamiku melalui pahit-manisnya hidup hampir selama satu windu. Seharusnya itu adalah momen
paling bahagia seumur hidupku, tapi tidak untuk saat ini. Aku mulai merasa ada suatu benda
asing yang seharusnya tidak ada dalam daftar hidup pernikahan kami.

“Dia belum pulang hingga selarut ini, memang apa saja sih pekerjaanya?” gerutuku di sela-sela
waktuku menonton televisi. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 8 malam dan suamiku belum
juga pulang dari kantor tempatnya bekerja.

Tak lama ponselku berbunyi, pesan dari suamiku. ‘Maaf, aku lembur lagi malam ini. Aku akan
pulang sangat larut, tidur dan makan malam saja duluan.’

Aku benar-benar muak membaca pesan itu. Sudah 9 hari ini dia begitu. Aku sampai berpikir
apakah dia benar-benar lembur atau itu hanya alasannya saja. Tapi alasan untuk apa aku juga
tidak tahu. Aku segera menghilangkan pikiran yang bukan-bukan lalu segera membuat makan
malam dan tidur.

@@@
“Pulang jam berapa semalam?” tanyaku pada suamiku yang duduk di meja makan dan
aku menyiapkan sarapannya, roti gandum, selai keju dan daging asap. Kucoba tetap bersikap
tenang.

“Sekitar jam sepuluh.”

“Lembur apa di kantor?” tanyaku tetap tenang meski menangkap sinyal-sinyal tak enak dalam
nada suaranya.

“Yah, mengerjakan berkas-berkas yang belum selesai karena akan segera digunakan untuk
laporan secepatnya.”

Aku belum menyerah. “Sampai membutuhkan waktu 9 hari?”

Dia berhenti mengunyah sarapannya, “Kau terlihat tidak suka aku lembur.”

“Aku tidak bilang begitu.” Tukasku cepat, aku tahu tidak seharusnya aku menyangkalnya.

Dia diam dan meneruskan makannya. Setelah itu suasana meja makan tampak sangat dingin.
Bisu, tanpa ada sepatah kata pun yang keluar. Aku yakin, jika meja itu bisa bicara ia akan
menyanyi lagu hip hop untuk menghangatkan suasana. Tapi itu tidak terjadi. Di mobil pun yang
ada hanya musik pop barat yang di putar suamiku bahkan sampai di depan tempatku bekerja.

@@@

Cklek! Klik!

Aku hanya diam saat menapakkan kaki ke dalam, seharusnya aku sudah tahu pasti dia lembur
lagi. Kupakai sandal rumah ku yang berwarna pink, sepasang dengan milik suamiku yang
berwarna biru.

Kutatap lekat-lekat sandal itu dan mendadak teringat ketika dulu di awal kami tinggal di
apartemen ini, sandal ini selalu tampak hangat dan nyaman ketika di pakai. Tapi entah, sekarang
rasanya dingin dan kaku seperti croissant, kue kesukaanku.

Kulepas syal dan mantelku dan melemparnya asal ke kasur, sama seperti tubuhku yang sekarang
juga telah berbaring asal di kasur ukuran kingsize tempat aku dan suamiku menghabiskan malam
bersama. Menghabiskan malam yang berarti tidur dan mendengkur, tanpa melakukan sesuatu
yang berarti. Paling tidak selama beberapa minggu belakangan ini.

“Aku lelah.” Desahku bersamaan dengan getaran ponselku yang hanya kutatap dengan
pandangan kosong. Aku sudah tahu apa isinya, siapa pengirimnya dan apa yang akan terjadi
keesokan harinya tanpa memeriksa email itu. Selalu begini, tiap hari, statis, tak ada yang
berubah.

Sebuah ide memenuhi benakku, masih kuabaikan ponselku dan justru meraih telepon rumah.
“Halo?”

“Halo? Ibu? Ini aku, Ga Ram.”

“Ada apa telepon malam-malam begini? Kau kenapa? Suaramu serak begitu?” jawab ibu
terdengar cemas.

Aku menggeleng meski tahu ibu tak akan melihatnya. “Tidak apa-apa, aku hanya agak kelelahan.
Bu, aku akan ke rumah 30 menit lagi. Tunggu aku ya bu, jangan kunci pintunya dulu.”

“Boleh saja tapi kenapa semendadak ini? hei, ada apa denganmu? Suamimu?”

Aku menggeleng lagi. “Tak apa bu, aku tiba-tiba saja rindu padamu. Aku ingin tidur dengan ibu
malam ini. Tunggu aku ya. Aku segera kesana.” KLEK!

Kuletakkan gagang teleponnya dan bergegas mengambil syal dan mantel yang sedari tadi
berbaring bebas di kasur.

@@@

“Bu, peluk aku dong. Anakmu sedang ingin dimanja kenapa ibu justru diam saja sih?”
rengekku pada ibu yang sedang berbaring di sampingku. Ia membelalakkan matanya dan
tersenyum simpul.

Kulengkungkan bibir membentuk senyum lalu kumiringkan tubuhku memunggunginya.


Tangannya yang gemuk melingkar melewati bahuku dan sesekali mengelus rambutku pelan.

Senyum masih menghiasi wajahku ketika ia menyenandungkan sebait lagu twinkle twinkle little
stars lirih. Kupejamkan mataku menikmati suaranya yang tak terlalu merdu tapi selalu enak di
dengar. Oh ibuku, aku ingin selalu ada dalam dekapanmu seperti ini. Rasa lelah, letih dan jengah
sirna diterjang lirik-lirik twinkle twinkle litter stars-nya, dan tergantikan oleh rasa damai, tenang
dan kantuk yang segera membuatku berkelana bebas ke alam mimpi.

@@@

Aku sudah menelepon sekretarisku bahwa hari ini aku mengambil cuti kerja sehari.
Selain karena alasan bangun kesiangan, aku juga sedang ingin berlama-lama dengan ibu seperti
ini.

Semalam tak terasa aku tidur hingga 9 jam, entah karena lelah atau dekapan ibu yang terlalu
hangat tapi yang jelas ini karena si bintang-bintang kecil yang berkilauan.

“Tidak ada apa-apa bu, aku hanya tiba-tiba kangen pulang.” Selalu jawaban itu yang kulontarkan
ketika ibu menanyakan apa alasanku sebenarnya mendadak pulang dan bermanja-manjaan
dengannya seperti bayi.
Ibu melirikku khawatir yang sedang melahap bulgogi buatannya yang menurutku adalah bulgogi
terenak sedunia. “Kau sudah ijin dengan Jongin kan? Dia memberimu ijin kan?”

Aku diam sejenak kemudian mengangguk dan meneruskan melahap bulgogi seolah ini adalah
hari terakhir aku boleh memakannya.

“Kau tidak sedang ada masalah kan dengan suamimu?” suaranya terkesan hati-hati, takut aku
mengira ibu mau mencampuri urusan rumah tanggaku.

Aku mengerti ia mengkhawatirkanku, takut terjadi apa-apa dengan diriku atau rumah tanggaku
karena sikapku yang mendadak tapi sungguh aku hanya ingin melepas kepenatanku beberapa
hari belakangan ini dengan menghabiskan waktu bersamanya barang sehari.

Dan aku benar-benar sedang tidak bertengkar dengan Jongin. Tidak dalam arti yang sebenarnya.
Apa yang bisa diperdebatkan oleh 2 orang yang hidup serumah dan tidur seranjang yang bahkan
hampir tak pernah berkomunikasi tak lebih dari 10 kalimat sehari?

“Jangan khawatir bu, aku tak ada masalah dengannya. Buktinya, sekarang ia tak kebingungan
mencariku kan? Karena ia tahu aku ada disini.” Dustaku. Padahal semalam setelah menelepon
ibu aku langsung mengendarai mobil kemari, ponselku pun tertinggal di rumah.

Ia menghembuskan napas, tampak kelegaan memenuhi raut wajahnya yang sudah tampak lebih
tua dari 3 bulan lalu terakhir kali aku mengunjunginya. Dalam hati aku mengutuk dan minta
maaf pada ibu kenapa dulu aku terlalu sibuk bekerja dan jarang mengunjunginya.

“Tapi setelah makan kau harus pulang. Aku tidak tenang jika kau menginap lama-lama disini
tanpa bersama Jongin.”

Aku mengangguk pelan dan menghambur memeluknya. “Iya bu. Tapi mulai sekarang aku akan
sering kemari meski tidak menginap, dengan atau tanpa Jongin.”

KRIINNGG ~~~ KRIIINNGG~~~ telepon rumah ibu berbunyi.

“Halo?”

“………”

“Ya, dia ada disini.” Ibu melirikku tajam, membuatku tahu siapa penelepon itu dan apa yang
ditanyakannya pada ibuku. Aku hanya tersenyum kecut saat mulut ibu komat-komat seperti
memarahiku.

“Jangan khawatir Jongin, akan kupastikan Ga Ram tiba di rumah 5 menit lagi.” Ia mengakhiri
pembicaraannya dengan orang di seberang sana yang kukira tak akan mencariku meski aku
menghilang setengah abad sekalipun.
Mataku melotot, 5 menit? Pembalap negara mana yang mampu menempuh jarak Seoul –
Pocheon dalam waktu 5 menit? Kurasa, ibu mengira aku datang kemari semalam mengendarai
pesawat jet.

Ibu mendekat dan duduk di sampingku. “Nyonya Kim, apa kau mau menjelaskan yang barusan
tadi?”

@@@

Kukenakan sandal rumah warna pink ku sambil melepas mantel. Aku bertanya dalam
hati, kemana perginya pasangan sandal ku – sandal biru milik Jongin?

“Darimana saja?” suara itu cukup mengagetkanku. Terlebih dengan tatapan matanya yang tajam
dan menusuk itu tidak terlalu pantas jika disebut sambutan selamat datang.

“Dari rumah ibu kan, memang darimana lagi?” aku masuk ke kamar dan berganti baju.

Ketika keluar kudapati Jongin masih di ruangan yang sama – di dapur – dengan posisi yang sama
– tangan kanannya menggenggam badan gelas – serta tatapan yang sama – tajam.

Aku merasa hawa negatif di segala penjuru dapur saat aku membuka lemari pendingin dan
meneguk air putih. Jongin agak berbeda hari ini. “Kau tidak kerja?”

“Tidak.” Jawabnya dingin. Aku hanya mengendikkan bahu lalu berjalan menuju televisi dan
menyalakannya.

“Ahn Ga Ram!” seruan Jongin yang lumayan keras membuatku tersentak. Tiba-tiba ia sudah
berada di depanku dan mematikan paksa televisinya. Ada apa dengannya? Alisnya yang tebal
bertaut, bibirnya mengatup dengan dingin dan tatapannya….membuatku was-was.

Aku berdiri dan mendekat padanya, berbicara selembut mungkin agar ia tak semakin murka
meski tak mengerti apa alasannya.

“Ada apa Jong? Kau ingin bicara? Ayo, kita bicarakan pelan-pelan.”

Ia masih berdiri mematung, kata-kataku tadi hanya sehembus angin yang masuk ke telinga kanan
dan keluar dari telinga kirinya.

“Kenapa semalam tidur di rumah ibumu?” suaranya dalam, sarat menahan amarah.

“Semalam aku sangat letih dan tiba-tiba rindu pada ibu. Kau tahu kan hampir 3 bulan kita tidak
mengunjunginya—-“

“Kenapa tak memberitahuku?” potongnya.


“Itu….begitu tiba di rumah sehabis kerja aku langsung ke rumah ibu dan meninggalkan
ponselku—-“

“Meninggalkan ponselmu kau bilang? Lalu kenapa tidak memberitahuku lewat telepon rumah
ibu?” potong Jongin sambil mengacungkan ponselku.

“A…aku….sangat letih sehingga mengantuk—–“

“Kau anggap aku apa, Ahn Ga Ram??!” BUUKK! Ponselku melayang dan mendarat keras di
sofa.

Mataku melotot, terpaku melihat aksi Jongin yang seenaknya melempar ponselku layaknya
seorang pitcher yang melempar bola baseball. Amarahku memuncak naik ke ubun-ubun, rasanya
mau meledak memikirkan kelakuan aneh dan berlebihan dari Jongin yang sedari tadi
memojokkanku. Oke, aku memang salah, tapi ini masalah yang menurutku sepele! Ia membesar-
besarkannya dengan memojokkanku seolah menginterogasi seorang pelaku pelecehan seksual.

“Kim Jongin!! Apaa-apaan kau! Sedari tadi kau kubiarkan meracau tidak jelas memojokkanku
tapi bukan berarti kau berhak merusak barang-barangku!” teriakku tak kalah keras darinya.

“Meracau? Aku sedang menasihatimu sebagai seorang suami! Kau istriku dan aku wajib tahu
dimana kau berada dan apa yang sedang kau lakukan!”

“Menasihati? Sejak kapan menasihati memakai sarana lempar ponsel? Dan apakah berteriak
seperti ini masih cocok disebut menasihati??”

“Kau seharusnya menyadari kesalahanmu dan minta maaf padaku karena pergi dari rumah tanpa
pamit, Nyonya Kim Ga Ram bukannya meneriakiku seperti ini!” mata Jongin menatapku nanar.
Ia benar-benar marah.

“Tidak sepantasnya kau bicara begitu Kim Jongin! Apa kau tidak pernah merasa harus minta
maaf padaku karena selalu lembur dan meninggalkanku di rumah sendirian? Kau selalu
berangkat pagi pulang larut malam! Kita bahkan tak ada waktu untuk berbagi lelah sedikitpun!!”

“Tapi aku mencari uang untuk kita, Ga Ram, kita! Kenapa kau tak pernah mau mengerti dengan
kondisi sekarang???”

“Tapi kau lembur setiap hari Jongin, setiap hari! Hingga aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya
kau lakukan di luar sana, bahkan sempat terpikir apa kau bermain dengan wanita lain di luar——

PLAKK! Sebuah tamparan sukses mendarat di pipiku, merangsang kelenjar air mataku bekerja
lebih cepat dan lebih efisien daripada sebelumnya. Tangisku pecah, air mata mengalir deras dari
pelupuk mataku. Baru kali ini Jongin bertindak sekasar ini padaku. Memang tamparannya tidak
sakit, bahkan itu tadi sebenarnya hanyalah tepukan pelan yang mengenai pipi kananku. Tapi
bukan pipiku yang sakit melainkan hatiku. Hatiku rasanya seperti teriris mengingat Jongin tak
pernah melukai fisikku sebelumnya, sedingin apapun hubungan kami tapi kali ini dia benar-
benar keterlaluan.

Kulihat Jongin pun tampak terkejut dengan kelakuannya sendiri, itu seperti diluar kesadarannya.
“Ga Ram, a…aku——“

“Aku benci padamu.” Kutatap matanya nanar dengan mata yang basah dan beranjak
meninggalkannya. Sekilas mataku menangkap tulisan pada kalender bergambar seorang bayi
lucu sedang tertawa yang terpajang manis di dinding.

Oh, bagus. 23 Oktober. Jauh sebelumnya, aku melingkarinya dengan spidol dan memberi gambar
hati disana. Hari ini adalah peringatan tepat 8 tahun aku membangun bahtera pernikahan dengan
Jongin. Dan tamparan ini adalah hadiah darinya. Fantastis.

Aku bergegas meninggalkan rumah dan mengendarai mobil dengan kecepatan penuh entah
kemana.

@@@

—–JONGIN POV—–

Tuhan, apa yang barusan kulakukan padanya?? Kenapa aku menamparnya? Astaga, kerasukan
apa aku ini hingga tega-teganya menampar wajah istriku sendiri??

Lututku lemas membuat tubuhku jatuh terduduk di sofa. Kututupi wajahku dengan telapak
tangan, karena perlahan mataku terasa panas dan berair. Aku merasa begitu bersalah pada Ga
Ram, merasa begitu berdosa karena telah melakukan perbuatan nista yang melukai fisik dan
hatinya.

Air mataku masih menetes ketika menyadari kemana tujuan Ga Ram pergi. Apakah ia ke rumah
ibunya lagi? Atau ke rumah Chaerin – sahabat kentalnya? Atau justru ke rumah ibuku?
Arrgghhh, kemana dia??? Kenapa jadi sekacau ini??

Kulihat ponselnya masih tergeletak di sampingku, sama saat aku melemparnya tadi. Kenapa aku
begitu lepas kendali??

Teringat kejadian panas beberapa menit lalu, hatiku begitu sakit saat Ga Ram menuduhku telah
bermain dengan wanita lain. Seharusnya ia tahu bahwa aku tak mungkin melakukannya. Ia
istriku dan tentu saja aku mencintainya. Selalu mencintainya.

Seharusnya ia tak pernah meragukan cintaku padanya. Aku benci ia tak meyakini kesetiaanku
selama 8 tahun bersamanya—- tunggu.

Kulirik kalender bergambar bayi manis yang sedang tertawa itu menunjukkan deretan gusinya
yang belum ditumbuhi sebuah gigi pun. 23 Oktober. Dan ada sebuah gambar hati disana –
gambaran tangan Ga Ram.
“Aaarrrggghhh!! SHIT!!!!” teriakku sembari mengacak rambutku dan menjambaknya kuat.
Kepalaku pusing, mataku kembali berair, dadaku bergemuruh dan hatiku sakit.

Sungguh, sebenarnya apa yang terjadi padaku? Pada kami? Pada rumah tangga ini?

Aku lelah, aku butuh istirahat di pangkuan Ga Ram. Aku butuh tidur karena semalaman aku tak
bisa memejamkan mata karena mendapati Ga Ram tak ada di rumah dan menghilang begitu saja.
Aku butuh pelukan hangat dari dada Ga Ram. Aku butuh tempat berbagi rasa lelahku – bahu Ga
Ram.

Lagi-lagi kata-kata Ga Ram terlintas di benakku. Apakah aku sekejam itu? Selalu
meninggalkannya sendirian kesepian di rumah? Apakah selama ini aku tak bisa menjadi
tempatnya bersandar saat rasa lelah menderunya?

Oh, tapi sungguh aku melakukannya untuk keluargaku. Untuk aku dan dirinya. Siapa lagi yang
kuperjuangkan mati-matian seperti ini jika bukan istri yang sangat kucintai?

Tapi kurasa aku menggunakan cara yang salah. Ga Ram sudah mencoba membantuku memikul
ekonomi keluarga dengan ikut bekerja meski aku tak pernah memintanya. Tapi apakah aku
sendiri pernah berpikir bahwa ia juga memperjuangkan aku – suaminya?

Ga Ram…….maaf…..maafkan aku yang keterlaluan dan gelap mata ini. Maafkan aku yang tak
pernah mencoba mengerti dirimu yang sudah mengerti diriku. Tuhan, aku ingin meminta maaf
pada Ga Ram sekarang juga.

Tapi dimana dia??

Kusambar gagang telepon dan menekan nomor telepon rumah ibunya.

“Halo, ibu, ini Jongin.” Kataku dengan nafas terengah. Dadaku bergemuruh kencang berharap
sekarang Ga Ram ada dalam dekapan ibunya, menenangkan diri.

“Ya Jongin, ada apa lagi?”

“Apakah Ga Ram ada disana?”

“Bukannya dia pulang dari tadi pagi? Dia sudah meninggalkan rumah ibu sejak jam 8.” Suara
ibu terdengar cemas.

Aku terkesiap. Ga Ram tak ada di rumah ibunya dan aku tak ingin membuat ibunya makin
cemas. “Ah maaf bu, saya lupa sudah menelepon tadi pagi. Baiklah, terimakasih bu.”

Kututup teleponnya dan merasa malu mendengar alasan konyol yang kubuat sendiri. Jika Ga
Ram tak ada di rumah ibu, apa ia ke rumah ibuku? Ah itu justru tak mungkin. Ga Ram tidak
sedekat itu dengan ibu.
Segera kucari nomor Chaerin – sahabatnya – di ponsel Ga Ram dan menghubunginya.

“…..”

“Ga Ram tidak ada bersamamu ya? Baiklah, maaf jika mengganggu.”

Bahkan Ga Ram juga tidak bersama sahabatnya. Kemana dia???

@@@

——GA RAM POV—–

Kuusap mataku dengan kasar menggunakan tissue agar tak menghalangi pandanganku yang
fokus menatap jalanan. Genangan air di pelupuk mata membuat pandanganku kabur.

Tak peduli bagaimana rupa wajahku sekarang – karena yang jelas mascara, eyeliner dan
semuanya – sudah pasti luntur dari tadi. Ah, aku jadi tahu mengapa saat aku berhenti mengisi
bahan bakar tadi hampir semua orang menatapku aneh.

Masih terekam jelas di pikiranku saat Jongin mengayunkan telapak tangannya ke pipiku.
Pandangannya marah seperti hendak memakanku, dia emosi dan aku emosi. Bagus, masalah tak
akan kunjung selesai.

Merasa kepalaku benar-benar pusing, kupelankan laju mobil dan menghentikannya di area
pemberhentian kendaraan di pinggir jalan. Aku belum ingin mati tertabrak truk membawa
muatan puluhan ekor sapi perah atau mobil slengekan yang ditumpangi orang-orang Gypsy.

Paling tidak sebelum bertemu Jongin dan menyelesaikan persoalan ini baik-baik.

Pikiranku kembali mengajak otakku yang lelah untuk kembali memikirkan masalah Jongin. Tapi
seribu kali pun kupikirkan kembali, aku tetap merasa Jongin yang bersalah.

Dia selalu meninggalkanku seperti barang di rumah sendirian, bahkan di hari libur pun.

Dia selalu menanggapi omonganku dengan singkat dan dingin.

Dia selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan ku dengan jawabannya yang sarkastis.

Dia tak pernah lagi punya waktu luang untuk berdua denganku di sofa ruang keluarga sekedar
untuk menanyakan bagaimana keadaanku, bagaimana moodku atau apapun.

Dia tak pernah lagi meminjamkan bahunya agar kepalaku bisa bersandar manja disana.

Dia tak pernah lagi mengatakan ‘aku cinta padamu’ atau ‘ayo bercinta malam ini’.

Dia tadi membentakku seperti menyuruh seorang budak.


Dia tadi melempar ponselku seperti dalam permainan lempar dadu yang biasa ada di pasar
malam.

Dan dia menamparku. Itu yang membuat hatiku merasa sangat sakit.

Terlebih lagi, dia tadi mengatas namakan ‘mencari nafkah untuk keluarga’ sedangkan aku sendiri
juga banting tulang menafkahi keluarga.

Sebenarnya siapa yang menafkahi dan dinafkahi? Aku? Dia? Siapa??

Segala pikiran berkecamuk dalam kepalaku membuatku lelah dan tertidur.

@@@

Kulihat Jongin tersenyum dan memelukku hangat. Dadanya yang lebar membuatku
juga ikut tersenyum. Belum pernah rasanya aku sebahagia ini.

“Aku mencintaimu, Ga Ram….” Desahnya di telingaku membuatku semakin tersenyum dan


mengeratkan pelukanku padanya. “Jangan pernah kau meragukan cintaku padamu lagi, janji?”

Aku mengangguk dengan mata berbinar. Perlahan Jongin melepaskan pelukannya dan
menuntunku hendak memperlihatkan sesuatu.

“Lihat, dia begitu tampan sepertiku dan manis seperti mu.” Jongin mengangkat seorang malaikat
kecil dengan dua tangannya dan memberikannya padaku.

Dengan perasaan gembira kusambut bayi berwajah cerah itu dan kudekapnya dalam pelukanku.
Hangat dan wangi.

“Dia……bayi kita?”

Jongin mengangguk. Senyum masih menghiasi wajah tampannya.

Kupandangi wajah malaikat kecil itu dengan perasaan gembira yang membuncah. Oh anakku,
aku sungguh merindukan kehadiranmu.

Tapi tiba-tiba dekapan itu mengendur. Tak ada bayi atau apapun dalam pelukanku. Jongin juga
mulai terlihat transparan dan menghilang sebelum aku sempat menjangkaunya.

“Jongin…..!!!” teriakku. “Mana anak kita???”

DUK!

Kepalaku terbentur sesuatu yang sangat keras. Kukerjap-kerjapkan mataku dan mendapati
kepalaku benjol karena terantuk setir mobil. Seatbelt tak melingkar di tubuhku.
Kuhidupkan lampu dalam mobil dan menyadari bahwa hari sudah gelap, bahkan sudah lewat
tengah malam. Mobilku masih terparkir sempurna di pinggir jalan meski aku belum sepenuhnya
sadar apa yang terjadi di sekitarku.

Tak ada Jongin dan tak ada seorang bayi dalam dekapanku. Syukurlah aku tadi bermimpi. Dalam
mimpi, aku benar-benar panik saat melihat Jongin maupun bayi itu – yang katanya adalah
anakku – perlahan berubah menjadi kabut dan menghilang.

Mendadak aku merasa harus bertemu Jongin. Mimpiku yang barusan bisa saja merupakan
pertanda telah terjadi apa-apa dengannya sekarang dan aku tak ingin itu terjadi.

Memang benar ia telah melakukan banyak kesalahan padaku selama beberapa minggu terakhir
tapi itu bukan berarti ada niat dalam benakku untuk melihatnya menghilang dalam hidupku.

Tidak. Jangan. Aku masih membutuhkan suamiku. Aku masih mencintainya meski ia sudah
banyak membuat kelalaian selama ini.

Bagaimana bisa aku mempermasalahkan sebuah tepukan pelan di pipi kananku?


Mempermasalahkan kerja lemburnya yang masih terlaksana 9 hari? Mempermasalahkan ia
melempar ponsel yang bisa kubeli hanya dengan 1/20 gajiku per bulan?

Bagaimana bisa aku tak memberitahunya bahwa aku sedang menginap di rumah orang lain
padahal ia suamiku, orang yang paling bertanggung jawab atas diriku?

Bagaimana bisa aku menuduhnya selingkuh padahal ia tak pernah melakukannya? Istri macam
apa aku ini hingga berani-beraninya meragukan cinta suaminya yang selalu tercurah sejak kami
duduk di bangku SMA? Mengapa aku tak menyadari cintanya yang begitu besar padaku hingga
ia nekat menikahiku di usia 20 tahun?

Kutambah kecepatan mobilku menuju apartemen berharap Jongin masih ada di sana.

@@@

BRAKK!

Kubuka dengan kasar pintu rumah kami dan bergegas masuk, tak lupa memakai sandal couple
kesayangan kami.

“Jong, aku pulang—–“

Perkataanku terhenti ketika melihatnya tertidur pulas di meja dapur dengan sebotol soju lengkap
dengan gelasnya berserakan di dekatnya. Soju di dalam botol masih tersisa banyak, maklum saja
suamiku ini tak pernah kuat minum minuman keras. Entah apa sebabnya ia memaksakan diri
untuk minum cairan pahit itu. Ah, tentu saja karena kejadian pagi tadi.
Hatiku sakit melihat penampilannya yang menyedihkan. Hidung, pipi dan telinganya merah,
rambutnya acak-acakan, bajunya juga belum ganti sejak pagi tadi. Dia terlihat begitu menderita.

Apa yang membuatmu begini menderita, Jong? Aku yang kabur mendadak tak kunjung pulang
atau kau merasa bersalah karena sudah berlaku kasar padaku atau justru marah padaku karena
aku sudah menuduhmu yang bukan-bukan?

Kutatap wajahnya dengan sendu, mataku mulai terasa panas dan ada genangan air disana. Tak
kuasa lagi menahan rasa bersalah, kecewa, sedih, marah dan rindu, aku jatuh terkulai di lantai
persis di samping Jongin tertidur dengan terisak seperti bayi.

Jong, maafkan aku………

“Ga Ram? Astaga, kenapa kau duduk di lantai??”

Kuusap mataku berkali-kali dan mengatur napas tapi sia-sia, aku masih menangis sesenggukan.
Punggung tangan dan seluruh wajahku terasa lengket terkena air mata.

Jongin duduk di sebelahku dalam diam. Terasa nyaman ketika ia mengelus puncak kepalaku.

Suasana hening. Tak ada seorang pun yang bicara.

“A——“

Jongin memelukku sebelum sempat menyelesaikan permintaan maafku padanya. Hanya


memelukku erat, tapi itu berhasil membuat air mata sialan ini tumpah lagi membasahi kaosnya
yang yang sejak pagi belum ganti. Tapi aku sudah terbiasa dengan bau badannya yang khas ini.

“Ma—-maafkan aku, Ga Ram.”

Mataku yang sedari tadi terpejam perlahan membuka. Kutatap dada bidangnya yang sekarang
telah kupeluk. Terimakasih Tuhan, kekhawatiranku yang terakhir tak terwujud. Aku bersyukur ia
minta maaf padaku dan mengakui kesalahannya.

Kepalaku mengangguk meski berada dalam rengkuhan dada Jongin.

“Aduh!” teriak kami bersamaan. Tak sengaja puncak kepalaku yang mengangguk kel ewat
semangat membentur dagu Jongin. Kulit kepalaku terasa berdenyut-denyut tapi meski begitu aku
justru tersenyum sambil mengeratkan pelukanku padanya.

“Maafkan aku juga, Jong. Aku sungguh minta maaf.”

“Untuk kepalamu yang membentur daguku barusan?” kami tertawa.


Tuhan, saat ini aku tidak memohon padamu untuk menghentikan waktu karena jika waktu
berhenti aku tak kan bisa menikmati saat ini, dipeluk Jongin dan tertawa karena lelucon
buatannya.

“Aku mencintaimu, sungguh.” Desahnya pelan di telingaku, membuat aliran darahku berdesir.
“Makanya jangan pernah lagi meragukan cintaku.”

Kujawab dengan anggukan dan senyuman lagi. “Aku juga mencintaimu. Makanya jangan lagi
minum soju kalau tidak kuat ya?”

Kami tertawa lagi. Tawa Jongin terdengar aneh, mungkin ia malu.

Tanpa ucapan satu sama lain hati kami berdua seolah tahu bahwa tak perlu mengungkit apa yang
terjadi pagi tadi. Perkataan kasar atau kelakuan kasar kami memang tak penting untuk dibahas,
yang paling penting adalah kelak jika kami bertengkar lagi – semoga tidak tapi siapa tahu? –
kami akan selalu mengingat hari ini.

Saling introspeksi dan selalu mengingat betapa kami mencintai kekurangan dan kelebihan
masing-masing.

“Jong…..”

“Hm?” ia semakin merengkuh tubuhku dan meletakkan dagunya di puncak kepalaku – yang tadi
membenturnya.

“Kau tahu aku tadi kemana?”

“Tidak.”

“Kau tidak mencariku?”

“Tidak lagi setelah aku menghabiskan sebotol soju karena mendengar bahwa kau tak ada di
rumah ibumu, ibuku ataupun Chaerin.”

Aku terkikik. Pembual, ia bahkan hanya meneguk 1/8 isi botol. “Aku tadi tak kemana-kemana
Jong. Sepanjang hari aku ada di depan apartemen kita.”

“Kau mau balas berbohong karena aku sudah bilang menghabiskan sebotol soju?”

Lagi-lagi aku tertawa. Kali ini agak keras. Kebohonganku sudah terbongkar bahkan sebelum aku
sendiri menyadarinya. “Baiklah, aku akan jujur. Tadi aku terus ada di dalam mobil,
mengendarainya entah kemana. Lalu karena pandanganku mulai kabur aku menepi yang entah
ada dimana dan tertidur.”

“Syukurlah tak terjadi apa-apa denganmu.” Kembali ia mengeratkan pelukannya. Entah sampai
kapan kami akan berpelukan dengan duduk di lantai seperti ini. Konyol.
“Dan saat tertidur aku bermimpi.”

“Memimpikanku?”

Aku tahu ia hanya bercanda dan asal menebak. “Benar, aku memimpikanmu. Dan seseorang
yang lain.”

“Siapa?”

“Seorang bayi laki-laki. Yang kau bilang dia adalah anakku, anak kita.”

Lama ia terdiam. Dan karena ia terdiam, aku jadi ikut tutup mulut mengurungkan niat untuk
menceritakannya lebih lanjut.

“Kau—maksudku, kita bahagia dalam mimpi itu?” tanyanya memecah lamunanku.

“Ya, kita bahagia. Aku bilang aku sangat menanti kehadirannya.”

Jongin diam lagi. Entah apa yang berkecamuk dalam pikirannya yang jelas tak membuat
pelukannya mengendur sedikit pun.

“Kau menginginkannya?” bisiknya lembut.

“Ya, dalam mimpi aku sangat mengingin—–“

“Bukan dalam mimpi sayang, tapi sekarang.”

Mataku membulat. Dengan satu gerakan kulepaskan pelukannya dan menatapnya dengan penuh
tanda tanya. Dia serius? Maksudnya apa?
“Kau sudah tak pernah meminum obat kontrasepsi lagi kan? Kebetulan aku juga kehabisan
karetku.” Senyumnya lebar dan tatapannya berubah – menurutku – membuatku merasa aneh.

Hei, kami sudah menikah 8 tahun tapi kenapa aku jadi merasa malu begini ya? Pipi dan telingaku
rasanya panas sekali.

“Ga Ram, kau kenapa? Apa kau malu membicarakan ini dengan suamimu sendiri—-hei, jangan
menunduk begitu dong.” Aku mendengar sebuah tawa disela perkataannya.

Kutundukkan kepalaku dalam-dalam hingga menyentuh bahu Jongin.

“Ayolah nyonya Kim Ga Ram, kau sungguh tidak menginginkannya?” sial, dia menggodaku.

Kuangkat kepalaku dan menatap matanya intens sambil tersenyum sarkastis. “Dari pada
mengajakku berbuat aneh-aneh, lebih baik bersihkan dulu badanmu yang bau keringat itu Tuan
Kim Jongin.”
@@@END@@@

Anda mungkin juga menyukai